Bab 32 Dokter dan Calon Dokter

3.5K 757 88
                                    

“Ah, sebentar lagi senja,” gumamku sembari tersenyum.

“Memang kenapa dengan senja, Nduk?” tanya Kakek Tirta Jusuf alias Kek Jusuf yang memecah pandanganku.

Buru-buru aku menatap wajah kakek yang penasaran. “Karena orang yang selalu kupikirkan akan ke sini, Kek.”

“Tunggu,” Kakek tercenung sebentar. “Kata ayahmu, pacarmu orang Malang, ‘kan?”

“Heem,” jawabku mengimutkan diri.

“Waduh!” Kakek menepuk jidatnya. “Kesalahan Kakek ajak kamu ke sini. Pasti kamu mau pacaran, ya, ‘kan?”

“Heem,” jawabku lagi dengan percaya diri.

Nduk, kamu nggak boleh nikah duluan, ya?” Kakek mulai mewanti-wanti.

Dengan senyum simpul aku menjawab, “makanya Ellea mau pacaran dulu. Okay, Kek!”

Kerlingan senyumku bukan tanpa sebab, sebuah Jazz hitam mendekat ke arah bangunan rumah sakit setengah jadi milik Kakek. Mungkin tinggal 20% bangunan itu selesai dan akan jadi salah satu rumah sakit besar di kota Malang. Mungkin aku akan bekerja di sini, entah nanti. Nunggu yang sedang tersenyum padaku itu akan membawaku ke mana.

Mas Dama turun dengan masih berseragam loreng. Tampaknya sepulang dinas dia langsung menghampiriku. Jelas, kangen berat dong! Sama sepertiku yang teramat sangat merindukannya. Akhir pekan adalah surga bagi pasangan LDR macam kami. Melebur celengan rindu yang bengkak.

“Ini pacarmu?” tanya Kakek sambil menyenggolku yang nyengir tanpa habis-habis.

“Iya, Kek. Ganteng, ‘kan?” Kunaikturunkan alis percaya diri.

“Mirip dengan ayahmu pas muda,” gumam Kakek.

“Idih, nggak mau ketinggalan muji anaknya dong,” timpalku sambil menghambur ke pelukan Mas Dama.

Sayangnya, lelaki gagah ini tak menerima pelukanku dan malah mencium tangan Kakek. Tobat, kenapa dia mengabaikanku sih? Demi mencari muka ke Kek Jusuf sekarang?

“Selamat sore, Kek,” sapanya ramah.

Dia memang sudah tahu kalau aku datang bersama Kakek ke Malang untuk urusan rumah sakit. Oleh karena itu, sikapnya sopan dan ramah, nggak kayak biasanya yang cuek bebek.

“Sore, Mas …,” tanya Kakek.

“Dama, Kek,” jawab Mas Dama sopan.

“Wah, anak yang sopan. Maklum tentara. Mirip kayak ayahnya Ellea waktu muda,” celoteh Kakek tersipu-sipu.

Heol, memang Mas Dama idaman para sesepuh kayaknya. Beruntung banget sih jadi pacarnya, ya akulah, plak!

“Sebenarnya, Kakek mau ngajarin Ellea manajemen rumah sakit. Biar nanti selepas lulus profesi dia bisa langsung jadi manajer di sini. Sayang dia malah milih pacaran,” sesal Kakek, tapi wajahnya semringah.

Mas Dama tersenyum tipis. “Mohon izin, kalau memang Ellea sibuk saya bisa …,”

“Nggak Mas, aku nggak sibuk. Jalan yuk!” potongku sambil menarik lengan tegap pacarku.

Kakek kelihatan bingung. “Ya udah bisa apa.”

“Ellea,” tekan Mas Dama nggak suka.

“Nggak masalah, Mas. Aku udah cukup pusing sama tugas,” bisikku lirih. “Please, tolong aku!”

“Kalau begitu, mohon izin undur diri, Kek. Saya akan mengajak Ellea ke …,” kata Mas Dama.

“Iya udah tahu kok Kakek. Udah yuk, Mas!” potong dan tarikku.

“Kek, aku pergi dulu, ya?” pamitku cepat pada Kek Jusuf yang melongo.

“Dasar anak zaman sekarang, nggak ada takutnya sama orang tua,” gumam Kakek heran.

Senja dan RenjanaΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα