DELUSIONS

By tanindamey

5.4K 1.5K 1.5K

Bagaimana rasanya memiliki suatu cela dalam hidup? Diasingkan, diacuhkan, ditindas, serbuan kalimat pedas. Ta... More

Prolog
Chapter 1- Pembendung
Chapter 2- Lilin lebah mencekam
Chapter 3 - Diluar terkaan
Chapter 4 - Menikam dipenghujung
Chapter 5 - Bunga tidur
Chapter 6 - Teror malam
Chapter 7- Goresan Luka
Chapter 8 - Kepelikan seseorang
Chapter 9-Tuturan Menyayat Hati
Chapter 10-Tumpahan Air Mata
Chapter 11 - Terjebak dalam Gulita
Chapter 12 - Ancaman
Chapter 13 - Gamang
Chapter 14 - Dekapan
Chapter 15 - Sebuah Amaran
Chapter 16 - Tak Kuasa
Chapter 17 - Terungkap
Chapter 18 - Cela
Chapter 19 - Kelam
Chapter 20 - Sukar
Chapter 21 - Langka
Chapter 22 - Terjaga
Chapter 23 - Berbeda
Chapter 24 - Cendala
Chapter 25 - Berdebar
Chapter 26 - Jengah
Chapter 27 - Terlambat
Chapter 29 - Terbelenggu
Chapter 30 - Bertekad
Chapter 31 - Pasrah
Chapter 32 - Kegetiran
Chapter 33 - Pengakuan
Chapter 34 - Jawaban
Chapter 35 - Telah Padu
Chapter 36 - Meradang
Chapter 37 - Kembali Melukai
Chapter 38 - Memerangi
Chapter 39 - Terdesak
Chapter 40 - Suatu Cela
Chapter 41 - Telah Renggang
Chapter 42 - Delusi
Chapter 43 - Kilah
Chapter 44 - Kalut
Chapter 45 - Berlaga [Ending]
Epilog

Chapter 28 - Mulai Meragu

87 26 21
By tanindamey

Mulai meragu

"Rasa sakit yang nggak disuarakan hanya akan menambah penderitaan, Vla." - Ardanu

Ardanu memarkirkan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Stevlanka. Setelah selasai nonkrong bersama Bara dan temannya yang lain, Ardanu kembali teringat dengan Stevlanka. Entah bagaimanapun ia mengalihkan pikirannya tentang Stevlanka, selalu saja gagal. Ia tidak memiliki niatan untuk bertemu dengan Stevlanka. Namun, tanpa saadar ia sekarang berada di sini, di depan rumah Stevlanka. Ia menghela napasnya.

Hanya karena kalimat yang ia ucapkan di atap sekolah tadi membuatnya gelisah. Ardanu hanya takut Stevlanka melukai seseorang dan yang terkena imbasnya akan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sebisa mungkin Ardanu mencegah Stevlanka melakukan hal yang di luar dugaan. Ardanu tidak mengerti kenapa Stevlanka selalu saja seperti itu.

Ketika Ardanu mengetuk pintu untuk yang kedua kalinya, pintu itu terbuka dan Stevlanka muncul setelah teerbuka lebar. Stevlanka melebarkan matanya. Alisnya menyatu menatap Ardanu.

"Ngapain?" tanyanya.

Ardanu mengusap hidungnya. "Lo di rumah sendiri? Bokap lo udah pulang?"

"Ayah gue lembur."

Mata Ardanu berbinar seketika. "Jalan, yuk?" ajak Ardanu tiba-tiba.

"Hah?"

"Jalan kaki di taman deket sini."

"Udah malam."

"Baru jam delapan malam, bentar doang, kok," kata Ardanu seraya menutup pintu dan meraih tangan Stevlanka. Mereka berdua berjalan berdampingan. Dengan diam gadis itu hanya mengikuti Ardanu.

Kini mereka telah berada di taman. Hanya ada beberapa orang saja yang berada di tempat itu. Keduanya masih sama-sama diam. Sejak tadi Stevlanka menunggu Ardanu mengatakan sesuatu. Berulang kali ia melirik laki-laki itu. Sementara itu, Ardanu juga sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia tidak tahu harus mengucapkan apa. Tidak seperti biasanya yang selalu menggoada Stevlanka.

Stevlanka melirik Ardanu. "Kenapa, Dan?"

"Nggak papa, gue kangen aja sama lo." Ucapan Ardanu membuat Stevlanka menoleh.

Stevlanka menyipitkan matanya. Bukankah Ardanu marah padanya? Mengapa sekarang ia datang dan seolah tidak terjadi apa-apa? Stevlanka kembali menatap ke depan. Ia memilih untuk tidak menanggapi.

Ardanu merapatkan bibirnya melihat Stevlanka yang hanya diam.

"Maaf," lirih Ardanu menatap dari samping.

Stevlanka masih berjalan dengan pandangan yang lurus ke depan. Beberapa saat kemudian, barulah ia mennaggapi, "Lo nggak salah," balas Stevlanka. "Gue yang seharusnya minta maaf karena hampir melukai Cantika. Kayak yang lo bilang."

Tiba-tiba Ardanu meraih salah satu tangan Stevlanka membuat langkahnya terhenti. Mata mereka saling menatap. Tidak ada raut wajah jenaka yang diperlihatkan oleh Ardanu. Laki-laki itu benar-benar menjadi serius.

"Vla, gue nggak tahu apa yang lo sembunyiin. Dan gue sadar, nggak seharusnya gue menghakimi lo." Ardanu mengatakannya dengan tulus. Ia manarik tangan Stevlanka untuk duduk di kursi yang ada.

Dengan tangan yang masih menggenggam, Ardanu kembali berkata, "Nggak papa lo nggak cerita sekarang, tapi asal lo tahu, gue siap dengerin apa pun masalah lo. Gue bakal selalu di samping lo, genggam tangan lo."

Stevlanka terdiam.

"Maaf, kalau gue tadi kasar sama lo. Gue cuma ... gue nggak mau ada hal yang nggak seharusnya terjadi. Itu aja."

Stevlanka menundukkan kepalanya. Ia memandang tangannya yang digenggam oleh Ardanu.

Ardanu menghela napas. "Sampai kapan lo diam kayak gini? Gue nggak bisa mengartikan diamnya lo, Vla." Ardanu mulai tak sabar. "Bicara sesuatu, jelasin sesuatu, atau apa pun. Tapi, jangan diam aja kayak gini."

Ardanu membasahi kerongkongannya. Ia semakin menggenggam erat tangan Stevlanka menggunakan kedua tangannya. "Rasa sakit yang nggak disuarakan hanya akan menambah penderitaan, Vla."

Perlahan Stevlanka mendongakkan kepalanya menatap Ardanu. Mata Ardanu seolah memberikan cahaya untuk Stevlanka. Gadis itu selalu merasa mendapatkan harapan karena Ardanu. lagi-lagi Ardanu merasa lelah karena Stevlanka yang masih terdiam tanpa kata. Sesusah itukah untuk bersuara? Ardanu mendesah. Ia mengalihkan tatapannya dari Stevlanka. Ketika ia akan beranjak dari duduknya, Stevlanka kembali menarik tangan laki-laki itu.

"Gue nggak punya niatan melukai mereka. Lo percaya?"

Ardanu terdiam sejenak, kemudian mengangguk dua kali. Stevlanka menatap Ardanu dengan mata yang berkaca-kaca. Laki-laki itu merengkuh tubuh Stevlanka dalam dekapannya. Menyandarkan kepala Stevlannka pada dadanya.

"Gue bakal nunggu sampai lo cerita semuanya."

Kalau gue cerita, semuanya akan berakhir, Ardanu. Gue belum siap kehilangan ini semua.

Ardanu menjauhkan tubuh Stevlanka darinya. Meraih tangan Stevlanka. Kemudian, menggenggamnya. Tersenyum pada gadis itu. Stevlanka benar-benar sukses membuat Ardanu takut. Takut untuk menggali banyak hal dari kehidupan gadis yang begitu tertutup ini. Takut untuk mengetahui fakta yang akan mengejutkan. Takut akan kehilangan. Ardanu tidak siap dengan semuanya dan ia hanya bisa diam. Diam dan menunggu semuanya.

Sementara Stevkanka juga diselimuti rasa takutnya sendiri. Takut untuk menyuarakan rasa sakitnya. Karena ia tahu, semuanya akan berakhir jika Ardanu mengetahui kenyataan itu. Entah sampai kapan ia akan berada dalam ruang yang menyakitkan ini. Senyuman tulus Ardanu saat ini adalah rasa sakit bagi Stevlanka.

*****

Lengangnya toilet SMA AWAN 12 menjadi tempat Raya berada saat ini. Hanya seorang diri. Ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin. Mata gadis itu tampak seperti meyakinkan dirinya sendiri. Hingga tiba-tiba matanya tertuju pada seseorang di belakangnya. Dia adalah Karisma.

Karisma tersenyum miring, melipat tangannya di depan dada dan berjalan mendekati Raya. Raya masih memperhatikan Karisma melalui cermin.

"Hai, Ray," sapa Karisma. "Lo makin jauh aja dari gue? Gitu, ya, lo sekarang?"

Raya menghela napasnya, kemudian ia berbalik menghadap Karisma. "Karena gue sadar, nggak seharusnya gue berteman sama iblis kaya lo."

"Hah? Serius?" tanya Karisma terkejut yang dibuat-buat. "Lo bilang gue iblis? Apa bedanya sama lo?"

"Gue jelas beda sama lo Kar, lo salah mengartikan gue selama ini. Gue bukan ada di pihak lo, justru sebaliknya!" kata Raya memberi penegasan.

"Lo nggak akan bisa lepas dari gue. Asal lo tahu, lo itu cuma sampah tanpa gue." Cantika tersenyum mengejek.

"Sampah? Lo lebih sampah, Kar! Mau sampai kapan orang kaya lo itu terus cari korban buat jadi bahan bullyan lo? Apa nggak cukup lo bikin Stevlanka pindah sekolah padahal jelas-jelas kejadian di Lab. Kimia waktu itu, lo dulu yang nyerang Stevlanka," jelas Raya dengan sorot mata kebencian.

Karisma menegakkan tubuhnya. "Jangan sebut nama cewek sialan itu!" katanya seraya menajamkan sorot mata pada Raya.

"Kenapa? Nama Stevlanka membuat lo sadar betapa berdosanya lo?" Raya mengangkat dagu. "Berhenti lo atau gue yang bakal nunjukin ke semua orang betapa berdosanya lo!"

"Jangan melakukan hal yang bakal bikin lo nyesel, Ray! Lo tahu, kan, gue bisa melakukan apa pun?"

"Gue yang akan lebih dulu hancurin hidup lo!"

Karisma terkekeh, memalingkan pandangannya. "Sebenernya lo punya apa sih? Sampai segitu beraninya lo mau hancurin hidup gue?"

Raya merogoh ponselnya, gadis itu tampak mencari sesuatu dalam ponselnya. Hingga tiba-tiba sebuah suara terdengar dari ponsel itu.

"Gimana kalo kita siram wajahnya itu pake larutan yang dia bikin tadi. Itung-itung buat hadiah hasil kerjanya. Ya, nggak?"

Karisma melebarkan matanya.

"Kar, gue mohon jangan aneh-aneh. Gue yang bakal bersihin semuanya."

"Gue nggak bakal aneh-aneh kok. Gue cuma pengen netesin ini di tangan lo. Bukan nyiram kan?"

"Siniin tangan lo,"

Raut wajah Karisma begitu terperanjat mendengarkan rekaman suara itu. Kejadian di mana ia yang berusaha melukai Stevlanka di Lab. Kimia. Tangannya terkepal erat, matanya mentap tajam mata Raya. Sementara Raya tersenyum bangga melihat ketakutan di wajah Karisma.

"Lo nusuk gue dari belakang, sialan!" teriak Karisma menahan gejolak emosinya.

"Lo bener, gue emang nggak temen lo. Sejak awal niat gue adalah buat hidup lo hancur. Dan gue rasa, kehancuran itu bakal terjadi sebentar lagi. Lo bakal membayar rasa sakit yang adik gue rasain."

Karisma mengerutkan keningnya.

"Racy, cewek kelas 10 yang polos nggak tahu apa pun menjadi salah satu korban bullyan lo. Cuma karena dia lolos seleksi ketua dance dan lo enggak. Lo bully adik gue sampai dia putus harapan untuk hidup, dan memilih untuk bunuh diri," ujar Raya dengan mata yang berkaca-kaca. Sementara Karisma terkejut bukan main. Kejadian satu tahun yang lalu, saat ia masih berada di kelas Sebelas. Kejadian itu kembali terputar di otaknya. Bagaimana perbuatannya pada adik kelasnya yang benama Racy.

"Lo pembunuh, Kar! Lo psikopat! Lo bisa hidup tanpa beban setelah lo bunuh Adik gue!"

"Gue bukan pembunuh—"

"Apa lagi kalau bukan pembunuh? Bahkan setelah kejadian itu nggak membuat lo sadar. Lo terus mencari korban baru, hingga Stevlanka menjadi sasaran lo. Itu yang buat gue pindah ke sekolah ini dan berteman sama lo. Semua itu gue lakukan supaya gue bisa menghancurkan lo, Kar!" teriak Raya penuh dengan kemarahan.

"Banyak bukti di Hp gue, dari yang ringan sampai yang paling parah. Lo tinggal tunggu aja waktunya." Setelah mengucapkan kalimat itu, Raya pergi meninggalkan Karisma. Tubuh gadis itu mendadak lemas. Ia menopangkan kedua tangannya pada pinggiran wastafel. Napasnya tidak beraturan, perasaan marah dan takut bercampur menjadi satu. Ia memutar tubuhnya mengahdap ke cermin.

"Sebelum lo hancurin gue, gue pastiin hidup lo akan hancur terlebih dahulu, Raya." Karisma bergumam.

Stevlanka bangun dari tidurnya dengan terpaksa. Mata sendunya mengerjap pelan. Langit-langit kamarnya yang pertama kali ia lihat. Ia memilih untuk kembali menutup matanya dan meraup oksigen sebayak-banyaknya. Setelah sedikit merasa tenang, ia mengubah posisinya menjadi duduk.

"Racy, jadi dia adik Raya?" Stevlanka menyunggar rambutnya ke belakang. "Karisma, lo lebih jahat dari apa yang gue tahu. Apa yang membuat lo begitu benci sama gue?"

Tidak ada suara apa pun yang terdengar karena memang saat ini tepat tengah malam. Stevlanka menatap di mana jam dinding berada. Pukul satu lebih lima menit dini hari. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Entah itu tentang masalalu Racy, tentang kematian Raya, dan tentang Karisma yang begitu membenci dirinya. Stevlanka membuat pemikiran bahwa masa lalu ini muncul karena Raya menaruh harapan pada Stevlanka. Mau tak mau, ia harus membantu Raya. Stevlanka memutuskan untuk melanjutkan misinya untuk mengungkap kejahatan Karisma.

Seketika hawa dingin tersemai, hawa yang membuat napas Stevlanka tertahan. Mata sendunya bergerak gelisah. Lampu kamarnya yang berpijar begitu terang perlahan meredup. Meredup begitu perlahan, seolah napas Stevlanka ikut tertarik oleh cahaya lampu itu yang perlahan sirna. Stevlanka mendongakkan kepalanya melihat ke arah lampu, sebelum lampu itu benar-benar padam, ia lebih dulu meraih ponselnya, kemudian segera menyalakan flash di ponselnya.

Decitan pelan berasal dari pintu kamarnya yang terbuka perlahan dan anehnya gagang pintu itu tidak bergerak sedikit pun. Bagaimana bisa pintu terbuka begitu saja? Stevlanka menelan ludahnya susah payah. Merapatkan tubuhnya ke sandaran ranjangnya. Pintu kamar itu semakin terbuka lebar.

Matanya sudah berkaca-kaca, napasnya tersenggal-senggal. Dadanya begitu sesak, jika ini dibiarkan sama saja akan membunuhnya secara perlahan.

Sesuatu menetes tepat di depan pintu kamar Stevlanka. Cairan kental yang tak terlihat warnanya karena keadaan yang gelap. Demi apa pun Stevlanka ingin menghilang saat ini juga, ia tidak tahan. Rasa sakit yang ia rasakan semakin menguasai dirinya. Detik berikutnya, sosok gadis kecil tertangkap oleh perlihatan Stevlanka. Sosok menyeramkan yang akhir-akhir jarang ia lihat.

Berdiri tepat di ambang pintu, dengan gaun merahnya. Rambut tergerai ke depan menutupi sebagian wajahnya. Entahlah, Stevlanka sudah memalingkan wajahnya. Stevlanka tidak memiliki keberanian melihat bagaimana sosok itu.

Memeluk lututnya sendiri, dan ia benamkan kepalanya di sana. Air matanya mengalir, tidak tahu harus berbuat apa. Tubuhnya serasa kaku. Ditambah lagi suara seretan langkah kaki yang sangat jelas di telinga Stevlanka.

"Atur napas lo, lo harus berpikir logis. Pikirin kalo lo aman, lo nggak ada di dalam bahaya."

"Lo bisa, Vla."

Upacan Ardanu terekam kembali di ingatan Stevlanka. Ia masih berusaha mengendalikan pikirannya. Dengan susah payah ia menciptakan cuplikan yang membuat rasa takutnya teralihkan. Kekonyolan Ardanu yang menyebalkan hadir di dalam benaknya, lelucon yang selama ini ia anggap tidak bermutu, berhasil membuat rasa takutnya luntur.

Indra pendengarannya hanya bisa menangkap deru napasnya yang tak beraturan. Ia merasa tak lagi gelap, perlahan matanya terbuka. Dan benar, lampunya telah menyala. Stevlanka mengedarkan pandangannya. Pintu kamarnya pun masih tertutup rapat, tak ada noda darah. Keadaan kembali seperti sebelumnya.

Gadis itu menghela napasnya lega, menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang. Ia menghapus sisa air matanya.

"Kenapa sosok yang gue liat selalu dia? Siapa dia sebenernya? Kalau gue bisa lihat mereka, kenapa hanya sosok merah maroon itu yang gue lihat?" Stevlanka menarik napasnya. "Apa ini nyata?"

*****

Thanks for reading.

Jangan lupa vote, komen, dan share, ya. I'll do my best!

Tanindamey
Sabtu, 12 Desember 2020
Revisi: Minggu, 12 September 2021

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 106K 32
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
643K 53.3K 56
|FOLLOW DULU SEBELUM BACA, TITIK!!| Transmigrasi jadi tokoh utama? Sering! Transmigrasi jadi tokoh jahat? Biasa! Transmigrasi jadi tokoh figuran? Bas...
692K 43.7K 31
Kanara menyadari dirinya memasuki dunia novel dan lebih parahnya lagi Kanara berperan sebagai selingkuhan teman protagonis pria yang berujung di camp...
203K 22.3K 27
Sang Tiran tampan dikhianati oleh Pujaan hatinya sendiri. Dia dibunuh oleh suami dari kekasihnya secara tak terduga. Sementara itu di sisi lain, dal...