( bagian 22 ) Memori silam

1.4K 418 181
                                    


"Kecil diketahui, bahwa semestanya orang tua adalah buah hatinya sendiri"


---


"AJI, LO NUMPAHIN FANTA LAGI?!"

Seruan dengan nada tinggi menarik atensi Dian untuk melihat apa yang membuat putrinya menaikan suaranya seperti itu, mengalihkan sejenak pekerjaan kantor miliknya dan menemukan Aji yang sudah berlari ke sudut lain sofa ruang tengah.

"Botolnya genit, deket-deket gue mulu kan jadi ke senggol"

"Gue baru selesai ngepel, Ji"

"Di lap aja, nanti juga-AAA IYA AMPUN AYA!"

Aya memutar sofa dengan membawa gagang pel berwarna biru, mengejar Aji yang langsung berlari ke arah lain setelah menerima gertakan gagang pel yang di ketuk pada lantai. Nampak jelas dari wajah putrinya bahwa gadis itu benar-benar kesal namun tak dapat melakukan apapun, hanya mampu menyumpahi Aji dengan sumpah serampah dengan nada pelan.

Tak ada lagi cubitan atau lemparan bantal yang Aya layangkan, bahkan ujung meja yang biasanya menjadi tempat Aji menangkup pipinya sembari menonton televisi sudah di lapisi pelindung berbahan busa. Dian tidak tahu apa yang putrinya pikirkan, namun keadaan tersebut sudah ia temui sejak kepulangan Aji dari rumah sakit. Hampir seluruh ujung meja sudah terlapisi pelindung, beberapa barang mudah pecah pindah ke gudang, sampai semua pisau di dapur memiliki tutupnya sendiri.

Jangan lupakan lantai kamar mandi yang tiba-tiba terlapisi karpet anti licin.

"Bersihin atau muka lo yang gue pel?"

"Kejam banget, perempuan datang bulan"

"AJI!"

"IYA"

Sudut bibir Dian terangkat, tersenyum samar hampir tak terlihat ketika melihat putranya berlari melewati dirinya menuju dapur. Selang beberapa menit terdengar suara berisik serta di susul dengan ember berwarna pink yang menggelinding, membuat Dian pasrah dengan kondisi kerapihan rumahnya saat ini. Mungkin seharusnya ia mendengarkan saran dari putranya Anisa beberapa hari lalu, saran mengenai Aji yang lebih baik tetap berada di kamarnya sampai benar-benar pulih ketimbang membiarkan anak laki-lakinya itu diberi kebebasan dan berakibat membuat keanehan di rumah. 

Ini baru hari ketiga semenjak Aji kembali dari rumah sakit, tapi laki-laki itu sudah membuat saudari kembarnya pening bukan kepalang. Dian tidak tahu apa yang akan putranya perbuat esok hari, atau bahkan beberapa jam setelah kejadian fanta tumpah untuk kedua kalinya dalam sehari. 

"Aya! kain lapnya dibasahin gak?!"

"Iya"

"Pake Sunlight gak?!"

"No, itu buat cuci piring" seru balik Aya menghampiri keberadaan Aji sembari membawa kain pel yang bernoda merah samar bekas mengeringkan sedikit tumpahan, "pake air bersih aja, nanti cipratin Wipol dikit"

"Wipol tuh yang mana, sih?"

Dian tidak akan marah, lebih memilih memaklumi Aji yang tidak pernah berkecamuk dalam bidang tersebut. Dan entah apa yang putranya alami selama tidur panjangnya, hingga membuat putranya tersebut terbangun dengan membawa pinta untuk diajarkan hal-hal yang biasanya Aya lakukan di rumah. Tentu Dian tidak dapat melarang ataupun menolak, mengingat anak laki-lakinya tersebut hanya mendengar kata-kata dari saudari kembarnya.

Aya berjalan melewati Dian, tentu dengan mulut yang komat-kamit tidak jelas sembari menghampiri Aji. Tubuh Aya berdiri di sebelah Aji yang membuat putri Dian itu tampak lebih mungil dari saudara kembarnya, "Ini"

[1] 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘵.𝘢 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang