Legend of the Eternal Firefly

By rendybrontosaurus

805 74 16

Ardani lahir 6 Mei 1994, tiba-tiba kembali ke masa lalu setiap dia terlelap dan harus menghadapi takdir kemat... More

BAB 1: MISTERI RUANG WAKTU
BAB 2: TEOREMA PYTHAGORAS
BAB 3: DUA ALIANSI
BAB 4: BANDIT WAKTU
BAB 5: WHEN WE FIRST MET
BAB 6: HARAPAN
BAB 7: HUKUM ALAM
BAB 8: WAKTU
BAB 10: ANAK BARU
BAB 11: PENSIL WARNA
BAB 12: HOW ARE YOU?
CATATAN

BAB 9: THE SEA OF FIREFLIES

35 4 0
By rendybrontosaurus

Jakarta, 12 Januari 1998

Ibu membereskan admistrasi, sementara Wulan menatap langit-langit rumah sakit. Memiringkan tubuhnya ke kanan, menghadap sepotong tirai yang membatasinya dengan perempuan itu. Hingga seorang suster datang.

"Hai, Selamat Pagi...Sebentar ya," kata suster itu sehangat mungkin. Dia mencocokan data dari papan yang dibawanya. "Nama kamu Luluk Eka Wulandari, panggilannya siapa?"

"Emm, Wulan aja sus."

"Baik, Wulan masing pusing?" Tanya Suster itu.

Wulan masih pusing. Tapi dia ingin pulang. "Sudah mendingan Sus." Tentu saja Wulan tidak bohong, pusingnya sudah berkurang ketimbang tadi pagi.

Suster itu mencentang tabel pada kertas beralaskan papan kecil yang dibawanya. Setelah beberapa pertanyaan. Suster itu membuka infus di tangan Wulan.

Sesaat setelah suster itu selesai, Ibu Wulan datang. "Ibu panggil Taksi ya? Ibu punya voucher"

Wulan menahan tawa. "Nggak Buk jangan, naik Bus aja."

"Kalau di Bus nanti sesak-sesakan, tangan kamu kan belum pulih."

"Tapi..."

"Udah ayo, sini Ibu bantu turun." Ibu mengulurkan tangan. Namun, Wulan malah melompat dari ranjang pasien.

"Ya ampun, WULAN!!!!"

Gadis itu tertawa. Lalu mengambil buah di atas laci. Berjalan ke bilik sebelah, dimana perempuan itu terbaring. Perempuan itu memakai baju rumah sakit, rambutnya hitam dan panjang, tergerai berantakan laksana akar tanaman menjalar.

"Hai..." Wulan mengangkat tangannya, menyapa.

Tidak ada jawaban. Wulan mendekat.

"Namaku Wulan_"

"Udah denger tadi." Potong perempuan itu. Dia pasti mendengarnya dari suster tadi.

"Maaf ya ganggu, aku ada sesuatu untukmu." Wulan mengangkat keranjang buah itu. Tersenyum.

Perempuan itu mendengus. "Jangan sok asik, bawa pulang buah itu."

Meskipun reaksinya tidak menyenangkan, tetapi batas kesabaran Wulan masih jauh di atas langit. Dia masih terlihat tenang.

"Aku tinggal di atas meja ya, cepet sembuh." Ujar Wulan, tersenyum lebar.

Sebelum pergi, Wulan membaca nama di ranjang perempuan itu. Clara Alysia Anggun.

Jakarta, 12 Januari 2020

(Keanehan Muncul)

Hari menjelang malam. Ardani duduk di teras rumah. Semua rumah di sini, seperti layaknya daerah pesisir di utara indonesia, semuanya terbuat dari kayu dan berbentuk panggung. Debur ombak mengalun bersama gemerisik daun kelapa. Ardani bertanya-tanya, apakah buah itu telah sampai di tangan sang gadis.

Aroma kopi menguar, Raka menjulurkan secangkir kopi. "Silahkan bang, kopi khas daerah sini bang, tiada duanya."

Ardani menyambut gelas itu. "Terima kasih."

Kemudian Raka duduk di sebelah Ardani.

"Asal bang dani dari Ibu kota kah?" Tanya Raka, membuka pembicaraan.

"Iya, mas Raka.."

Raka tersenyum. "Panggil saja Raka bang, abang kan lebih tua dari saya."

"Raka, kamu bilang ini masih wilayah Jakarta, kok saya nggak pernah dengar ya, logat kamu juga agak ada melayu-nya."

"Kata orang-orang tua di sini, pulau ini masih bahagian dari jakarta bang."

"Tunggu, Pulau." Ardani terkejut. "Ini pulau?!"

Raka bingung. "Sebenarnya bang, ada yang hendak saya tanyakan."

"Tanya saja, silahkan."

"Sekejap setelah warga angkat abang ke rumah ini..." Raka agak Ragu. "Maaf bang, tapi tubuh abang tiba-tiba bercahaya, lalu menghilang."

Ardani terbelalak. Ia memandang Raka dengan ketakutan, sudut matanya basah, Ardani mengedipkan-ngedipkannya beberapa kali. Ternyata itu aturannya, dia tidak hidup di dua waktu, tubuhnya menghilang saat ia berangsur tidur atau pingsan. Pantas jika Ardani sering merasakan lelah, karena ia tak pernah benar-benar tidur.

Raka mengerti kebingungan Ardani. "Tidak usah di bahas bang, orang-orang di sini yakin, semua bisa terjadi bila alam menghendaki."

Akan tetapi, Ardani tetap tidak bisa berkata-kata. Dia terlalu terkejut. Dalam hatinya, ia menjerit sejadi-jadinya: Sebenarnya apa ini? KUTUKAN?

Selanjutnya, mereka berdua menikmati pergantian senja dalam diam. Tak satupun dari mereka mengucapkan sepatah kata.

Seperti halnya suasana pantai, angin berhembus kencang. Menyisir rambut Ardani yang mulai agak panjang. Membunuh uap yang mengepul dari secangkir kopi hitam. Membawa sebuah kenangan, juga kesedihan. Sekilas, ia teringat wajah orang tuanya, saat keramaian menelannya dalam sebuah labirin. Ardani seakan kembali menjadi dirinya yang berusia 9 tahun. Dirinya yang kehilangan orang tuanya.

Dia tidak tahu persis kejadiannya, yang jelas semenjak saat itu ia dibesarkan oleh paman dan bibinya. Mereka sudah menganggap Ardani sebagai anaknya sendiri, bahkan Ardani memanggil mereka selayaknya orang tua sendiri: Papa dan Mama.

Semakin lama mereka diam, Raka merasa semakin tidak enak. Akhirnya dia memutuskan untuk mengajak Ardani berkeliling.

"Ke mana?" Tanya Ardani.

"Di sini ada padang, padang rumput, biasanya jam segini banyak kunang-kunangnya."

Mereka berdua menuruni tangga rumah panggung. Melewati jalan setapak yang sebagian besar adalah pasir, tidak ada jalan yang di beton di sini.

Mereka melewati area pertanian. Cahaya dari rumah-rumah mulai meredup. Ardani hampir tidak bisa melihat jalan.

"Raka, kamu nggak bawa senter?" Protes Ardani.

"Ndak bang, kami ndak pernah pakai senter." Kata Raka, diikuti oleh tatapan heran Ardani. Kemudian Ardani menengok ke belakang, gelap, rumah yang tadinya terang hilang seketika, tertelan oleh gelap.

"Raka.."

"Kami ndak pakai listrik bang. Abang lihat rumah-rumah tadi bercahaya bukan dari lampu bang."

"Lalu?"

"Ketika kondisi alam masih seimbang, mereka menolong kita bang, ada hukum timbal-balik, kita menjaga alam, alam menjaga kita."

Ardani hampir tak bisa melihat Raka saking gelapnya.

"Lama-lama abang akan terbiasa, cahaya bulan lumayan terang malam ini." Tutup Raka.

***

Setelah berjalan cukup jauh. Mereka akhirnya sampai di sebuah ladang rumput yang luas. Raka benar. Ardani perlahan-lahan dapat melihat jelas dalam kegelapan.

Mereka duduk di padang itu. Beberapa kali angin memaksa Ardani memejamkan matanya.

"Tidak lama lagi bang." Ujar Raka semangat.

Tak lama kemudian, setitik cahaya muncul. Disusul oleh ribuan cahaya lain yang terbang secara acak. Mereka seakan membentuk sebuah timelapse alami, berputar-putar cepat. Cahaya-cahaya itu semakin terang seiring dengan matangnya malam.

Ardani tersenyum bahagia. Seumur hidupnya, ia tidak pernah melihat hal seindah ini. "Raka, ini terjadi tiap malam?" Tanyanya dalam takjub.

"Tidak bang, malam ini purnama. Abang beruntung datang di waktu ini."

"Indah sekali."

"Benar bang, saya saja yang tinggal di sini dan berkali-kali melihatnya, masih saja takjub setiap melihat keajaiban ini bang."

Lalu, secara tiba-tiba. Cahaya yang sangat terang melintas di antara mereka. Membuat dua orang itu kaget bukan main, dan tertawa terbahak-bahak setelahnya.

Cahaya itu terangnya hampir 10 cahaya kunang-kunang lainnya.

"Apa itu, Raka?" Ardani benar-benar terbius dalam kekaguman.

"Raja kunang-kunang, oh ya bang, konon, raja itu sudah ada sejak nenek moyang saya terdampar di pulau ini."

"Kunang-kunang Abadi." Bisik Ardani sangat pelan sehingga hanya dianggap gumaman lalu oleh Raka.

BERSAMBUNG...

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 337K 93
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
8.4M 518K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
1.9M 100K 39
Menjadi istri dari protagonis pria kedua? Bahkan memiliki anak dengannya? ________ Risa namanya, seorang gadis yang suka mengkhayal memasuki dunia N...
47.6K 1.6K 8
Pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana kisah cinta yang dijalin pasangan sesama idol kpop? Mungkin kamu dapat membayangkan jawabannya dari kisah fik...