04 - Musim Pancaroba Wawan

480 109 4
                                    

Happy reading
...

Melihat Juna duduk diam tanpa memainkan ponsel pintarnya bukan hal yang baru bagi Bunda Wendy karena memang begitu kebiasaan putra sulungnya.

Namun, begitu Bunda Wendy mendapati Wawan selaku anak bungsunya duduk di balkon sambil melamun sedari pulang latihan taekwondo sampai menjelang Maghrib, ia khawatir bukan main. Sebab, selama ini baru sekarang Wawan bertingkah demikian.

Bunda Wendy pernah bertanya pada Wawan, tapi anaknya yang satu itu hanya menjawab tidak apa-apa. Alasan klasik yang diberikan oleh seseorang sok kuat. Pada akhirnya Bunda Wendy memilih mendatangi Ananndha.

"Aa'," Bunda Wendy menghampiri Nanda yang tengah tidur tengkurap di sofa ruang keluarga sambil membaca buku, "kamu lagi ngapain? Lagi sibuk, ya?"

Nanda menoleh, kemudian mengubah posisinya menjadi duduk. "Hmm? Aku nggak sibuk, bun. Cuma baca jurnal kok. Kenapa?"

"Adek kenapa sih, A'? Dari kemarin Wawan tuh cuma diem terus merenung di balkon lho."

Nanda menyunggingkan senyum sambil mengetuk-ngetukkan jari di buku tebal yang baru saja ditutupnya. "Wawan lagi puber kali, Bun."

Setelahnya, Ananndha meraih ponsel dan mengetik sesuatu di kolom pencarian.

Karena dilanda penasaran, Bunda Wendy sedikit mencondongkan badannya agar dapat melihat apa yang dicari Nanda.

"Perubahan emosional pada masa pubertas." Bunda Wendy mengerutkan keningnya sehabis membaca apa yang diketik Nanda pada kolom pencarian.

"Duduk sini, Bun," Nanda menepuk tempat di sebelahnya. "Menurut beberapa pernyataan di sini, apa yang dialami Wawan itu normal, Bun."

"Masa sih?" Bunda Wendy tak yakin.

"Wawan usianya berapa coba?" Nanda balik bertanya.

"Usia 17 tahun, Nan." Seketika Ananndha langsung menjentikkan jarinya. "Betul!"

"Adek jadi diem kayak gitu ya emang wajar, Bun. Dulu pas Bang Shaka puber juga kebanyakan diem kayak orang sakit gigi, 'kan?" Celetuk Nanda sekenanya.

"Hmm.... Iya sih." Bunda Wendy menekuk wajahnya. Namun, detik berikutnya ia menoleh cepat pada Nanda dengan kedua alis yang hampir menyatu. "Tapi Haikal dulu nggak diem aja tuh, Nan. Dia malah nambah berisik."

Ananndha menghela napas. "Bunda, pubernya Mas Haikal itu agak lain. Enggak bisa dijadiin patokan."

Bunda Wendy menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Nanda memang benar. Mau dilanda galau, hujan, angin ataupun badai Mas Haikal tetap membawa santai.

"Nah! Ini nih! Emak sama anak berduaan di mari biasanya ada sesuatu!" Teriak Haikal yang tiba-tiba datang membawa semangkuk mie instan bertabur bon cabe.

Haikal mengambil duduk di sebelah Bunda Wendy. Ia meletakkan mangkuknya di meja, lalu mendekat ke arah Nanda dan Ibunda.

Haikal melirik kanan-kiri, sebelum berbisik, "Lagi ghibahin siapa sih? Kasih tau kek. Jangan menabung dosa sendiri, nanti timbangannya berat lho."

Plak!

Refleks Haikal langsung mengelus pahanya yang baru saja ditabok Bunda Wendy. Aneh, letak kesalahannya dimana sih? Memang faktanya begitu, 'kan?

Felicity | TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang