The DEVIL Inside Me [ON GOING]

By D-Vinchi

4.8K 429 96

#3 The Eagle Five Series _____________________________________ Rexonne Addison. Pemilik casino terbesar di A... More

Caution
P R O L O G U E
The DEVIL Inside Me | Part 1
The DEVIL Inside Me | Part 2
The DEVIL Inside Me | Part 3
The DEVIL Inside Me | Part 4
The DEVIL Inside Me | Part 5
The DEVIL Inside Me | Part 6
The DEVIL Inside Me | Part 7
The DEVIL Inside Me | Part 9

The DEVIL Inside Me | Part 8

326 32 8
By D-Vinchi

Leave your vote and comments if you like this part!

Happy Reading!

*

*

*
Playlist: Locked Out of Heaven - Bruno Mars

****

Mereka memutuskan pulang saat merasa udara semakin dingin. Sepanjang perjalan menuju rumah, tidak ada yang membuka suara. Rexonne melirik wanita di sampingnya dan mendapati Sadara melipat tangan di depan perut, sesekali menggertakkan gigi---tampak kedinginan. Refleks ia mengangkat sebelah tangan---berniat merangkulnya, tapi Sadara justru mempercepat jalan dan membuat dirinya berakhir menggapai angin.

Pria itu berdecak. Untung saja tidak ada siapa pun di sini. Jika ada yang menyaksikan, ia tidak dapat membayangkan semalu apa dirinya.

Rexonne melangkah masuk setelah mengunci pintu. Pemandangan pertama yang indra penglihatannya tangkap adalah Sadara meringkuk di kursi rotan panjang. Bergegas pria berkumis itu mendekat dan menyentuh pundak Sadara, mengguncangnya pelan.

"Kenapa kau tidur di sini?"

Yang diajak bicara perlahan membuka mata. Sepersekian detik terdengar dengkusan. "Kau berharap kita tidur berdua di kamar?" jawabnya sarkas.

"Bukan begitu." Rexonne menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maksudku, kau tidur saja di kamar, biar aku di sini."

Sadara menggeleng tegas, kemudian menaikkan selimut dan kembali memejamkan mata, membuat pria itu mendelik lantas berkacak pinggang.

"Kau pilih pindah sendiri atau aku gendong ke kamar?" Tidak ada balasan. Rexonne menghela napas. "Aku tidak main-main. Kuhitung sampai tiga kalau kau tidak juga pindah, aku bopong ke kamar."

"Satu ... dua ...."

"Stop!" Sadara tiba-tiba menyibakkan selimut dan mengubah posisi menjadi duduk. Matanya menatap Rexonne nyalang. "Sebenarnya mau kau itu apa?! Bisakah kau berhenti mengusikku sekali saja?"

Pria itu melipat tangan di depan dada lalu mengusap dagu dengan tatapan mengarah ke atas. Berpikir sebentar sebelum kembali menatap Sadara seraya menyeringai. "Tidak," sahutnya.

"Memangnya kau siapa bisa mengaturku seperti itu, huh?!"

Rexonne mengedikkan bahu. "Aku memang bukan siapa-siapa, tapi aku bisa melakukan apa yang kumau."

"Mencoba mengancam?" Satu alis Sadara terangkat yang dibalas Rexonne dengan senyum miring.

Wanita itu memilih memalingkan wajah, bersiap kembali tidur. Belum sempat ia menaruh kepala di bantal, tiba-tiba tubuhnya melayang. Refleks Sadara berteriak seraya memukul-mukul pundak Rexonne, tapi memang dasarnya kepala batu, pria itu malah melangkah ke kamar dengan dirinya masih di gendongan.

"What the hell are you doing, Matteo?" Kekesalannya memuncak. Sadara menggigit bahu Rexonne hingga pria itu menjerit kesakitan.

"Diamlah! Kau bisa jatuh!"

"Turunkan aku!"

Melihat Sadara sudah ancang-ancang akan menggigit lagi, Rexonne segera menurunkannya. "Dasar jelmaan vampir!"

Sadara tidak menggubris. Wanita setinggi bahunya itu sibuk menggerutu. Rexonne sendiri hanya terkekeh melihatnya.

Netra Rexonne terus mengikutinya hingga Sadara menghilang di balik pintu kamar. Barulah setelahnya ia membaringkan tubuh di kursi panjang yang sempat dipakai wanita itu. Aroma manis merasuki indra penciumannya begitu ia melebarkan selimut untuk menutup tubuh. Seringnya berdekatan dengan Sadara seharian ini, membuat Rexonne hafal betul harum khas wanita itu. Pria itu menyukainya. Sangat. Ia bahkan tidak sadar tersenyum seiring matanya terpejam.

Rasanya, Rexonne baru sebentar menyelami mimpi. Antara sadar dan tidak, hidungnya mencium aroma manis Sadara yang lebih kuat. Bayangan wanita berambut panjang samar-samar terlihat membungkuk di dekatnya, sepersekian detik ia juga merasakan sesuatu menutupi tubuhnya dan menciptakan kehangatan.

Rexonne merasa terusik. Pria itu menggeliat, mencoba mengangkat kelopak mata yang terasa lengket. Namun, rasa nyaman ketika kepalanya diusap mengalahkan keinginannya bangun. Tanpa sadar, ia merapatkan selimut dan memejamkan mata lebih erat.

***

Hari berganti pagi. Usai membersihkan diri dan berganti pakaian, Rexonne menyusul Sadara yang sudah menunggunya di luar. Sesuai ucapan Sadara kemarin, mereka akan berkunjung ke tempat Bibi Irine pagi ini.

"Ayo," kata Rexonne. "Apakah rumahnya yang paling ujung itu?"

Perempuan bergaun putih selutut yang berjalan di sisinya mengangguk. Pagi ini, Sadara tampil lebih feminim dengan rambut digerai. Walau tanpa make up, wanita itu tidak pernah kelihatan jelek di mata Rexonne. Justru ketika terkena sinar matahari seperti sekarang, wajah Sadara terlihat berseri-seri dengan pipi merona alami. Terbesit keinginan menyelipkan surainya saat angin bertiup kencang, tetapi Rexonne tidak seberani itu. Sehingga yang dilakukannya hanya mencuri lihat sesekali.

Setelah berjalan selama lima menit, mereka tiba di sebuah rumah kayu yang ukurannya lebih besar dari tempat tinggal Sadara. Seorang wanita paruh baya---yang semula sedang menata pot bunga---berjalan menghampiri begitu menangkap keberadaan mereka.

"Hei, kau sudah sampai," ucapnya. "Apakah pria ini yang kau bilang kemarin?"

Sadara mengangguk kecil. Sementara Rexonne tersenyum tipis saat Bibi Irine memandangnya meneliti dengan kening berkerut.

"Bagaimana keadaanmu? Kau tak apa, 'kan?"

Rexonne menggeleng. "Saya baik-baik saja."

Bibi Irine mengangguk, lantas beralih menghadap Sadara. "Papamu baru saja sarapan dan minum obat. Ia juga sudah menanyakanmu sejak tadi. Masuklah. Ajak ... oh iya, siapa namamu?"

"Matteo," kata Rexonne, membuat wanita paruh baya di depannya membulatkan mata.

"Namamu sama seperti anakku." Bibi Irine lalu tertawa pelan. "Ayo, silakan masuk. Anggap saja rumah sendiri. Bibi nanti menyusul bila sudah selesai memberi pupuk tanaman."

Rexonne mengangguk, kemudian mengikuti Sadara yang sudah memberikannya isyarat mata agar ikut masuk. Sampai di dalam, pria itu mengamati suasana rumah Bibi Irine yang terlihat lebih beragam dari tempat tinggal Sadara. Di sini juga ada alat elektronik berupa televisi dan radio. Kursi ruang tamunya terbuat dari kayu berpelitur, sedangkan dinding-dindingnya dibiarkan kosong dan hanya terdapat jam kuno berukuran agak besar.

"Papa."

Sosok lelaki yang duduk di kursi roda menghadap jendela menoleh. Senyum tipisnya terukir ketika melihat Sadara berjalan mendekat.

"Sudah sarapan dan minum obat?"

"Sudah. Kau sendiri sudah makan?"

Sadara berdiri di dekat kursi roda dan mengusap bahu papanya lembut. "Sudah."

"Apa yang kau masak?"

Wanita itu menggelang. "Roti tawar," jawabnya kemudian menengok ke belakang. Netranya memandang Rexonne dan sang papa bergantian. "Matteo ingin berkenalan denganmu, Pa."

"Pria yang kau tolong malam itu?"

Rexonne melangkah mendekat dan membungkuk singkat saat sampai di depan ayah Sadara. Senyumnya melebar mendapati respon tak kalah ramah lelaki paruh baya tersebut.

"Kau tidak terluka, bukan?" tanyanya sembari memegang lengan Rexonne. Sorot matanya mengungkapkan rasa cemas, membuat sebagian diri Rexonne tersentuh.

Ini pertama kalinya ia diperdulikan.

"Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah membiarkan saya tinggal di rumah Anda, Pak. Saya jadi berhutang budi."

Ayah Sadara tertawa kecil. "Jangan begitu. Sudah sepatutnya makhluk sosial saling tolong menolong." Ia menepuk lengan Rexonne beberapa kali. "Aku justru senang melihatmu baik-baik saja."

"Tapi Anda jadi harus mengungsi di sini," ungkapnya tak enak.

Ayah Sadara menggeleng. "Kembali ke poin pertama, makhluk sosial wajib tolong menolong. Lagi pula, justru Irine-lah yang menyuruhku menginap di sini begitu tahu ada orang hampir tenggelam. Maaf juga bila kau tidak nyaman tidur di gubuk tuaku."

Rexonne lekas membantah, "Jangan bicara seperti begitu, Pak. Saya justru sangat bersyukur masih diberi kesempatan hidup."

Lelaki yang ia taksir seusia Grissham itu kembali meloloskan kekehan. Matanya sampai sipit digunakan tersenyum terus. Rexonne menjadi betah berbincang dengan ayah Sadara karena kepribadian ramahnya. Selain itu, Noe---ayah Sadara---juga senang menonton pertandingan olahraga, sehingga obrolan mereka menjadi tidak ada habisnya.

Dada Rexonne seperti disinari matahari pagi---menghangat. Sejak kecil, percakapan seperti inilah yang ia inginkan bersama sang ayah. Namun, keinginan itu hanya menjadi bayangan semata. Nyatanya Grissham hanya melihat Fexonne---yang memiliki kepribadian tenang, tidak nakal, apalagi sering membuat ulah hingga mempermalukan orang tua seperti dirinya. Meski sudah berusaha menjadi anak yang baik, faktanya hanya Kinara yang selalu peduli padanya.

Rasa ingin tahu itu muncul seiring umurnya bertambah. Rexonne berusaha mencari alasan Grissham bersikap demikian sampai menghabiskan waktu berbulan-bulan. Namun, fakta lain yang ia temukan empat tahun lalu menamparnya telak: Kinara ternyata bukan ibu kandungnya. Ibu kandungnya justru berada di tempat terpencil dan hidup jauh dari kata baik-baik saja.

Selama ini ia dibohongi. Kenyataannya, rahim Kinara telah diangkat jauh sebelum menikah dengan Grissham. Laki-laki berengsek itu mendekati, bahkan berhubungan dengan Teresya hanya untuk dimanfaatkan saja. Mulut Grissham memang manis, sampai ibunya temakan janji dan rela mengandung benihnya di luar pernikahan. Rexonne tidak tahu pasti bagaimana mereka bisa bertemu hingga menjalin hubungan sepasang kekasih---di saat ayahnya itu jelas-jelas sudah memiliki Kinara. Yang jelas, Grissham langsung meninggalkan Teresya tepat setelah wanita itu melahirkan dan membawa paksa anak hasil hubungan mereka---yang tidak lain adalah dirinya dan Fexonne---pergi.

Kekuasaan yang Grissham miliki jelas tidak sebanding dengan kemampuan Teresya. Setahun mencari keberadaannya, kemalangan menimpa, wanita itu mengalami kecelakaan hingga kakinya dinyatakan lumpuh. Bukannya menolong atau mengembalikan dirinya dan Fexonne, Grissham dengan tega mengasingkan sang ibu di sebuah tempat terpencil di Chicago. Kejiwaan Teresya semakin terguncang. Sejak saat itu, ibunya hidup seperti mayat yang tidak memiliki gairah. Grissham telah merenggut paksa segalanya.

Rexonne merasa bodoh sebab baru mengetahui cerita tersebut dari perawat yang ditugaskan mengurus Teresya empat tahun lalu. Terpukul sudah pasti. Namun, Rexonne tidak bisa berbuat banyak kecuali membalas budi sang ibu dengan membawanya tinggal di tempat yang lebih layak dan mengurusnya sebaik mungkin. Sejak saat itu, dirinya menyesal karena telah mendambakan Grissham seperti pahlawan. Kenyataannya, laki-laki itu tidak lebih dari iblis busuk yang jatuh dari neraka.

"Oh iya ... omong-omong, apa anakku memperlakukanmu dengan baik?" tanya Noe membuat Rexonne menggulum senyum tipis.

"Sangat baik."

Baik sekali sampai jantungnya sering berulah saking baiknya, lanjutnya dalam hati.

"Baguslah kalau begitu."

Sesaat kemudian, terdengar derap langkah masuk. Sosok Bibi Irine muncul membawa keranjang berisi benda-benda bulat berkulit merah muda yang memiliki beberapa aksen berwarna hijau, kemudian kembali keluar. Rexonne tidak tahu apa itu sebab baru pertama kali melihatnya. Tidak berselang lama, Sadara menyusul dengan banyak pisang di tangan.

Merasa penasaran, ia bergerak mendekat dan duduk di samping Sadara yang sedang memegang benda bulat merah muda tadi.

"Itu apa?" tanyanya, mengundang tatapan heran Sadara. Wanita itu menatapnya seolah ia adalah manusia purba yang baru keluar dari goa.

"Buah naga. Kau tidak tahu?"

Kini giliran Rexonne yang mengernyit bingung. "Buah naga? Kenapa terlihat kaku dan tidak ada bijinya?"

"Belum dikupas." Tangan Sadara lantas menggerakkan pisau, membelahnya menjadi dua hingga terlihat daging buahnya. Rexonne mengangguk-angguk begitu melihat bagian isi yang penuh biji-biji hitam. "Apa kau belum pernah makan?"

Pria itu mengangkat kepala kemudian menyengir. "Tentu saja pernah. Tapi ..." Ia menggaruk kepala belakangnya salah tingkah. "... aku hanya tahu bentuknya ketika sudah dikupas di piring saja."

Sadara melongo, lantas mengerjap saat Rexonne kembali bersuara.

"Kalau pisang itu ... apakah tidak mau dimakan? Kenapa ditempel-tempel seperti itu?"

Ia menunjuk setandan pisang yang beberapa buahnya sudah menguning dengan mimik wajah polos. Sementara Sadara menepuk dahinya tidak habis pikir. Wanita itu menghela napas, mencoba memahami kalau Rexonne mungkin saja berasal dari keluarga kaya sehingga tidak paham dengan hal sederhana seperti ini.

"Kau belum pernah melihatnya juga?" Rexonne menggeleng lugu. "Bentuk dari pohon memang seperti itu."

"Jadi bukan ditempel?"

"Tidak. Satu tandan itu berisi beberapa sisir, satu sisir terdiri dari beberapa buah. Buahnya baru bisa kau makan kalau sudah masak dan berwarna kuning, tinggal ditarik saja caranya melepas."

"Sisir? Kenapa namanya sisir? Apakah bisa dibuat menyisir rambut?"

Sadara terperangah mendengarnya. Ya ampun, apa sebelum ini Rexonne tinggal di hutan belantara? Wanita itu hampir menjawab ketika tiba-tiba terdengar kekehan dari belakang tubuh.

Sosok laki-laki jangkung muncul dengan wajah jenaka. "Hei, Bung, memang sebelum ini kau hidup di mana?" ujarnya lantas tertawa terbahak-bahak sampai rambut gondrongnya bergerak-gerak.

Rexonne mendengkus tak suka. Netranya mengarah pada Sadara, meminta penjelasan.

"Anak Bibi Irine," gumamnya tanpa suara.

Ia mengangguk. Ditatapnya Matteo yang masih saja menertawakannya. Ia akui, lelaki itu cukup tampan dengan kulit sedikit kecokelatan. Perawakannya tinggi, meski tidak memiliki otot kekar sepertinya. Jika dibandingkan dengan dirinya sendiri, Rexonne yakin ia menang telak. Namun, hal yang tidak ia sukai dari Matteo sikap sok akrabnya. Terlebih sikap tersebut diterapkan ketika berinteraksi dengan Sadara. Rexonne gatal ingin menyingkirkan tangan lelaki itu dari pundak Sadara.

"Ah iya, apa kau sudah makan, Honey?"

Rexonne mendelik. Memalingkan wajah, ia menggerakkan mulut seperti akan muntah.

'Honey? Kenapa terdengar seperti banci saja? Dan lagi, kenapa Sadara mau-mau saja dipanggil demikian?' Ia membatin jengkel. Pria itu terus melirik sinis interaksi keduanya.

"Kau?"

"Aku juga sudah." Matteo dengan berani merapikan rambut Sadara, padahal dirinya tadi tidak berani melakukan itu. "Hari ini kau punya rencana melakukan apa?"

"Tida---"

"Berenang atau mungkin berselancar bersamaku!" sela Rexonne cepat. Nada suaranya sedikit meninggi, membuat dua orang di depannya berjengit pelan.

Sadara melayangkan protes lewat mata. Akan tetapi, ia tidak menghiraukannya.

"Ide bagus. Kebetulan aku baru selesai memperbaiki papan selancarku. Boleh, 'kan, aku bergabung?" Matteo kembali bersuara, menarik antensi mereka.

"Tidak."

"Boleh."

Sadara dan Rexonne menjawab bersamaan, hingga Matteo mengerutkan kening. "Kalian ini kompak sekali." Kekehannya meluncur. "Jadi bagaimana, apa aku boleh ikut kalian?"

"Boleh." Sadara menjawab cepat. Sementara Rexonne membuang muka, mendengkus.

Ingin sekali ia mengatakan jika tidak menyukai keberadaan laki-laki itu, tapi apa daya, Sadara langsung menggandeng lengan Matteo dan beranjak pergi sebelum ia melakukannya.

TO BE CONTINUED!

Desember 19, 2020

Regards,
Vi

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 46.5K 31
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
1.9M 90.2K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1.4M 133K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
750K 72.8K 50
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...