Dear Jonggrang (ON-GOING)

By zuraida27thamrin

2.8K 471 777

Dewandaru Adhytama adalah mahasiswa playboy yang selalu membuat ulah dengan para wanita. Suatu ketika, perila... More

Prolog
1
2
3
4
5
6.
7.
8
10
11
12
13
14
15
16
17
18

9

110 21 60
By zuraida27thamrin

"Hei, tunggu!"

Dewandaru membelalak begitu mengenali sosok berjubah yang baru saja menabraknya. Semula ia berniat mengumpat atau bahkan menghajar si penabrak, tetapi niat itu urung saat bertemu pandangan dengan pemilik mata bening yang tak akan pernah ia lupakan. Gadis pertama yang bertemu dengannya setelah terlempar ke negeri dongeng ini. Seketika peristiwa di sungai kembali berkelebat dalam ingatan Dewandaru serupa film yang diputar berulang.

"Wirahandaka, kau mau ke mana?" teriakkan Bandung Bondowoso membawa Dewandaru kembali ke dunia nyata. Langkahnya terhenti karena dalam sekejap saja sosok perempuan bertudung itu telah menghilang di balik keramaian pasar.

Tak peduli betapa kali ia berjinjit ataupun mengintip di balik tubuh-tubuh bertelanjang dada di pasar, Dewandaru tak juga menemukan jejak si gadis jelita. Dewandaru lantas mendengkus seraya melirik kesal pada Pangerang Pengging yang kini telah berhasil menyusul di sisinya. Andai saja, Bandung Bondowoso tidak bersamanya, Dewandaru barangkali sudah akan menerobos keramaian untuk menyusul gadis itu. "Aku hanya merasa mengenali sosok itu." Hanya itu yang dapat terucap dari bibir Dewandaru.

Bandung Bondowoso terkekeh barangkali karena melihat wajah kesalnya saat ituq. "Tentu saja kau mengenal semua orang di sini karena kau sering berkeliaran di tempat ini."

Dewandaru mengerutkan kening, tetapi sedetik kemudian ia menggeleng frustrasi. "Aku tidak mengingat apa pun. Berhentilah menyebut keburukanku di masa lalu," sahutnya ketus.

"Menurutku, yang kau lakukan bukanlah keburukan. Namun, aku tidak akan mengungkitnya jika kau keberatan. Baiklah, aku punya satu cara yang dapat membantu mengembalikan ingatanmu? Bagaimana apakah kau tertarik?" Kedua alis pangeran Medang itu terangkat sementara bibirnya menyunggingkan sebuah seringai misterius. "Kau tertarik, bukan?" ulangnya.

Jika dalam keadaan normal, barangkali ajakan serupa itu akan sangat menggiurkan Dewandaru. Bagaimanapun, ia terkenal sebagai dewa pesta di Jogja, penggemar segala sesuatu yang berlabel hiburan. Ia bertandang dari satu pesta ke pesta lainnya setiap malam, bahkan tanpa mengingat nama-nama pesta yang ia datangi saat matahari terbit keesokan harinya. Dewandaru boleh miskin, tetapi kehidupan sosialnya bisa dibilang sangat berkelas dan gemerlapan. Wajah tampannya merupakan senjata yang paling ampuh nan mujarab untuk melakukan panjat sosial.

Namun, segala sesuatunya terasa berbeda di Pengging. Sebuah tempat dan waktu yang ia sendiri tak tahu di mana. Dewandaru benar-benar tersesat dan sendirian. Pun makna dan kadar kesenangan di Pengging barangkali sangat jauh berbeda dengan kesenangan di tempat asalnya. Tidak ada kesenangan yang dapat ia nikmati dalam keterasingan serupa yang dihadapinya saat ini.

Tanpa menanti jawabannya, Bandung Bondowoso segera menarik sebelah lengannya untuk singgah pada sebuah kedai tanpa dinding yang berada di salah satu sudut pasar. Sebuah kedai beratap daun kelapa berdiri kokoh beberapa langkah di hadapannya. Kedai dengan pondasi seadanya tanpa dinding itu berukuran cukup luas. Kedai itu terlihat ramai oleh pengunjung, orang-orang bertelanjang dada dengan ikan kepala dan rambut bersanggul di atas kepala.

"Sebenarnya, aku sedang tidak lapar," ucap Dewandaru dengan langkah terseret. Jujur saja ia sangat enggan berada di tengah keramaian tempat itu. Bukan berarti Dewandaru menyukai keramaian, justru sebaliknya, ia sangat menyukai keramaian. Namun, keramaian di negeri asing tentu hal yang berbeda.

"Aku tidak mengajakmu makan. Kita hanya akan minum di sini." Bandung Bondowoso menjawab sembari terkekeh.

Dewandaru mengangguk mafhum saat menyadari apa yang dimaksud dengan 'minum' oleh sang pangeran. Kedai itu rupanya bukan kedai tempat makan sebagaimana yang semula ia asumsikan. Saat jarak mereka telah sangat dekat dengan kedai, Dewandaru dapat melihat berderet-deret kendi minuman dari tanah liat yang terdiri dari berbagai ukuran yang terletak di atas meja milik penjual. Para pengunjung yang datang ke tempat itu pun rupanya bukan menyantap makanan, melainkan memesan minuman dengan beberapa jenis kudapan sederhana.

Bau menyengat seketika menyergap penghidu Dewandaru, saat kakinya melangkah melewati ambang kedai. Meski Dewandaru tidak tahu persis dari mana bau itu berasal, tetapi ia berasumsi jika bau itu berasal dari sejenis minuman keras yang barangkali dijual di kedai itu. Namun, tentu saja sejauh mata memandang tak satu pun pengunjung yang terlihat mabuk atau hilang kesadaran di tempat itu.

"Aku harap kau tidak melupakan tempat ini." Bandung Bondowoso mendahuluinya menuju satu-satunya tempat kosong di sudut ruangan. Sang pangeran lantas duduk pada sebuah kursi panjang yang terbuat dari bilah bambu serupa dengan mejanya.

Semula, Dewandaru ragu untuk duduk pada kursi yang terbuat dari bilah bambu tanpa sandaran itu, tetapi ia merasa tidak enak pada Bandung Bondowoso. Baginya, kursi dan meja itu terlihat sangat ringkih. Dengan enggan, akhirnya ia menduduki kursi di hadapan Bandung Bondowoso dengan canggung. Di luar dugaannya, kursi itu ternyata sekokoh kebanyakan kursi di Jogja.

"Jadi di sinilah pemuda Pengging bersenang-senang," gumam Dewandaru seraya melihat-lihat ke sekitar kedai dengan takjub. Akan tetapi, dengkusan kasar milik Bandung Bondowoso segera menyadarkan keanehan reaksinya. Sedetik kemudian, Dewandaru lantas memperbaiki ekspresinya dan berusaha duduk senyaman mungkin di posisinya.

"Aku harus mencari tahu apa yang terjadi padamu sebenarnya, Wirahandaka. Kau benar-benar terlihat berbeda," komentar Bandung Bondowoso saat mereka telah duduk di kursi masing-masing.

Dewandaru membuka mulut hendak membantah ucapan sang pangeran Pengging ketika seorang gadis manis mendatangi mereka dengan senyum malu-malu. Bahu dan kulit kuning langsatnya yang bersih terekspos hingga sontak mengalihkan atensi Dewandaru. Mulutnya tertutup berganti seulas senyum asimetris yang biasa ia gunakan untuk menggoda para gadis di Jogja.

"Permisi, Kisanak. Badhe ngunjuk punapa (mau minum apa)?" Gadis itu menatap Dewandaru, kemudian berkata dengan suara yang terdengar seolah diatur selembut mungkin.

Dewandaru mengerutkan kening. Senyum tebar pesonanya seketika meredup. Ia lantas mengalihkan pandang pada Bandung Bondowoso yang diam-diam sedang menertawainya. Namun, ia berpikir cepat. Sudah lama ia tak menggoda seorang gadis sejak kejadian nahas bersama Nirmala. Sedikit menggoda dan bersenang-senang barangkali tidak akan menjadi masalah.

"Apa yang akan kau tawarkan padaku, Dik?"

Gadis kedai itu menundukkan pandangan seraya mengulum senyum. "Kami menyediakan semua jenis madya yang dibuat dari sajeng, Kisanak," tuturnya lembut. Suara gadis itu berhasil membangkitkan hasrat di dalam diri Dewandaru untuk terus menggodanya.

Dewandaru kembali menyunggingkan senyum asimetris. "Beri kami semuanya. Aku ingin menyicipinya satu per satu madya yang dimiliki kedai ini, tetapi.... "

"Tetapi apa, Kisanak?" Gadis berkulit kuning langsat itu mengangkat wajahnya dan sekilas menatap Dewandaru. Namun, sedetik kemudian, pandangannya kembali tertunduk bersamaan dengan semburat merah yang muncul di pipinya samar-samar.

"Cukup, Wirahandaka!" Bandung Bondowoso menepuk pundak Dewandaru pelan, memutus kesenangan kecil yang baru saja ia temukan. Pemuda itu sontak mendengkus bersamaan dengan senyum di bibirnya juga meredup.

"Kau boleh pergi dan bawakan pesanan kami," titah Bandung Bondowoso dengan suara tegas. Gadis pelayan kedai itu sontak berlari meninggalkan mereka setelah sebelumnya membungkuk dan mengerling sekilas kepada Dewandaru.

Dewandaru mengembuskan napas panjang, setengah kesal seraya menatap kepergian si gadis pelayan dengan sedikit kecewa. Sungguh ia sangat merindukan masa-masa mengganggu para gadis di Jogja atau hari-hari yang dia habiskan dengan berpesta dari satu club ke club lainnya. Terdampar secara ajaib di Pengging yang barangkali bahkan tak tercatat dalam peta maupun almanak membuatnya merasa dihukum. Namun, bukankah dia memang sedang dihukum sekarang?

"Kau benar-benar berubah, Wirahandaka," cetus Bandung Bondowoso, membuyarkan segala lamunannya mengenai masa lalu. "Katakan padaku, jin seperti apa yang telah mengganggumu? Barangkali aku bisa membantu untuk menyembuhmu."

"Aku tidak tahu ... Aku tidak sakit. Ini semua tidak ada hubungannya dengan jin atau yang semacamnya," sahut pemuda itu tak acuh. Namun, sedetik kemudian ia segera menyadari kesalahannya. Dewandaru melirik pada raut wajah Bandung Bondowoso yang sedikit berubah. "Mak-maksudku, aku tidak mengingat apa pun, bahkan wajah dedemit yang menggangguku. Aku benar-benar tidak mengingatnya."

Dewandaru dapat melihat sekilas kernyitan samar muncul di kening sang pangeran. Namun, kernyitan itu segera menghilang dan obrolan mereka terjeda saat si gadis pelayang kembali mendatangi meja mereka dengan membawa beberapa kendi tanah liat di atas sebuah nampan kayu. Aroma keras nan khas seketika menyeruak ke dalam penghidu Dewandaru, tetapi detik itu juga pemuda berkulit terang itu langsung menyukainya.

Dewandaru tersenyum simpul saat si gadis kedai meletakkan satu per satu kendi minuman keras yang dibawanya dengan tangan gemetaran. Samar-samar pada pipi mulusnya yang kuning langsat, Dewandaru dapat melihat rona merah membayang di sana. Meski tidak secantik Sureswari si gadis bangsawan, rona itu sukses membuat si gadis kedai terlihat manis dan menggemaskan di matanya. Pemandangan itu membuat Dewandaru tak tahan untuk tidak mengulurkan sebelah lengannya dan mencolek sekilas pipi mulus itu dengan jemarinya.

Gadis kedai itu menunduk tersipu, sementara di luar dugaan Dewandaru, sebuah suara menggelegar merusak kesenangan kecilnya.

"Jangan kurang ajar, Kisanak!" teriak seorang perempuan paruh baya dari balik meja panjang berisi jajanan dan jejeran kendi-kendi madya di kedai itu. Matanya melotot tidak suka pada Dewandaru, tetapi seorang lelaki kurus kerempeng bertelanjang dada segera berusaha menenangkannya.

"Wirahandaka, jaga sikapmu! Aku tidak ingin kau menimbulkan keributan di sini lagi." Di seberang meja, Bandung Bondowoso turut mendelik pada Dewandaru memperingatkan.

Dewandaru lantas mendengkus agak keras seraya menjauhkan wajahnya dari gadis kedai yang diam tertunduk. Jika saja Bandung Bondowoso tidak mencegahnya, barangkali gadis pelayang kedai itu sudah akan jatuh ke tangannya. Namun, keadaannya yang seperti ini, menjadi faktor lain yang juga membuatnya urung bersenang-senang dengan cara berlebihan. Dia terhukum, dan seharusnya ia melarikan diri dari hukuman ini, bukan malah menambahnya dengan kesalahan lain.

Gadis berkulit kuning langsat itu lantas mengangguk pelan, tak berani mengangkat pandangan, sebelum pamit dan meninggalkan kedua pemuda itu menikmati hidangan.

Segera setelah gadis pelayan itu beranjak, Bandung Bondowoso lantas meraih salah satu kendi berukuran paling besar berwarna paling gelap di antara keempat kendi lainnya. Ia menuang sedikit ke dalam gelas tembikar yang berada di hadapan Dewandaru, kemudian menuangkan ke dalam gelasnya sendiri. Bau khas itu kembali menyeruak hingga membuat Dewandaru mengernyit sekilas. Namun, aroma itu sama sekali tidak mengganggunya.

"Beruntungnya aku karena telah dituangkan minuman oleh seorang pangeran," cibirnya sarkas. Dewandaru menyambar gelas tembikarnya sedikit kasar, lalu menenggaknya hingga tandas. Rasa pahit dan pedas yang menyerang leher pemuda itu sama sekali bukan apa-apa baginya. Dewandaru adalah peminum handal pada kehidupan di dunianya. Ia telah mencicip beraneka jenis minuman keras di kehidupannya, berbagai jenis tingkat kepahitan dan aroma telah dijajalnya

"Rasanya tidak buruk," gumamnya seraya mengempaskan gelas tembikar ke atas meja dengan kasar. Ia menyeringai setelah menelan susah payah tegukan terakhir madyanya. Cairan fermentasi itu mengaliri tenggorokannya, kehangatan perlahan turun dari tenggorokan hingga sekujur tubuhnya.

Saat itulah netranya berserobok dengan netra Bandung Bondowoso yang melotot keheranan. "Ini lumayan," ucapnya. Satu tangan Dewandaru terulur meraih kendi minuman lainnya, lalu membaui aromanya seolah tengah menilai minuman itu.

"Sejak kapan kau memiliki kemampuan meminum madya?" Salah satu sudut alis Bandung Bondowoso terangkat. Sang pangeran pengging menatapnya takjub, tak percaya hingga ia bahkan belum menyentuh gelas tembikarnya. Ia menatap Dewandaru dengan penuh selidik.

"Apa yang salah?" Dewandaru mengedikkan bahunya tak acuh.

"Semuanya."

"Apa?!"

Bandung Bondowoso melipat kedua lengan sawo matangnya di depan dada. "Wirahandaka tidak kuat meminum madya, Soma dan sejenisnya. Wirahandaka selalu gugup jika berhadapan dengan perempuan. Wirahandaka penakut dan canggung sehingga selalu menjadi bulan-bulanan pemuda lainnya. Akan tetapi, kau ... kau berbeda. Apakah kau melakukan tirakat tertentu?"

Dewandaru terhenyak di tempatnya. Madya yang telah melewati tenggorokannya nyaris ia muntahkan lagi. Susah payah ia menahannya, sebelum membuka mulut untuk menjawab tudingan Bandung Bondowoso. "Ti-tirakat apa?" tanyanya tak mengerti.

Bandung Bondowoso hendak membuka mulutnya saat sebuah gebrakan tiba-tiba menghantam meja mereka. Dua kendi arak dan sebuah gelas tembikar terpelanting ke tanah, sementara satu kendi paling besar pecah berderai dan isinya tumpah ruah membasahi meja hingg mengenai wdihan yang melilit pinggang Dewandaru. Suara teriakan pemilik kedai dan suara bisik-bisik lainnya jadi latar kejadian itu.

"Di sini rupanya kau, Wirahandaka?!" Seorang laki-laki bertubuh tambun dengan kumis melintang yang baru saja mengacaukan hidangan mereka menghardik Dewandaru.

Dewandaru bergeming, mencoba mencerna perkataan lelaki paruh baya itu. Namun, di hadapannya, Bandung Bondowoso yang tak mampu mengendalikan emosinya segera berdiri dalam gerakan cepat. Sebelah tangannya telah menghunus sebilah keris, bahkan sebelum Dewandaru sempat mengedip.

Bak gayung bersambut, lelaki bertubuh tambun yang mendatangi mereka pun sontak mengeluarkan sebilah parang dari sarung yang tersampir di pinggangnya. Lelaki itu tak sendiri, beberapa orang lelaki yang tersebar di dalam kedai lantas bangkit dari posisi mereka dan sontak mengepung kedua pemuda bangsawan yang tengah menyamar itu seraya menodongkan senjata masing-masing.

Dewandaru bahkan belum menyadari situasi yang mereka hadapi sepenuhnya saat Bandung Bondowoso berteriak berang, kemudian mengayunkan kerisnya menyerang si lelaki bertubuh tambun. Meja di hadapan Dewandaru turut menjadi sasaran terjangan si pangeran Pengging hingga benda malang itu terbelah menjadi dua. Kendi-kendi jatuh menghantam tanah hingga pecah berkeping-keping.

Sementara para lelaki yang mengepung Dewandaru dan Bandung Bondowoso sontak menyerang keduanya dalam satu komando dengan membabi-buta. Suara teriakan dan bunyi barang-barang yang berjatuhan menjadi latar perkelahian tak imbang itu. Anehnya, tak seorang pun pengunjung kedai yang cukup bernyali untuk menghentikan pengeroyokan yang tak beradab itu.

Pengeroyokan itu agaknya bukan masalah yang cukup besar bagi Bandung Bondowoso yang terkenal sakti mandraguna. Setidaknya, demikianlah kisah dalam dongeng yang pernah Dewandaru dengar. Baginya penyerangan itu bukan apa-apa. Dengan gerakan gesit dan lincah, sang pangeran Pengging berhasil menangkis bahkan membalas serangan para lelaki itu dengan lebih brutal.

Namun, berbeda halnya dengan Dewandaru. Pemuda itu tak memiliki senjata maupun kemampuan bela diri yang mumpuni. Sabuk hitam yang ia peroleh selama menempuh pelatihan karatenya seolah tak memiliki arti saat berhadapan dengan para lelaki bertubuh besar dan bersenjata itu. Gerakan mereka gesit dan terlatih, sementara untuk menghindarinya, Dewandaru sampai harus mengorbankan beberapa meja dan kursi kedai yang ia lemparkan untuk menghindari serangan.

Di sela-sela penyerangan yang bertubi-tubi itu, sekelebat bayangan masa lalu merasuki benak Dewandaru. Di dunianya, ia kerap kali menyerang beberapa orang yang tak ia sukai dengan cara keroyokan seperti itu dan Dewandaru selalu memenangkan tawuran serta perundungan yang dilakukannya. Namun, berbeda dengan kenyataan yang ia hadapi kini. Dewandaru merasa sedang dihukum atas perbuatannya di masa lampau.

Sebilah keris nyaris menyasar perut Dewandaru. Lamunan masa lalu rupanya telah membuatnya lalai menangkis serangan. Beruntung, kurang dari sejengkal bilah keris itu menyentuh kulit mulusnya, Dewandaru berhasil menghindar dengan lari melewati ambang pintu kedai. Lari adalah satu-satunya kekuatan yang dapat ia banggakan hingga saat itu.

Begitu berhasil menjejak keluar kedai, Dewandaru lantas melesat cepat meninggalkan para pengejarnya, mengabaikan Bandung Bondowoso yang sedang dikeroyok oleh beberapa lelaki bertubuh kekar. Sayup-sayup di balik punggungnya, suara teriakan Bandung Bondowoso terdengar memelas meminta pertolongan. Namun, Dewandaru sedikit pun tak menoleh. Bukankah sang pangeran Pengging adalah pangeran sakti mandraguna? Maka, jika memang demikian, Bandung Bondowoso pasti bisa mengatasinya.

Dewandaru terus berlari menerobos keramaian pasar, tak mengacuhkan umpatan marah orang-orang yang tersenggol dan jatuh akibat ulahnya. Pemuda itu berlari menuju istal kenalan Bandung Bondowoso, kemudian tanpa meminta ijin menunggang kuda sahabatnya meninggalkan pasar. Meski ia tak begitu mahir menunggang kuda, Dewandaru tak peduli. Keinginan untuk kabur agaknya lebih besar dari sekadar rasa takut.

"Wirahandaka! Awas kamu, asu! Kalau ketemu akan aku mateni kowe!"

Teriakan berang itu terdengar dari balik punggung Dewandaru. Pemuda itu menyeringai, bahkan nyaris terbahak. Pada detik berikutnya, Dewandaru lantas menoleh sekilas sembari mengacungkan jari tengahnya kepada si empunya suara.












Published: Pontianak, 28 November 2020 pukul 01.08 WIB

Continue Reading

You'll Also Like

407K 27.3K 25
Bagaimana jika kamu sedang tidur dengan nyaman, tiba tiba terbangun menjadi kembaran tidak identik antagonis?? Ngerinya adalah para tokoh malah tero...
188K 16.7K 18
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...
508K 44.5K 54
|FOLLOW DULU SEBELUM BACA, TITIK!!| Transmigrasi jadi tokoh utama? Sering! Transmigrasi jadi tokoh jahat? Biasa! Transmigrasi jadi tokoh figuran? Bas...
627K 32K 44
Judul Sebelumnya : My Cold Husband Selena Azaerin, itulah namanya, walau dirinya bekerja sebagai agen intelijen negara, dia tak pernah kehilangan sif...