selamat tinggal

0 0 0
                                    

Olive—kekasihku, kamu ingat saat kamu merayu meminta untuk kulukis? Saat itu wajahmu begitu menggemaskan; cantik tanpa polesan. Dan kamu ingat saat aku berkata, "aku suka kamu tanpa make-up."

Saat itu kamu berkata, "tapi pengeluaranku meledak. Kamu tahu? Butuh puluhan dollar untuk perawatan. So, kamu harus bayar setiap menatapku perdetik."

"Berapa yang aku bayar, untuk bidadari sepertimu?"

"Ratusan dollar untuk kamu."

Kamu tertawa usai berkata demikian, dan wajahmu begitu membuatku candu. Lalu kita saling tertawa menertawakan kekonyolan obrolan yang, kurang berfaedah.

Aku sangat suka bibirmu; penuh nan merah. Begitu seksi jua manis.

Sayangnya, perlahan dimatikan waktu bibir itu memucat. Sorot matamu yang bersinar pun tampak hampa, bahkan surai indah nan wangi milikmu pun perlahan, meninggalkan kulit; rontok menyatu dengan angin, akibat kanker sudah menyebar.

Aku bak kehilangan arah, larut dalam nestapa kala dokter berkata usiamu hanya tinggal satu bulan, dan itu pun kurang.

Kamu selalu bilang padaku, "mereka semua memperlakukanku kayak orang sakit, dan aku gak mau. Please, kamu jangan perlakukan aku kayak orang sakit ... aku mau kamu liat aku seperti sebelumnya. Kalo pun aku mati, biarin aku mati di pelukanmu."

Ucapanmu mampu membuatku tersayat, bahkan mata pun memanas menahan air mata. Laki-laki mana yang tak hancur, bahkan kesetanan melihat wanita yang dicintai berkata demikian?

Hari-hari kita lalui bersama, menikmati segala momen untuk dikenang—dengan harapan bisa kita lihat bersama anak cucu.

Akan tetapi, semua lenyap dalam sekejap. Di pantai itu, tepat saat menikmati senja—dengan berpelukan dan berkata manis jua mengharukan, kamu menutup mata indah itu rapat.

"Selamat tinggal, Kekasihku. Bahagia dengan-Nya dan aku janji cintaku cuma untuk kamu dan Dia, bukan wanita lain," aku berkata; mengecup batu nisanmu, lalu pergi.

Cerpen Where stories live. Discover now