Chapter 8

14.2K 770 27
                                    

"Sayang, kamu kenapa?" tanya Papa panik saat melihatku terduduk di lantai. Papa menghampiriku dan melihat lututku yang lecet.

"Icha lo nggak apa apa kan?" bang Paris ikut bertanya padaku.

Aku melayangkan tatapan membunuh padanya. Sial, dia pura pua bego rupanya. Salah siapa yang udah ngebuat lutut aku sampai lecet gini. Bang Paris tersenyum tipis merasa puas dengan apa yang telah ia lakukan padaku.

Sesaat sebelum pintu terbuka, bang Paris menarikku sekuat tenaga hingga aku jatuh dari tempat tidur dan lututku membentur lantai. Kemudian ia sekarang berpura pura sok care padaku. Ugh.... sial sial sial.

"Lho Fariz, ngapain kamu disini?" Papa memandang bang Paris dengan wajah heran.

Bang Paris mengusap tengkuknya, mencari alasan mengapa ia bisa berada dikamarku. Kena lo bang, rasain.

"Em... itu... saya tadi denger suara Icha teriak Om terus saya samperin kesini. Eh ternyata Icha malah jatuh kaya gini Om."

Ck, pintar sekali dia mencari alasan.

"Kok Om gak denger suara Icha yang teriak ya? Padahal Om ada dibawah daritadi?" Papa memicingkan matanya curiga.

"Eh itu.... Icha teriaknya gak kenceng Om. Cuma kedengeran sampai kamar sebelah. Ya kan Cha." Bang Paris meminta dukungan padaku.

Ish... apa apaan dia. Seenaknya saja dia malah meminta bantuanku. Kulihat tatapan memohon darinya. Ih... aku bisa luluh nanti kalau lihat matanya terus.

"Bener apa yang Fariz bilang sayang?"

Suara Papa mengagetkan diriku yang serius memandang wajah memelas bang Paris namun anehnya dia tetap terlihat tampan. "Eh iya Pa apa yang bang Paris bilang emang bener." jawabku spontan.

"Kalau gitu kenapa pintunya tertutup?"

Aaa... Papa kok cerewet banget sih.

"Kena angin kali Pa." jawabku tak yakin.

Kulirik wajah Papa yang memandangku dan bang Paris bergantian. Kerutan dikeningnya semakin bertumpuk, tanda Papa tidak percaya dengan apa yang aku katakan.

Ya Tuhan, aku mohon kali ini buat Papa percaya. Icha gak mau dapat hukuman lagi.

"Kalian yakin?"

Aku dan bang Paris mengangguk serempak.

"Yakin Pa." "Yakin Om."

Papa kembali menatap kami  dengan seksama hingga akhirnya ia berkata," Oke, Papa percaya. Sayang, kamu udah selesai belum packingnya? Udah ditunggu sama yang lain. Kita harus cepat pulang kalau nggak pengen kemaleman nyampe dirumah."

"Papa duluan aja, ntar lagi Icha nyusul kebawah."

"Oke, kamu hati hati ya." Papa mengelus kepalaku sembari menatap tajam bang Paris, kulirik bang Paris menelan ludah karena tatapan maut dari Papa.

Aku telah berdiri dan selesai mengepak semua barangku. Kutatap bang Paris yang masih berada dikamarku. Aku heran dengan dirinya, apalagi yang ia mau dariku? Tak puaskah ia tadi telah membuatku jatuh dan ketakutan?

"Bang Paris mau ngapain lagi sih? Masih belum puas ngebuat lutut Icha lecet? Kita udah impas bang." ucapku melipat tangan didepan dada.

"Gue... gue..."

"Udah ah Icha males sama bang Paris. Bang Paris nyebelin. Minggir." aku menubruk sedikit badan bang Paris yang menghalangi jalanku, menyeret koperku turun kebawah menyusul yang lain.

¶¶¶

Libur sekolah telah usai, kini saatnya kembali masuk dan bertempur dengan semua pelajaran yang membuat otakku berasap.

Young LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang