PELAKOR KECIL (Tamat)

By Ririn_f

79K 4.1K 193

Hanya dengan kedipan mata maka seluruh pria di dunia ini akan tunduk pada Olivia. **** Olivia adalah gadis ya... More

prolog
2. Tawaran
3. Pria menyeramkan
4. Harapan
5. Rencana jahat
6. Pembullyan
7. Gadis yang malang
8. Rahasia yang terbongkar
9. Mimpi
10. Peduli
11. Pelukan
12. Salah paham
13. Rindu terbayar dan Es krim
14. Fitnah
15. Kebohongan
16. Kepura-puraan
17. Gadis paling imut
18. Hampir mati
19. Kemarahan
20. Chris yang sebenarnya
21. Kepergian Jeremy
22. Kejengkelan
23. Pesta
24. kelinci kecil
25. Dua pria menyebalkan
26. Rumah Olivia
27. Masakan
28. Pulau pribadi
29. Perasaan yang harus di hindari
30. Ingatan masalalu
31. kebenaran yang mengejutkan
32. Wanita jahat
33. wanita jahat beraksi
34. Ancaman wanita jahat
35. tawaran
36. Keputusan
37. Psikopat gila
38. Kebahagiaan (tamat)
promosi
sekuel PELAKOR KECIL
Cerita Baru
Dandelion
Girl In Glove

1. Gadis jenius dan rahasianya

7.6K 286 0
By Ririn_f

Debu-debu berterbangan di antara Olivia yang sedang membersihkan mejanya menggunakan kemoceng yang tergeletak sembarangan di atas sana. Setelah memperhatikan, tampaknya benda ini lebih banyak mengeluarkan debu dari pada mejanya sendiri. Terbukti dari tiap kali ia menggerakkannya, banyak sekali debu yang keluar dari dalamnya, membuat keadaan mejanya makin kacau.

Ia menaruh lagi kemoceng tadi ke tempat menaruh alat bersih-bersih. Karena membersihkan sepertinya tidak ada gunanya jika menggunakan benda yang kotor juga.

Kini Olivia merogoh kolom mejanya bermaksud mengeluarkan segala macam sampah yang mungkin berada di dalam sana, tidak sengaja terkumpul karena ia tidak masuk sekolah karena sakit selama satu Minggu. Dan benar saja, berbagai macam potongan kertas berhamburan keluar dari dalam tidak bisa menahan diri. Percayalah, Olivia sudah tahu betul maksud semua kertas yang tidak mungkin miliknya ini berada di sini. Hal itu membuatnya memejamkan mata dan menghela nafas lelah.

Ia lalu pergi mengambil bak sampah terdekat yang sudah di kosongkan oleh tukang bersih-bersih sekolah. Orang itu pasti mengeluh setiap hari menyadari hanya kelas inilah yang sampahnya paling banyak dan itu berasal dari meja Olivia.

Ia jongkok bermaksud mengambil sampah kertas yang penuh dengan tulisan menghina. Seperti, 'dasar aneh', 'gadis aneh', 'jelek', 'gadis jelek', 'buruk rupa'. Sampai yang paling keterlaluan, 'keluarlah dari sekolah ini dasar cacat aneh'.

Lagi-lagi mereka seperti ini pada Olivia. Olivia benar-benar tidak tahu apa sebenarnya salah yang pernah ia perbuat sehingga semua orang tidak menyukainya. Padahal hanya ialah satu-satunya murid di sini yang tidak pernah dekat-dekat dengan masalah. Yang ia lakukan hanya belajar dan membaca di perpustakaan.

"Kalian tahu tidak, pak Chris akan kembali mengajar di sini." Suara seseorang diiringi oleh suara tiga pasang langkah kaki dari luar kelas, membuat Olivia menengok sedikit dari balik mejanya, penasaran.

Di sana terlihat Luna, Gina dan Teresa. Teman sekelasnya sekaligus murid-murid yang paling suka bergosip. Olivia mendapatkan informasi yang jarang sekali diketahui murid lainnya gara-gara ke tiga gadis ini sering bergosip di dalam kelas saat semua orang tidak ada kecuali tentu saja Olivia sendiri, yang tengah pura-pura sibuk. Mereka juga tampaknya tidak peduli padanya.

"Ya, aku dengar dia juga akan menjadi kepala sekolah lagi di SMA ini, tentunya setelah beberapa bulan berhenti," Teresa menimpali perkataan Gina. Ketiga Gadis itu langsung duduk di bangku mereka masing-masing. Ntah apa kali ini yang menjadi bahan gosip mereka, Olivia masih terus mendengarkan dari bawah meja sambil sesekali memungut sampah kertas sialan.

"Menurut kalian apa ya alasan orang sekaya, setampan, dan seterkenal pak Chris memilih menjadi guru? Ayolah, maksudku itu pekerjaan yang agak kuno, untuk orang sesempurna dia?" Tanya gina pada teman-temannya. Sementara ke dua temannya hanya mengangkat bahu sambil memasang ekspresi tidak tahu.

"Apa ini karena gosip itu? Aku dengar-dengar dia mempunyai gadis idaman di sini? Dia mungkin menyukai salah satu dari kita?" bisik Gina menduga-duga alasan pak Chris karena tidak kunjung mendapatkan jawaban. Lagipula ia juga sempat mendengar gosip ini berhembus.

Walaupun Olivia tidak punya siapapun untuk meneruskan gosip. Tetap saja ia juga penasaran dengan siapa yang di maksud gadis-gadis ini. Sepertinya kali ini tentang hubungan gelap atau semacamnya.

"Tidak mungkin! Kau Tahukan bagaimana sayangnya dia pada istrinya si Ellena itu! Aku sempat menonton mereka di acara TV dan di sana ia sangat mesra dengan istrinya!" Seru Luna mengungkapkan ke tidak percayaannya. Menurutnya, hanya orang gila yang akan menyia-nyiakan dan menyelingkuhi wanita sesempurna Ellena Willson dan pak Chris terlihat normal.

"Ayolah!! itukan hanya di depan kamera. Bagaimana kalau hubungan mereka itu sebenarnya tidak harmonis? Aku dengar juga si Ellena itu tidak bisa memiliki keturunan. Alasan itu pasti cukup membuat pak Chris ingin memiliki gadis lain. Dan mungkin pilihannya jatuh pada gadis-gadis remaja seperti kita."

Hebat, sungguh hebat. Gina memang juara dalam mengetahui rahasia yang hanya segelintir orang tahu. Terlihat dari bagaimana ia tahu Ellena tidak bisa mempunyai anak. Jika di takdirkan menjadi produser acara gosip di TV, pasti ia akan sukses sekali.

"Kenapa harus gadis seperti kita?" pertanyaan Luna terdengar aneh. "Kenapa tidak wanita dewasa? wanita dewasa yang dekat dengannya pasti cantik-cantik. Dan juga akan lebih cocok dengannya yang sudah lumayan berumur. Lagipula, mempunyai hubungan dengan gadis-gadis seumuran kita itu merepotkan."

Olivia yang masih ikut mendengarkan menyetujui perkataan Luna. Memanglah, memiliki hubungan dengan gadis-gadis muda itu amat merepotkan, apalagi pada masa-masa labil seperti ini. Cara Olivia berpikir sekarang, seolah-olah ia bukan gadis remaja.

"Mungkin yang ia inginkan seorang gadis remaja, mana kita tahukan." Gina menjeda kalimatnya sebentar untuk membenarkan posisi rambutnya. "Dan tentu saja aku harap gadis itu aku," lanjutnya sontak membuat Teresa dan Luna langsung memandanginya aneh, Olivia juga ikut terkejut.

"Ayolahhh, semua gadis di sekolahan ini menyukai dia. Aku dengar ada yang hanya dengan dipandangi sedetik saja mereka sudah kepanasan," Gina mencoba memberi alasan karena pandangan aneh ke dua temannya.

"Itu memang karena mereka jalang saja bodoh!" Luna menoyor kepala Gina, mengungkapkan kekesalannya karena kebodohan temannya yang satu ini.

Sementara itu Teresa tidak sengaja melihat Olivia yang sedang mendengarkan dari bawah meja dengan tampang serius. Ia bahkan tidak menyadari kalau Teresa tengah memergokinya, diikuti Luna dan Gina, karena baru saja Teresa menggerakkan dagunya ke arah gadis itu bermaksud memberi tahu ke kedua temannya secara diam-diam kalau Olivia tengah menguping.

"Hei aneh!! kenapa kau berada di sana? Kau mendengarkan pembicaraan kami ya?"

Olivia langsung gelagapan mendengarkan pertanyaan itu. Ia refleks bangun sampai-sampai kepalanya tidak sengaja terbentur dengan meja. Hal itu memunculkan tawa tertahan dari tiga gadis itu sementara ia mengusap bagian kepalanya yang terasa sakit.

"Ti....tidak, aku hanya sedang membersihkan mejaku," sangkalnya tergagap, meskipun mungkin mereka tidak akan percaya. Lagipula siapa yang tidak akan mendengar pembicaraan seperti tengah membaca materi di depan kelas itu saking kerasnya. Bodoh jika Olivia bilang tidak mendengarkan.

"Sudahlah jangan pedulikan dia, anggap saja dia hanya batu," kata Luna menghentikan Teresa yang tampaknya sebentar lagi akan marah-marah. "Lebih baik kita keluar saja jam pelajaran pertama sepertinya masih lama," lanjutnya kemudian di tanggapi dengan persetujuan dari ke dua temannya.

Ke tiga gadis itu bangun dari duduknya setelah meletakkan tas mereka di posisi yang tepat meninggalkan Olivia sendiri. Semakin membenarkan pikiran Olivia bahwa ia memang di jauhi dan di benci oleh semua orang. Tetapi ini bukan apa-apa baginya, selama mereka tidak menyakiti fisik, Olivia masih bisa tahan. Sekolah dan belajar lebih penting baginya dari apapun sekarang, apalagi hanya beberapa perkataan jahat.

Dari dulu Olivia sudah bagaikan pohon dengan akar kuat yang tumbuh jauh ke dalam bumi. Walaupun angin kencang mencoba menumbangkannya, ia tidak akan pernah tumbang.

Enggan terbawa perasaan, Olivia meraih bak sampah yang sudah penuh, membawanya ke luar kelas supaya bisa di jemput oleh tukang bersih-bersih.

"Hei, apa kalian tidak penasaran dengan wajah si Olivia itu?"

Olivia mengehentikan tangannya yang akan menaruh bak sampah, kini pokus kepada ketiga gadis yang ternyata masih berada di koridor tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Lagi, si penggosip itu membuka acara bincang gosip live di antara mereka bertiga dan sekarang bahannya adalah Olivia.

"Olivia siapa?" Tanya Luna, ingatannya tentang nama seseorang memanglah minim. Lagipula itu tidak terlalu penting baginya.

"Itu si gadis aneh itu," Gina mencoba menjelaskan.

"Kan kita sering melihat wajahnya, kau yang aneh," kata Luna, agak membuat Olivia senang karena baru saja gadis itu merealisasikan keinginannya untuk mengatai balik Gina.

"Maksudku wajahnya secara jelas, kan dia selalu memakai kacamata dengan rambut acak-acakan. Bukankah itu kesengajaan berniat ingin menutupi wajahnya," Gina mengutarakan kecurigaannya.

Olivia hampir-hampir melempar bak sampah di tangannya, jika tidak mengingat ia bukan siapa-siapa di tempat ini. Jika tuhan memberikannya kekuatan super, ia akan dengan segera membungkam mulut ember milik si Gina itu. Gadis itu tidak tahu saja, ada alasan mengapa Olivia tidak ingin memperlihatkan wajahnya, dan itupun haknya ingin berpenampilan seperti apapun. Bukankah ini sudah jaman moderen, menghargai apa yang ingin di lakukan seseorang adalah hal yang tepat untuk di lakukan.

"Itu bukan karena rambutnya acak-acakan. Itu karena dia punya rambut yang panjang saja," Kata Luna yang ntah kenapa membuat Olivia merasa di bela. Yang pintar dari ke tiga gadis itu memang hanya Luna.

"Tunggu-tunggu aku juga sering melihat dia terluka di kaki dan tangannya. Beberapa kali juga aku melihat di sudut bibirnya. Seperti sudah dipukuli oleh seseorang atau di aniyaya seseorang." Gina mengingat-ingat sambil menghentikan langkahnya.

Mereka tidak tahu saja luka-luka itu semuanya gara-gara rentenir.

"Kau tidak tahu. Kalo rumor berhembus, bahwa si Olivia itu suka berkelahi. Makanya dia sering luka di sana sini," kata Teresa ikut berhenti membuat Luna juga replek menghentikan langkahnya. "Iyakan Luna?" katanya kali ini kepada Luna mencari pembenaran.

Berkelahi, apa ini lelucon, pikir Olivia. Menatap seseorang saja ia tidak berani, bagai mana mau berkelahi. Coba saja mereka pikirkan dengan logika.

"Mana aku tahu. Aku tidak seperti kalian yang diam-diam memperhatikan gadis itu," kata Luna sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Apa jangan-jangan kalian ingin berteman dengannya sehingga sering memperhatikannya," Luna memicingkan mata memandang curiga kepada kedua temannya.

"Apa kau gila!, tentu saja tidak!" seru mereka berdua bersamaan.

"Ya sudah kalau tidak. Jadi jangan bahas gadis itu lagi."
Kali ini Olivia berterimakasih kepada Luna.

Sambil menatap kepergian ketiga gadis itu, Olivia menaruh bak sampah yang dari tadi belum sempat ia taruh, tangannya sampai pegal karena terus menentengnya.

Setelah itu ia kembali ke dalam kelas sambil berharap setelah ini datang man in black, hanya untuk membuat mereka yang membenci Olivia, lupa bahwa mereka pernah membenci dirinya. Atau sekedar memberikannya bolpoin itu, karena Olivia bisa melakukannya sendiri, apalagi ada kaca mata hitam di dalam tasnya. Masih tersimpan di sana, terbukti dari saat ia mengambil buku matematika tadi.

Olivia menaruh buku kualitas rendah itu di atas mejanya, setelah benar-benar duduk kembali di bangkunya yang terletak paling belakang. Bukankah isinya lebih penting dari pada kualitasnya.

Otaknya yang ingin mengulang pembelajaran matematika kemarin tiba-tiba teringat perkataan Gina yang menggosipinya tadi. Ia sepertinya sekarang cukup populer sehingga Gina yang selalu menggosipi hal penting tiba-tiba membicarakan tentang dirinya.

Olivia memang terkenal di sekolahan sebagai gadis aneh tak suka bersosialisasi. Ia selalu mencoba menyembunyikan wajahnya dengan rambutnya yang panjang dan juga kacamata yang ia pakai. Tentu saja ada alasan di balik semua itu. Ia hanya tak ingin menjadi pusat perhatian. Karena ia tidak suka di perhatikan. Padahal gadis-gadis seumurannya saat ini sedang gencar-gencarnya mencoba menarik perhatian.

Selain itu ia juga selalu mengingat perkataan neneknya, sebelum neneknya meninggal. "Mempunyai wajah cantik itu adalah petaka Olivia. Jadi jika kamu tidak ingin seseorang jatuh cinta padamu dan mendapatkan masalah, lebih baik sembunyikan wajahmu," kata neneknya.

Sebelum ini, ibunya juga adalah sosok wanita yang cantik. Tapi kecantikan itulah yang membuatnya mempunyai banyak masalah. Seperti terlilit hutang dan terjebak menjadi wanita penghibur. Mungkin hal itulah yang membuat neneknya trauma dan merasa harus memperingati cucunya dan menyuruhnya berhati-hati dalam menunjukkan wajahnya pada orang-orang. Orang tua itu pasti sedih sekali melihat anaknya tidak hidup dengan baik.

Memang, ibu Olivia juga tidak ingin menjadi wanita seperti itu. Tetapi karena kebutuhan hidup yang cukup banyak dan suaminya atau ayah Olivia yang tiba-tiba saja pergi meninggalkan mereka, maka ia memutuskan untuk melakukan pekerjaan haram itu. Apalagi ia akan di bayar lebih banyak jika memiliki wajah cantik.

Tetapi di balik semua kesulitan dan kesengsaraan yang di alami Olivia selama ini. Tuhan memberikannya satu kelebihan yang sangat istimewa, yaitu IQ tinggi yang membuatnya pintar dalam mata pelajaran apapun. Kepintarannya tak perlu di ragukan lagi, karna otaknyalah ia bisa masuk ke sekolah mahal ini.

Panama internasional high school.

Lamunan Olivia tiba-tiba terganggu gara-gara murid buru-buru masuk ke dalam kelas. Duduk di bangku masing-masing dengan serapi-rapinya, lalu langsung mengeluarkan buku. Ntah ia terlalu larut atau memang bell sedang rusak sehingga benda nyaring itu tidak berbunyi hari ini.

Suara langkah berat dan lebar seseorang dari luar menjelaskan semuanya. Pria tampan dengan pakaian mewah dan sepatu yang mengilat berjalan di depan kelas menuju meja guru.

Auranya yang jantan dan menyeramkan secara bersamaan membuat mulut-mulut yang terbiasanya ribut, diam. Sesungguhnya ini pertama kalinya Olivia merasa kelas ini seserius ini.

"Selamat pagi semua," sapa Chris malah di tanggapi dengan binar kagum dari para gadis.

Persis seperti pagi ini, Chris baru saja keluar dari mobilnya tetapi sudah banyak gadis-gadis yang memandanginya. Ia sebenarnya tidak suka terlalu di perhatikan seperti itu, apa lagi oleh bocah-bocah ingusan seperti mereka. Maka Chris segera memandang mereka dengan pandangan tak sukanya, mencoba memperlihatkan suasana hatinya yang tiba-tiba menjadi buruk, gara-gara bocah-bocah ini.

Beberapa gadis kabur menyadari ke tidak sukaan Chris. Menebak bahwa pria itu memang enggan terlalu di perhatikan. Tetapi penampilan jelas-jelas sebaliknya. Pakaiannya Memang tidak terlalu mencolok. Walaupun begitu, aura maskulinnyalah yang menguar tidak ingin siapapun mengalahkannya. Salahkanlah dirinya sendiri yang di pahat oleh tuhan dengan sempurna dan selalu menjadi pusat perhatian.

Chris sebenarnya suka mengajar dan menjadi guru. Tetapi sepertinya ini tak akan mudah dengan drama para gadis di sini. Mengajar membuatnya bisa bersosialisasi dengan anak-anak. Ia ingin sekali mempunyai seorang anak. Apa lagi jika mengingat anaknya yang sempat ada dalam perut Ellena waktu itu, tetapi Ellena mengalami keguguran.

Jika anak itu lahir mungkin sudah SMA sekarang. Seumuran dengan anak-anak remaja yang ada di sini.

Sekolahan besar ini adalah miliknya. Ayahnya yang membangun ini dulu. Berniat agar anak cucunya bisa bersekolah di sini. Benar-benar tidak pernah terpikirkan olehnya kalau sekolahan ini akan seterkenal dan sepopuler saat ini.

"Selamat pagi pak," jawab mereka setelah Chris cukup lama menunggu.

Wajah tampan Chris hampir-hampir membuat gadis-gadis di dalam ruangan ini meneteskan air liur mereka. Yang kalau hal itu sampai terjadi pasti mereka akan malu setengah mati.

"Ya ampun dia tampan sekali," Olivia tak sengaja mendengar Gina yang ada di depannya berbisik. Diapun ikut melirik lagi ke depan sebentar, kemudian setelah itu segera kembali memandangi bukunya.

"Aku adalah guru matematika baru kalian. Izinkan aku memperkenalkan diri. Aku Christian hogue."

Sesi perkenalan Chris langsung mendapatkan respon berbagai macam dari murid-murid yang ada di depannya. Ada yang memandang kagum, ada yang masih terperanjat, ada yang terus pokus melihat wajah Chris dan membayangkan dia adalah pangeran yang tiba-tiba datang mengajak mereka untuk menikah. Ya meskipun ini agak sedikit berlebihan. Dan ada juga yang biasa saja. Tentu saja yang biasa saja adalah murid laki-laki.

"Kami tau pak. Bapak juga kepala sekolah kan," Gina menyahut dengan tampang ceria. Olivia berpikir, Gina memang tidak ada takut-takutnya sampai-sampai berani menyahut perkataan pria menyeramkan di depan itu.

Setelah di ingat-ingat lagi, Olivia menyadari pria ini lah yang di maksud Gina dan kedua temannya tadi.

"Ya, itu bagus kalau kalian sudah tahu. Maka mari kita mulai pelajarannya sekarang," kata Chris tanpa basa-basi membuat keluhan tertahan dari para murid. Mereka berharap Chris menceritakan tentang dirinya lebih detail dan melupakan pelajaran. Mereka tidak tahu saja Chris tidak suka basa basi.

Jam demi jam kebohongan berlalu dengan sama persis seperti yang kemarin. Sampai bell pulang berbunyi Olivia masih duduk di bangkunya menunggu murid lain keluar dan pulang menuju rumah mereka masing-masing. Ia selalu seperti ini, saking tidak ingin membuat masalah ia selalu keluar untuk pulang saat sekolahan sudah sepi.

Setelah berjalan pelan cukup lama, Olivia sampai di samping sepedanya. Percayalah hanya ia di sekolahan ini yang memakai sepeda. Keadaan materinya membuatnya tidak bisa gengsi. Ingat, gengsi tidak menghasilkan apapun kecuali kerugian.

Olivia menaiki sepeda yang sudah butut itu, tentu saja tidak pernah di ganti beberapa tahun. Untuk makan saja pas-pasan apalagi untuk mengganti sepeda.

Cuaca hari ini sedang tidak terlalu bagus. Terlihat dari awan kelabu yang mendominasi langit. Bahkan beberapa tetes air hujan sudah terjatuh. Tetapi gadis itu tidak mempedulikannya. Ia terus melaju, walaupun hujan mulai turun, ia masih enggan berteduh. Ini semua karena ia sudah terbiasa seperti ini. Saat hujan ke hujanan saat panas kepanasan. Lagipula ada pekerjaan penting yang harus ia lakukan setelah ini. Hujan masih terlalu kecil untuk sekedar menghentikannya.

Suara ombak diikuti beberapa suara burung camar menyambutnya setelah hampir sampai di rumah. Ia langsung menengok ke arah lautan. Ini terdengar gila, tetapi Olivia sudah menganggap laut adalah temannya yang paling setia.
Ia juga sering kali mengobrol dengan laut, duduk di tepi pantai sambil menceritakan bagaimana sulitnya kehidupan ini. Bebannya memang terlalu berat untuk gadis kecil seperti dirinya.

Continue Reading

You'll Also Like

26.9K 585 24
Warning !!! Dilarang memcopy paste cerita saya ini murni karangan saya! Jangan lupa follow Biar selalu ada Notification ketika update !! hargai karya...
1.7M 82.2K 54
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
87.4K 7.2K 18
Rusma tidak menyangka, kebaikannya untuk mengantarkan baju pengantin yang harus di kirim suami dari sahabatnya malah membuat Rusma pulang dengan stat...
2.2M 21.4K 26
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...