Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 166K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Wiyoga

20.3K 2.4K 58
By khanifahda

Marcella menggelengkan kepalanya keras, "Tidak Nak, mama mohon. Ini adalah sisi yang ingin mama ceritakan ke kamu. Bahkan oma dan opa enggan menceritakan kepadamu sebelum waktunya tiba."

Marcella lalu menatap ke depan lurus, seakan menerawang kejadian yang menimpanya puluhan tahun yang lalu. Mungkin ini memang menyakitkan untuk digali kembali, namun hal ini harus ia lakukan untuk menjawab alasan rasa kecewa sang putri. Begitulah harapannya.

"Kamu pasti paham dengan keadaan mama dulu. Mama melahirkan kamu diusia 19 tahun. Sebuah usia yang menurut mama sangat muda untuk menjadi seorang ibu. Tetapi dulu mama menganggap itu hal wajar."

Marcella menghela nafasnya kembali. Ia bagai merangkai mosaik yang telah lama ia simpan dalam-dalam. Ia seperti menggali sebuah memori pahit yang lama ia bawa bersama nafasnya.

"Mama adalah teman satu kelas papamu selama 3 tahun di SMU. Kami dekat hingga pacaran. Singkat cerita, opamu tidak suka dengan mama yang pacaran. Opa ingin mama fokus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun mama keras kepala dan menganggap bahwa opa terlalu mengekang. Mama tetap saja melanggar aturannya hingga nilai sekolah mama turun gara-gara terlalu asik merajut cinta ala remaja. Disitulah kemarahan opa tercipta ketika mengetahui jika mama tetap pacaran."

Marcella lalu meringis. Ia merutuki dirinya yang sebegitu buta akan cinta dan mengabaikan nasihat orang tuanya.

"Sampai ketika opa marah karena mengetahui mama membolos sekolah demi berkencan. Padahal mama harus mempersiapkan diri untuk study lanjut ke Belanda, tempat keluarga opamu berada, Nak,"

"Opa langsung marah besar dan mengancam akan memisahkan kami. Namun dengan beraninya, papamu menjamin hidup mama. Papamu bahkan akan menikahi mama setelah lulus SMA supaya mama tidak terkekang lagi oleh opamu. Waktu itu mama menganggap papamu bagai pahlawan dan mencintai mama begitu dalamnya. Mama memaksa untuk menikah muda, padahal oma dan opamu melarang keras. Tetapi mama tetap keras kepala hingga opa dan omamu menyerah. Mereka akhirnya menyetujui pernikahan kami. Kami menikah setelah ujian kelulusan."

Grahita menghela nafasnya dalam. Ia merasa jika dirinya tercipta dari keegoisan orang tuanya.

"Waktu itu mama sangat senang. Mama bisa hidup dengan laki-laki yang mama cintai. Mama bisa merajut harapan mama yang indah. Mama juga beruntung bisa mendapatkan papamu karena papamu juga menjamin pendidikan mama hingga lulus. Mama waktu itu menganggap bahwa ini privilege mama karena menjadi bagian dari Pramonoadmodjo. Hidup mama terjamin walaupun nikah muda. Itulah bodohnya mama waktu itu,"

"Awal-awal pernikahan, mama sangat bahagia. Papamu yang romantis dan tak pernah kasar. Hingga kita masuk ke perguruan tinggi yang sama. Waktu itu mama mengambil konsentrasi peternakan, sedangkan papamu ekonomi bisnis. Perjalanan cinta yang indah semasa mahasiswa baru sempat mama cicipi. Namun seiring berjalannya waktu, semuanya berubah. Kami menjadi sibuk dengan tugas dan kegiatan masing-masing. Papamu yang awalnya peduli mendadak tak ada waktu untuk mama. Mama seperti dicampakkan. Kita sering beradu mulut hingga bertengkar untuk hal-hal yang kecil. Mama merasa bahwa papamu mengingkari janjinya. Bahkan untuk sekedar menghabiskan weekend bersama pun jarang dilakukan. Papamu memilih pergi dengan teman-temannya. Mama disitu merasa terabaikan. Entah mama yang tak tahu sifat asli papamu atau memang papamu sudah mengingkari janjinya sendiri. Rumah tangga mama waktu itu juga mengalami pasang surut yang cukup menguras emosi."

Marcella tersenyum getir di akhir kalimatnya. lalu ia bersiap untuk melanjutkan kisahnya itu.

"Hingga akhirnya mama dinyatakan hamil. Mama hamil kamu saat semeter satu akhir menjelang ujian. Mama ingat mama menangis di toilet kampus karena mual yang terasa menyakitkan, padahal mama harus ujian lisan,"

"Sebenarnya kami tidak berencana untuk mendapatkan momongan lebih awal. Namun nampaknya Tuhan memberikan kami anugrah lebih cepat. Kehamilan mama di awal ini juga membuat papamu peduli dengan mama lagi."

Marcella tersenyum tipis ketika menceritakan bagian ini. Begitupun Grahita yang akhirnya menatap sang mama.

"Namun ternyata hal itu tak bertahan lama. Memasuki usia kandungan 4 bulan, papamu jarang pulang. Ia beralasan mengerjakan tugas dengan teman-temannya dan mengikuti UKM. Kejadian itu cukup membuat mama stres karena orang yang mama anggap sebagai penopang justru lari entah kemana. Mama akhirnya cuti ketika usia kandungan mama 7 bulan karena sudah mulai memasuki waktu melahirkan. Beruntungnya mama mempunyai teman yang support mama sewaktu hamil kamu. Namun kembali lagi jiwa mama harus kuat melihat papamu yang tak peduli,"

"Selanjutnya adalah titik terendah mama. Mama harus melihat papamu yang sedang memadu kasih dengan seorang gadis yang mama ketahui sebagai teman satu jurusannya. Hati mama hancur, Nak, padahal mama sedang hamil tua. Kami kembali bertengkar hebat. Papamu mengelak dan mengatakan jika itu temannya. Tapi apakah mama buta? Mama tahu batasan antara teman atau tidak!"

Emosi Marcella menggebu ketika menceritakan sosok yang membuatnya hancur. Hal ini membuat Grahita terdiam. Apakah ini murni kesalahan papanya?

"Hari dimana kelahiranmu akhirnya tiba. Mama sangat bahagia bisa melahirkan putri yang cantik. Mama berharap bahwa kamulah sumber kekuatan mama mendatang. Namun harapan mama agar papamu di samping mama hanyalah angan semata. Bahkan dia tak hadir ketika kamu lahir."

Marcella lalu menatap Grahita dengan tatapan kasihnya. Linangan air matanya tak menyurutkan dirinya untuk membelai surai Grahita dengan penuh kelembutan. Bahkan bibir perempuan itu mencoba untuk tetap tersenyum.

"Mama tambah sakit hati, lagi. Bahkan hubungan kami tak jelas. Mama sudah tidak tahan rasanya dan memilih untuk pulang ke rumah opa. Berulang kali mama mencoba memaafkan papamu, tapi pengkhianatan dan kebohonganlah yang papamu torehkan,"

"Setelah kamu lahir, mama depresi memikirkan rumah tangga yang tak ada arahnya. Mama sering mengurung diri dan kamu terpaksa diurus oleh oma. Mama hancur. Mama merasa bahwa masa depan mama sudah tak berbentuk. Mama menyesal rasanya,"

Marcella menghela nafasnya panjang. Jujur rasanya ini sangat berat harus menceritakan kesalahannya dulu.

"Ketika kamu berumur 3 minggu, papamu datang dan memberikan akta kelahiranmu. Di sana sudah ada klan Pramonoadmodjo. Padahal mama belum memberikan nama ke kamu karena mama benar-benar tak tahu apa yang harus mama lakukan saat itu. Lalu papamu kembali pergi setelah melihatmu sejenak. Mama benar-benar sakit hati. Mama langsung melayangkan surat cerai tanpa pikir panjang lagi,"

"Maaf, Nak, maaf mama sudah menelantarkan kamu waktu masih terhitung hari. Benar-benar mama menyesal hingga saat ini. Seharusnya mama kuat dan menjaga kamu dengan baik, bukannya meratapi seorang laki-laki bajing*n."

Marcella menatap Grahita dengan pandangan nanar. Tatapan yang menyiratkan penyesalan tentunya. Tetapi ia harus tetap menceritakannya hingga selesai.

"Surat cerai yang mama layangkan mendapat sambutan kemarahan dari papamu dan keluarganya. Papamu datang dengan kemarahan yang memuncak. Ia meminta mama untuk mencabut semuanya. Kami kembali bertengkar dan berakhir mama harus mengalami KDRT. Mungkin jika tidak ada opamu, mama sudah habis di tangan papamu yang kesetanan."

"Setelah kejadian tersebut, tekad mama semakin bulat untuk menceraikan papamu. Mama mengancam akan melaporkan tindakan papamu jika dia tak menyetujuinya. Waktu itu mama nggak ingin kamu mempunyai seorang papa narapidana. Namun salah, mama baru sadar jika tindakan itu seharusnya mama lakukan. Papamu kembali berulah dengan membawa kekasihnya datang ke rumah. Hal itu paling menyakitkan yang pernah mama lihat. Hidup mama semakin hancur. Pendidikan mama terlantar dan mama sudah tak sanggup untuk menatap semuanya. Mama menyerah waktu itu. Mama lebih banyak menyerahkan kamu ke oma karena mama tidak sanggup melihat wajah kamu. Kamu begitu mirip dengan laki-laki bajing*n itu. Mama depresi, Ta. Mama ingin menghilang saja saat itu namun oma dan opamu selalu mengatakan bahwa mama harus bangkit. Namun mama sudah mati rasa."

Air mata Marcella semakin mengalir deras. Perempuan itu terguncang ketika harus mengingat dan menceritakan kembali masa terburuknya.

"Tepat kamu berusia 3 bulan, kami resmi bercerai. Mama tambah depresi karena harus menyandang status janda di usia 19 tahun. Mama bisa apa selain menangis dan menelan cibiran orang lain? Mama dianggap gagal. Mama dianggap tak bisa mempertahankan rumah tangga dan tak becus mengurus semuanya sehingga papamu meninggalkan mama. Semua beban moral dilimpahkan kepada mama. Sedangkan laki-laki bajing*n itu? Ia masih bisa melenggang bebas dan tanpa mau repot merasa bersalah."

Marcella menghela nafasnya panjang. Walaupun kejadian itu terjadi sekitar 25 tahun yang lalu, namun rasanya masih sangat membekas baginya. Ia langsung mengusap air matanya kasar. Ia tak boleh menangis lagi. Tetapi ia juga merasakan sesak yang berkepanjangan. Marcella harus menguatkan hatinya untuk mengorek masa lalunya itu.

Sementara itu, Grahita hanya bisa diam. Kisah-kisah tentang masa lalu itu begitu menyakitkan. Rasa sakitnya pada kedua orang tuanya kini terkuak alasannya. Grahita tak tahu jika kisah sang mama begitu pelik.

Pernah suatu ketika, ia menyalahkan sang mama karena tega meninggalkan dirinya di usia bayi. Ia marah, namun oma selalu memberikan pengertian jika mama pergi ada alasannya. Namun Grahita bisa apa selain menganggap bahwa semuanya hanya upaya menutupi keburukan yang ada. Grahita hanya bisa menyimpan rasa sakit hatinya itu dalam-dalam.

Dengan Sadewa, Grahita begitu membenci. Ia benci dengan papanya yang seakan tak bersalah setelah tindakan menelantarkannya itu. Bahkan Sadewa terhitung hari menjalankan perannya sebagai seorang ayah. Grahita hanya bisa merasakan rasa sakit yang berkepanjangan. Ia kecewa dengan laki-laki itu.

Di masa kecilnya, ia kira hidupnya akan seperti yang lain dan mendapatkan kasih sayang lengkap. Namun di usia 10 tahun, ia harus rela melihat papanya menikah dengan perempuan lain. Apalagi ada seorang gadis yang lebih diperhatikan dan disayang olehnya. Hati kecilnya menangis, namun Grahita hanya bisa menyimpannya rapat. Baginya kasih sayang oma dan opanya sudah cukup. Ia dilindungi bagaikan tuan putri dan dijaga dengan baik oleh mereka. Hal itulah yang masih membuat Grahita bersyukur, setidaknya masih ada orang lain yang memberinya limpahan kasih sayang.

"Melihat keterpurukan mama, membuat opamu tak tega. Beliau menawarkan mama untuk tinggal sementara di Belanda. Mama awalnya menolak dan memilih mengurung diri di rumah. Namun setelah bergulat dengan pikiran mama, mama memutuskan untuk pindah ke Belanda dan menata hidup baru di sana,"

"Mama memang egois meninggalkan kamu di Indonesia. Mama memang salah mengabaikan kamu, Ta. Mama semakin bersalah ketika mama larut dalam kegiatan mama di Belanda. Mama kembali berkuliah dan menikmati masa kuliah mama di sana hingga mama lupa jika mama adalah seorang perempuan yang sudah memiliki putri kecil,"

"Ketika di Belanda, mama bisa menyembuhkan luka mama terhadap papamu. Mama juga bisa melupakan sakit hati yang berkepanjangan itu. Namun mama lupa Ta, bahwa kamu tetap tanggung jawab mama. Mama terlena dan enggan pulang ke Indonesia. Mama takut ketika melihat wajahmu, pertahanan mama runtuh. Begitu naifnya mama waktu itu. Mama memilih menuruti ego mama ketimbang tanggung jawab mama. Oma dan opamu pun tak kuasa untuk membuat mama pulang. Hingga akhirnya mama memilih lari dan tak pulang demi ego mama."

Lalu Marcella mengambil tangan sang putri yang terdiam. Gadis itu hanya bisa menatap ke bawah.

"Mama nggak minta kamu mengerti keadaan mama waktu itu. Mama sadar kesalahan mama amat fatal. Mama meminta maaf pun rasanya terlambat dan sia-sia. Mungkin ini akan menjadi hal yang mama ingat seumur hidup, Ta."

Grahita lalu mengangkat wajahnya menatap sang mama. "Jika Grahita membenci mama atas perbuatan mama, bagaimana?"

Marcella terdiam menatap sang putri lekat-lekat. Perempuan yang masih cantik diusia yang belum menginjak setengah abad itu menatap dengan air mata yang perlahan turun kembali di pipinya.

Lalu Marcella cepat-cepat menghapusnya dan menunduk. "Mama nggak ada kuasa untuk melarangnya. Mama sadar jika itu memang salah-"

Belum selesai menyelesaikan kalimatnya, Grahita sudah memeluk sang mama erat. Gadis itu berkaca-kaca di pelukan orang yang telah melahirkannya.

"Seharusnya mama datang dan menjelaskan ke Tata 15 atau 10 tahun yang lalu, Ma. Tata bakal ngertiin mama. Nggak kayak gini. Tata bakal paham dengan keadaan mama. Jika seperti ini, justru buat Tata semakin yakin jika mama nggak sayang sejak Tata lahir. Mama harusnya jujur dari awal biar Tata nggak semakin benci dan menganggap mama juga andil atas semuanya,"

"Tapi sampai sekarang Tata nggak bisa membenci mama. Tata nggak kuasa buat membenci mama. Tata tahu jika mama belum sanggup untuk sekedar menatap mata Tata. Tapi itu menyakitkan, Ma. Mama nggak harus takut untuk sekedar melihat putri mama. Tata bakal ngertiin walau mungkin Tata belum tahu latar belakangnya. Justru ketika dibiarkan seperti ini, Tata malah merasa bahwa mama memang nggak pernah mengharapkan Tata ada."

Marcella menggelengkan kepalanya kuat. Ia kembali memeluk putrinya itu erat.

"Jangan bilang seperti itu, Ta. Bahkan setiap hari, mama masih memikirkan dirimu. Mama merasa nggak sanggup bertemu kamu. Rasa bersalah serta malu mama menutup keberanian mama. Mama memang pengecut tapi tolong jangan bilang jika mama tidak mengharapkan kamu. Mama sangat menyayangi kamu hingga terlihat mama jahat sama kamu. Mama hanya nggak mau jika mama kembali bertemu kamu disaat yang belum tepat, justru mama melampiaskan kebencian ke papamu itu ke kamu. Mama memang naif, Ta. Maaf."

Entah berapa kali kata maaf itu terlontar dari bibir Marcella kepada sang putri. Hanya kata itulah yang mampu ia ucapkan. Apalagi? Apalagi setelah tindakan tidak bijaknya itu? Ibaratnya nasi sudah menjadi bubur. Namun setidaknya ia sudah mau menguak walau terlambat.

Mereka lalu terdiam. Marcella memilih meratapi kesalahannya. Sedangkan Grahita entah pikirannya sangat penuh sekarang. Tetapi emosi yang paling mendominasi adalah rasa sakit yang ditetesi oleh sebuah penawar. Seperti luka basah yang ditetesi oleh obat merah.

"Kalau boleh mama egois, kamu mau 'kan maafin mamamu ini, Nak? Maaf sudah membuat kamu terluka begitu dalam. Maaf peran mama begitu kurang buat kamu. Tapi mama tetap mengharap belas kasihmu untuk memaafkan mamamu ini."

Perlahan Grahita mengangkat wajahnya dan menatap sang mama sekilas sebelum akhirnya menatap ke depan. Mata gadis itu sembab dengan hidung yang memerah walaupun hanya sekedar meneteskan beberapa air matanya. Sedangkan Marcella? Jangan tanyakan lagi, perempuan itu sudah kacau.

"Tuhan memang Maha Pemaaf. Tapi manusia, belum tentu bisa memaafkan orang lain,"

"Namun, bukankah Tata akan menjadi orang jahat ketika Tata enggan untuk memaafkan mama? Tata akan menjadi manusia angkuh, Ma,"

"Namun Tata sadar, setelah memaafkan ada fase melupakan, dan itu, sulit. Entah Tata bisa apa tidak. Akan tetapi, Tata juga ingin berdamai dengan diri Tata sendiri. Tata ingin hidup tanpa bayang-bayang menyakitkan itu."

Marcella kembali menatap Grahita yang memandang lurus ke depannya. Perlahan Grahita kembali menoleh dan menatap sang mama.

"Aku tidak bisa," ujarnya lirih. Sedangkan Marcella hanya bisa pasrah. Ia merasa jika pantas tak mendapatkan maaf dari sang putri.

"Bagaimana bisa aku membenci setelah tahu kebenarannya?"

Marcella langsung menatap Grahita dan memeluk sang putri kemudian. Grahita membalas pelukan sang mama. Di dalam pelukan Grahita, Marcella menangis tergugu.

"Ma-"

Setelah itu, Marcella benar-benar kehilangan kesadarannya. Perempuan itu terlalu emosional dan lelah.

.
.
.

Wiyoga : Berpisah dengan derita

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 189K 42
Di usia yang nyaris kepala tiga, Terra masih tidak mengerti tujuan hidupnya apa. Selama lima tahun terakhir, dia merasa tidak ada yang berubah, waktu...
269K 18.8K 38
Sebelum meresmikan hubungan pacaran, sepasang anak manusia sudah mengetahui perasaan satu sama lain. Saling mencintai, saling menyayangi, saling meng...
33.2K 2K 38
Taruna merasa dongkol karena Bos di kantornya begitu semena-mena mengatainya jelek karena satu insiden. Bukan hanya di kantor, tetangga sebelah kamar...
2.8K 216 50
Cinta, seperti apa rasanya dan seperti apa bentuknya, perempuan itu tak pernah mengerti tentang hal yang namanya cinta. Namun ada hal aneh yang muncu...