That Should Be Me

By Itsluvi_

450K 18K 3.4K

Spin off RAINA, Stetoskop Hati, dan Pasutri Kampret. Menjelang usia 18 tahun, Elea belum pernah jatuh cinta... More

Blurb
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Sembilan
Sepuluh

Delapan

8.7K 1.4K 284
By Itsluvi_

Tumben komennya part 7 rame?

3000 kata untuk part ini. Oh, wow! Pencapaian langka seorang Luvi 😂

Ayo vote, komen, dan tandai typo.

Happy reading💙

Sekian banyak ocehan Rasti tadi sore, mengapa otakku langsung tertuju pada kalimat ... sahabat jadi cinta?

Rasa bosan melanda, ketika aku menunggu Naka yang sedang mengantre martabak di seberang jalan. Entah sudah berapa banyak aku menoleh untuk memastikan Naka sudah mendapat martabak yang menjadi incarannya itu.

Tiga puluh menit yang lalu, dia tiba-tiba menghentikan laju kendaraannya di bahu jalan ketika melihat toko martabak yang setiap hari laris manis itu. Panjangnya antrean tidak menyurutkan niatnya untuk membeli martabak. Ketika aku tanya dia suka martabak atau nggak? Dia menjawab, "suka yang rasa cokelat".

Naka rela antre untuk mendapatkan seporsi martabak itu bukan untuknya, melainkan untuk Mbak Mika. Sahabatnya.

Terjawab sudah mengapa aku memikirkan ucapan Rasti tadi sore, karena aku melihat bagaimana perhatiannya Naka kepada Mbak Mika. Sebelum turun, dia sempat bilang bahwa martabak itu favorit Mbak Mika apalagi yang rasa keju. Jadi, aku mulai berpikir ... apa benar mereka hanya sebatas sahabatan kayak aku dan Satria? Atau ... Naka memang menyukai Mbak Mika?

Ah, seharusnya memang witing tresno jalaran soko kulino itu terjadi ke beberapa orang kan? Termasuk Naka dan Mbak Mika. Wajar kalau memang begitu, toh mereka deket banget. Apalagi waktu SMP dan SMA, ke mana-mana berdua terus. Mungkin kalau mereka jadi nikah, mereka akan mendapat gelar Ayudia dan Ditto-nya keluarga Seven Squad.

Ah, Elea! Kupukul kepalaku sendiri karena terlalu ribet mikirin urusan orang lain. Sudah diantar beli buku sama dibayarin makan dan belanja pun, ngucap alhamdulillah. Selebihnya, ya biarin, itu urusan pribadi Naka.

"Udah?" Aku melongo ketika Naka membuka kursi penumpang belakang. Dia meletakkan tiga kotak martabak di sana sebelum masuk ke kursi kemudi.

"Kok banyak banget?" Aku masih berusaha melawan ekspresi tidak percayaku. Memang mengapa kalau Naka beli martabak banyak? Kan tadi dia bilang, martabak 'favorit' Mika.

"Satu buat Nini, satu buat Mika, satunya buat kamu."

"Eh?" Kupikir keterkejutanku akan habis di situ, ternyata yang barusan lebih mengejutkan lagi. "Kok, aku dibeliin?"

"Sekalian."

Baiklah! Itu memang jawaban yang paling realistis.

Tidak ada lagi yang membuka suara. Baik aku ataupun Naka sibuk masing-masing. Aku memiringkan wajah menghadap jendela mobil yang tertutup. Rinai hujan mulai menyapa kaca, mengaburkan pandanganku untuk memandang aktivitas ibu kota di jam segini. Jam tujuh malam. Aku baru sadar jika hari sudah gelap begitu mobil Naka meninggalkan area mal.

Tapi aku nggak perlu risau, Papa punya aturan baru. Berlakunya jam malam untukku sedikit membuka ruang pernapasan yang semula sesak dengan semua aturannya. Papa mungkin sadar kalau aku butuh waktu lebih banyak untuk mengerjakan tugas kelompok. Maka dari itu berlaku jam malam untukku.

Aku harus pulang sebelum jam pulang kerja Papa, aku harus selalu mengaktifkan ponsel, dan aku harus melapor sedang melakukan kegiatan apa sampai pulang malam. Masalahnya, sore ini aku nggak laporan ke Papa ataupun ke Mama. Tentu aku was-was. Amarah Papa pernah meledak ketika aku nekat keluar malam bersama Satria, yang notabene sudah sangat Papa hafal karakternya.

Nggak pa-pa! Nggak pa-pa! Kalimat untuk menyemangati diri sendiri selalu kulantunkan selama perjalanan pulang, ditemani gemericik air hujan yang semakin ke sini semakin deras.

"Soal di Gramed tadi..."

Aku menoleh cepat ke arahnya, bibirnya kembali terkatup begitu melihat reaksiku yang tiba-tiba.

Tapi jujur saja ... aku pun kepikiran. Dan berharap telingaku sedang kehilangan fungsinya. Makanya aku pura-pura cuek, kalau aku kepikiran terus yang ada momen awkward ini nggak akan pernah hilang. Gila gak tuh!

"Lupain aja deh, A. Topik lain lebih seru kayaknya daripada bahas soal yang di Gramed."

Dia yang semula memandang ke depan, menoleh sejenak ke arahku lengkap dengan wajah datarnya. Aku mendesah berat sebelum melontar cengiran superkaku.

"Contohnya?"

"Um ... pengalaman selama kuliah?" Aku mengedikkan bahu. Aku sendiri bingung harus mengangkat topik obrolan bagaimana agar interaksi kami tidak terkesan monoton, ujung-ujungnya cuma jawab "iya", "hehe", "mm-hmm". Jika kehilangan kata-kata seperti itu, aku yakin. Boring!

"Banyak."

Iya ... iya ... sudah pasti banyak. Dia sudah semester 5 dengan segudang pengalaman akademik dan organisasinya.

Aku mengangguk paham. Lantas menggigit bibir saat pertanyaan konyol mampir di benakku. Berpikir ulang, apakah harus aku tanyakan? Tapi ya kampretnya mulutku seperti kendaraan yang kehilangan fungsi rem.

"Kalau gitu relationship, maybe?"

Dia kembali menoleh dengan santai. Rautnya tidak menunjukkan kalau dia tersinggung dengan ucapanku. "Pacar? Lagi nggak pacaran sama cewek mana pun. Mantan? Ada beberapa. Gebetan..."

"Banyak." Aku memotong ucapannya, lalu nyengir ketika dia kembali menoleh dengan kernyitan di dahi sebelum fokus menyetir dan menggantungkan ucapanku tadi.

"Yang minta jadi gebetan banyak, tapi..."

"Tapi, apa?" Aku penasaran dibuatnya. Cowok ini nggak terbuka soal apa pun——mungkin terbuka——cuma aku nggak ada dalam daftar orang yang harus tau riwayat dia.

"Gebetan yang aku mau justru nggak nawarin diri."

Aku mengerjap, sebelum akhirnya menyemburkan gelak tawa. Sumpah! Aku nggak tau letak lucunya di mana, tapi aku nggak bisa nahan tawa. Kuhentikan tawaku ketika alis Naka terangkat tinggi-tinggi, lalu berdeham untuk menghilangkan kecanggungan setelahnya.

"Aku baru tahu kalau dibalik sikap stay cool A Naka, tersimpan jiwa narsis juga."

"Aku nggak minta diketawain kayak gitu," katanya dingin.

"Ups, sori." Aku langsung membekap mulutku dan berhenti bicara.

Sampai di rumah, aku tidak heran jika rumah dalam keadaan sepi. Sejak pagi, Mama sudah bilang kalau hari ini dia lembur karena Nina Publisher akan segera mengadakan launching novel terbaru dari salah satu penulis terkenal yang sudah menerbitkan beberapa judul buku, semua karyanya selalu meledak di pasaran. Papa juga belum pulang. Biasanya setengah jam lagi klakson mobilnya akan berbunyi. Di rumah hanya ada Naura dan Sasa, adiknya Satria.

Aku menyimpan belanjaanku di kamar, serta martabak pemberian A Naka di meja makan. Aku memanggil Naura dan Sasa, barang kali mereka belum makan malam, meskipun di dalam tudung saji sudah ada makanan yang pasti disiapkan Mbok Yum——asisten rumah tangga di rumah ini. Sesekali Mbok Yum masak kalau Mama lembur, selebihnya Mama lebih memilih masak sendiri untuk keluarga.

Kali ini aku menghubungi Papa lewat SMS, memberitahunya jika aku pergi menjenguk Mbak Mika yang sedang sakit. Jika Papa merasa butuh bukti——karena memandang informasi tanpa gambar adalah fakta yang tertunda——maka dengan senang hari aku memotret kunjunganku ke rumah Mbak Mika.

Aku mengganti sepatu yang kupakai dengan sandal jepit. Lantas keluar rumah sambil menenteng kantong plastik berisi camilan untuk Mbak Mika. Sedikit terperangah begitu melihat Naka berdiri di depan gerbang rumahnya sembari membawa buah-buahan dan martabak. Aku kira dia akan langsung ke rumah Mbak Mika tanpa perlu repot-repot menungguku. Rupanya aku harus kembali menyelaraskan langkahku dengannya.

Hujan sudah reda, yang tersisa kini hanya aroma khas yang selalu ia tinggalkan di atas tanah yang basah. Aku merapatkan sweater nude yang kupakai, semilir angin sehabis hujan lebih dingin dari biasanya. Jarak rumahku dengan Mbak Mika tidak sedekat rumahku dengan Naka, kami dipisahkan oleh tikungan jalan. Rumah Mbak Mika berdekatan dengan rumah Om Fahmi, dan Om Anwar——anggota Seven Squad yang lain.

Suasana sepi menyambut kedatanganku dan Naka. Begitu Tante Rina membuka pintu rumah, aku tertegun melihat raut wajahnya yang sayu dan sembap. Seperti habis menangis dalam waktu yang lama. Namun aku memilih untuk tidak bertanya dan langsung menyalami tangan beliau. Setelahnya, Naka melakukan hal yang sama denganku.

"Langsung naik ke kamarnya aja. Tadi Tante lihat dia masih melek," jawab Tante Rina. "Nanti buatkan minum dulu. Kalian mau minum apa?"

"Kalau boleh susu cokelat hangat, Tante."

Naka menjawab tanpa ragu. Dia sepertinya nggak sungkan lagi pada Tante Rina. Sedangkan aku masih berpikir, minuman apa yang aku inginkan.

"Boleh dong!" senyum hangat Tante Rina terbit. Beliau lantas menoleh padaku dengan senyum yang sama. "El, mau minum apa?"

"Teh hangat, Tante."

"Oke, Tante bikinin dulu ya. Kalian langsung naik ke atas. Kamarnya Mika juga belum dikunci."

Aku mempersilakan Naka untuk naik duluan karena dia merasa lebih berhak mengetahui kondisi sahabatnya itu. Kaki ini sendiri mengekor di belakangnya dengan langkah pelan, sedikit menjaga jarak. Naka membuka pintu kamar Mbak Mika, kulihat dia sedang duduk bersandar di atas kasurnya. Mika menyambut dengan senyuman, jelas pandangannya tertuju pada Naka, sebab aku di belakang Naka pasti tidak akan tersorot oleh lensa Mbak Mika.

Naka duduk di sebelah Mbak Mika, mengecek suhu tubuh sahabatnya itu. Dan mengomel kecil, terdengar sebagai sebuah peringatan agar Mbak Mika lebih menjaga kesehatan.

Aku selalu suka nuansa kamar Mbak Mika yang aesthetic. Warna putih dan choco mendominasi, ditambah ornamen-ornamen yang mendukung suasana kamar. Single bed tanpa sandaran ranjang berwarna putih, lemari kayu tiga pintu di sudut kanan. Satu meja belajar di dekat kamar mandi lengkap dengan rak buku dan rak make up di sebelahnya. Di atas dinding tempat tidur, terdapat papan bersekat ... puluhan foto kolase tergantung di sana. Foto keluarga, foto teman, foto selfie dirinya sendiri, dan banyak foto berdua dengan Naka.

"Mbak Mika...!" seruku, bergantian duduk dengan Naka dan memeluk Mbak Mika.

"Kalau Elea datang pasti heboh." Dia terkekeh, sambil membalad pelukanku.

Aku mengurai pelukan, dan menanggapi kalimatnya dengan seulas senyum.

"Kali ini kenapa? Mau ngajakin aku streaming NCT?"

"Nggak, kok." Aku tertawa. Teringat saat aku meracuni dia untuk menjadi fans Idol Negeri Ginseng. Jemariku menyentuh lengan Mbak Mika. "Mau jenguk Mbak aja. Ini kok anget gini badannya?"

"Iya. Pusing," kataya lesu. "Btw, kalian datang berdua?"

Aku menggigit bibir saat Mbak Mika memandangku dan Naka dengan sorot mata penasaran.

"Um ... diajak pulang bareng. Mampir ke mal beli buah sama camilan buat Mbak."

Mika melirik buah-buahan, martabak, dan camilan yang kami simpan di atas karpet berbulu lantai kamarnya. Di mana sekarang Naka sedang tiduran di sana.

"Ada martabak juga kesukaan lo," imbuh Naka.

"Makasih banyak, jadi ngerepotin kalian."

"Ah, nggak ngerepotin, Mbak." Aku tersenyum tulus.

"BEM aman, Ka?" tanyanya pada Naka.

"Aman." Naka menjawab tak acuh. "Cepet sembuh makanya, tugas lo numpuk tuh. Minggu depan kita ada rapat."

"Gue sakit karena lo suruh-suruh."

"Sakit mah sakit aja, gak perlu salahin orang." Naka membalas.

Di situ aku cuma terkekeh menonton mereka saling beradu argumen. Naka ternyata lawan yang tidak mudah dikalahkan. Pantas dia dipercaya memimpin organisasi BEM.

"Naka tuh nyinyir, El. Apalagi pas rapat BEM. Mulutnya itu kayak semburan api Naruto. Kalau ada pengurus yang bikin salah udah auto disindir terus sama dia, sampai ngaku-lah tuh orang."

"Kalau nggak sakit, udah gue jitak lo."

Mbak Mika tergelak kencang, sementara aku hanya tertawa pelan. Takutnya Naka tersinggung lagi kayak tadi, sorot matanya sedingin semilir angin usai hujan tadi.

***

Ini jelas lebih awkward dari sekadar duduk bersebelahan di dalam mobil. Hujan datang lagi ketika aku masih di rumah Mbak Mika. Menunggu reda, aku melanjutkan obrolan dengannya selama setengah jam. Sepanjang curhat dengan Mbak Mika itu, Papa selalu menelepon tiap lima menit sekali. Satu jam sudah lewat, rupanya hujan masih betah menunjukkan atensinya kepada manusia di bumi. Intensitasnya masih cukup deras. Pada akhirnya, aku dan Naka meminjam payung. Sayangnya, payung di rumah ini yang ada cuma satu. Selebihnya rusak, dan belum sempat beli lagi kata Tante Rina.

Satu untuk berdua? Aku bahkan sudah bisa membayangkan bagaimana supercanggung, sungkan, segan, malu, segala macam rasa pasti akan mampir. Tapi mau gimana lagi, daripada aku nggak pulang. Aku memilih sepayung berdua dengan Naka.

Sebelum menerobos hujan, aku menaikkan celana jins yang kupakai. Tak lupa merapatkan sweater, angin berbisik menusuk hingga pori-pori. Begitu Naka memberi aba-aba, aku sudah siap untuk menerobos jalanan yang diterpa hujan.

Satu yang aku sadari selama berada di rumah Mbak Mika ... Om Dipo nggak pulang lagi. Entah ke mana Om Dipo setelah skandalnya itu terdengar langsung oleh telinga Tante Rina dan sahabatnya yang lain. Aku juga tidak berani menyinggung, takut Mbak Mika tambah sakit.

"Rasanya jadi anak tunggal kayak Mbak Mika pasti sepi banget. Nggak ada teman curhat." Aku membuka obrolan.

"Mika punya."

"Siapa?" Refleks aku mendongak.

"Aku."

"Oh, iya-iya." Wajahku sudah pasti cengo tak terkira.

Oon banget sih, El.

Aku mulai harus mengatur mulutku untuk menyaring kosa kata. Ya jelas, Naka lebih dari teman curhat bagi Mbak Mika. Pikiranku aja yang terlalu lempeng.

Langkah kami terhenti begitu sampai di depan pagar rumahku, aku ragu untuk berbalik badan dan berhadapan dengannya. Namun, aku melakukan itu sekarang. Kami berhadapan, dan aku kembali mendongakkan kepala agar bisa melihat wajah sang lawan bicara. Dapat kulihat legamnya bola mata yang tersorot lampu itu.

"Thanks, A. Hari ini banyak banget ngerepotin."

"Oke," katanya singkat. "Payungnya kamu bawa biar nggak kehujanan." Dia memberi kode agar aku mengambil payung yang masih dipegangnya.

Aku mengernyit. "A Naka gimana?"

"Gampang. Lari dikit doang."

Aku mengangguk, lantas mengambil payung dari tangannya. Dia membuka bomber yang dipakainya untuk menutupi kepala.

"Besok kalau mau bareng kabarin aja." Aku mengerjap ketika telapak tangannya menepuk kepala sekilas sebelum berputar arah, dan berlari ke rumahnya.

Aku terpaku di tempatku.

"Daripada bengong liatin rumah orang, mending kerjain PR gue nih."

Suara lain mengejutkanku. Satria muncul dari gerbang rumahnya sambil membawa payung,  dan tangannya menggenggam buku catatan yang dia gulung. Aku berdecak malas. Kalau dia udah melontar cengiran kayak gitu, sudah pasti minta dibantuin PR Fisika.

Aku mengabaikan dia dan membuka pintu gerbang. Karena meski diabaikan, Satria akan menyelonong masuk ke rumah begitu saja.

"Habis dari mana sama A Naka?"

"Jenguk Mbak Mika."

"Sebelumnya?"

"Kepo...!" seruku.

"Yaelah, sahabatnya mau tau nih, Neng. Masa nggak boleh tau." Satria menyejajarkan langkahnya hingga ujung payung kami beradu.

"Beli buku, beli buah-buahan sama beli camilan buat Mbak Mika."

"Berdua doang?"

"Iyalah, masa harus bawa Papa. Ribet urusannya nanti. Jalan sama lo aja, Papa uring-uringan. Apalagi sama cowok selain lo? Yang ada gue dikerem gak boleh aktivitas di luar kamar.

Satria terpingkal-pingkal.

Aku melihat mobil Papa dan Mama sudah terparkir di garasi. Keadaan rumah sudah kembali ramai. Aku menyimpan payung Mbak Mika di dalam garasi agar tidak tertiup angin, Satria mengikutinya. Ikut menyimpan payungnya di sana.

"Lo kok keliatan happy jalan sama dia?" Dia kembali bertanya ketika aku mencuci kaki di kran air samping tembok.

Aku menoleh cepat. "Emang, iya? Perasaan biasa aja."

Iya kan? Biasa aja kan? Ngapain harus happy jalan sama dia? Aku happy karena cerita banyak sama Mbak Mika tentang Idol yang kami gandrungi.

Begitu kakiku bersih, aku menyimpan sandal di lantai dekat garasi. Papa kalau tau aku masuk rumah pakai sandal basah bisa ngomel panjang lebar. Satria pun membuka sandal yang dipakainya, dia sudah tahu aturan-aturan Papa.

Saat masuk, raut khawatir Papa tak terhindarkan. Sementara Mama cuma nyengir di belakang Papa. Papa menatapku lama sebelum beralih menatap Satria.

"Malam, Om. Cuma mau minta bantuin ngerjain PR kok." Satria meringis samar.

"Kalau mau di kamar, pintunya dibuka. Tapi lebih baik nggak usah di kamar. Di ruang keluarga aja," kata Papa. Lagi-lagi sudah biasa.

"Nanti Mama bawain minuman hangat buat kalian," sambung Mama.

Aku mengajak Satria naik ke lantai atas. Seperti saran Papa tadi, ruang tengah di lantai dua menjadi tempat kami duduk sekarang.

"Lo naksir dia?" Satria menyandarkan kepalanya di ke ujung sofa, setengah berbaring namun kakinya menjuntai ke lantai. Aku sendiri duduk di sebelahnya, pahaku hampir beradu dengan lututnya.

"Siapa?" Aku balik bertanya meskipun sudah bisa menebak siapa yang Satria maksud.

"Naka."

"Ya, nggak-lah," dalihku. Namun, aku meralatnya kembali. "Belum mungkin. Kita kan nggak tahu perasaan kita di lain waktu."

Aku mendengar Satria mendengkus samar. Namun dia tidak menanggapi jawabanku dan malah menutup kelopak matanya, kedua tangannya ia simpan di atas dada. Mama datang membawa dua cangkir cokelat yang uapnya masih mengepul di dinding cangkir kaca, dan dua setoples kacang goreng.

"Menurut lo gimana?" tanyaku setelah memastikan Mama sudah kembali ke lantai bawah.

"Soal?" Satria bertanya tanpa membuka mata.

"Ya, penilaian lo soal dia."

"Lo serius nanya gue?" Satria tersentak, dan duduk bersila menghadapku.

"Why not?" kataku gagu.

Satria mencebikkan bibirnya. "Geli gue disuruh nilai manusia yang punya belalai kayak gue. Najis!"

"Satria! Sumpah kalau Papa denger, lo bakal disunat lagi." Aku menoyor dahinya.

"Gue ini kesayangan Om Galih, nggak mungkin tegalah."

Aku mencibir. Kalau kesayangan, nggak mungkin Papa masih superprotektif itu saat aku bersama Satria.

"Udah berapa lama lo akrab sama A Naka?" Tatapannya semakin menyelidik. Aku tiba-tiba salah tingkah, dan merasakan hangat yang tidak biasa menerpa wajah.

"Sekitar dua puluh hari, kayaknya." Aku nggak yakin dengan jawabanku sendiri.

"Gak usah grasak-grusuk." Satria menepuk pundakku. "Kata lo tadi belum naksir dia. Lo bukan tipe cewek yang mudah jatuh cinta kan? Buktinya temenan sama gue bertahun-tahun, nggak ada kata jadian kan di antara kita."

"Iya-lah nggak ada. Gue juga mikir dua kali kalau jadian sama lo." Aku menatapnya sengit, dan dia terpingkal.

"Lah, kenapa? Bukannya A Naka juga sama aja kayak gue? Cowok itu sebagian besar makhluk visual, El. Hari ini bisa aja dia sayang-sayangan sama ceweknya, besok lain lagi. Bisa aja minta putus karena alasan bosan."

"Ngaca dulu dong!"

"Lah, gue emang lagi ngomongin diri sendiri dan cowok-cowok yang satu frekuensi sama gue." Dia terbahak. Seolah bangga dengan predikat playboy itu.

"Tapi, Naka belum tentu kayak lo kan?"

"Kenapa lo nggak tanya langsung sama orangnya?"

"Sinting! Mana berani gue."

Aku sedikit tahu ekspresi yang sering Naka tunjukan ketika menjadi lawan bicara. Jutek, datar, serius, diikuti dengan kernyitan di alisnya, kadang alisnya yang terangkat tinggi-tinggi menandakan dia tidak paham dengan ucapan lawan bicaranya. Bisa dibayangkan ketika aku bertanya padanya, apakah dia 'cowok bosenan'? Ekspresi apa yang akan dia tunjukan?

"Ya udahlah. Susah sih ngomong sama orang yang belum pernah pacaran."

Aku mencibir. Selalu itu yang dia sindir. Mentang-mentang mantannya banyak sudah pas kalau dibikin satu tim bola volly.

"Kerjain tugas gue aja nih." Dia membuka buku catatannya. Tepat di lembar tugas terbarunya.

"Traktir?" Bibirku membentuk garis lurus, serta kedua alis yang sengaja digerakkan.

"Emang kapan gue nggak sodaqoh sama lo?"

Aku tersentak ketika dia mengapit kepalaku di antara ketiaknya. Aku berontak, sedangkan Satria malah semakin menarikku erat.

"Sableng!" Aku mengatur napas dan membenahi kucir kudaku.

"Bae-bae lo kalau udah kenal cinta. Kendaliin hati lo jangan sampai terlalu percaya sama cowok. Nggak usah terlalu cinta pokoknya, entar lo patah hati yang repot gue."

"Kok, lo?"

"Yaelah, lo pasti akan nangis kejer sama gue. Ujung-ujungnya minta dibeliin buah stroberi atau es krim stroberi."

"Itu sih kewajiban lo buat hibur gue."

"Tapi gue bakal jadi orang pertama yang nonjok cowok berengsek itu. Eh, kalau nggak keduluan Om Galih juga sih." Dia nyengir. "Secara radarnya Om Galih bisa menembus tata surya. Pasti dia bisa mencium aroma-aroma kalau lo disakitin cowok," lanjutnya menggebu-gebu sembari mempraktikkan bagaimana astronot meluncur ke luar angkasa.

"Ah, nggak asyik. Berarti lo sahabat yang abal-abal. Biarpun keduluan Papa, lo tetap harus hibur gue sampai kapan pun."

"Eek lo! Nanti kalau gue udah punya bini lo pasti susah dapetin perhatian gue. Makanya puas-puasin di masa remaja sekarang."

"Dih! Udah bawa-bawa bini segala. Beresin dulu idup lo, pacar gak usah gonta-ganti secepat lampu tumblr ganti warna."

Dia menarik pipiku dengan raut wajah gemas. "Makanya, lo jangan jatuh cinta dulu sama gue sebelum gue beresin akhlak gue."

Kemudian, rambutku dia acak-acak sesuka hati. Oh my Godness! Kenapa cowok-cowok hobi banget menyentuh kepala cewek sih? Biar apa? Biar perbuatannya diingat sepanjang masa?

Playboy sedang membual. Karena aku tahu, pada kenyataannya Satria akan sulit melepaskan sesuatu yang sudah dia klaim sebagai prinsip hanya karena gengsinya sebagai cowok yang mengaku ganteng.

"KAGAKLAH! YA KALI!"

*****

Ya ampun 3000 kataaaaaaa tapi kok komennya sikit 😔

RANAKA BAGASKARA RYDER : "You can stand under my umbrella ☔

20 Desember 2020

Peternak bebek bertelur ayam 🐣

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

491K 23.3K 48
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.1M 114K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
2.4M 159K 50
FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!! "𝓚𝓪𝓶𝓾 𝓪𝓭𝓪𝓵𝓪𝓱 𝓽𝓲𝓽𝓲𝓴 𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓱𝓮𝓷𝓽𝓲, 𝓭𝓲𝓶𝓪𝓷𝓪 𝓼𝓮𝓶𝓮𝓼𝓽𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓹𝓸𝓻𝓸𝓼 𝓭𝓮𝓷𝓰𝓪�...
5.4M 367K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...