outbreak (l.h.)

By aishaandriana

2.7K 271 46

luke hemmings and kelly gibson are now living in the very different world. together they try to stay safe, to... More

(0) prologue
(1) first runaway
(2) hospital
(3) rescue
(5) breaking news
(6) knife
(7) surprise
(8) his help
(9) permission
(10) holes
(11) drawings
(12) healer
(13) promise
(14) getting out

(4) friends

210 22 0
By aishaandriana

Kelly Gibson

.

.

"Semalam saja tak ada salahnya, Kelly."

Tom menyangkal kalimatku sebelumnya. Aku bilang pada Tom kalau aku enggan berlama-lama di tempat pengungsian ini. Aku ingin keluar dan mencari ayahku tapi Tom meyakinkanku kalau Ayah akan datang ke sini. Aku percaya tidak percaya dengan perkataannya karena sudah lebih dari enam jam Ayah belum menyusul kami.

Tempat pengungsian ini dibuat sedemikian rupa agar muat banyak orang. Tempat ini aslinya adalah tempat peristirahatan di jalan antar kota. Tapi, karena hari sudah gelap banyak orang yang memutuskan untuk berhenti di sini dan tempat ini terlihat seperti pengungsian.

"Apa kau tidak mengkhawatirkan Ayah?" tanyaku heran pada Tom. Daritadi ia terlihat baik-baik saja dan tidak gelisah seperti aku.

Tom mengangkat kedua bahunya. "Kalau Ayah melihatmu, pasti ia menegurmu karena terlalu berlebihan. Sudahlah, Ayah pasti datang. Kau tidak usah khawatir."

Aku duduk di salah satu bangku meja piknik yang tersedia di sana. Orang-orang sedang menikmati makan malamnya sambil berbincang-bincang dengan santai dan hal itu membuatku heran. Bagaimana mereka bisa tenang seperti ini kalau di dalam kota sana bakal ada banyak mayat hidup yang siap menggerogoti tubuh mereka?

"Makanlah," Tiba-tiba Tom menyodorkan piring berisi burger daging yang aromanya menggodaku. "Kau harus mengisi perutmu, kita belum sempat makan sejak siang tadi."

Aku menerima piring itu namun masih belum mau menyentuh burger hangat tersebut. Aku belum nafsu makan dan aku tahu itu bakal membuat kakakku uring-uringan. Terkadang, ia bertindak sama seperti ibuku. Sewaktu aku kecil, Ibu sering uring-uringan kalau aku malas makan. Ternyata sifat Ibu menurun kepada anak laki-lakinya.

"Kelly, makan burgernya. Kalau kau pingsan, aku tidak mau menggotongmu ke mobil ya." kata Tom yang sudah menggenggam burger miliknya sendiri. Perlahan ia menggigit dan mengunyah burger itu.

Aku menunduk menatap burgerku. Sekarang aku bisa enak-enak makan, tapi Ayah bersusah payah melawan makhluk busuk itu di dalam kota. Bagaimana bisa aku makan setenang Tom kalau otakku dipenuhi pikiran seperti itu? Rasanya aku ingin kembali saja ke kota untuk mencari Ayah. Setidaknya untuk memastikan Ayahku masih hidup atau tidak.

Tidak, Ayah pasti masih hidup. Aku yakin.

Ayah pasti masih hidup.

Tom masih memandangiku, menungguku melahap burger yang ia bawa. Tom akan terus memandangiku sampai aku makan. Kalau pun aku baru makan besok subuh, Tom masih tetap menunggu sambil membujukku makan. Daripada kemungkinan itu terjadi, lebih baik aku makan saja. Burger ini tidak buruk-buruk amat kelihatannya.

Gigitan pertama terasa lama untukku karena aku mengunyah dengan ogah-ogahan. Tom sedikit menyeringai dan bersandar ke depan mobil lalu menikmati makanannya. Ia tahu kalau aku bakal makan makanan itu karenanya. Melihatku menggigit sekali saja ia sudah merasa lega.

"Kita tidur di sini?" tanyaku yang memecah keheningan antara aku dan Tom.

Tom menelan kunyahan terakhirnya dan mengiyakan. "Kita tidur di mobil kok, tenang saja. Aku tahu kau tidak suka berbagi tempat tidur dengan orang asing."

Aku tersenyum berterima kasih pada kakakku. Rupanya ia sangat memperhatikanku bahkan sampai ke detil-detil kecil. Syukurlah aku bisa pergi dengannya. Tidak bisa terbayang kalau aku kabur dari rumah seorang diri. Yang ada mungkin aku sudah mati duluan gara-gara zombie.

Semakin banyak mobil yang berdatangan ke area parkir. Matahari juga sudah mulai menyembunyikan wujudnya dan bersiap mengganti warna langit ke warna yang lebih gelap. Tempat peristirahatan ini terletak di tengah jalur kotaku dengan kota sebelah. Jadi, bisa dipastikan esok hari orang-orang akan menuju ke tempat yang sama denganku.

Sembari aku memerhatikan orang-orang yang baru turun dari mobil mereka di area parkir, aku tidak sadar ada yang menghampiri Tom dan mengajaknya bicara.

"Hei, Tom," panggil laki-laki itu. "Kau dan adikmu bermalam di sini bukan?"

Mendengar itu, aku memalingkan wajah dan memperhatikan kakakku dan orang itu. Sebenarnya aku berharap Tom menjawab tidak, tapi yang terjadi malah sebaliknya.

"Ya, kenapa? Boleh kan aku menginap di sini?" Tom balik bertanya ke laki-laki berambut gelap itu. Tinggi mereka berdua tidak beda jauh dan kelihatannya mereka seumuran.

"Tentu saja, memang siapa aku yang berhak melarang? Aku hanya menanyakan hal itu padamu." jawab laki-laki itu.

"Aku tidak mau mengambil resiko bertemu dengan zombie-zombie itu hanya berdua saja dengan adikku dan gelap-gelapan. Setelah tempat peristirahatan ini kan hanya tersisa hutan jadi pasti lebih beresiko." ujar Tom sambil memperhatikanku. Aku memberikan isyarat padanya kalau aku tidak tahu siapa laki-laki itu.

"Ah, ya, Byron, kenalkan ini adikku, Kelly," Tom berdiri menghampiriku dan otomatis aku ikut berdiri juga dari tempat dudukku. "Kelly, ini Byron, temanku di kampus."

Teman kuliah? Pantas saja aku tidak mengenalnya. Aku hanya kenal teman Tom semasa ia SMA saja. Teman kuliah tapi kenapa ia bisa berada di satu kota dengan kami? Sebelum aku mendapat jawabannya, Byron menjabat tanganku dan aku membalasnya.

"Ia tidak tinggal di kota yang sama dengan kita, Greenlake. Dia kebetulan ada di sini untuk melakukan sebuah penelitian." jelas Tom seolah bisa membaca pikiranku.

"Sudah makan?" tanya Byron ramah. Aku mengangguk seadanya. Aku memang tidak bisa cepat akrab kalau baru mengenal seseorang, pasti aku bakal memilih untuk diam dan diajak omong, bukan yang membuka pembicaraan lebih dulu.

Byron berdeham dan mengalihkan pandangannya ke Tom. "Menurutmu, apa penyebab zombie-zombie itu bermunculan?"

Tom memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan aku kembali ke tempat dudukku mencoba menyimak percakapan mereka berdua. "Profesor yang menjadi pembimbingku di laboratorium menyampaikan padaku kalau ini hanya wabah. Begitu saja. Aku juga tidak tahu. Pasti ada virus yang menginfeksi mereka karena setahuku awalnya berasal dari rumah sakit.

"Lalu bagaimana teorimu tentang kemunculan wabah ini?" Alis Byron bertautan. Ia terlihat tertarik untuk membicarakan hal ini lebih jauh saat mendengar jawaban dari Tom.

"Teoriku adalah wabah itu tiba ke kota kita melalui seseorang yang sudah terinfeksi dari kota lain dan berobat ke rumah sakit. Tapi karena waktu inkubasi kuman ini begitu cepat dan harus ditangani dengan cepat juga, sebelum penderitanya mendapat penanganan, ia terlebih dulu bertransformasi menjadi...," Tom mengedikkan bahunya dan menggaruk tengkuknya.  "Kau tahulah maksudku..."

Lawan bicara Tom melipat lengan kirinya ke depan dada dan lengan kanannya menggosok-gosok dagu seolah paham dengan penjelasan Tom. "Hmm... Menarik. Sepertinya masuk akal juga."

Aku mengulang-ulang perkataan Tom di dalam otakku. Muncul dari rumah sakit katanya. Pasti ia beranggapan begitu karena Ayah berkata terjadi kekacauan di rumah sakit dan teori Tom mungkin benar. Tapi, kalau begitu sama saja Ayah mendatangi tempat awal mula infeksi itu terjadi? Apakah mungkin Ayah tidak tergigit dan berubah menjadi zombie?

Sebuah mobil berhenti di jarak yang cukup dekat antara aku dan Tom serta Byron. Lampunya menyilaukan mata sehingga membuatku harus memercing dan menghalangi cahayanya dengan lenganku.

Tak lama, lampunya padam dan turunlah seorang laki-laki dengan rambut gelap dari mobil itu. Aku sudah menurunkan tanganku jadi aku dapat melihat jelas wajah orang itu. Sekilas aku pernah melihatnya, tapi aku lupa di mana. Wajahnya terasa familiar di ingatanku.

Orang itu menghampiri Byron dan menepuk pundak Byron. Byron menoleh lalu membelalakkan matanya kemudian menjabat tangan orang itu. Aku terus memperhatikan dari tempat dudukku karena ragu untuk ikut menimbrung ke sana. Tom hanya menyunggingkan senyum kepada orang itu.

Si rambut gelap tadi berbalik ke depan mobil dan memanggil temannya yang berada di kursi depan. Yang ini rambutnya pirang keemasan, laki-laki juga. Dari wajahnya, aku tahu ia baru saja melalui hari yang berat. Pernyataanku semakin kuyakini karena kemudian ia turun dari mobil bersamaan dengan seorang wanita yang cukup lanjut. Rambut wanita itu sebagian berwarna putih menunjukkan usianya.

"Kelly!"

Aku mengerjap dan perhatianku teralih kepada Tom yang memanggilku. Ia melambaikan tangan dan menyuruhku untuk menghampiri mereka semua. Ya, laki-laki pirang dan wanita tadi sudah ikut bergabung dengan Tom, Byron serta temannya yang satu lagi.

Aku mengangkat alis dan Tom memelototiku. Ia menyuruhku untuk cepat datang ke sana. Aku tidak mengerti kenapa ia memintaku demikian, untuk memperkenalkanku? Ah, benar, itulah Tom. Bersikap sopan kepada semua orang baik yang baru kenal atau sudah lama kenal.

Aku berjalan dengan lambat ke arah mereka sementara mereka berbincang-bincang. Lebih tepatnya, Byron yang banyak bicara sejak tadi. Baru kenal saja, aku bisa menebak kalau Byron itu orang yang banyak bicara. Daritadi belum kulihat Byron diam sepertiku.

"Ini teman Byron." bisik Tom di telingaku. Aku memutar mataku. Tanpa diberitahu juga aku sudah tahu daritadi.

"Ah, iya, Kelly," Giliran Byron yang bicara. "Ini temanku, Ollie. Dia tinggal tidak jauh dari tempat tinggalku di sini."

Tetangga Byron mengulurkan tangannya padaku, mau tak mau aku membalasnya. Laki-laki itu menyipitkan kedua matanya seolah mengingat-ingat sesuatu saat melihat wajahku. "Kau Kelly Gibson, ya? Kau dulu bersekolah di Easton sepertiku kan?" tanyanya saat selesai meneliti wajahku.

Jujur, aku terkejut dia mengenaliku. Ternyata dia satu SMA denganku. Pantas saja, aku merasa familiar dengannya. Tak lama, aku menyadari kalau ternyata dia memang teman seangkatanku yang cukup dikenal. Namanya Oliver tapi orang-orang biasa memanggilnya Ollie. Aku tidak terlalu mengenalnya karena kami memang tidak pernah sekelas dan Ollie termasuk ke kalangan eksis di angkatanku. Wajar saja, dia dulu salah satu pemain futbol yang lumayan di sekolah.

Aku mengangguk menjawab pertanyaan Ollie. Ia tersenyum memandangku lalu menengok ke belakang dan mengenalkan temannya padaku dan yang lain. "Ini Luke, tetanggaku dan temanku juga. Dia bersekolah di Easton juga, sama seperti adikmu, Tom."

Laki-laki yang dipanggil Luke tadi memamerkan senyumnya yang berhiaskan tindikan di bibir. Aku merasa tidak pernah mengenal Luke dan otakku pun tidak dapat mengingat kalau ia bersekolah di tempat yang sama denganku juga. Seolah mampu membaca pikiranku, Ollie menambahkan, "Kau mungkin jarang melihat Luke, dia terlalu sering berdiam diri di ruang musik dan selalu langsung pulang jika saat jam pulang sekolah."

Pantas saja, aku tidak akan bertemu dengan Luke karena aku memang tidak mengambil kelas musik. Mau masuk kelas musik bagaimana kalau aku menyanyi saja semua orang menutup telinganya, termasuk Tom. Aku tidak punya bakat musik. Kalau Luke sering mengunjungi perpustakaan tentu aku akan bertemu dengannya.

Ollie memperkenalkan aku dan yang lain ke wanita di belakang Luke yang katanya adalah bibi Luke. Wanita itu terlihat banyak pikiran, mungkin ia melalui hari yang berat. Semua orang yang berada di sini melalui hari yang berat. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk kembali cerah seperti sediakala.

"Well, sepertinya kalian sudah kenal dengan kami semua, kurasa sebaiknya kalian mengambil makan malam dan beristirahat." kata Byron dan direspon anggukan oleh Luke.

Ollie berterima kasih pada kami sebelum berlalu bersama Luke dan bibinya. Aku dan Tom berdiri bersampingan sambil memperhatikan mereka. Byron sudah pergi entah ke mana, yang jelas arahnya berbeda dengan Ollie dan kawan-kawan.

"Kau mengenal mereka berdua?" tanya Tom.

Aku menggeleng. "Aku tahu Ollie, dia bisa dibilang... Mmm... Cukup eksis. Kalau yang satu lagi itu, Luke, aku tidak pernah melihatnya."

Tom menyandarkan tubuhnya ke bagian depan mobil. Aku mengikutinya. Beberapa menit terlewatkan dengan keheningan.

"Aku masih tidak percaya kita akan hidup di tengah-tengah dunia yang seperti ini." ucapku pada akhirnya.

Tom menengok ke arahku dan membasahi bibirnya. "Ya, aku juga tidak pernah menyangka. Tapi aku masih bersyukur denganmu di sini, dibanding harus berada di luar kota, jauh darimu dan ayah, dan mencoba bertahan hidup sendirian melawan mayat-mayat berjalan itu."

Aku memejamkan mataku membayangkan Tom sendirian dan aku membuka mata dengan cepat karena tidak mau membayangkan terlalu lama. Sekarang saja sudah menyeramkan, apalagi sendirian dan tidak punya siapa-siapa, hanya zombie-zombie itu.

"Kau yakin Ayah bakal kembali?" tanyaku. Ayah masih berada di prioritas pertamaku detik ini. Rasa khawatir mulai muncul lagi di dalam tubuhku. Aku belum siap ditinggalkan Ayah.

Tom merangkul bahuku dan menyisakan sedikit jarak di antaraku dengannya. Ia berkata, "Aku yakin. Ia orang yang kuat, kau tahu itu. Tapi... Jika ia memang harus pergi, aku sudah siap kok."

Aku mengernyitkan dahi. "Kenapa kau ujungnya berkata seperti itu?"

"Aku tidak mau terlalu banyak berharap. Aku pernah mengharap terlalu tinggi dan kenyataannya adalah sebaliknya, dan sakitnya tak tertahankan, Kelly. Aku tidak mau kau merasakan hal yang sama." jawab Tom lembut.

"Ayah bakal kembali kok. Aku mau berharap melebihi kau karena aku tahu instingku akan benar." tegasku.

"Kuharap demikian, tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang pasti padamu, kau juga tidak boleh terlalu berharap banyak. Kau tidak tahu apa yang bakal terjadi ke depannya." Tom memberengut menatapku.

Sorot mata Tom terlihat lebih gelap daripada sebelumnya. Aku mengerti apa yang ia maksud tapi kuanggap ia hanya ketakutan. Ia takut dengan pikiran negatifnya sendiri yang perlahan menghilangkan harapannya. Namun hal itu tidak terjadi padaku.

"Tidak," Aku menelan ludah dan mencoba menyuarakan pikiranku. "Kau takut. Aku tahu dalam hatimu kau belum siap kehilangan ayah tapi kau mencoba menutupinya."

Rahang Tom diam kaku dan matanya memandangku lurus-lurus. Aku menambahkan, "Aku masih yakin kok Ayah masih hidup. Kalau kau kehilangan harapan seperti ini, lebih baik kau jernihkan pikiranmu dulu dan baru bicara denganku. Aku tidak mau ngobrol dengan orang pesimis."

Setelah itu, aku pergi meninggalkan Tom ke dalam mobil. Aku merebahkan tubuh di jok belakang. Mencoba tidur namun sulit rasanya. Pandanganku ke atas menatap langit-langit mobil. Suara-suara di dalam kepalaku masih terdengar dan itulah yang menghambatku untuk terlelap.

Aku harus mencari tahu keadaan Ayah. Tapi bagaimana caranya? Kembali ke Greenlake rasanya tidak mungkin, tapi kelihatannya itu adalah satu-satunya cara. Mungkin aku bisa mencari tahu keadaan kota terakhir kali dengan bertanya pada orang-orang di sini sebelum kembali ke kota.

Mengajak Tom mungkin terdengar sia-sia tapi kalau aku berhasil membujuknya besok aku mungkin bisa mencari Ayah dengannya. Besok aku harus bicara dengan Tom dan orang-orang di sini. Aku mau tahu keadaan Ayah dan mengira-ngira apakah rencanaku akan berhasil. Semoga saja semua berjalan lancar.

*****

note:

Tom is on media! Yey! Btw Greenlake itu kota fiksi ya. Jadi emang ga ada hehe dan sepertinya semua nama tempat di sini bakal aku buat bohongan semua hehehe terimakasiiiih

-Sasa

Continue Reading

You'll Also Like

81.6K 12.1K 28
Renjun mengalami sebuah insiden kecelakaan yang membawa raganya terjebak di dalam mobil, terjun bebas ke dalam laut karena kehilangan kendali. Sialny...
672K 32.4K 38
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
39.2K 7.1K 79
Marsha anak yang sangat pintar di sekolahnya, dengan prestasi yang ia dapat ia lolos ke perguruan tinggi negeri yang ia mau selama ini. Namun, masala...
1.2M 62.7K 66
"Jangan cium gue, anjing!!" "Gue nggak nyium lo. Bibir gue yang nyosor sendiri," ujar Langit. "Aarrghh!! Gara-gara kucing sialan gue harus nikah sam...