perjodohan

8 2 5
                                    

Pernahkah Anda berpikir akan dijodohkan dengan seorang gus? Mungkin sebagian dari Anda akan merasa senang, tetapi tidak dengan aku.

Meskipun julukan "Ning" kudapati tapi tiada sedikitpun keinginan untuk menikah dengan gus. Malahan aku tertarik dengan seorang abdi ndalem.

Sayangnya, aku tiada berani menemui ia, apalagi peraturan di sana tidak memperbolehkan santriwati bertemu dengan santriwan.

Anda mungkin heran, lantas bagaimana bisa aku menaruh hati dengan ia? Itu jelas mudah, karena aku berbeda dengan ning lainnya, yang anggun dan patuh.

Aku sering menyamar menjadi seorang laki-laki, demi melihat ia dari kejauhan. Beberapa hari sebelumnya, aku baru mengetahui jika ia bernama Jaylo Adipura—seorang abdi ndalem, sekaligus pewaris tahta perusahaan Adipura Crop.

Aku senang karena sempat mendengar desas-desus jika, dia naksir padaku. Sayangnya, semua terdengar oleh ayah, sehingga mengadakan perjodohan antara aku dengan anak temannya, ya, seorang gus.

Tukang maksa, tapi kalo di depan santri penuh wibawa dan baik hati. Aku sangat jengkel karena ayah memutuskan semua secara sepihak.

Anda tahu, lamaran dimulai dan aku tidak diperkenankan untuk menolak—tidak boleh keluar kamar; dijaga.

Tepat sebulan usai lamaran, pesta pernikahanku dengan gus itu pun dimulai.

Jujur, aku tidak pernah tahu dan tidak pernah ingin tahu nama, apalagi memimpikan menikah dengan ia—orang asing yang tak kucinta.

Aku sudah dirias tipis dan mengenakan gaun putih, mendengar ia melakukan ijab.

Tangis sesal mengiris batinku. Aku ingin dia buka ia.

"Bun, bilang sama ayah batalin pernikahan ini. Aku gak cinta sama dia, aku aja gak tahu calon suamiku seperti apa."

"Nanti juga cinta."

Satu tahun menikah dengan ia, hidupku merasa hancur. Aku menyesal sangat menyesal dan merasa tidak pantas untuk ia.

Anda tahu kenapa? Ia begitu penuh kasih, lembut dan tak pernah memarahiku, sekalipun aku kekanak-kanakan. Namun, aku selalu dirudung rasa sedih, sebab selalu memikirkan Jaylo.

Aku tahu salah, tetapi rasa itu gak bisa bohong. Aku belom bisa menerima kenyataan, menjadi istri dari Gus Chilo.

Bahkan, setiap tidur aku selalu menangis, mendengar doa-doa yang dia lantunkan. Dia selalu berdoa, agar Tuhan meluluhkan hatiku, menitipkan cintaku padanya.

"Dek, Mas saget nyuwun hak e Mas?"

Bak dibunuh dengan lontaran batu panas. Apa yang kutakutkan jadi kenyataan. Aku bingung.

"Gus, ngapunten. Kula ajeng merem ting kursi, monggo samean sare teng mriki."

Dia memegang lenganku. Tatapan kamu bertemu untuk pertama kalinya.

"Dek, aku ki bojomu. Sampai kapan samean rak nompo aku?"

"Gus, ngapunten sanget. Kula mboten tresno njenengan. Kulo tresno kalih kang ndalem dening keraton romo, kulo mboten saget ngalayani njenengan, mboten saget."

"Yowis sakarepmu. Aku mung iso usaha lan ndungo ben awakmu sadar aku ki sopo gae awakmu.

Seperti itu yang terjadi selama satu setengah tahun. Namun, saat putri kami hadir di antara kami, aku mulai membuka diri untuk dia.

Aku selalu berusaha untuk menjadi istri yang sholehah untuk dia, dan menjadi ibu panutan untuk Syifatul Adyena Marwan—putri kami.

Hubungan pernikahan semakin lama semakin membaik, bahkan aku sudah tak memiliki rasa dengan kang ndalem itu lagi. Aku sudah mulai fokus dengan suamiku—yang setia, penyayang, sabar dan menjadi guru untukku.

Pernah hubungan kami hampir di ujung tanduk, karena dia merasa semua usaha hanya sia-sia. Awalnya aku masih keras dengan pendirian, tetapi diri begitu sakit saat melihat dia bungkam—seolah dikutuk bisu untuk aku seorang.

Istri mana yang sanggup melihat sang suami diam karena kerasnya hati sang istri? Begitulah dengan aku, yang kelabakan dan bingung.

Dengan keyakinan kuat, aku berusaha membujuk dia untuk kembali seperti sebelumnya. Dengan cinta dan ketulusan juga atas izin Pecinta hubungan kami menjadi hubungan yang sakinah mawaddah dan warohmah.

Tamat ....

Cerpen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang