7: heart attack

229 94 2
                                    

Sekali lagi, langit Bali benar-benar tengah memancarkan sinar ultraviolet nya dengan begitu dahsyat. Kontras dengan letaknya yang dikelilingi lautan berpasir putih nan indah. Pemandangan hijau, tak terlalu padat polusi layaknya jalanan ibukota membuat siapapun akan betah berlama-lama ditemukan eksotis ini.

Sama halnya dengan Caca, ada ribuan kenangan yang begitu melekat di pulau Dewata ini. Entah itu masa kecil, momen bersama teman, keluarga, dan Papa.

Cukup lama gadis itu memandang sebuah spanduk besar yang ramai dikerubungi oleh anak-anak OSIS. Persiapan hari Ayah sudah mulai dilakukan, beberapa dari mereka terlihat cukup sibuk.

Caca secara tak sadar meremat tali ranselnya, mata bulatnya terasa buram meski tak sampai meneteskan lelehan bulir air asin, Caca masih bisa menahannya.

Gadis itu lantas mendongak ke udara, mengatur nafasnya beberapa saat dan mulai kembali menjadi Caca yang sebelumnya.

Sudah saatnya untuk pulang, di lapangan sana, di antara kerumunan OSIS, Caca bisa melihat Satria yang ternyata sejak tadi memperhatikan dirinya dari jauh.

Bahkan leleki itu melambaikan tangannya pada Caca, meski gadis itu terlihat tak acuh dan mulai pergi.

Sebenarnya kali ini Caca sudah bingung ingin pulang kemana. Dara masih berada di ruang guru untuk membayar SPP sekolah.

"Pulang, ke rumah Dara, pulang, ke rumah Dara, pulang?" Gadis itu menghitung keputusannya menggunakan jemari. Haruskah dia pulang ke rumahnya?

"Tapi kalo Mama belum pulang gimana dong?" monolognya merasa begitu bingung.

Tanpa disadari langkah Caca berhenti di area parkir sekolah dengan langsung dihadapkan oleh sosok, Juan?

Caca meneguk saliva begitu menyadarinya. Raut wajah Juan menjelaskan jika keberadaannya ditujukan untuk menunggu Caca keluar dari gedung sekolah.

"Caca, pulang yuk," ajak Juan yang selanjutnya dibalas gelengan kepala oleh Caca. Masih tersirat jelas dari sudut pandangnya jika Caca sungguh tak ingin berkomunikasi dengan Juan, bahkan bicara saja Caca begitu nampak enggan.

Pria yang baru mengembuskan napas itu akhirnya sadar akan akibat tindakannya malam itu. Caca sungguh gadis yang sulit dimengerti oleh lelaki seukuran Juan, ditambah lagi otak Caca masih begitu kekanakan dan juga lugu.

"Mama kamu udah pulang loh," kata Juan mencoba membujuk. Apa nanti yang harus ia katakan pada Cantika jika tidak bisa membawa pulang Caca?

Mendengar kata Mama, Caca akhirnya membalas perkataan Juan."Om nggak bohong lagi kan?"

"Kapan saya bohong sama kamu?"

"Caca nggak mau pulang kalau nggak ada Mama. Kalaupun pulang, Caca nggak mau di rumah sama Om Juan."

Masih ingat saat Juan bilang dia mau Caca?
Inilah akar masalah yang harus Juan selesaikan.

"Ayo masuk ke mobil, saya bakal jelasin soal malam itu."

"Nggak usah, sebenernya Caca tahu kok apa maksudnya Om." Hanya Caca merasa tidak sebodoh itu untuk mau mau saja mengikuti pikiran setan Juan. Caca masih polos kan?

"Emang apa?" Juan menatap Caca penuh selidik, sungguh malam itu Juan tak menaruh maksud khusus dalam perkataannya.

"Apalagi? Kata Mama cowok nakal itu suka bikin hamil. Dan Om itu nakal, kelihatan banget dari tampangnya."

Sontak saja pernyataan Caca memantik tawa Juan untuk meledak. Benarkan, di sini pemikiran Caca pada Juan itu terlalu aneh. Padahal saat itu Juan belum menyelesaikan kalimatnya.

Perfect uncle ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang