Senja dan Renjana

Von NaylaSalmonella

208K 34.9K 7.5K

Bercerita tentang dua gadis kembar beda sifat yang mencari arti cinta. Elleanor, si cantik yang suka berpetua... Mehr

Hello Friends
Tokoh Hayalan Penunjang Kehaluan
Bab 1 Senja Pertama
Bab 2 Calon Dentist
Bab 3 Nyesel Cuti
Bab 4 Konspirasi Dosa
Biar Tambah Halu/Dream Cast Pt 2
Bab 5 Si Kembar dan Segudang Masalah
Bab 6 Hampir Ketahuan
Bab 7 Gagal Jujur
Bab 8 Menikmati Kebohongan
Bab 9 Terbayang Kapten Dama
Bab 10 Merasa Bersalah
Bab 11 Hari yang Tidak Seharusnya
Bab 12 Tentang Gunung dan Laut
Bab 13 Senja dan Renjana di Adas Pulowaras
Bab 15 Keluarga Sultan yang Bikin Patah Hati
Bab 14 Karma Datangnya Instan
Bab 16 Tragedi Bromo Jilid Kedua
Bab 17 Ada yang Bersemi, Ada yang Sakit Hati
Bab 18 Di Bawah Bulan yang Sama
Bab 19 Di Balik Punggung Ayah
Bab 20 Bunda, Gue Jadian!
Bab 21 Perpaduan Sempurna LDR dan Backstreet
Bab 22 Kencan Model Apa Ini?
Bab 23 Kamu Pantas Bahagia
Bab 24 Love in The Air
Bab 25 Next Stage
Bab 26 Penunggu Hati Elleanor
Bab 27 Makan Malam
Bab 28 Nona Imut dan Mas Balok Kayu
Bab 29 Mencari Restu Berkedok Makan Sore
Bab 30 Hargaku di Matamu
Bab 31 Nggak Penting Lagi
Bab 33 Endless Loop
Promote ❤
Bab 34 Tak Perlu Tertawa atau Menangis
Bab 35 Kepergianmu
Bab 36 Senja Hingga Fajar
Bab 37 Penghiburan
Bab 38 Akhir untuk Renjana
Bab 39 Ikatan Tanpa Akhir
Bab 40 Inilah Akhirnya
Promote
Bab 41 Cerita Pamungkas
Info Penting!!!
Hai, Sea!
365 Senja

Bab 32 Dokter dan Calon Dokter

3.5K 757 88
Von NaylaSalmonella

“Ah, sebentar lagi senja,” gumamku sembari tersenyum.

“Memang kenapa dengan senja, Nduk?” tanya Kakek Tirta Jusuf alias Kek Jusuf yang memecah pandanganku.

Buru-buru aku menatap wajah kakek yang penasaran. “Karena orang yang selalu kupikirkan akan ke sini, Kek.”

“Tunggu,” Kakek tercenung sebentar. “Kata ayahmu, pacarmu orang Malang, ‘kan?”

“Heem,” jawabku mengimutkan diri.

“Waduh!” Kakek menepuk jidatnya. “Kesalahan Kakek ajak kamu ke sini. Pasti kamu mau pacaran, ya, ‘kan?”

“Heem,” jawabku lagi dengan percaya diri.

Nduk, kamu nggak boleh nikah duluan, ya?” Kakek mulai mewanti-wanti.

Dengan senyum simpul aku menjawab, “makanya Ellea mau pacaran dulu. Okay, Kek!”

Kerlingan senyumku bukan tanpa sebab, sebuah Jazz hitam mendekat ke arah bangunan rumah sakit setengah jadi milik Kakek. Mungkin tinggal 20% bangunan itu selesai dan akan jadi salah satu rumah sakit besar di kota Malang. Mungkin aku akan bekerja di sini, entah nanti. Nunggu yang sedang tersenyum padaku itu akan membawaku ke mana.

Mas Dama turun dengan masih berseragam loreng. Tampaknya sepulang dinas dia langsung menghampiriku. Jelas, kangen berat dong! Sama sepertiku yang teramat sangat merindukannya. Akhir pekan adalah surga bagi pasangan LDR macam kami. Melebur celengan rindu yang bengkak.

“Ini pacarmu?” tanya Kakek sambil menyenggolku yang nyengir tanpa habis-habis.

“Iya, Kek. Ganteng, ‘kan?” Kunaikturunkan alis percaya diri.

“Mirip dengan ayahmu pas muda,” gumam Kakek.

“Idih, nggak mau ketinggalan muji anaknya dong,” timpalku sambil menghambur ke pelukan Mas Dama.

Sayangnya, lelaki gagah ini tak menerima pelukanku dan malah mencium tangan Kakek. Tobat, kenapa dia mengabaikanku sih? Demi mencari muka ke Kek Jusuf sekarang?

“Selamat sore, Kek,” sapanya ramah.

Dia memang sudah tahu kalau aku datang bersama Kakek ke Malang untuk urusan rumah sakit. Oleh karena itu, sikapnya sopan dan ramah, nggak kayak biasanya yang cuek bebek.

“Sore, Mas …,” tanya Kakek.

“Dama, Kek,” jawab Mas Dama sopan.

“Wah, anak yang sopan. Maklum tentara. Mirip kayak ayahnya Ellea waktu muda,” celoteh Kakek tersipu-sipu.

Heol, memang Mas Dama idaman para sesepuh kayaknya. Beruntung banget sih jadi pacarnya, ya akulah, plak!

“Sebenarnya, Kakek mau ngajarin Ellea manajemen rumah sakit. Biar nanti selepas lulus profesi dia bisa langsung jadi manajer di sini. Sayang dia malah milih pacaran,” sesal Kakek, tapi wajahnya semringah.

Mas Dama tersenyum tipis. “Mohon izin, kalau memang Ellea sibuk saya bisa …,”

“Nggak Mas, aku nggak sibuk. Jalan yuk!” potongku sambil menarik lengan tegap pacarku.

Kakek kelihatan bingung. “Ya udah bisa apa.”

“Ellea,” tekan Mas Dama nggak suka.

“Nggak masalah, Mas. Aku udah cukup pusing sama tugas,” bisikku lirih. “Please, tolong aku!”

“Kalau begitu, mohon izin undur diri, Kek. Saya akan mengajak Ellea ke …,” kata Mas Dama.

“Iya udah tahu kok Kakek. Udah yuk, Mas!” potong dan tarikku.

“Kek, aku pergi dulu, ya?” pamitku cepat pada Kek Jusuf yang melongo.

“Dasar anak zaman sekarang, nggak ada takutnya sama orang tua,” gumam Kakek heran.

“Izin, Kek,” ucap Mas Dama layaknya anggota ke atasannya.

“Ya, ya, Mas, silakan. Hati-hati bawa mobilnya, ya? Jangan ngebut seperti Ellea tadi. Saya sampai keringat dingin, Mas,” adu Kakek.

Alamak, kenapa Kakekku mirip emak-emak yang lagi belanja sayur sih? Ember dan rempong banget sih. Alamat diomelin Mas Dama deh aku bentar lagi.

“Sopan nggak kayak tadi?” tanyanya dingin tanpa menatapku.

Dengan malu-malu dan meremas ujung baju aku memutar-mutar bola mata serba salah. “Nggak sopan.”

“Terus kenapa kayak gitu sikapnya?”

“Habis nggak suka dikepoin Kakek,” jawabku pelan.

“Apa salahnya? Adek malu mamerin Mas ke beliau? Karena Mas tua?” tudingnya dengan melirikku.

“Nggak!” seruku sambil mengibaskan tangan. “Sama sekali. Aku nggak mau kita ngobrol lama karena udah kangen Mas.”

“Alasan itu terus. Ngobrol bentar apa salahnya? Toh kami nggak pernah ketemu,” belanya.

“Iya deh, salah,” ucapku pasrah. Malas debat saat kangen-kangennya.

“Maaf, ya, Mas?” ucapku lagi.

“Kamu ngebut lagi tadi?” alihnya yang tetap mengaduk hatiku.

“Emangnya salah, Mas? ‘Kan di tol,” jawabku ngeles.

“Minta ampun, nanti aku cabut juga SIM-mu, ya!” ancamnya ceriwis.

Kusentuh pipinya dengan lembut. “Karena aku udah kangen berat, Mas. Kalau Mas Dama ceriwis pasti lagi kangen juga, ‘kan?”

Dia menatapku lekat. “Memang mantan playgirl kayak gini, ya? Pintar nyuri hati.”

“Apa Mas membenci masa laluku?” Kugigit bibir mencoba imut.

“Anak nakal!” Dia mencubit pipiku dengan keras hingga aku mengaduh.

“Sakit, Mas,” aku mendesis sambil mengelus pipi.

“Rasain! Emang enak gagal modus,” ceplosnya judes.

Geleng-geleng kepala. Mungkin cuma Mas Dama yang buta sama semua pesonaku. Mau dirayu model apa kalau dia nggak mau nanggepi ya mental semua. Kalau ketemu memang gini kok, resek.

“Kita mau ke mana nih?” tanyaku saat mobilnya berhenti di lampu merah.

“Mau ngabisin uang atau waktu?” tanyanya balik.

“Apa?” desahku tak percaya.

“Tentukan target, cepat!” suruhnya ala pak tentara.

“Pak tentara punya solusi untuk calon dokter yang suntuk, nggak?” tanyaku sambil mengeluarkan modul tebal dari dalam tas kanvas di pangkuan. “Taraaa!”

“Elleanor, kenapa kamu bawa tugas saat kencan, Sayang?” pekiknya tanpa ampun.

Nyengir tanpa dosa. “Salah sendiri Mas Dama nyebelin dari tadi. Nggak mau balas pelukan atau rayuanku. Ya udah, kutinggal baca buku aja!”

Wajah Mas Dama kacau, seperti ingin menimpukku tapi nggak bisa. Akhirnya, mobil ini berjalan lagi tanpa tujuan. Sampai pada akhirnya, aku mengenali jalan di depanku arahnya ke mana. Kalau nggak salah, ya, bener, kami akan menuju jalanan selatan Malang. Pasti rumah kesayangannya, ya, tempat pantai kesukaanku berada.

“Asyiiik!” pekikku bahagia.

Dia hanya tersenyum tanpa suara. Tanpa kalimat selain hanya sebuah sentuhan di puncak kepalaku. Walau dia kesal karena buku tebalku ikut kencan, tapi Mas Dama adalah manusia yang selalu membanggakanku.

“Anak manis,” pujinya sambil mencium punggung tanganku.

Untung udah kusemprot parfum mobilnya Kakek tadi. Nggak bau rumput laut lagi, cemilanku saat ‘mengerjai’ kakek di tol tadi. Siapa yang nyangka kalau tetiba disun sayang sama sidia. Gini amat hatiku mekar sempurna. Dia manis walau tanpa banyak rayuan.
---

Matahari mulai lengser ke barat saat aku dan dia berjalan beriringan di pantai tenang ini. Kami bergandengan tanpa banyak bercakap. Meresapi lamunan masing-masing dan debur ombak. Untung tak terlalu panas karena sedikit mendung, sehingga terasa nyaman walau masih pukul setengah tiga sore.

Ia melepas atasan seragamnya. Hingga menyisakan celana loreng yang digulung dan kaos tipis, membuat siluet wow dari dada dan perutnya. Cowok yang hobi olahraga itu selalu punya pemandangan yang menarik. Dia nggak pengen periksa anatomi atau apa gitu, ya? Sukarela aku sih, oops.

Kami tak masuk ke rumahnya karena kosong. Sepertinya Bu Kasih dan Pak Yaksa sedang keluar. Anak semata wayangnya tak membawa kunci cadangan. Baiklah, dengan begitu kami bisa pacaran. Menikmati ombak berbuih ini dengan mesra.

“Udah nggak suntuk?” bisiknya sambil memandangku dengan mata itu. Semacam pandangan yang tak bisa digambarkan.

Aku menggeleng. “Apalagi kalau dapat kiss di tempat seindah ini.”

“Mas nggak mau ditegur KPAI, cium anak di bawah umur,” ceplosnya sambil melepas tanganku.

Mulai usil kayaknya.

“Kata ayah, aku udah bisa bikin anak lho. Dibuktikan aja gimana?” gangguku tak mau kalah usil.

“Di sini? Panas lho,” timpalnya yang bikin pipiku panas.

Mas Dama menghampiriku, meletakkan tangan besarnya di pinggangku. Dia menarikku cepat hingga kami berhimpitan erat, wajahnya dekat sekali dengan keningku. Jantungku sudah dislokasi. Kalau nggak ingat dosa, udah merem manut aja aku.

“Kok merem, Sayang?” bisiknya usil.

“Kali aja dapat,” ceplosku pelan.

Bibirku menunggu mungkin sebuah sentuhan yang lembut. Terakhir kami bertukar napas saat itu, di Bromo. Sudah lama, entah berapa bulan yang lalu. Dia jarang memberiku sentuhan mesra, seperti pasangan pada umumnya. Ya, sebut saja ciuman atau pelukan. Semua sebatas tangan, sentuhan di pipi atau puncak kepala.

“Dama!” panggil sebuah suara yang merusak semuanya.

“Siapa sih?” gumamku sambil membuka mata.

Le!” sambung suara yang lain.

“Duh, itu sih Ibu,” timpalku malu.

Aku langsung melepas tangan hangat Mas Dama di pinggangku. Daripada dipermalukan lagi terus disuruh nikah dan bikin Ayah kena serangan ngamuk, mending jaga jarak. Rupanya Bu Kasih tak sendiri. Beliau bersama seorang perempuan putih bertopi lebar, berambut panjang, dan tentu cantik. Mereka tersenyum pada kami, terutama pada Mas Dama.

“Divya?” desah Mas Dama yang membuatku memandangnya.

Wanita itu bernama Divya. Siapa dia? Bagaimana Mas Dama bisa kenal? Kok bisa jalan dengan Bu Kasih, kelihatan akrab pula? Jangan bilang kalau itu sainganku!

Le, udah lama?” tanya Bu Kasih sambil mengelus pundakku. “Ellea datang?”

“Ibu?” Kucium tangan Bu Kasih dengan sopan.

“Lumayan, Bu. Ellea suntuk pengen lihat pantai,” ucap Mas Dama santai.

“Hai, Dam!” sapa Divya yang super cantik dan anggun itu.

Awakmu, kapan teko?” tanya Mas Dama cuek. (Eh kamu, kapan datang?)

“Sombong sih kamu, Dam. Nggak balas WA-ku,” omel Divya sambil manyun.

Lah, mereka udah sampai pada taraf bertukar nomor telepon? Bentar, kok aku mulai penasaran dia ini siapa, ya?

Rasa penasaranku tak terjawab karena Bu Kasih menggiring kami ke rumah. Di dalam rumah, beliau menyajikan es kuwut bali yang segar dan potongan buah nanas. Tak lupa sepiring lumpia ayam wortel disajikan lengkap dengan cabai dan saus tauco. Tak lupa juga aku memandangi wajah si Divya itu tanpa jeda.

Dia ini siapanya Mas Dama dan keluarganya sih? Akrab sekali!

“Wajar kalau calon dokter itu suntuk. Pelajaran kedokteran banyak, ‘kan?” buka Bu Kasih sambil tersenyum padaku. “Kalau nggak percaya tanya aja sama Dokter Divya.”

Oh, dia dokter …,” batinku makin kepo.

“Kenalin, aku dokter Divya, teman masa kecilnya Dama sekaligus partner-nya nyuri pepaya,” Divya menjulurkan tangannya dengan senyum percaya diri.

Mas Dama melemparnya dengan potongan daun bawang. “Nggak usah disebut yang itu!”

Ia hanya terkekeh renyah, kusambut kekehan yang garing. Akrab sekali, ya? Jadi cemburu nih.

“Beneran! Siapa yang nyangka kalau bocil yang dekil, kerempeng, kalau ingusan sampai hijau sekarang udah jadi tentara. Kapten pula, mana ganteng kayak artis Korea,” celoteh Divya meriah.

Wajah Mas Dama masam bukan main. “Bongkar aja! Kesempatan ada pacarku, ya?”

Agak semriwing nih diakuin pacarnya, ngok! Mana aku belum sempat kenalan namaku lho ini, tapi sesembaknya udah meriah ngobrol ke sana-sini.

“Lagian kamu juga kok udah kinclong, dulu mirip aspal kulitmu!” balas Mas Dama sekaligus memujinya.

“Siap, perawatanlah! Niatnya pengen bikin kamu tersepona,” godanya, tapi langsung beralih padaku. “Eh maaf, namanya siapa Dek?” tanyanya pada akhirnya.

“Elleanor, Dok,” jawabku sopan tanpa banyak cengengesan.

“Oh, panggil Mbak ajalah! Lagi nggak praktek nih,” ralatnya. “Katanya mahasiswi kedokteran, jurusan apa? Kampusnya?”

“Kedokteran gigi, Mbak. Di Unair semester 4.”

“Ya ampun, calon dentist! Mantap. Cantik dan modis biasanya tuh,” Divya memberiku dua jempol dengan bahagia.

Sumpah, Mbak yang satu ini mirip petasan banting, super ribut.

“Kok sekarang di sini ngapain?” potong Mas Dama.

“Sekarang aku praktek di sini, karena belum ada dokter umum, ‘kan? Itung-itung bakti pada kampung halamanlah,” jawabnya anggun.

“Masih zaman pengabdian sekarang?” cibir Mas Dama sambil mengunyah rawit dua biji. Pantas pedes.

“Sama kayak kamu, ‘kan? Demi negeri rela patah tulang dan jauhan sama orang tua,” ucapnya.

“Pret! Teori aja itu,” timpal Mas Dama santai.

Mas Dama kalau ngobrol sama yang satu ini kok beda, ya? Kayak akrab sekali gitu, santai bisa ejek-ejekan.

“Jadi Adek ini alasanmu nggak balas WA-ku?”

“Aku lagi sibuk kemarin,” jawab Mas Dama enggan.

“Sibuk teleponan sama Ellea, ‘kan?”

Usil amat se awakmu! Nikah sana!” (Usil banget kamu!)

“Kamu duluan itu lho! Calon udah ada nunggu apa?” balasnya getol.

Jadi dokter cantik ini masih lajang juga? Wow, pikiran liarku berkata kalau mereka pernah cinlok, tapi nggak kesampaian. Atau mungkin dulu pernah dijodohin?

“Kalian deket, ya?” tanyaku merasa dikacangin.

Sorry, kami kalau ngobrol suka lupa. Maaf, ya, Dek,” ucap Divya cepat.

“Adek mau lumpia lagi?” Mas Dama mulai memperhatikanku. Mungkin baru sadar kalau manusia segede gaban ini masih di sini.

“Nggak Mas,” aku menggeleng. “Aku lebih penasaran sama hubungan kalian.”

Keduanya menunduk bersamaan. Apalagi Divya kelihatan salah tingkah dengan menyibak rambut berulangkali. Sampai pada akhirnya, Bu Kasih masuk dan memecah penasaranku.

“Mereka teman satu SD, SMP, dan SMA. Sering berangkat dan pulang bareng, sebab cuma Dama yang bawa motor dulu. Sekolahnya jauh, ‘kan, Nduk. Bapaknya Mbak Divya ini temannya Pak Yaksa. Sesama pemilik tambak juga.”

“Mereka dulu selalu sepiring berdua. Bahkan, waktu TK mereka pernah dimandikan bareng, habis kehujanan gitu kotor. Mereka dekat udah kayak saudara. Pengennya dulu dijodohkan, tapi Dama udah punya pacar.”

“Iya Buk, namanya Savira dulu. Dia udah nikah sama polisi sekarang,” imbuh Divya datar.

Penjelasan Bu Kasih membuatku ingin berubah jadi karet suction. Mereka dekat sekali bahkan pernah mandi bersama. Wajar, masih TK dan keadaan kotor habis hujan-hujanan. Namun, kok aku cemburu pada masa kanak-kanak mereka, ya? Aku aja yang pacarnya nggak pernah lihat onderdil Mas Dama kok. Edan!

“Ellea boleh lihat punya Mas Dama juga nggak?” bisikku polos di dekat telinga Mas Dama.

Kontan lelakiku ini langsung mendelik. Mulutnya yang sedang mengunyah semangka langsung berhenti. Semacam syok gitu, mungkin menyadari kalau aku ini nggak sesuci wajahku.

“Bercanda, Mas!” ucapku datar dibalas wajah lega olehnya.

“Izin Kapten, kapan-kapan boleh dong kita jalan? Kangen masa kecil kita sumpah. Kamu nggak hobi nyolong lagi sekarang?” celotehnya masih meriah.

“Tolong deh! Nyuri apaan emang woi!”

“Nyuri hatinya Ellea. Ciyeeeh,” ejeknya makin seru.

“Kalau itu beda lagi. Dia aja yang ngejar terus,” tunjuknya.

Wajahku langsung layu.

“Siapa dong yang ngejar aku di Bromo?” pancingku.

“Hem, daripada membuang kesempatan,” balasnya cuek.

Resek!” batinku kesal.

Aw so sweet banget sih, Dam! Jadi iri aku,” tanggap Divya tersipu.

Udah kesal karena dia akrab sama cewek lain, sekarang dia nggak ada manis-manisnya di depan cewek lain itu pula. Merasa punya saingan sih aku. Apalagi Bu Kasih kayaknya suka sama Divya. Tadi aja digandeng jalan di sepanjang pantai.

“Ngapain Ibu tadi jalan sama dia panas-panas gitu? Katanya Ibu sering migrain,” omel Mas Dama perhatian.

“Sama seperti Ellea, Divya juga suka pantai itu. Katanya kalau uangnya banyak mau dibeli kok.” Bu Kasih tertawa sambil mengelus pangkuan Divya.

“Nggak kujual,” sahut Mas Dama judes.

“Di pantai itu pertama kali kulihat tititnya Dama!” kata Divya nggak tahu malu.

Bu Kasih tergelak riang. Namun, Mas Dama hanya melengos malu. Beda denganku yang melongo kehabisan kata-kata. Kayaknya aku nggak suka sama tempat itu lagi deh. Nyesek banget sih rasanya.

Kesalahan malam minggu ini adalah aku datang ke rumah Mas Dama dan bertemu teman lamanya yang ternyata … gila. Akhlaknya udah dijual ke rombengan.

“Sekarang udah berubah nggak, Dam?” Divya makin usil mengganggu kewibawaan Mas Dama.

Awakmu moleh kono, Div! Eneg aku ndelok raimu!” usir Mas Dama sambil berlalu ke dapur. (Pulang sana, Div! aku mual lihat wajahmu!)

“Ampun deh, kamu masih galak aja dari dulu, Dam!” celetuk Divya santai, lalu beralih padaku. “Ke kamu judes juga nggak, Dek? Kamu kok tahan?”

“Kadang sih. Aslinya Mas Dama baik kok kalau di HP, kalau ketemu tetep nyebelin,” jawabku polos nan jujur.

Tawanya meledak, “ya ampun, Dam! Kesian amat anak orang mbok godain terus.”

“Biasa aja!” timpal Mas Dama cuek.

“Ibu, Ellea keluar dulu, ya?” pamitku karena kadung suntuk.

“Mau ke mana, Nduk?” tanya beliau yang tak kutanggapi.

Hatiku terasa hambar, nggak nyaman.
***

Bersambung...

Nulis bab ini, berasa pengen nggulat siapa gitu, ya gak siy?

Selamat baca, mohon maaf belum sempat balas komen ❤❤❤❤

Hapsun dan stay healthy Temans 😘😘😘😘😘😘😘😘😭😭

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

1.8M 17.3K 24
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
2.9M 23.1K 45
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
553K 22.9K 38
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
6M 312K 58
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...