House of Cards✓

By dydtedi

8.5K 1.3K 788

Even if you say you see the end Even if you say it will collapse again Even if you say its a useless dream Ju... More

Prolog
1st Card
2nd Card
3rd Card
4th Card
5th Card
6th Card
7th Card
8th Card
9th Card
10th Card
11th Card
12th Card
13th Card
14th Card
15th Card
16th Card
17th Card
18th Card
Secret Card
19th Card
20th Card
21st Card
23rd Card
24th card
25th Card
26th Card
27th Card
Epilog
Author's Card

22nd Card

320 50 53
By dydtedi

Kangen tidak? T-T
Selamat membaca 💜

_______________________

Sekarang ini, bukankah semuanya sudah sangat jelas?

Sebenarnya, layaknya anak perempuan pada umumnya, Jihye tumbuh dengan kepercayaan bahwa kasih sayang dan cinta adalah suatu keajaiban indah yang dianugerahkan pada manusia. Cinta bisa mempersatukan orang-orang, cinta bisa membawa banyak kehangatan, juga cinta adalah alasan mengapa ayah dan ibu bisa hidup bersama. Layaknya gadis kecil pada umumnya, Jihye tidak punya pikiran negatif apa-apa tentang cinta. Baginya, cinta adalah hal yang bisa membuat semua orang bahagia.

Hingga satu hari Jihye mendapat berita yang menghancurkan semua imajinasinya tentang cinta, tentang kesetiaan, tentang kebahagiaan. Ayahnya pulang ke rumah bersama seorang gadis kecil yang berusia lebih muda tiga tahun darinya. Gadis yang cantik, yang sekilas terlihat seperti memiliki kemiripan dengan dirinya.

"Jihye, dia adikmu, Han Nara," ucap ayahnya waktu itu. Saat itu Jihye sudah berusia delapan belas tahun. Sudah cukup besar untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Awalnya tentu Jihye bingung. Dia tidak pernah mengetahui ibunya hamil sebelum ini. Jika gadis kecil yang dibawa ayahnya itu memang adiknya mereka pasti tumbuh besar bersama. Namun Jihye sadar, mereka tidak tumbuh bersama karena keduanya memang tidak lahir dari rahim yang sama.

Han Nara adalah anak ayahnya dengan perempuan lain. Ayahnya mengkhianati ibunya, saat Jihye bahkan masih terlalu kecil untuk menerima sebuah pengkhianatan. Jihye marah, tentu.

Jihye tahu sebelum ayahnya membawa Nara ke rumah, hubungan kedua orangtuanya memang tidak begitu baik. Mereka kerap bertengkar dan tak jarang pula terjadi kekerasan. Jihye benci tiap kali ayahnya bertindak kasar pada ibunya. Namun Jihye tak pernah bisa melawan. Ibunya juga selalu menahan. Mengatakan bahwa Jihye harus tetap menghormati ayahnya karena tanpa ayah, Jihye tidak akan pernah lahir ke dunia. Jihye masih bisa bertahan dengan alasan itu. Menerima nasib tinggal dan tumbuh di keluarga yang tidak harmonis. Mengabaikan kekecewaan dan rasa marahnya pada sang ayah. Namun ketika Jihye tahu, ayahnya tidak hanya kasar pada sang ibu tapi juga mengkhianatinya, Jihye berpikir ... lebih baik dia tidak pernah punya ayah.

Mungkin lebih baik begitu, karena setelah keduanya bercerai, Jihye baru tahu alasan mengapa ayah dan ibunya tidak pernah terlihat bahagia bersama. Alasannya adalah karena sejak awal keduanya memang tidak pernah punya rencana untuk menghabiskan hidup bersama. Mereka hanya terpaksa dipersatukan keadaan karena satu kesalahan yang terjadi, kehadiran Jihye.

Jihye ... sejak awal memang tidak pernah diharapkan.

Sekarang juga begitu, kan?

Perempuan hamil itu buru-buru meletakkan kembali ponsel suaminya ke atas meja begitu mendengar suara pintu kamar mandi yang dibuka. Mengusap cepat sudut matanya yang sedikit basah agar tak diketahui Hoseok. Tetap, Jihye tidak ingin terlihat lemah.

"Jihye?" Jihye yang pura-pura sibuk menata makanan mengangkat pandangan. "Aku ganti baju dulu, setelah itu kita sarapan bersama, oke?"

"Iya," jawab Jihye singkat. Perempuan itu menatap punggung Hoseok yang menghilang di balik pintu kamar secara perlahan. Melihatnya, terbesit pemikiran yang tak bisa Jihye abaikan; apa setelah ini pada akhirnya Hoseok juga akan menghilang dari kehidupannya? Jihye kira dia cukup tangguh untuk menghadapi kemungkinan ini, nyatanya mengetahui Hoseok membohonginya sekali lagi saja sudah cukup membuatnya rapuh.

Apa Hoseok memang sangat tidak dapat dipercaya atau Jihye yang terlalu bodoh dan merasa yakin begitu saja?

Hoseok berkali-kali berjanji ingin memperbaiki, lalu kemudian berakhir dengan Jihye yang patah hati.

Rasanya seperti dilambungkan hingga titik tertinggi, lalu dihempaskan sekeras mungkin tanpa sama sekali rasa peduli.

Apa sudah waktunya bagi Jihye untuk berhenti? 

Pandangan matanya tiba-tiba menggelap.

"Hari ini kau banyak melamun, kau tahu?"

Jihye melepaskan telapak tangan Hoseok yang menutup kedua matanya. Tersenyum senormal mungkin. Perempuan itu tidak langsung menjawab pertanyaan retoris Hoseok, lebih memilih mengajak suaminya duduk dan melayaninya untuk sarapan.

"Are you okay?" tanya Hoseok, menyadari ada yang berbeda dari Jihye dibanding saat mereka baru pulang beberapa waktu yang lalu.

"Yes, I am," jawab Jihye singkat, tersenyum. Jenis senyuman yang semakin membuat Hoseok khawatir. Membuat Hoseok tiba-tiba merasa bersalah. Jihye sungguh tidak ingin ada drama sepagi ini, tapi dia juga tidak mampu lagi menahan perasaannya.

Jihye benci pengkhianatan. Sangat benci. Lebih benci lagi ketika dia merasa bahwa kehadirannya tidak pernah diharapkan. Apakah akan selalu seperti itu?

"Why Hoseok?" lirih Jihye, perempuan itu menunduk, menyembunyikan air matanya yang sudah tak bisa lagi dibendung. Menahan diri untuk tidak terisak, tapi gagal. "Why me?"

Hoseok benar-benar tidak tahu apa yang telah dilewati perempuan itu belakangan, tapi melihat Jihye yang tiba-tiba menangis di depannya, Hoseok khawatir. Hoseok takut. Entah apa masalahnya, tapi Hoseok tidak suka Jihye yang seperti ini. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan hendak merengkuh Jihye. Namun Jihye menepis, menolak sentuhan Hoseok. Membuat Hoseok cukup terkejut dan semakin bingung.

"Jihye?"

Jihye menggeleng, masih menunduk. "Jangan sentuh."

"Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?"

Menurutmu Jung Hoseok? Buru-buru Jihye mengusap dua matanya yang basah. Mengangkat pandangan pada suaminya. Dilihatnya raut wajah Hoseok yang tampak gelisah dan khawatir. Namun mendapati hal itu semakin membuat Jihye merasa muak.

"Jujur, Hoseok, kenapa kau menyetujui untuk menikah denganku?" tanya Jihye, sebuah pertanyaan yang membuat Hoseok kesulitan untuk menjawab sekarang ini. Hoseok tidak menduga jika pertanyaan itu akan hadir secara tiba-tiba. Dia belum menyiapkan jawabannya. Jawaban yang tidak berpotensi menyakiti Jihye.

"Jihye kenapa tiba-tiba bertanya―"

"Jawab saja! Aku hanya ingin tahu." Hoseok tidak suka situasi ini. Dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. "Jawab Hoseok!"

"Karena orangtua kita sudah mengatur semuanya, bukan? Menjodohkan aku denganmu? Iya kan, Jihye?"

"Bukankah kau bisa menolak? Bukankah kau sudah punya kekasih?"

Hoseok menelan ludah gugup. "Aku tidak bisa."

"Kenapa?" Jihye tahu, setiap apa yang dikatakan Hoseok sudah pasti akan menyakitinya. Namun dia hanya ingin mendengar semuanya secara langsung. Mendengar semuanya dari mulut Hoseok. Sejujur-jujurnya.

"Aku hanya tidak bisa Jihye! Mengapa tidak kita tinggalkan saja semua permasalahan itu di belakang? Kita sudah berjanji akan memperbaiki semua kan? Memperbaiki pernikahan ini? Menjalaninya dengan sungguh-sungguh!"

Bullshit! Jihye ingin mendengar kejujuran, bukan omong kosong.

"Apa kau tidak malu, Jung Hoseok? Apa kau tidak merasa bersalah mengatakan semua omong kosong itu di hadapanku? Apa kau tidak punya hati menjanjikan sesuatu yang tidak pasti pada anakku!" Nada bicara Jihye meninggi, bahkan hampir seperti jeritan. Dia marah. Dia kecewa. Ini semua terasa tidak adil baginya.

"Jihye tolong tenang! Aku tidak tahu apa yang kaubicarakan! Kita sudah sepakat untuk menjalan―"

"Cukup! Aku tidak ingin mendengarnya lagi! Katakan saja semua omong kosong itu pada kekasihmu yang selalu setia menunggu!" Hoseok tertegun. Terdiam seketika. Kenapa Jihye tiba-tiba membahas ini?  Pandangan mata Hoseok tak sengaja jatuh pada ponselnya yang tergeletak di meja makan dengan posisi berbeda dari sebelumnya. Jihye pasti telah melihat sesuatu. Pasti.

"Jihye―"

"After all this time, it's still Lee Hana, right?" Jihye menggeleng lemah. Perempuan itu mengusap air mata yang membasahi pipinya sekali lagi. Bangkit dari kursi makan dan bergegas ke arah kamar. Sepertinya semua ini memang seharusnya berakhir.

Damn! Perempuan itu bahkan tidak memberi kesempatan Hoseok bicara.

Sekarang Hoseok sendirian. Mencerna semua kata-kata Jihye dan memikirkan apa yang baru saja terjadi. Ada panah tak kasat mata yang menghujam dada Hoseok hingga sakitnya terasa luar biasa perih. Menyesakkan. Tidak tahu mengapa, melihat Jihye begitu kecewa membuat Hoseok merasa menjadi laki-laki paling gagal sedunia. Laki-laki paling berengsek. Harusnya dia menyadari hal itu lebih awal.

Laki-laki itu memijat keningnya yang terasa berat. Diraihnya ponsel berwarna abu yang tergeletak di hadapannya. Ada beberapa panggilan masuk yang tak terjawab dan sebuah pesan singkat yang membuatnya mengumpat. Bodoh Hoseok! Jihye pasti sudah membaca pesan dari Hana.

Hoseok menyadari betapa bajingannya dia. Beberapa jam yang lalu Hoseok begitu percaya diri memeluk mantan kekasihnya dengan penuh rindu. Saat ini dia terlihat seperti laki-laki paling merasa bersalah di dunia dan mendadak sendu. Menjijikkan Jung Hoseok. Tidak punya pendirian.

Atensi Hoseok teralih ketika menyadari Jihye keluar dari kamar dengan kondisi lebih rapi. Bekas-bekas air mata berhasil disembunyikan dengan make up natural yang mempercantik wajahnya. Ditambah tas jinjing yang selalu dibawanya bekerja. Hoseok panik, laki-laki itu bergegas bangkit menghampiri istrinya.

"Jihye kau mau ke mana?"

Jihye tak menjawab.

"Jangan pergi, Please! Aku minta maaf, tolong dengarkan penjelasanku, Jihye!" paniknya. Diraihnya sebelah tangan Jihye yang bebas, meski dengan cepat berhasil dihempaskan oleh sang pemilik

"Aku harus bekerja. Lepas!"

"Tidak! Kau tidak boleh bekerja!"

Persetan!

"Sarapan dulu, Jihye, kau belum sempat memakan apa pun!" Jihye sama sekali tak menggubris Hoseok. Sibuk memakai sepatu flatnya.

"Atau biarkan aku yang menyetir, ya? Biarkan aku mengantarmu? Kau boleh marah padaku, tapi tolong jangan celakakan bayi kita!"

Jihye sontak menatap Hoseok nanar. Kemarahannya bahkan semakin berlipat mendengar kalimat terakhir yang baru diucapkan Hoseok. Sebuah tamparan keras yang ia layangkan setelahnya sama sekali tidak membuat Jihye puas.

"Mencelakakan bayi kita? Jangan sok peduli! Kau bahkan tidak menanyakan keadaan anakmu semalaman saat bersama Hana!"

Mendengar itu, Hoseok rasanya telah ditampar sekali lagi.

xxxxx

Kalau jadi Jihye, apakah kalian masih percaya sama Hoseok setelah ini?


Kritik, saran, komentar, omelan selalu saya terima dengan lapang hati ya!💜
Untuk kamu yang tengah membaca ini dan apa pun yang tengah kamu kerjakan saat ini, SEMANGAT!!💜💜💜 Semoga hasil yang diharapkan tidak akan pernah mengecewakan💜
Selalu sehat dan bahagia, Ya! Glad to meet you again this chapter💜

Dydte, 23 Oktober 2020


Continue Reading

You'll Also Like

248K 36.9K 68
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
921 155 10
Saat sebuah batu dalam legenda ditemukan, kau diberi kesempatan untuk memilih satu di antara tiga permintaan. Apa yang akan kau pilih : Kekuasaan, K...
730 159 13
[SHORT STORY • END] Karena alur cerita yang kamu inginkan sebenarnya ada, keindahan itu benar-benar eksis, hanya saja kamu belum melihatnya.
1M 86.1K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...