Chapter 14

14.6K 839 59
                                    

Bau minyak kayu putih menusuk indra penciumanku. Aku membuka sedikit kelopak mataku kemudian mengerjapkannya beberapa kali. Kupandangi sekitarku, aku melihat Mama dan Papa duduk disebelah kanan dan kiriku di atas ranjang tempatku berbaring. Kualihkan pandanganku kesekitar dan mulai mengenali jika aku saat ini berada dikamarku.

Diujung tempat tidur Azka berdiri bersisian dengan Helen, sementara dipintu kaca yang merupakan penghubung antara kamarku dan balkon kulihat bang Paris berdiri menyandarkan dirinya dengan kedua tangannya masuk kedalam saku celananya.

Aku berusaha untuk duduk dibantu Mama dan Papa.

"Icha kenapa?"

"Kamu pingsan sayang." jawab Mama.

"Icha pingsan berapa lama Ma, Pa?"

"Lumayan lama sayang. Kamu pingsan hampir empat jam." Papa mengusap kepalaku.

Aku mengerutkan keningku berpikir mengapa aku bisa sampai pingsan begini. Kemudian aku ingat dengan kejadian diruang tamu. Ketika mereka memberondongiku dengan banyak pertanyaan yang aku sendiri tak tahu jawabannya.

"Ash sama Vito...."

"Mereka udah pulang sayang. Mama suruh mereka pulang daripada mereka lama nungguin kamu sadar. Tapi Mama sudah janji Mama akan kabari mereka berdua kalau kamu sadar."

Aku hanya menganggukkan kepalaku.

"Pa... Ma... ada yang mau Icha tanyain ke Papa sama Mama."

Seolah mengerti dengan apa yang akan aku bicarakan, Papa memberikan sebuah isyarat pada Mama yang langsung diangguki dan Mama beranjak dari ranjangku sambil mengajak Helen dan Azka keluar. Meninggalkan kami – aku, Papa, dan bang Paris – bertiga dikamar.

"Sayang, sebelum kamu bertanya, ada satu hal yang ingin Papa bicarakan sama kamu. Ini menyangkut masa depan kamu dan juga mungkin akan menjawab pertanyaan yang akan kamu ajukan."

Papa menarik nafas sebentar sebelum melanjutkan perkataannya." Fariz sudah menceritakan semuanya. Dan Papa ingin memberitahukan sama kamu, jika Fariz dan keluarganya meminta kamu sebagai menantu mereka —"

Papa menggelengkan kepalanya ketika melihatku ingin menyela ucapannya. "Biar Papa selesaikan dulu ucapan Papa, baru kamu boleh mengutarakan pendapat kamu." ucapnya tegas.

Aku hanya bisa diam menuruti kata kata Papa.

"Papa belum menyetujuinya, karena semua keputusan itu kembali sama kamu sayang. Hanya kamu yang bisa menentukan, siapa yang terbaik untuk masa depsn kamu." Papa mengalihkan pandangannya pada bang Paris.

"Fariz, saya kasih kamu kesempatan untuk menanyakan kesediaan Icha sebagai pendamping hidupmu. Tapi jangan pernah kamu memaksa Icha. Ingat itu."

Papa melemparkan tatapan lasernya pada bang Paris sebelum meninggalkan aku dan bang Paris berdua. Bang Paris hanya mengangguk dan berjalan mendekatiku.

Ia duduk tepat disisi ranjang disebelahku. Aku sedikit beringsut menjauhinya, menciptakan jarak diantara kami. Aku menunggu bang Paris menjelaskan semuanya, namun dirinya hanya diam sambil memandangku.

Lima menit kami lalui dalam keheningan. Aku tak tahan dengan suasana yang canggung ini kemudian mulai buka suara.

"Kapan?" tanyaku membuat bang Paris menautkan kedua alisnya.

"Kapan bang Paris ngelamar Icha?"

"Waktu kita liburan." jawabnya singkat.

"Terus? Apa yang bang Paris mau jelasin."

"Gue..."

Bang Paris menahan lanjutan kalimatnya diujung lidah. Ia nampak tak yakin dengan apa yang akan dikatakannya.

Young LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang