Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 164K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Kaningaya

21.7K 2.4K 49
By khanifahda

Hari ini, Soeroso Pramonoadmodjo sudah diperbolehkan untuk pulang. Penyakit asam urat, kelelahan serta sesak nafas yang beliau derita, kini sering kambuh diusia senjanya. Bahkan setiap minggu, Tuan Soeroso menghabiskan waktunya satu hari untuk kontrol dan berobat demi kesehatannya itu.

Grahita kembali harus menemani eyangnya itu atas permintaan sekaligus permohonan dari sang eyang sendiri. Antara tega tak tega, akhirnya Grahita menuruti kemauan sang eyang dan mengantarkannya pulang dari rumah sakit.

Di antara drama tersebut, terselip drama lain yaitu mobilnya yang tiba-tiba tidak bisa digunakan. Alhasil, Grahita harus menelpon Yessy dan berujung dengan dirinya dijemput oleh supir keluarga.

Dengan ditemani anak cucunya, Tuan Soeroso begitu nampak bahagia. Setelah pulang dari rumah sakit, Tuan Soeroso meminta mereka semua untuk berkumpul di ruang makan.

Grahita duduk diantara Yosi dan Yessy. Sedangkan di depannya ada Agnes, Diana, dan sang ayah. Mereka semua berkumpul layaknya keluarga besar yang sedang mengadakan acara keluarga yang intim. Pemandangan ini nampak tak biasa di keluarga Pramonoadmodjo. Mereka semua sibuk sehingga momen ini nampak luar biasa di mata Tuan Soeroso, ralat, seluruh anggota klan Pramonoadmodjo lebih tepatnya.

"Eyang senang melihat kalian semua berkumpul. Kadang eyang berpikir, apakah eyang harus sekarat dulu baru kalian mau datang ke gubuk ini?"

Lantas semua menatap Tuan Soeroso. Wajah anak tertuanya terlihat kecewa tentunya karena ucapan ayahnya itu ibarat sindiran karena memang mereka jarang bisa berkumpul bersama. Satu tahun sekali ketika lebaran pun hanya bisa dihitung dengan jari berapa lama mereka bisa berkumpul untuk sekedar basa-basi. Mereka lebih sibuk dengan urusan pekerjaan masing-masing sehingga acara keluarga menjadi prioritas yang kesekian. 

Sementara itu, Grahita hanya bisa diam. Ia kira ia tak akan menginjakkan kakinya lagi di sini kecuali benar-benar penting. Namun sekarang justru ia kembali masuk dalam rumah yang tak ia harapkan untuk ia kunjungi.

"Lama sekali eyang tak mendapatkan momen seperti ini. Jika kita berkumpul, pasti minus Tata. Tapi sekarang Tata berada di tengah-tengah kita. Eyang sangat bersyukur. Terima kasih ya Nak, kamu sudah sudi berkumpul dengan kami."

Semua mata tertuju pada Grahita. Sedangkan gadis itu hanya melirik mereka satu-satu, lalu tersenyum ke arah sang eyang. Diana dan Agnes yang sering berbicara kini memilih diam menyimak.

"Sudah sewajarnya kan kita sebagai keluarga?" ucap Grahita.

"Hmm, sepertinya kita lebih baik menyegerakan makan siang. Tak baik menganggurkan makanan lebih lama lagi. Tata tahu rasanya ketika makanan yang sudah lelah dimasak tetapi tak disentuh sama sekali."

Grahita sebenarnya mengalihkan pembicaraan supaya tak terpusat padanya. Ia benci menjadi pusat perhatian orang-orang.

"Ah iya, kita makan dahulu. Nanti eyang ingin bicara sesuatu dengan kalian."

"Selamat makan."

Lalu mereka semua menikmati makan siang bersama, kecuali Grahita yang memandang kosong selat Solo yang terhidang di depannya itu.

"Dek makan," ucap Yessy mengingatkan pada Grahita yang melamun.

"Ah iya."

Lalu Grahita memakan makan siangnya itu. Tak ada istimewa baginya saat ini. Hanya keheningan dan keresahan yang ada di sana, begitu batin Grahita merasa.

Akhirnya makan siang mereka selesai. Pekerja di sana langsung membersihkan meja dan kini hanya tersisa rasa penasaran tentang ucapan eyang tadi.

"Kalau ayah belum sehat, besok saja ya bicaranya. Nakula nggak mau ambil resiko lebih banyak lagi."

Nakula tak ingin membebani sang ayah untuk bercerita. Kesehatan ayahnya saat ini lebih penting daripada hal yang akan dibicarakan.

"Tidak Nakula. Ayah tidak apa-apa. Ini hanya bicara santai," sahut Tuan Soeroso tenang di tempatnya.

Lalu mata tua itu menatap satu persatu anggota keluarganya itu sebelum berbicara.

"Lama eyang mendamba seperti ini. Anak menantu dan cucu bisa berkumpul bersama. Benar kata teman ayah dulu, di hari tua nanti, kebersamaan dan kehangatan keluarga lah yang lebih berharga daripada uang dan kemewahan dunia lainnya."

Semua diam mendengar ucapan Tuan Soeroso. Mereka terdiam mendengar keluh kesah laki-laki senja yang seharusnya mendapatkan kehangatan dari keluarga itu.

Mata tua Tuan Soeroso itu nampak berkabut, namun sebisa mungkin beliau kaburkan dengan tersenyum tipis. Lalu ia menatap cucu tertuanya, Yosi.

"Eyang ucapkan selamat kepada Yosi, sebentar lagi kamu menikah kan nak?" tanya Tuan Soeroso kemudian.

Yosi mengangguk sebagai jawabannya. Lalu Tuan Soeroso melanjutkan ucapannya.

"Siapkan pernikahan terbaik ya Yos. Eyang ingin melihat kamu menikah secara khidmat dan penuh makna. Eyang terserah kamu memakai adat dan cara apa."

Yosi tersenyum singkat, "Yosi sudah merencanakan secara matang, Eyang. Kami sepakat mengusung adat Bugis kali ini karena mama yang berasal dari Bugis serta calon Yosi yang juga keturunan Bugis dari pihak neneknya. Untuk resepsi kemungkinan Yosi pakai konsep lebih santai."

Tuan Soeroso mengangguk di tempatnya. "Bagus kalau begitu, undang semua kolega eyang dan kalian juga. Eyang nggak mau pernikahan biasa saja kali ini," ujar eyang dengan senyuman tipisnya.

"Baik eyang," jawab Yosi.

Lantas pembicaraan sudah mulai merambah ke arah bisnis dan perusahaan. Mereka membahas dengan semangat bahkan ketika Tuan Soeroso baru saja sembuh dari sakitnya.

Sementara itu, Grahita sudah mulai bosan ketika membahas perihal keluarga, uang, kedudukan, serta harta. Ia ingin kabur tetapi tak bisa.

"Oh iya, bagaimana restorannya, Ta?"

Kini gantian Tuan Soeroso bertanya pada Grahita yang sedari tadi terdiam. Lantas gadis cantik itu menatap sang eyang.

"Baik lancar."

Tuan Soeroso mengangguk, "syukurlah. Semoga lancar dan sukses selalu."

Grahita tersenyum singkat dan mengangguk pelan. Tak ada jawaban terbaik selain mengangguk dan tersenyum.

Getaran gawainya membuat Grahita sejenak menunduk. Sementara itu, Tuan Soeroso berbicara dengan kedua putranya dan yang lainnya. Namun hal itu tak menghalangi orang-orang di sana untuk tahu jika Sadewa diam-diam memperhatikan setiap gerak sang putri.

Dirga : 'gue lagi ada project dan disuruh cari juri buat acara demo masak, lo mau nggak Ta gue ajuin?'

Grahita mengerutkan dahinya. Lalu ia membalas cepat pesan Dirga itu.

'Juri demo masak kayak apa dulu?'

Dirga : 'sejenis acara demo masak ibu-ibu sih dalam rangka ulang tahun organisasi mereka gitu. Masalah fee, gampang lah nanti lo bisa atur bareng koordinator acaranya. Pokoknya kalau bisa ambil aja, Ta. Kesempatan lo buat dikenal banyak orang dan yah lo dapat privilege.'

'Lo ada TOR acaranya nggak?'

Dirga: 'sebentar, gue suruh acara yang ngehubungin lo aja ya? Biar enak ngomongnya. Nanti misal lo kurang srek, lo bisa cancel secepatnya.'

'Oke.'

"Ta?"

Grahita yang sedang menunduk menatap gawainya lantas mendongak ketika tantenya itu memanggilnya.

"Kamu nginep di sini aja ya? Nanti malam kita ngadain barbeque loh," ucap tante Mila dengan wajah memohon ke arah Grahita.

Grahita hendak menolak, tetapi melihat permohonan sang tante akhirnya membuat gadis itu luluh. Grahita lantas mengangguk kecil yang mendapat sambutan senyum tipis dari Tuan Soeroso.

"Tapi Tata mau ke restoran dulu dan mengambil baju."

Tante Mila mengangguk antusias, "Nanti kamu diantar saja ya pakai supir? Biar nggak capek di jalan."

Grahita menggeleng, "Nggak usah Tan, Tata bisa sendiri kok." Rencana Grahita kali ini adalah lebih baik menggunakan transportasi online sembari menunggu mobilnya diperbaiki.

Tante Mila nampak murung, hal itu membuat Grahita menatap sang tante. Walaupun hatinya beku dengan orang yang pernah menyakiti dirinya, namun ia juga masih ada sisi peduli kepada sang tante dan orang-orang yang masih peduli dan menganggap dirinya ada.

"Kalau kamu nggak mau pakai supir, pakai mobil yang ada di garasi ya? Kan salah satunya atas nama kamu. Sayang nggak pernah dipakai. Bukannya tante tidak menghargai mobilmu sekarang, tetapi sayang banget nggak dipakai. Sekali-kali dipakai juga yah sambil nunggu mobil kamu diperbaiki," bujuk sang tante.

"Nanti kalau kamu nggak nyaman, boleh kok nggak dipakai lagi, bukan begitu kan Mas?"

Tante Mila meminta persetujuan pada sang suami dan langsung disetujui dengan cepat. Sampai-sampai tante Mila memberi kode dengan menginjak kaki sang suami.

"Kuncinya ada di pak Kardi, dek. Nanti biar abang yang minta," ucap Yosi menambahkan.

"Nggak perlu, Bang. Tata bisa ambil sendiri ke Pak Kardi. Kalau begitu, Tata pamit dulu."

Grahita bangkit dari duduknya dan pamit dengan bahasa ala kadarnya. Lantas gadis itu mencari sosok Pak Kardi yang menjadi petugas keamanan di sana.

"Pak, minta kunci mobil."

Pak Kardi yang sedang membersihkan mobil lantas terkejut melihat nona muda mereka.

"Kunci mobil apa non?"

Grahita berpikir. Ia tadi tak bertanya jenis mobil apa. Apalagi kini ia menatap deretan mobil yang masuk kategori mewah. Ia bingung.

"Pak Kardi tahu nggak yang atas nama saya?"

"Oh bentar non, saya ambil kuncinya ya?"

Lantas pak Kardi kembali masuk ke dalam rumah. Beliau berjalan cepat untuk mengambil kunci mobil.

"Ini non,"

"Nah mobil non Grahita berada di paling pinggir dekat pintu sana ya." Pak Kardi menunjuk ke arah mobil Grahita berada.

Grahita mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Lalu ia berjalan menuju tempat yang dimaksud pak Kardi. Ia juga tak tahu saking banyaknya mobil yang berjejer di rumah keluarga besarnya itu.

Lantas Grahita terdiam. Ia merasa tak yakin dengan petunjuk Pak Kardi. Mana mungkin ia memakai mobil di depannya itu? Lalu ia langsung memanggil Pak Kardi kembali.

"Pak ini mobil saya?"

Pak Kardi mengangguk sopan, "iya betul non. Ini yang atas nama non."

Grahita mendengus pelan. Ia merasa ini berlebihan.

"Saya pakai yang itu aja Pak."

Grahita menunjuk mobil jenis Fortuner yang berada di samping mobil tersebut.

"Mohon maaf non, itu milik non Agnes."

"Lalu yang kemarin masih parkir di sini?"

Grahita ingat ketika pertama kaki menginjakkan kakinya di rumah sang eyang sesaat setelah pulang dari Prancis, ia masih melihat deretan mobil yang tak seperti sekarang ini.

"Sudah dijual sama Tuan Non."

Grahita lalu menghela nafasnya panjang. Tak ayal ia kembali berterima kasih kepada Pak Kardi dan terpaksa mengendari mobil tersebut. Lalu ia menuju mobil jenis Porsche Macan 2.0.

"Gila gue! Kenapa harus terjebak lagi sih!" geram Grahita frustasi di dalam mobil. Lantas ia melajukan mobilnya itu keluar dari rumah mewah milik Soeroso Pramonoadmodjo.

Sementara itu, di dalam rumah milik Soeroso Pramonoadmodjo, si tuan rumah itu tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada sang menantu yang telah berjasa kepadanya.

"Terima kasih ya Mil. Ayah sangat senang melihat Grahita yang mau berinteraksi dan memakai barang pemberian ayah. Ini cukup menjadi obat ayah saat ini. Terima kasih."

Mila, si perempuan sosialita namun punya sisi keibuan dan peduli tinggi itu tersenyum dan mengusap pelan tangan sang ayah mertua. Ia duduk di samping sang ayah mertua.

"Ayah nggak perlu minta maaf. Sudah jadi kewajiban Mila juga buat Grahita kembali ke kita. Sudah seharusnya begitu, ayah. Mila yang justru minta maaf ke ayah karena nggak ada sepenuhnya buat ayah. Mila baru bisa meluangkan waktu setelah sekian lama. Mila semakin sadar jika bukan kita yang mengendalikan harta tetapi harta juga bisa mengendalikan kita. Dan harta yang paling berharga memanglah keluarga."

"Ayah juga sadar Mil. Nggak ada yang lebih membahagiakan ketika semuanya saling peduli. Ayah yang banyak salah di sini. Ayah yang sudah membiarkan anak tak berdosa itu jauh dari kata kesempurnaan dalam tumbuh kembangnya. Tapi Tuhan memang adil, ayah akhirnya disentil setelah sekian lama dan ini terasa perih ketika Grahita dingin kepada ayah."

"Eyang, sudahlah. Yessy yakin Grahita bukan gadis jahat. Dia hanya kecewa dengan kita. Kuncinya kita yang harus merangkul dia kembali. Memberi dia ruang nyaman diantara kita. Memberikan harapan yang baik pada dirinya. Ia hanya trauma dan tugas kitalah yang harus ikut membantu menyembuhkan traumanya itu."

Tuan Soeroso tersenyum mendengar kata-kata Mila dan Yessy yang meneduhkan. Ia kadang berpikir, mengapa tidak Nakula saja yang berkarir di Indonesia? Mengapa harus putranya yang bodoh itu? Namun ia kembali sadar, hal ini juga tak luput dari kesalahannya juga.

"Ayah, nggak ada kata terlambat buat semuanya," ujar Mila kemudian.

*****

"Gue salah nggak sih kalau ngajak nikah orang karena posisi gue yang kepepet? Artinya gue yang butuh tapi ini karena umi gue juga."

"Nggak salah sih. Cuma pertanyaannya, apakah dia mau lo ajak nikah? Terus menikah juga jangan dipaksa. Lo kan nggak cinta dan si ceweknya juga belum tentu cinta."

"Lagian lo mau nikah? Sama siapa?"

Gandhi menggeleng. Laki-laki itu lebih memilih meneguk soda kalengannya.

"Terus kenapa tanya begitu?" tanya Aris, salah satu temannya yang kebetulan sedang berada di Jakarta. Aris merupakan seorang freelancer fotografer yang namanya cukup masyhur di Bandung.

"Gue bingung Ris, lo tahu sendiri kan umi gue kayak apa. Di umur gue yang udah kepala 3, gue juga belum nikah. Beda sama lo yang udah ada istri."

Aris terkekeh pelan, lalu lebih memilih menikmati americanonya. Mereka sekarang sedang berada di food court di salah satu mall yang terletak di Pasar Rebo, Cijantung, Jakarta.

"Nikah itu bukan perkara umur sih. Kesiapan aja. Emangnya lo sudah siap menikah?"

Gandhi lantas terdiam. Selama ini ia hanya mendapat tuntutan dari sang umi. Ia tak pernah tahu apakah ia benar-benar ingin menikah dalam waktu dekat ini.

Lantas Aris terkekeh pelan. "Lo aja nggak tahu diri lo, apalagi mau menikah sama orang, Gan. Pikirkan matang-matang gih. Lo nikahin anak orang, bukan ngajak kencan buta yang bisa lo tinggal sesuai keinginan lo."

"Ini pilihan yang sulit, Ris. Lo tahu sendiri kan kultur keluarga gue kayak gimana? Gue sudah dilangkahin adik gue, secara sosial pun terasa kurang begitu masuk dalam budaya. But, i don't care about it. Yang saat ini jadi permasalahan gue adalah bagaimana gue bisa lepas dari jeratan itu dengan membawakan umi calon mantu supaya gue nggak direcokin terus."

"Yaudah lo cari aja di Ti*der. Lo bisa milih sepuasnya malahan."

"Kampret lo Ris! Mending gue jomblo aja lah daripada cari jodoh di aplikasi begituan."

Aris kembali terkekeh, lalu menepuk pundak sang kawan pelan.

"Jodoh itu dicari dan diikhtiarkan. Coba lo diam dulu, ada gambaran nggak siapa perempuan yang berhasil membuat lo tertarik akhir-akhir ini? Kalau iya, coba matangkan lebih dulu. Mungkin aja lo-nya yang nggak peka sudah dikasih kode Tuhan."

Kemudian Gandhi terdiam. Ia meresapi kata-kata Aris yang menurutnya cukup menjadi solusi atas kegundahan hatinya itu.

"Tapi masalahnya itu gue nggak yakin umi bakal setuju."

"Kenapa?" Aris mengerutkan dahinya dalam.

"Gue merasa mereka sudah beda dari awalnya."

"Jadi lo udah ada?" tanya Aris memastikan. Suasana yang ramai di food court tersebut membuat mereka harus berbicara agak keras untuk bisa saling mendengarkan.

"Nggak tahu gue, cuma terlintas satu nama dan wajah di benak gue."

"Menurut gue sih perjuangkan. Kalian pasti seiman kan? Gas aja Gan. Kalau masalah selera umi lo, lo kan yang jalani hidup rumah tangga. Ya bener sih restu orang tua tuh penting. Tapi lebih penting lagi ada pendekatannya. Seseorang punya underestimate lebih dulu itu gegara belum saling mengenal. Nah tugas lo ya itu. Memberi pengertian dengan pendekatan yang lebih intim."

"Anjay! Kenapa gue jadi penasihat cinta macam Raden Rauf sih?! Geli banget bangs*t," umpat Aris kemudian. Sedangkan Gandhi hanya menatap malas Aris yang sudah cengengesan. Dasar punya sahabat yang setengah waras!

Lantas Gandhi menarik nafasnya dalam. "Bagaimana kalau gue buat janji semisal gue bakal perjuangin perempuan itu dengan syarat kalau gue ketemu dia dalam waktu seminggu ini, gue bakal perjuangin dia?"

.
.
.

Kaningaya : disia-siakan, dinistakan

Continue Reading

You'll Also Like

533K 64.6K 47
Kehidupan Aeleanne Chana Nisaka (Ayel) setelah menikah seperti dianalogikan tanda titik dan koma. __________________________________________ Kehidup...
57.2K 1 1
[Bucin Series 1] Ada yang bilang katanya; "cinta itu berat, kamu pasti nggak kuat. Biar aku aja." Gishania Alunra, gadis berusia 25 tahun merasa sepe...
694K 59.7K 30
Epilog dihapus! "Kamu pikir melamar sambil menggendong bayi itu romantis?" tanya Ayyara yang menunjuk bayi di gendongan Rey. Cowok itu menundukkan ke...
2.4M 13K 26
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...