Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 164K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Purwa

20.5K 2.4K 60
By khanifahda

"Ta, makan ya?"

Kembali Mila membujuk sang keponakan untuk makan. Setelah sampai tadi, beliau langsung membersihkan dapur yang nampak berantakan. Ia juga melihat sup asparagus yang sudah mendingin di dalam panci. Pasti Grahita tadi sempat memasak sebelum kejadian tersebut terjadi.

Grahita kembali menggeleng. Ia tak nafsu makan kali ini walaupun perutnya kosong. Terakhir kali ia hanya minum air putih yang diambilkan oleh Gandhi tadi.

"Kalau begitu tante buatin teh hangat ya?"

Grahita terdiam dan tak menjawab. Selanjutnya lewat kode mata sang mama, Yessy langsung mengangguk dan menuju dapur. Ia langsung membuatkan teh hangat.

Grahita baru bangun sekitar 10 menit yang lalu. Gadis itu terlelap selama kurang lebih satu jam. Grahita bangun tepat kumandang azan ashar terdengar sayup-sayup dari lingkungan kompleksnya.

Mila tersenyum tipis dan mengelus lembut surai Grahita. "Makasih ya, Tan," ucap Grahita kemudian.

"Makasih apa?"

"Makasih sudah datang dan peduli sama Tata,"
Mila tersenyum haru. Lalu ia memilih memeluk Grahita dengan perasaan yang sangat bercampur aduk itu. Gabungan kesedihan dan kelegaan menyatu di sana.

"Kamu nggak perlu bilang makasih, sayang. Justru tante-lah yang harus mengucapkan terima kasih ke kamu."

Lalu Grahita mengurai pelukan mereka. Mila mengusap lembut pipi sang keponakan dengan lembut seraya tersenyum.

"Kamu juga seperti Yessy dan Yosi, sama-sama tante sayangi."

"Makan dulu yuk, sup asparagusnya sudah dihangatin sama Yessy tadi. Kita makan sama-sama ya?"

Mila tak menyerah begitu saja untuk membujuk Grahita makan. Ia berharap Grahita mengiyakan. Dan harapannya menjadi kenyataan ketika gadis itu mengangguk pelan. Senyum lebarnya langsung tercetak di sana.

Lalu Mila membantu Grahita untuk bangkit dan menuju ruang makan. Yessy yang hendak membawakan teh hangat itu terhenti melihat mamanya beserta Grahita yang menuju dapur.
Yessy yang paham dengan situasi saat ini lalu meletakkan teh tersebut dan menyiapkan makan siang yang sebenarnya sudah telat. Yessy mengambilkan nasi serta sup yang dibuat Grahita tadi. Mereka lalu makan siang bersama.

Grahita hanya makan sedikit saja. Tiba-tiba masakannya yang enak itu terasa hambar di mulutnya.

"Emang the best bangat kamu dek kalau masak. Enak banget supnya."

Yessy tak henti-hentinya memuji masakan Grahita. Hal ini bukan semata-mata hanya untuk membuat Grahita senang, tetapi memang masakan Grahita yang lezat.

Di tempatnya Mila sangat setuju dengan ucapan sang putri. Sup yang mendingin dan dihangatkan kembali itu nyatanya masih memiliki cita rasa yang lezat. Tak diragukan lagi kemampuan memasak Grahita yang luar biasa.

Grahita hanya tersenyum sangat tipis. Saat ini ia hanya merasa lebih baik daripada tadi. Namun perasaan takutnya masih begitu terasa.

Selesai makan, mereka lalu membawa Grahita ke ruang tengah. Sebisa mungkin Yessy dan Mila membuat Grahita merasa aman dan diperhatikan.

Tak lama kemudian, suara salam terdengar. Dua orang laki-laki berbeda generasi itu datang dan langsung masuk setelah mengucapkan salam.

"Tata, kamu dimana, sayang?"

Tuan Soeroso langsung mencari cucunya itu. Setelah melihat Grahita yang duduk di ruang tengah, ia langsung memeluk cucunya itu dengan erat.

Raut wajah khawatir begitu kentara di sana. Ia sangat kaget sekaligus marah mendengar Grahita yang mendapatkan perlakuan seperti itu. Langsung saja beliau pergi menuju rumah yang ditempati Grahita sendiri.

Nakula yang awalnya takut ayahnya kenapa-napa setelah mendengar berita ini, agak menghela nafasnya lega. Ayahnya langsung meminta dirinya untuk bertemu dengan Grahita.

Namun di sepanjang jalan, laki-laki senja itu tak henti-hentinya mengutuk Sultan yang sudah membuat cucunya hampir hancur. Demi apapun ia akan memperjuangkan keadilan dan membalas perlakuan Sultan dengan setimpal, bahkan jika diperlukan tak segan ia akan bertindak lebih.

"Ya Tuhan, kenapa harus begini," ucap Tuan Soeroso pelan dengan mengusap pelan wajah Grahita yang nampak tak baik-baik saja.

"Maaf,"

Grahita menggeleng pelan, "Ini bukan salah eyang," sahut Grahita sangat pelan.

Mata Tuan Soeroso lantas berkaca-kaca. Ia tak rela melihat Grahitanya seperti ini. Lalu matanya menatap sang anak sulung. Seakan tahu apa yang dimaksud, Nakula mengangguk. Lalu laki-laki itu mendekat dan mengusap pelan kepala Grahita sayang seraya tersenyum. Hal ini seakan memberi isyarat tentang mereka yang akan berada di samping Grahita bagaimana pun keadaannya.

Kemudian Nakula pamit. Mila yang masih belum paham betul langsung mengejar sang suami yang sudah berjalan cepat keluar rumah.

"Mas mau kemana?"

"Ada hal yang harus mas selesaikan."

Mila terdiam. Lalu Nakula menyentuh pundak sang istri.

"Jaga Grahita. Biarlah ini menjadi urusan mas."

"Aku mohon Mas," ucap Mila penuh harapan tentunya.

Nakula mengangguk menyakinkan, "Kamu sudah lama hidup dengan mas, pasti tahu apa yang akan mas lakukan."

Mila mengangguk pelan, "Hati-hati, Mas."

*****

Perjuangan Mila untuk membujuk Grahita tinggal di rumah utama akhirnya terkabulkan. Gadis itu tanpa pikir dua kali akhirnya mengangguk mengiyakan. Entah mengapa ia masih takut berada di rumah tersebut mengingat Sultan melakukan hal mengerikan itu di rumah. Jiwanya mengatakan jika ia harus menepi dulu untuk menghapus bayang-banyang mengerikan tersebut. Alhasil ia mau ketika dibujuk untuk tinggal di rumah sang eyang.

Tentu berita ini disambut bahagia oleh mereka semua. Grahita mereka akhirnya mau setelah sekian lama tak datang. Bahkan mereka ingat terakhir kali Grahita mau menginap cukup lama di sana adalah 10 tahun yang lalu.

Setelah membantu Grahita memasukkan baju ke dalam tas besar, Yessy langsung menelpon Yosi yang masih dalam perjalanan dari Polda untuk segera datang karena hari sudah mulai petang. Sementara Grahita dengan dibantu Yessy meminta mbok Yati untuk sesekali menengok rumah. Grahita juga menitipkan rumah pada perempuan yang sudah dipercaya oleh keluarga omanya sejak ia masih kecil itu.

Grahita lalu berjalan pelan meninggalkan rumah. Sekali lagi ia melihat rumah yang menjadi saksi ia tumbuh. Di rumah itu ia juga mengalami banyak hal mulai dari hal pahit, manis hingga menyakitkan. Di rumah itu pula, ia harus merasakan ketakutan akibat perbuatan keji Sultan.

Sepanjang perjalanan, tangan Grahita senantiasa digenggam oleh sang eyang. Sementara ia sibuk menatap jalanan ibu kota yang mulai padat dan macet. Pikirannya belum tenang. Ia masih menjadi sosok pendiam yang kehilangan semangat hidupnya.

Akhirnya mereka sampai di rumah utama milik Soeroso Pramonoadmodjo itu. Gerbang tinggi dibuka oleh petugas keamanan yang bekerja di sana. Setelah itu, mereka turun dan Grahita langsung dibawa menuju kamarnya. Sementara Tuan Soeroso langsung istirahat karena tiba-tiba beliau sedikit pusing. Mungkin efek kepikiran dengan Grahita tadi serta faktor usia yang membuat kesehatannya mudah menurun.

"Istirahat ya, Ta. Nanti waktu makan malam, tante panggil."

"Tata mau mandi dulu."

Mila mengangguk seraya tersenyum. Lalu perempuan itu pamit dan menutup pintu kamar Grahita.

Grahita menghela nafasnya panjang. Ia belum mandi dari tadi pagi. Ia bahkan lupa untuk sekedar mengganti bajunya atau memang sekarang pikirannya sedang tak baik-baik saja.

Setelah mandi dan membersihkan diri, ia berjalan menuju jendela dan membuka tirai berwarna abu-abu muda itu. Ia menatap taman samping yang terhubung dengan kolam renang. Grahita kembali merenung di sana.

Terlalu banyak hal yang ia lewati. Tentang bagaimana ia membenci keluarga dari papanya itu. Ia benci karena sakit yang selalu ditorehkan oleh mereka. Grahita marah dan kecewa karena ditelantarkan begitu saja.

Gadis itu juga berpikir. Mengapa orang-orang begitu jahat kepadanya. Ia merasa tak pernah berbuat jahat kepada orang lain, tetapi orang lain dengan mudah berbuat jahat kepada dirinya. Mereka dengan mudah menggores luka dibekas yang sama hingga tak sempat mengering.

Sementara itu disisi lain, Mila antusias menyiapkan makan malam bersama. ia membantu para juru masak. Walaupun sebagai tuan rumah, ia tak segan untuk turun ke dapur. Ia punya prinsip, sekaya apapun ia, ia akan tetap memasak, membersihkan rumah, dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh asisten rumah tangga. Bahkan ketika di Amerika, ia menyempatkan diri memasakkan sang suami di tengah kesibukannya mengurus butik dan toko rotinya yang lumayan banyak.

"Diana mana Bi?" tanya Mila pada pekerja di sana. Seharian ini ia tak melihat Diana maupun Agnes.

"Tadi habis keluar sama non Agnes. Katanya habis dari acara fashion show."

Mila mendengus keras. Ia sudah hafal dengan kebiasaan iparnya itu. Diana kalau tidak menghadiri acara sosialita ya jalan-jalan nggak jelas menghamburkan uang.

"Panggil yang lain buat makan malam."

"Baik, Bu."

Mila memang lebih suka dipanggil Bu ketimbang nyonya. Ia hanya lebih nyaman dipanggil bu. Lagipula rasanya berlebihan dipanggil nyonya, begitu alasannya.

Lalu mereka memanggil seluruh anggota keluarga di sana. Mila lantas menuju kamar Grahita untuk memanggil keponakannya itu.

Makan malam ini berbeda. Nampaknya efek kajadian yang menimpa Grahita, membuat Tuan Soeroso harus istirahat di kamar. Beliau tidak bisa menghadiri makan malam bersama kali ini.

Makan malam ini juga minus Sadewa yang pergi keluar kota. Alhasil hanya ada Nakula, Mila, Yessy, Yosi, Grahita, Diana, dan Agnes.

Diana kaget melihat anak tirinya itu berada di rumah utama. Ia juga kaget melihat Grahita yang nampak agak sedikit berbeda.

Mereka lantas makan malam dalam keadaan hening. Tak ada pembicaraan sama sekali. Baru Mila berbicara setelah makan malam mereka selesai.

"Kok nggak dihabisin Ta?" tanya Mila melihat Grahita hanya makan beberapa sendok saja.

"Sudah kenyang, Tan," jawab gadis itu dengan suara lirih dan wajah tanpa ekspresi.

Yessy hendak berbicara, namun dicegah oleh sang mama lewat kode matanya. "Ya sudah nggak apa-apa. Nanti kalau lapar ke dapur saja ya minta buatin makan sama bibi."

Grahita mengangguk sebagai jawabannya. Setelah itu ia memilih bangkit dan pamit untuk menuju kamar.

"Biarkan Tata istirahat," ujar Nakula setelah kepergian Grahita. Lalu laki-laki itu bangkit diikuti dengan Yosi.

Kini tinggal Mila, Yessy, Diana, dan Agnes. Mila menatap malas iparnya itu.

Merasa jika Diana mendapatkan tatapan intimidasi dari Mila, ia memilih bangkit. Namun ia tiba-tiba dicegah oleh Mila.

"Hubungi Sadewa. Katakan jika putrinya telah mengalami hal buruk. Jika ia tak kunjung pulang, biar suamiku yang turun langsung."

Diana menatap Mila. Lalu seulas senyum miring tercetak di sana.

"Hubungi saja sendiri. Aku sibuk."

Yessy yang berada di samping sang mama lantas menatap datar tantenya itu. Sedangkan Agnes hanya diam di samping Diana.

Mila mendengus, "Memang benar, kau ada hanya menjadi hama di sini. Hanya menjadi parasit yang mematikan. Bodoh sekali Sadewa hidup bersama perempuan seperti kamu," ucap Mila meremehkan Diana.

Di tempatnya, Diana menggeram marah. Ia menatap benci Mila. Lalu ia melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah Mila. Ia juga tak sudi diremehkan oleh Mila. Biarpun ia sering dikatai sebagai perempuan matre dan gila harta, tetapi Diana tak peduli.

"Dengar, aku tidak takut dengan kedatangan dirimu di rumah ini. Kita setara, hanya menantu dari Pramonoadmodjo. Jadi jangan seakan menjadi penguasa di sini!"

Mila menatap Diana yang tersenyum culas. Lalu tertawa seraya mendengus.

"Aku lupa bahwa kau di sini karena kesalahan Sadewa yang buta akan obsesi."

"Artinya kau tak sebatas perempuan yang kebetulan beruntung menjadi yang kesekian kalinya."

Diana seketika naik pitam. Ia menatap Mila marah.

"Jaga ucapanmu! Aku tidak serendah itu!" tangannya menunjuk Mila tanpa rasa takut Matanya melotot tajam pada Mila yang yang justru menatap datar perempuan setengah gila itu.

"Cukup melihat tindakanmu seperti ini, aku sudah tahu."

Melihat mamanya yang hendak ditampar oleh Diana, membuat Yessy mendekat cepat ke arah sang mama untuk menahan tangan Diana. Yessy menggagalkan tindakan rendahan Diana itu dengan tatapan marah.

Sementara itu, Mila masih menatap datar Diana yang nampak marah. Tentunya Diana marah karena aksinya yang gagal itu.

Yessy bergerak tambah mendekat ke arah Diana. Matanya tajam menatap perempuan itu. Posisi mereka sangat dekat sementara Mila kini berada di belakang sang putri.

"Jangan anggap kau hendak menampar mama, kau menjadi hebat. Lupakan sopan santun ketika keluargamu diusik dan diganggu. Mari selesaikan dengan cara anggun, tante Diana Safitri."

Agnes hendak mendekat ketika mamanya mendapat intimidasi dari Yessy. Namun dengan cepat Yessy mengangkat tangannya agar Agnes tak ikut campur.

"Kau bukan dari Pramonoadmodjo, jadi cukup diam ditempat saja nona," ucap Yessy pada Agnes tanpa mengalihkan pandangannya dari Diana.

"Saya diam karena sadar jika saya hanya anak kecil di sini. Saya diam karena merasa bahwa ini urusan milik om Sadewa. Namun melihat keadaan yang justru semakin membelit, membuat saya paham bahwa kalian memang ditakdirkan sebagai hama bagi Pramonoadmodjo. Kelicikan dan kepentingan dirimu menghancurkan upaya seorang papa yang berusaha mendekat ke arah sang putri."

"Tipu dayanya sangat luar biasa hingga seperti sinetron murahan. Jangan pura-pura bodoh karena akan menjadikan dirimu orang yang bodoh sebenarnya."

Yessy lalu menatap Agnes yang berdiri tak jauh dari sang mama. "Saya kasihan padamu karena menjadi alat oleh orang yang telah melahirkanmu. Kau juga hanya menjadi sosok manja yang tak ada artinya. Lalu mengapa kau begitu bangga merendahkan seseorang yang lebih layak ketimbang dirimu? Apa kaca di rumah ini kurang besar, nona?"

Yessy tersenyum tipis, lalu kembali menatap Diana yang membisu. Wajahnya masih tercetak kemarahan yang begitu jelas di sana, namun ucapan tajam penuh dengan kebenaran milik Yessy membuat dirinya bungkam di tempatnya.

"Bertobatlah kepada Tuhan sebelum nikmat yang kamu peroleh selama ini akan lenyap. Jangan menjadi dongeng bawang putih bawang merah, tante. Hal itu tidak berlaku di sini kalau saya peringatkan. Manfaatkan keberuntungmu sebelum keberuntungan itu muak dengan dirimu sendiri."

Yessy kembali tersenyum, kali ini adalah senyuman licik. "Saya tidak akan membalas perbuatan tante yang hendak menampar mama. Cukup tahu kalau adab kami lebih baik. Lagipula tidak baik jika saya menampar balik tante walaupun tangan ini sudah gatal ingin bertindak."

Setelah itu Yessy berbalik dan mengajak sang mama untuk pergi dari tempat tersebut. Sementara itu, Diana hanya bisa menggeram marah. Ia benci di hina.

*****

Setelah sempat beristirahat sejenak karena harus menyelesaikan tugasnya di lapangan hingga petang, pukul 8 malam Gandhi meluncur menuju kediaman Grahita. Laki-laki itu masih khawatir dengan gadis itu. Seharusnya ia bisa beristirahat malam ini, namun pikirannya tak tenang selagi belum melihat Grahita saat ini.

Beberapa hari setelah kejadian tersebut, ia masih kepikiran dengan gadis itu. Baru setelah beberapa hari menahan diri untuk tidak menghubungi Grahita, Gandhi langsung memilih opsi untuk datang ke rumah Grahita.

Sedari tadi pula ia mencoba menghubungi Grahita. Ia berharap jika Grahita bisa dihubungi. Namun nampaknya gadis itu belum aktif di media sosial. Gandhi tentu sangat paham dengan Grahita yang sementara waktu ini membutuhkan ruang dan waktu untuk menepi sejenak.

Akhirnya Gandhi memutuskan untuk pergi ke rumah Grahita di malam yang cukup dingin ini. Berbekal mengenakan jaket bomber, laki-laki itu meluncur cepat ke kediaman Grahita.

Setelah sampai di depan gerbang rumah sederhana bergaya klasik zaman Belanda itu, Gandhi mengernyitkan dahinya. Gerbang besi tua yang sudah berkarat itu terkunci rapat. Ia juga melihat jika lampu teras saja yang menyala. Lampu ruang tamu nampak mati. Gandhi langsung panik.

Lantas laki-laki itu berusaha masuk, namun tak bisa karena benar-benar dikunci. Matannya menyapu seluruh rumah itu, berharap jika Grahita masih di sana. Namun justru rumah itu kosong.
Gandhi menghembuskan nafasnya panjang. Ia tambah khawatir. Ia khawatir jika Grahita kembali dalam bahaya. Sempat terbesit mungkin saja Grahita aman dengan keluarganya. Namun pikiran negatif kembali melingkupi dirinya.

Gandhi seperti buntu pikirannya. Ia tak ada nomor Yosi. Mereka belum sempat bertukar nomor, lebih tepatnya belum jadi padahal Gandhi sudah menyerahkan nomor teleponnya. Tindakan kecil kemarin justru menjadi kebodohan bagi Gandhi.

"Sial!"

Gandhi mengusap kepalanya kasar. Lalu menengadah ke atas dan mengeluarkan segala kekhawatirannya lewat hembusan nafas kasar. Ia berharap jika Grahita baik-baik saja. Ia khawatir.

"Kamu dimana, Ta?"

.
.
.

Purwa : Permulaan

Continue Reading

You'll Also Like

694K 59.7K 30
Epilog dihapus! "Kamu pikir melamar sambil menggendong bayi itu romantis?" tanya Ayyara yang menunjuk bayi di gendongan Rey. Cowok itu menundukkan ke...
ARIEANNA By Cecans

Teen Fiction

2.8K 394 38
Takdir membuatnya gila. Namanya Arieanna Ananta Gabriela seorang gadis yang hidup layaknya di cerita dongeng. Memiliki paras yang rupawan, harta yang...
822K 22.4K 16
Selamat datang semester tujuh, selamat datang masa magang yang katanya, super sibuk dan harus berhadapan dengan momok serba dadakan. Kacung dadakan...
2.4M 13K 26
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...