Life Must Go On

250 46 0
                                    

Ai memeluk beberapa tumpukan buku dan membawanya keluar kamar. Buku-buku tersebut milik Yaka yang dipinjamkan sebulan yang lalu, ketika strategi menjadi pintar baru dimulai, ketika belajar bersama merupakan sesuatu yang menyenangkan. Walaupun sebenarnya yang menyenangkan itu bisa dekat-dekat Yaka bukan belajarnya.

"Mau dibawa ke mana?" tanya Mama di sela menonton TV.

"Balikin ke Yaka, Ma. Dia, kan, mau sekolah ke luar negeri, pasti lebih butuh." Membahas kisah sedih di hari minggu itu lagi, membuatnya nelangsa.

"Yaka hebat ya. Kamu gimana?"

Setelah dirundung banyak masalah, mana ada waktu memikirkan masa depan. Ia sedang sibuk menata hidup baru. "Belum tahu, Ma. Masih mikir-mikir."

Mama tersenyum memaklumi. "Nggak apa-apa. Pelan-pelan aja."

Ai mengangguk dan melempar senyum balasan. "Aku ke rumah Yaka dulu."

Gadis itu berjalan keluar rumah, menyeberangi jalan kompleks dan berdiri di depan pagar Yaka. Sebelum meminta Pak Toto membukakan pintu, Ai melatih pernapasan terlebih dahulu, berharap hatinya tak berulah. Sudah empat hari berlalu setelah penolakan tak langsung tersebut, dan ini akan menjadi pertemuan pertamanya bersama Yaka dengan hati yang patah.

Ai mencoba mengikuti nasihat Lila, dihadapi jangan menghindar. Kalau dipikir-pikir selama ini bersua dengan Yaka prihal yang sulit. Di sekolah kadang di kantin, itu pun hanya saling menyapa, selepas itu terpisah oleh kelompok yang berbeda.

"Pak Toto!" teriak Ai bernada.

Terdengar suara langkah, suara pagar terdorong menyusul kemudian.

"Yaka ada nggak, Pak?"

"Ada, kok. Bareng teman-temannya. Masuk aja, Ai."

Ai membuang napas berat. Tidak boleh mundur, lagi pula ia datang hanya untuk mengembalikan buku, tidak perlu ikut nibrung dan berlagak bagian dari mereka. "Aku masuk, ya, Pak."

Pak Toto mengangguk.

Embusan napas keluar dari mulutnya berkali-kali. Baru berjalan beberapa langkah, jantungnya sudah bekerja cepat, tubuhnya mulai terasa dingin ketika mendekati pintu rumah Yaka.

Ai memenjet bel.

Tak lama kemudian pintu terbuka. Ada Yaka, dengan senyum indahnya seperti biasa, begitu juga dengan pemandangan dua lubang di pipinya yang luar biasa. Kenapa cowok itu justru semakin rupawan saat Ai dalam proses penghapusan perasaan? Setidaknya berilah dirinya sedikit kecacatan untuk digunakan alasan agar proses melupakannya berjalan lancar.

Bodoh. Yaka-nggak-suka-sama-lo sebenarnya sudah menjadi alasan yang jelas, titik, tanpa koma.

Ai tertawa kecil, menghilangkan kekakuan dari tubuhnya karena sihir senyum Yaka. "Lagi sibuk?" Sedetik kemudian gadis itu memejamkan mata, merutuk kebodohannya. Tak perlu basa-basi, berikan bukunya dan pulang, itu niat awalnya. "Gue mau balikin buku lo."

Yaka mengernyit, menerima buku yang disodorkan Ai. "Kenapa?"

"Lo lebih butuh."

"Masuk dulu."

"Nggak usah. Gue lagi ada kerjaan di rumah," bohong Ai sambil tertawa keki.

Yaka mengangguk-angguk. "Hari sabtu ini gue mungkin nggak bi-"

"Nggak perlu lagi, Ka. Gue nggak mau ganggu waktu belajar lo. Gue belajar di bimbel aja. Dan gue kayaknya nggak bisa berangkat ke sekolah bareng lo lagi, akhir-akhir ini gue susah bangun pagi."

The Stupid Duckling ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang