Surga Di Balik Jeruji | Senja

NailaAfra által

233K 37.7K 4.6K

Kehidupan Daffa Raffan berubah ketika dia terbebas dari penjara. Ia menjadi seorang mahasiswa, seorang pegawa... Több

1. Prolog
2. Hari Daffa Raffan
3. Hari Alya Sahira
4. Sebuah Keluarga
5. Kerisauan Hati
6. Yang Tak Termiliki
7. Mengejar Luka
8. Alya Di Sini
9. Fajar Bercahaya
10. Sulit Bersembunyi
11. Benang Kusut
12. Kekacauan di Tengah Pesta
13. Takdir Yang Sama
14. Dia Yang Tak Kembali
15. Rasa Kecewa
16. Cukup Hadirmu
17. Rumah Yang Terenggut
18. Pelarian Senja
19. Menyatukan Hati
20. Kebencian Tersirat
21. Keluarga Handoko
23. Harga Yang Harus Di Bayar
24. Sebuah Pilihan
25. Suara Menghakimi
26. Senja Azhar Di Pohon Perbatasan
27. Bom Waktu
28. Hanya "Akhir"
29. Layak di Miliki
30. Terpenjara Kembali
31. Senja Yang Menghilang
32. Teruntuk Kematian
33. Sebuah Pengecualian
34. Surga Mentari
35. Tiada Dalam Rindu
36. Pada Yang Mati
37. Jejak Kenangan
38. Alasan Untuk Bertahan
39. Rumah Terkutuk
40. Maaf, Aku Pulang
41. Kekesalan Keluarga Guntur
42. Balas Budi Atas Nyawa
43. Tugas Alya Sahira
44. Arti Saudara
45. Suatu Sore Bersama Angkasa
46. Akhir Perang Dingin
47. Menyembuhkan Luka
48. Janji Terikat
49. Tak Sanggup Kehilangan
50. Amarah Senja
51. Senja Untuk Mentari
52. Tentang Kepercayaan
53. Terimakasih Untuk Segalanya
54. Yang Berkehendak
55. Detik Waktu
56. Bila Masa
57. Arti Kehadiranmu

22. Luka di Balik Sebuah Nama

2.9K 592 36
NailaAfra által

“Cerita ini fiktif. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan”

© Story of “Surga di Balik Jeruji 2” by @NailaAfra
.
.
.
.
.
.
.
.

“Dari seseorang yang terbuang. Dari seseorang yang ditinggalkan. Dari Senja Azhar yang bersembunyi di balik nama Daffa Raffan.”

***

Halim masuk ke dalam galeri Edy sembari memamerkan bungkusan plastik kepada empat orang yang sedang duduk bersila di depan meja. “Lihat apa yang gue bawa! Nasi padang Uda Ramzi.”

“Pas banget gue lagi laper! Cepatan bawa kemari Lim.” Bonte langsung mengambil piring.

“Adul bingung! Lo kan punya warung makan.” Adul melihat Bonte dengan risih, saat Bonte menyambar bungkusan plastik yang Halim bawa. “Tapi nggak pernah kasih kami makanan gratis. Gue bayar mulu.”

“Warung makan gue masih dalam pengembangan Dul,” sahut Bonte. “Kalo gue kasih makanan gratis terus buat elo. Rugi dong gue. Gimana buat modal nikah nanti.”

“Lo mau nikah!” Edy menyambar perkataan Bonte. “Sama siapa?”

Halim nyengir. “Sepertinya gue tahu siapa calonnya.” Dia duduk di samping Daffa yang sibuk mengetik pesan di ponselnya. “Ya kan Daf?”

“Mhm.” Dia menjawab singkat.

“Siapa?” Adul penasaran. “Siapa calon Bonte?”

“Nggak ada calon! Gue ngomong asal Dul.” Bonte berkilah. Dia menuangkan nasi padang ke semua piring. “Ayo cepatan dimakan, mumpung masih hangat. Ayo Daffa! Jangan pantengin hape terus. Makan! Apa sih yang lo cek di hape?” 

“Pemesanan barang,” jawab Daffa. “Gue harus lakukan sekarang. Soalnya besok gue cuti satu hari.”

“Mau kemana lo?” tanya Halim dan mulai makan nasi padang.

“Check-up kesehatan,” sahut Edy. Menyantap nasi padang juga.

“Lagi sakit lo? Bukannya bulan kemarin sudah check-up?” tanya Halim lagi.

“Check-up gratis. Si Daffa dapat check-up gratis.” Edy menjawab lagi dan Halim menanggapi dengan berucap ‘Oh’ pelan.

“Makan Daffa!” Bonte menegur keras. “Bang! Nggak bisa ditegur.” Dan mengadu kepada Edy.

“Daffa makan! Kalo lo nggak lepas tuh hape jangan salahkan gue banting hape lo.” Edy mengancam, membuat Daffa bergegas meletakkan ponsel ke atas meja lalu mengambil piring. “Rasanya gue punya anak umur 6 tahun. Perlu diancam dulu baru nurut.”

“Perlu Adul suapin juga.” Adul meledek, menyodorkan sesuap nasi padang.

“Apaan sih Dul.” Daffa mengelak.

“Sudah ada yang nyuapin. Makan dari tangan lo nggak manis. Pahit.” Bonte menggoda, cekikikan.

“Tuh! Bingung kan dia.” Halim memperhatikan Daffa yang salah mengambil sendok makan dengan sendok nasi. “Sudah kebiasaan disuapin Alya, jadi nggak bisa makan sendiri.”

“Lo jangan ikut-ikutan Lim!” Daffa kesal dan merebut sendok Halim. “Nggak ada target lain buat lo ledekin?”

“Nggak ada,” sahut Bonte dan mencubit kedua pipi Daffa. “Soalnya lo yang paling imut! Bikin gemes! Adik kami yang paling bontot.”

“Zidan!” Daffa melepaskan diri. Memanggil nama Bonte yang asli, menandakan dia sangat kesal.

“Sudah jangan bercanda lagi! Cepat habiskan makannya. Sebentar lagi jam piket lo kan Lim?” Edy bertanya kepada Halim.

“Iya Bang.” Halim menyelesaikan makan siangnya lebih dulu, menatap keluar toko di mana hujan turun dan udara dingin terasa di kulit. “Piket malam.”

“Pasti lo bosan nggak ada kami!” Adul menimpali. “Pasti hambar nggak ada kami, ya kan?”

Halim segera menganggukan kepala. “Benar Dul! Bosan banget gue. Lo masuk lagi ke dalam penjara gih. Biar gue ada teman. Biar ada yang gue ledek tiap hari. Noh Dul! Motor, lo curi sekarang, mumpung orangnya nggak ada,” desaknya dan menarik tangan Adul.

“Sekate-kate lo Lim. Adul sudah tobat! Lo pikir penjara hotel berbintang lima.” Adul menyentakkan tangan Halim dan membuat mereka tertawa.

“Astagfirullah!” Edy tiba-tiba tersontak kaget.

Terdengar suara meletus keras, menarik perhatian mereka yang segera menolehkan kepala. Sebuah mobil berhenti di depan galeri Edy, sedang kap depannya mengeluarkan asap.

“Ada apa?” Adul memanjangkan leher.

“Mogok kayaknya.” Halim menerka.

“Aki nya tuh!” ujar Bonte. “Padahal mobil mahal tapi aki nggak dipelihara.”

“Itu Nyonya Haifa,” ucap Daffa.

Dia mengenali seorang wanita keluar dari mobil dan membuat panik si sopir yang segera memayunginya dari hujan.

“Siapa Daffa?” tanya Edy.

“Isteri Galih Handoko, orang yang memberikan saya pemeriksaan kesehatan gratis. Tunggu, saya samperin dulu. Kalau saja dia memerlukan bantuan.”

Daffa segera bangun, dia mengambil payung, keluar toko, kemudian menembus hujan untuk mendekati Haifa yang berdiri di samping mobilnya yang mogok.

“Harus panggil derek sepertinya Nyah.” Si supir memberitahu. “Saya sudah telpon Mang Surya untuk menjemput Nyonya. Sebentar lagi dia datang.”

“Parah sekali rusaknya?” tanya Haifa.

“Sepertinya Nyah. Sebaiknya Nyonya menunggu di dalam mobil. Hujan Nyah, nanti sakitnya semakin parah.” Si supir khawatir, meskipun dia memayungi Haifa tapi tetap rinai hujan membasahi baju wanita itu.

“Nyonya Haifa,” panggil Daffa.

Haifa menoleh. Tampak terkejut dengan kehadiran Daffa.

“Daffa…”

“Apa yang terjadi? Ada apa dengan mobil Nyonya Haifa?” tanya Daffa.

“Mogok Den.” Si supir menjawab. “Tapi sudah panggil derek, sebentar lagi datang.”

Haifa menatap Daffa tak berkedip. “Dan apa yang kamu lakukan di sini Daffa?”

Daffa mengarahkan telunjuknya ke Galeri Edy. “Tempat saya bekerja. Saya bekerja di sini.”

Mata Haifa mengarah ke papan reklame yang terpajang di salah satu toko. “Kamu bekerja di mabel?”

“Benar. Saya bekerja di sini. Sebenarnya Nyonya Haifa mau kemana?”

“Aku ingin pergi ke rumah sakit. Tapi tiba-tiba mobil mogok dan aku sedang menunggu mobil jemputan.” Haifa memberitahu.

“Kalau begitu menunggu di dalam saja Nyonya. Lebih nyaman daripada di dalam mobil.” Daffa menawari. Dia memayungi Haifa dari hujan. “Di sini dingin. Anda sedang sakit.”

“Benar Nyah. Biar saya menunggu di sini. Nanti saya panggil Nyonya kalau mobil jemputan datang.” Si supir pun menyetujui.

“Baiklah.” Haifa menuruti. Dia masuk ke dalam payungan Daffa, mengikuti langkah Daffa menuju galeri Edy. “Maaf merepotkan kamu.”

“Sama sekali tidak Nyonya. Silakan masuk.” Daffa mendorong pintu kaca dan tersenyum kepada Edy, Halim, Bonte dan Adul. “Mereka adalah teman-teman saya.” Dan memperkenalkannya kepada Haifa.

Haifa menganggukan kepala. “Senang bertemu dengan kalian. Apa aku menganggu makan siang kalian?” tanyanya.

Halim bergegas membereskan meja. Dia menendang pantat Adul untuk segera berdiri. “Tidak sama sekali. Silakan duduk.” Dia mempersilakan Haifa.

“Nyonya mau nasi padang?” Bonte menawari. Dia membawa piringnya ke salah satu meja di ujung ruangan. “Masih tersisa satu.”

“Tidak, terima kasih banyak.” Haifa tersenyum dan duduk di sofa, kedua matanya langsung menjelajahi galeri milik Edy. “Bagus sekali tempat ini.”

“Kalau ada barang yang Anda sukai, pilih saja,” kata Edy. Dia memberikan senyuman ramah. “Barang-barang kami berasal dari pengrajin terbaik.”

“Bos saya. Pemilik galeri. Fredy Munawar.” Daffa memperkenalkan Edy. “Bos sekaligus ayah.”

Edy mengelus kepala Daffa dengan sayang. “Saya harus menyelesaikan makan siang saya. Silakan kalian bicara. Saya buatkan teh hangat, anggap rumah sendiri Bu. Jangan sungkan,” katanya kepada Haifa.

Edy berbalik. Terdengar suaranya kemudian yang menyuruh Kirman si office boy untuk membuatkan minuman kepada tamu.

“Ayah?” Haifa bingung. “Dia ayah kamu?”

Daffa tersenyum. “Orang yang saya anggap sebagai seorang ayah. Alhamdullilah.” Dan duduk di depan Haifa. “Saya selalu dipertemukan dengan orang yang peduli sama saya.” Matanya mengarah pada Halim, Bonte dan Adul yang berada di ujung ruangan.

“Mereka orang yang baik.” Haifa menimpali. “Teman-teman kamu.”

“Sangat baik malah.”

Haifa menatap lekat Daffa. memperhatikan lelaki itu yang sekarang menuangkan teh hangat ke cangkir setelah Mang Kirman mengantarkan teko teh.

“Besok pemeriksaan kesehatan kamu, kan?” Haifa bertanya. Pandangan tidak beralih dari Daffa.

“InsyaAllah. Saya sudah izin cuti satu hari sama bos saya dan dia mengizinkan.” Daffa meletakkan secangkir teh hangat ke depan Haifa. “Silakan di minum Nyonya. Jangan khawatir, mobil jemputan sebentar lagi datang.”

Haifa mengangguk dan meminum teh. Dia melirik Daffa yang sekarang duduk menghadapinya.

“Kamu asalnya dari mana Daffa?” tanya Haifa. Meletakkan cangkir ke piring kecil dengan hati-hati.

“Asal? Maksudnya?” Daffa bingung.

“Maafkan aku. Aku tidak terlalu menyimak berita akhir-akhir ini. Apa yang terjadi sama kamu. Aku hanya mengetahuinya dari Galih. Aku sama sekali tidak tahu kalau kamu pernah masuk ke dalam penjara walaupun sebenarnya kamu tidak bersalah.” Haifa menjelaskan.

Daffa seketika merasa canggung. Pandangan yang Haifa berikan kepadanya, entah kenapa membuat Daffa tertekan.

“Benar. Saya pernah masuk dalam penjara. Semua yang Pak Galih ceritakan sama Nyonya, itu benar.” Daffa mengiyakan.

“Dan Daffa Raffan. Apa benar itu nama kamu?”

Pertanyaan Haifa membuat Daffa yang tadi menunduk sekarang menatap Haifa.

“Benarkah itu nama aslimu?”

“I-itu memang nama saya.” Daffa tampak bingung namun dia segera mengakui.

Hanya nama ‘Daffa Raffan’ yang dikenal dan diakui oleh banyak orang sedang nama ‘Senja Azhar’ tidak akan pernah diketahui, hanya orang-orang terdekat saja yang tahu.

“Kenapa Nyonya bertanya?”

“Bukan apa-apa.” Haifa menggelengkan kepala. “Hanya saja, kamu mirip dengan seseorang yang aku kenal.” Dia meraih cangkir teh lagi dengan tangan yang gemetar.

“Dan asal kamu?” Haifa mengulangi pertanyaannya lagi. “Benarkah kamu berasal dari Panti Asuhan Kasih?”

Daffa menganggukan kepala.

“Dan orang tuamu? Di mana mereka?”

“Orang tua?”

Daffa semakin terusik. Dia tidak pernah membahas permasalahan hidupnya dengan orang lain. Daffa duduk dengan tidak nyaman.

“Iya, di mana orang tua kamu sekarang.” Kedua mata Haifa menatap tajam Daffa.

“Meninggal,” jawab Daffa.

“Keduanya?” Haifa semakin mendesak Daffa.

Daffa menggelengkan kepala, setiap kali dia terpojok, setiap kali dia didesak untuk mengingat suatu hal yang menyakitkan membuat kepalanya terasa sakit. 

“Apa benar mereka meninggal? Darimana kamu tahu mereka meninggal? Dan bagaimana bisa kamu ada di panti asuhan kasih? Siapa yang membawa kamu kesana? Bisa kamu memberitahuku?” Haifa memberikan pertanyaan yang bertubi-tubi kepada Daffa.

“Maaf Nyonya Haifa.” Seorang menyela, masuk ke dalam galeri. Si supir pribadi. “Mobil jemputan datang. Tuan Galih juga menelpon, Tuan khawatir karena Nyonya belum sampai di rumah sakit,” beritahunya.

“Begitu.” Haifa tampak menyesali karena mobil jemputan datang lebih cepat. Dia mengambil tas tangan miliknya.

“Aku harus pergi sekarang Daffa. Maaf sudah merepotkan kamu.” Haifa berdiri. “Kuharap kita bisa bertemu lagi. Banyak hal yang ingin sekali aku bicarakan.”

“I-iya Nyonya. Maaf saya tidak bisa mengantar Anda ke mobil.” Daffa memaksakan diri untuk tersenyum.

“Tidak apa-apa. Aku permisi. Selamat siang.” Haifa menatap Daffa sekilas kemudian keluar toko sedang si supir memayunginya dari hujan.

Daffa memperhatikan Haifa sejenak. Memperhatikan wanita itu masuk ke dalam mobil.

“Galih Handoko adalah orang yang beruntung. Dia memiliki isteri yang cantik.” Edy berdiri di samping Daffa dan memberikan pendapat.

Daffa mengabaikan perkataan Edy, dia berbalik, berjalan cepat menuju kamar kecil dan membanting pintu.

“Lo kenapa Daffa?” Halim bertanya dengan suara keras dari arah dalam. Mereka pasti mendengar suara muntah hebat dari Daffa. “Lo kenapa muntah?”

Daffa menyeka bibirnya sehabis muntah. Membuka keran, menampung air di kedua tangannya yang gemetar kemudian membasuh wajah. Dia menatap wajahnya di pantulan cermin. Pucat pasi.

Gedoran keras terdengar di pintu kamar kecil.

“Daffa! Lo nggak papa, kan?” tanya Bonte cemas. “Buka pintunya!”

“Gue nggak papa. Sepertinya masuk angin,” jawab Daffa segera. Dia tidak ingin Bonte mendobrak pintu. “Sebentar lagi gue keluar, jangan khawatir.”

“Makanya gue bilang jangan kerja terlalu keras. Maag tuh. Gue ambilkan obat dulu.” Bonte menggerutu. Suara langkah kakinya kembali menuju ke dalam ruangan.

Daffa menatap dirinya lagi di cermin. Sungguh, pertanyaan yang bertubi-tubi dari Haifa membuatnya merasakan kembali sakit dari Senja Azhar. Dari seseorang yang terbuang. Dari seseorang yang ditinggalkan. Sangat mengusik saat ada yang ingin mencoba masuk ke dalam hidupnya, mencari tahu tentang Senja Azhar yang bersembunyi di balik nama Daffa Raffan.

Bersambung…



Jangan follow Instagram nay untuk info dan update cerita Surga Di Balik Jeruji

Olvasás folytatása

You'll Also Like

249 99 33
TERBIT AE PUBLISHING Sebuah kisah cinta antara Rei dan Adiva yang diberikan bumbu penyedap rasa. Aku tahu, aku jatuh cinta padamu. Sejak saat itu! de...
13.4K 2.6K 23
Semesta berbisik : Cukup di sini, cinta tiada di pihakmu. Percuma saja! Drama | Campus Life Start : 08 Februari-01 Juni 2021 ©Dkatriana
426K 36.1K 38
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
122K 19.8K 31
"Kamu tahu rasanya cokelat?" "Tentu saja." "Manis, bukan?" "Ya." "Itulah rasanya iman. Manis seperti cokelat." Bagaimana jadinya ketika seseorang yan...