Wattpad Original
There are 7 more free parts

Bab 4

72.4K 10.3K 765
                                    

ALANA

"Dari mana aja, Sayang? Aku bangun tidur kamu nggak ada, aku telepon nggak diangkat." Pertanyaan Mas Riyan langsung menyambut begitu aku membuka pintu apartemen.

Dia sedang duduk di sofa dengan handphone di tangan. Penampilannya sudah rapi mengenakan kemeja slimfit abu-abu dan celana kain hitam. Aku selalu suka melihat gayanya yang necis ala eksekutif muda. Dia terlihat dewasa dan sangat tampan walau saat ini wajahnya muram. Bergegas aku duduk di sebelahnya sambil mengembangkan senyum semanis mungkin.

"Dari apartemen sebelah, ada urusan sebentar."

"Apartemen Elang? Pakai baju ini?" Alisnya bertaut melihat tank top pink dan celana piama longgar yang kukenakan.

"Iya cuma ke apartemen Elang juga, males ganti." Aku mengedikkan bahu ringan.

"Cuma kamu bilang? Terakhir aku lihat, Elang masih laki-laki dewasa normal yang suka perempuan. Yang pacarnya berganti lebih cepat daripada bulan berganti," decaknya kesal.

Mas Riyan memang nggak pernah menyukai Elang, tapi kali ini dia terlalu melebih-lebihkan. Hiperbola kalau bilang Elang ganti pacar sebulan sekali, minimal dua bulan sekali lah. Dan aku nggak pernah menganggap Elang laki-laki dewasa.

Dia memang jauh lebih tinggi dariku, tapi bagiku dewasa artinya bukan sekedar tubuh yang bongsor, tapi cara berpikir yang matang. Dan Elang belum menunjukkan itu, terbukti dari pacarnya yang berganti tiap bulan, eh, tiap dua bulan. Namun, untuk menjelaskan hal ini ke Mas Riyan nggak akan ada gunanya. Kami sudah sering membahas hal ini dan ujung-ujungnya malah bertengkar. Dia nggak pernah bisa sepenuhnya percaya kalau bagiku Elang hanya teman.

"Kita pergi sarapan yuk, tapi aku mandi bentar, ya." Akhirnya aku memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. Mungkin setelah sarapan, Mas Riyan sudah lupa tentang Elang. Hanya tinggal sehari waktunya di Surabaya, besok sudah balik ke Jakarta. Sia-sia rasanya kalau waktu yang sangat singkat ini dihabiskan untuk membicarakan Elang.

Mas Riyan menghela napas panjang, tapi akhirnya mengangguk. Aku tersenyum lega, lalu mencium pipinya. Baru saja aku hendak bangkit, tiba-tiba tubuhku direngkuh dalam pelukan. Mas Riyan menunduk, lalu memagut bibirku mesra. Aku membalas ciumannya sepenuh hatiku. Namun, saat tangannya mulai meremas payudaraku, rasa tak nyaman itu kembali datang. Sehalus mungkin, aku berusaha mendorong tubuhnya.

"Udah siang, nih, Mas pasti udah laper, aku mandi dulu ya biar kita bisa sarapan," ucapku pelan. Aku nggak mau membuatnya tersinggung, tapi aku juga nggak siap untuk melangkah lebih jauh. Syukurlah dia tersenyum, lalu mengangguk.

Bergegas aku masuk ke kamar dan tak lupa mengunci pintunya. Setelah selesai mandi, aku berganti pakaian dengan crop tee putih dipadukan dengan jeans biru muda dan wedges Jimmy Choo model tali warna putih yang membalut elegan kakiku. Aku suka fashion, sangat memperhatikan penampilanku kalau keluar rumah. Namun, aku nggak terlalu suka memakai make up, maka aku hanya mengoleskan pelembab, bedak, dan lip gloss, lalu menyisir rambutku dan siap untuk pergi.

Mas Riyan menyetir Mini Cooper putihku keluar dari parkiran apartemen, sementara aku duduk di sebelahnya. Tubuh tingginya terlihat menggemaskan berada di dalam mobilku yang mungil. Namun, syukurlah, tubuhnya nggak setinggi Elang. Elang sangat anti naik mobilku, dia bilang tiap naik mobilku badannya sakit karena harus menekuk di sana-sini mengikuti interior mobil yang sempit. Sungguh terlalu berlebihan. Tiap pergi dengannya, aku terpaksa harus membonceng di motor Ducati Panigale merah miliknya yang untuk naiknya saja susahnya setengah mati. Apalagi saat aku mengenakan heels, yang artinya hampir setiap waktu. Aku nggak habis pikir kenapa dia memilih membeli motor jika dengan harga yang sama dia sudah bisa memiliki mobil yang bagus.

"Makan di mana kita?" tanya Mas Riyan saat kami sudah keluar dari kompleks apartemen.

"Bugs?" usulku. Bugs adalah sebuah cafe yang letaknya tepat di depan kampus. Gedung apartemenku lokasinya memang nggak terlalu jauh dari kampus. Bugs menyediakan aneka makanan dan juga kopi. Mas Riyan pecandu kopi sama sepertiku. Dia nggak akan bisa memulai hari dengan hati riang jika belum mendapat asupan segelas kopi.

Seperti sudah kuduga, dia langsung setuju. Mas Riyan memarkir mobil di depan Bugs, lalu menggandeng tanganku masuk ke cafe yang sudah cukup ramai. Aku tersenyum menyapa saat melihat beberapa teman sekampus sedang duduk bergerombol menikmati kopi mereka. Kami duduk di sofa dekat jendela, Mas Riyan memesan sandwich dan segelas americano, sementara aku cukup puas dengan secangkir hot mint tea. Dia sempat heran waktu mendengar pesananku tadi, tapi syukurlah nggak bertanya lebih lanjut. Perutku rasanya nggak sanggup menampung makanan lagi dan aku juga nggak pernah minum kopi lebih dari segelas sehari.

"Sayang, aku lupa kasih tahu kamu kalau aku udah ketemu tempat yang cocok buat kamu buka butikmu nanti di Jakarta. Ada ruko dua lantai baru jadi, lokasinya strategis, dan nggak terlalu jauh juga dari apartemenku," ucap Mas Riyan.

Aku mengangguk sambil meneguk hot mint tea-ku. Di satu sisi, aku senang hubungan jarak jauh kami akan berakhir dalam beberapa bulan. Namun, di sisi lain, masih ada perasaan nggak rela harus melepas cita-citaku melanjutkan sekolah ke luar negeri. Terutama Alana kecil dalam diriku, itu adalah impiannya sejak pertama kali melihat baju rancangannya jadi nyata.

Sebenarnya sejak lulus SMA, aku sudah ingin melanjutkan sekolah di Paris atau New York, tapi Daddy nggak mengizinkan, katanya aku masih terlalu muda. Dia bilang sebaiknya aku menyelesaikan S1 dulu di Indonesia, lalu setelah itu kalau aku masih ingin melanjutkan sekolah di luar maka dia nggak akan melarang. Sekarang keinginan itu tentu saja masih ada, tapi bersaing kuat dengan keinginan menyusul Mas Riyan ke Jakarta agar kami bisa selalu bersama.

"Kenapa? Kok, kamu kelihatan nggak excited?" Mataku membulat mendengar pertanyaan Mas Riyan. Apa wajahku menunjukkan kegalauanku? Aku ingin berterus terang, tapi khawatir membuatnya kecewa karena Mas Riyan sudah sangat menantikan kepindahanku ke Jakarta.

"Excited kok, cuma bingung aja nanti mesti gimana mulainya. Nggak gampang juga kan buka brand fashion sendiri." Akhirnya aku menjawab dengan kegundahanku yang lain. Ini juga jadi salah satu beban pikiranku. Ternyata lulus kuliah bukan artinya merdeka, tapi merupakan langkah awal untuk perjalanan yang sepertinya akan jauh lebih berat.

"Kamu sangat berbakat, pasti nggak akan ada masalah. Kalau menurut kamu satu ruko kurang besar, kita beli dua aja nanti digabung jadi satu."

"Kita?" Aku menatapnya tak berkedip. Membeli ruko adalah tanggung jawabku, bukan tanggung jawabnya.

"Iya, kita. Kamu akan jadi istriku, jadi itu akan jadi kewajibanku."

"Apa ini lamaran?" godaku. Mas Riyan tersenyum, lalu mengacak rambutku. Persis seperti Daddy yang selalu mengacak rambut Mommy dengan sayang. Hatiku menghangat oleh sentuhannya.

"Kamu ingin lamaran yang romantis? Aku rasa kamu tahu, nggak mungkin aku mau menjalani hubungan jarak jauh selama satu tahun kalau bukan karena niatan serius. Aku ingin kita menikah setelah kamu lulus kuliah nanti," jawabnya tenang.

Hatiku semakin berbunga mendengar kata-katanya. Persentase keinginan pergi ke luar negeri menurun, sementara persentase keinginan menjadi istrinya meningkat drastis. Aku memang selabil itu. Mungkin karena itu aku sangat yakin kalau dia adalah 'the one'. Dia membuatku rela mengorbankan mimpi-mimpiku demi bisa bersamanya.

Kami menghabiskan sisa hari itu dengan jalan-jalan di mall, lalu nonton film di bioskop. Hari sudah malam ketika kami tiba di apartemenku. Besok pagi Mas Riyan sudah kembali ke Jakarta, jadi dia masih belum mau kembali ke hotel yang sudah di booking-nya.

Kami lanjut mengobrol di sofa apartemenku. Obrolan berlanjut dengan ciuman-ciuman kecil yang berkembang menjadi ciuman panas dan tangannya pun kembali menggerayang. Baru saja aku hendak menepisnya, tiba-tiba bel pintu berdentang.

Mas Riyan mengerang frustrasi, wajahnya terlihat kesal. Aku hanya bisa meringis walau sebenarnya hati lega. Aku melirik jam dinding dan ternyata sudah pukul sepuluh malam. Buru-buru aku bangkit untuk membukakan pintu karena bel yang nggak henti-henti berbunyi.

Friends Don't KissWhere stories live. Discover now