Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 164K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Pralapa

21.7K 2.4K 60
By khanifahda

Grahita kembali menumpahkan air matanya. Entah mengapa akhir-akhir ini ia terkesan mudah mengeluarkan air mata dan bersedih. Ia bosan harus menghadapi berbagai masalah hidup yang nyatanya kerap mengiringinya. Belum juga masalah keluarga lenyap, kini muncul Sultan si pemilik cinta di masa lalu yang terobsesi padanya. Ia ingin hidup tenang, namun nyatanya ketenangan itu kian jauh tak terjangkau olehnya.

Grahita hanya bisa terduduk lemah di atas ranjangnya. Setelah meninggalkan Gandhi tadi, ia masuk ke dalam restoran untuk mengambil barangnya dan pulang. Ia bahkan hanya berpamitan pada Riska, padahal biasanya ia berpamitan dengan karyawannya yang lain jika pulang lebih awal.

Mengenai Gandhi, ia tak suka laki-laki itu mengklaim bahwa ia kekasihnya walaupun untuk melindunginya dari Sultan. Ia tahu Sultan. Semakin disulut, akan semakin berkobar apinya. Ia tak ingin memperpanjang urusannya. Namun di lain sisi, ia juga ingin lepas dari jeratan Sultan yang tak kasat mata itu, tetapi mampu membuat dirinya seakan terjebak dengan lingkaran yang dibuat oleh laki-laki bajing*n itu. Mungkin Sultan sudah tidak dengannya, namun laki-laki itu selalu membayanginya. Bukan karena Grahita masih cinta, tetapi ketakutan akan jeratan itulah yang membuat gadis itu trauma.

Lantas Grahita mengambil gawainya yang ia lempar asal di ranjangnya tadi. Ia ingin menelpon Lili. Ia berharap gadis itu sudah tidak sibuk karena sebulan ini Lili sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan di hari pembukaan restorannya, Lili sedang berada di Jepang.

Jemarinya hendak mencari nama Lili, namun nama Gandhi-lah yang terlihat jelas di layar gawainya. Grahita ingin melewatinya, namun ia juga sudah berjanji akan melihat pesan laki-laki itu, tempo lalu.

"Maafkan saya yang sudah lancang mengklaim kamu sebagai pacar saya. Saya melakukan hal ini karena saya tahu laki-laki itu sangat berbahaya buat kamu. Saya hanya berharap kamu bisa aman setelah saya klaim sebagai kekasih saya. Namun sayang, ternyata saya telah lancang kepada kamu. Saya minta maaf Grahita."

Grahita menghembuskan nafasnya panjang setelah itu. Ia kembali meletakkan gawainya di sampingnya.

Grahita semakin tak tahu dengan apa yang ia lakukan setelah ini. Dunianya mendadak seperti panca rasa. Semuanya bercampur hingga ia muak rasanya. Dari hal yang tak pernah ia sangka, mendadak semuanya terjadi di dalam hidupnya. Padahal Grahita hanya berharap setelah kembali ke Indonesia, ia bisa hidup dengan caranya sendiri. Ia bisa menikmati hidup bersama sang oma dan restoran yang baru dilirisnya. Namun ternyata, belum sempat restoran jadi, oma sudah pulang dan menemui opanya. Ia lelah merangkai hidup sesuai impiannya jika semuanya luluh lantak termakan takdirnya sendiri.

Lalu Grahita mengambil gawainya kembali yang sempat ia letakkan di sampingnya itu. Ia mantap untuk menghubungi Lili. Ia berharap gadis itu memiliki waktu luang.

Grahita menggigit bibir bawahnya. Keadaan kamar yang gelap dan tirai jendela yang masih terbuka dengan berterangkan lampu teras, menambah suasana muram. Hingga pukul 12 malam ini, gadis itu masih terjaga dengan perasaan yang tak terdefinisikan.

"Halo, Ta."

"Li," ucap Grahita pelan.

"Are you okay?" tanya Lili di seberang. Perasaan gadis itu mendadak tak enak terhadap keadaan Grahita.

"So bad," jawab Grahita lirih.

"Ta, gue ke sana ya?"

"Bukannya lo di Jepang sekarang?"

"Gue udah pulang kok. Gue ke sana sekarang ya? Biar gue minta antar kembaran gue. Lo baik-baik di rumah. Jangan kemana-mana ya? Tetep stay di situ."

Grahita tersenyum tipis di antara wajah sendunya. Lili selalu saja menjadi salah satu orang terdepan ketika dirinya berada di titik rendah. Bahkan Lili sudah seperti keluarganya sendiri, kedudukannya setara dengan ia menyayangi sang oma dan opa.

"Iya Li. Thanks ya. Gue nggak tahu ucapan dan tindakan apa yang harus gue balas ke lo nantinya."

"Apaan sih! Cukup lo bahagia, itu imbalan buat gue. Udah ye, gue mau siap-siap sekalian bilang ke bunda mau nginep ke rumah lo. Jangan buka pager kalau gue belum WA lo."

"Iya."

Setelah itu, sambungan telepon mereka terputus. Grahita mengusap wajahnya pelan. Ia belum berganti pakaian semenjak pagi.

Grahita menghela nafasnya, lalu ia bangkit dari ranjangnya. Ia menutup gorden jendela dan menyalakan lampu tidur. Lalu ia mengambil pakaian dan mandi di tengah malam begini. Ia tahu ini tidak sehat, tetapi ia merasa jika mandi akan membuat pikirannya sedikit lebih baik daripada tadi.

Tepat ia selesai mandi, gawainya berdering. Langsung saja ia mengangkat telepon dari Lili sambil berjalan menuju depan.

"Gue udah di depan Ta, cepetan keluar, nanti gue diomelin sama si tukang ceramah ini." Lantas panggilan mereka langsung terputus.

Grahita tersenyum tipis. Ia paham dengan orang yang dimaksud oleh Lili, siapa lagi kalau bukan kembarannya.

Lalu Grahita membukakan pintu pagarnya. Di sana sudah berdiri Lili dengan ditemani sang kembaran.

"Akhirnya gue nggak jadi karaten di sini," celetuk Lili ketika Grahita membuka pintu pagarnya.

"Hai Yo, apa kabar?" sapa Grahita pada kembaran Lili yang bernama Leo.

Laki-laki bertubuh tinggi dan agak menggelap kulitnya itu balik menyapa Grahita. Memang kembaran Lili jarang berada di rumah.

"Hai juga Ta," sapa balik Leo.

Grahita tersenyum tipis. Walaupun ia dekat dengan Lili, tetapi ia jarang melihat Leo karena laki-laki itu sedang berdinas di Angkatan Laut dan lebih banyak menghabiskan waktunya di perairan.

"Ya sudah, gue balik dulu ya?" pamit Leo. Tak lupa laki-laki itu mengacak rambut kembarannya.

"Asem lo Yoyo! Mending lo nggak balik aja kemarin!" omel Lili kesal karena rambutnya berantakan.

Leo mendelik dan terkekeh pelan. "Berisik! Ini tengah malam. Sana masuk."

"Gue titip bunga bangkai ini ya Ta, kalau dia ngumpat atau aneh-aneh, telepon gue aja," ucap Leo pada Grahita.

Sementara itu Grahita hanya terkekeh pelan dan singkat. Ah melihat dua saudara kembar ini bersatu, membuat dirinya iri. Walaupun mereka sering bertengkar, namun Grahita tahu seberapa mereka saling menyayangi satu sama lain.

Setelah itu, Grahita dan Lili masuk ke dalam rumah setelah Lio kembali melakukan mobilnya. Tak lupa Grahita kembali mengunci gerbangnya. Seperti biasa, mereka langsung masuk ke dalam kamar Grahita.

"Muka lo kuyu banget sih Ta," ujar Lili kemudian. Ia duduk di samping Grahita.

"Maafin gue ya Li sudah ganggu waktu istirahat lo," ucap Grahita.

"Ssst! Sudah, lo nggak perlu minta maaf. Gue juga libur tiga hari ini kok. Gue capek kerja terus," sahut Lili yang sebenarnya tak ingin membuat Grahita semakin merasa bersalah lebih dalam lagi.

"Mau cerita?" tawar Lili. Grahita terdiam di tempatnya.

Lantas Lili mengusap pelan bahu Grahita. "Kalau lo belum mau cerita, gue nggak masalah kok. Gue bakal nemenin lo tidur hari ini. Istirahat ya Ta, lo kelihatan capek banget."

"Gue jelek ya kalau begini?" tanya gadis itu yang sebenarnya lebih mengarah pada pernyataan.

Lili tak berbicara. Memang Grahita terlihat lebih kurus saat ini. Ia kasihan melihat Grahita yang sering terkena tekanan baik batin maupun fisiknya. Gadis itu juga tak tega dengan keadaan Grahita yang sekarang.

"Gue diganggu sama Sultan lagi Li. Dia ambisi sama gue. Tiap hari dia datang dan meminta kesempatan ke gue. Gue capek Li. Gue nggak nyaman. Gue sudah melawan tapi dia semakin mengancam. Gue pengen hidup tenang, tetapi kenapa masih dihantui bayang-bayang memuakkan itu sih?"

Granita mengadu pada Lili. Gadis itu sekarang hanya bisa berbagi kisah dengan sahabatnya itu. Ia punya siapa lagi di dunia ini kecuali Lili?

"Sultan bajing*n itu ganggu lo lagi?"

Grahita mengangguk pelan. Ia bingung harus berbuat apa lagi.

"Gue sudah nolak, tapi dia tetep ngejar gue. Gue tolak dengan cara apapun, tetapi dia tambah berontak."

"Sial*n anj*ng tuh orang! Maunya apa sih! Emang nggak waras tuh orang, Ta."

Lili berkata penuh emosi. Ia juga tak habis pikir dengan jalan pikiran Sultan. Apalagi masih mengejar perempuan lain sedangkan sudah punya istri dan anak.

"Gue takut,"

"Gue takut dia nekat ke gue, gue takut Li,"

"Selama ini gue berani karena ngelindungi diri gue. Tetapi dalam lubuk hati gue, gue tetep takut dan trauma. Please, tolongin gue. Kasih tahu apa yang harus gue lakukan. Gue nggak mau ketemu dia lagi, gue pengen hidup tenang."

Lili tahu keresahan Grahita. Gadis itu tahu trauma Grahita yang amat mendalam.

Lili terdiam dan berpikir. Ia juga bingung harus dengan cara apa supaya Grahita terbebas dari Sultan.

"Terus sekarang lo gimana Ta? Gue juga bingung gimana caranya buat ngehindar dari orang gila satu itu," ujar Lili kemudian.

Lili menatap Grahita yang dibalas dengan gelengan kecil. Lili hanya bisa menurunkan bahunya di tempat.

"Gue nggak tahu. Apapun cara gue, Sultan tetap Sultan. Ia punya cara banyak buat dapetin apa yang dia mau, termasuk ambisi dan obsesi buat dapetin gue," ucap Grahita sarat akan keputus-asaan.

*****

Panas terik yang begitu menyengat tak menyurutkan para prajurit itu untuk tetap berlatih. Di bawah sengatan sang surya yang begitu panas, mereka setia menggemakan yel-yel sambil berlari melalui halang rintang yang tak mudah tentunya.

Seorang laki-laki yang menjadi komandan mereka, tak segan untuk membentak, berteriak, dan memberikan semangat bagi anggotanya yang berlatih.

"Sertu Wahyu! Besok jarak tempuh larinya ditambah! Performa kamu menurun kali ini!"

"Siap, salah ndan!"

Sedangkan sang komandan mengawasi yang lain lagi. Kali ini mereka berlatih di lapangan khusus untuk latihan. Setelah semua latihan terpenuhi, kini mereka beristirahat di bawah pohon rindang sambil bercakap-cakap ringan.

Lalu komandan Batalyon mereka datang dan serentak memberikan hormat pada pimpinan mereka.

"Sudah selesai Kapten Gandhi? Gimana? Ada evaluasi?"

"Siap, masih, ndan! Tetapi saya jamin ketika berangkat nanti, performa kita tetap stabil dan bagus."

Letnan Kolonel Inf. Ahmad Khatibul Umam mengangguk mantap. Lalu menepuk bahu Gandhi pelan.

"Bagus! Saya senang. Semoga tetap semangat kalian!"

"Siap, ndan!" jawab mereka serentak nan tegas.

Letkol Umam tersenyum, lalu menatap Gandhi, "bagus Kapt! Kerja keras kalian semoga membuahkan hasil yang terbaik," ucapnya.

"Oh iya Kapt, jangan terlalu keras latihan, sesekali mencari gadis juga," ujar Letkol Umam berkelakar mengenai Gandhi yang belum juga memiliki pasangan. Sedangkan Gandhi hanya bisa tersenyum, begitupun anggotanya yang menahan senyumnya itu. Mana mungkin mereka menertawakan kejombloan komandannya itu. Bisa habis mereka semua.

Lalu Letkol Umam pamit untuk kembali ke kantornya. Sementara Gandhi hanya bisa menggaruk kepalanya tak gatal. Akhir-akhir ini banyak orang yang bertanya tentang pasangan kepadanya. Ia teringat ucapan salah satu sahabatnya kemarin.

"Gan, lo kan sebentar lagi Mayor, masa nggak ada ibu Mayornya? Nanti kalau sudah naik jadi Danyon, terus ada anggotamu yang datang ke rumah sehabis menikah, kan canggung, bro. Sudah nggak apa-apa lo ngikut umi buat dicariin jodoh."

"Hah, emang kampret si Malik!" umpat Gandhi dalam hati. Ucapan sahabatnya itu masih mengganggu dibenaknya.

Lantas suara dering gawainya membuat ia harus pamit sebentar kepada anggotanya. Gandhi mengangkat telepon dan menepi sejenak.

"Wa'alaikumussalam Umi, ada apa?"

"Kamu jadi balik ke Solo kan? Sepupumu si Afifah jadinya nikah dua minggu lagi."

"Iya, Mi. InsyaAllah."

"Nah, kamu kapan le? Si Afifah yang baru lulus kuliah aja sudah nikah, terus sepupumu Syifa, sudah hamil anak kedua padahal seumuranmu loh."

Kembali, Gandhi menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali. Selalu saja istri yang ditanya. Ia juga kesal ditanya dengan tema yang sama berulang kali.

"Umi ngode aku buat nikah? Mi, nikah itu nggak gampang. Calon saja belum ada masa nikah."

"Nah makanya cepet cari. Apa mau umi cariin?"

"Nggak Mi, makasih."

"Nah kan, umi udah mau nyariin, tapi kamunya yang nggak mau. Terus gimana kamu mau nikah? Gini loh le, kamu nggak mikir nanti anakmu masih kecil terus kamunya wis lapuk?"

"Tapi kalau belum siap ya nggak enak Mi. Gandhi kan pengen nikah sama perempuan yang Gandhi cinta, yang sama-sama cinta dan sayang. Kalau dipaksa juga nanti malah ada yang tersakiti."

"Iya, tapi kamu nggak ada ikhtiar buat cari. Katanya iya, iya, tapi belum ada hasil. Kan umi nggak percaya le. Umi sampe tanya temen-temen pasar umi yang punya anak gadis buat kamu."

"Ya Allah, Mi. Sudah ya? Umi nggak perlu obral Gandhi kayak baju nggak laku. Gandhi masih kuat cari sendiri kok."

Antara ingin kesal, tetapi Gandhi sadar jika itu uminya. Paling dia hanya protes setiap kali umi membahas perjodohan.

"Yawis tho. Pokoke nanti kalau umi nagih, kamu sudah harus ada calonnya. Nanti kalau sudah terlanjur malah kayak Kang Sapto yang sampai umur 50 tahun belum menikah," umi kembali mengomel di seberang sana.

"Nggih Umi, nggih."

Gandhi hanya bisa pasrah. Semakin ia ngotot, Umi semakin ganas tentunya. Mana mungkin ia protes dengan naa tinggi saking kesalnya itu pada perempuan yang ia sayang?

"Umi maunya kayak gimana?"

Umi tersenyum di seberang sana.

"Yang seiman, kalau bisa pinter, cerdas, kayak Alyssa Soebandono gitu loh le cantik. Atau nggak kaya Dian Sastrowardoyo."

Gandhi menutup matanya. Permintaan umi sangat di luar akalnya. Bagaimana caranya bisa mencari perempuan seperti yang disebutkan uminya tadi? Mungkin dirinya harus membuat kloningan terlebih dahulu.

"Astaghfirullah Mi. Bagaimana bisa Gandhi cari model perempuan kayak gitu?"

"Harus bisa lah! Pokoknya umi nggak mau tahu ya, le. Sudah, umi mau lanjut data kain yang baru datang dari Cirebon. Sehat-sehat le. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Gandhi lalu hanya bisa menghembuskan nafasnya panjang. Semakin matang usianya, semakin banyak tuntutan yang menghampirinya. Dulu ia di tanya mengenai pendidikannya yang sangat ribet itu, sekarang ditanya kapan menikah, lalu setelah menikah, pasti ditanya kapan punya momongan. Itulah hidup, apalagi hidup di antara masyarakat yang memiliki budaya sedemikian rupa.

.
.
.

Pralapa : obrolan, bicara

Continue Reading

You'll Also Like

29.2K 2.1K 42
"Sa," ucap Xabiru yang membuat gadis di hadapannya itu mendongakkan kepala dan menatapnya. "Kenapa?" "Kamu mau nggak, jadi anggota kartu keluargaku?"...
207K 13.2K 58
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
23.1K 1.7K 43
"Gue bakal bikin lo suka sama gue setengah mati!" ucap Audrina. "Astaga cewek aneh binti ajaib namanya Nana bikin gue sakit kepala. Dia sempet nyebar...
338K 24.3K 55
Mungkin disebagian orang mengatakan kalau kecantikkan itu dinilai tidak dari fisik melainkan dari hati yang tentu teori tersebut tidak valid bagi Ian...