Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Ayo bergegas, gedung ini sudah dikepung polisi," ucap Mikail.
"Pergilah duluan, Tuan Sagara--"
"Bayu ... dampingi ketua. Aku harus mengurus sesuatu, aku akan menyusul," ucap Emil sambil pergi meninggalkan Bayu dan Mikail.
"Pastikan kau menyusul," balas Bayu sambil melangkah di belakang Mikail.
***
"Inspektur--"
Inspektur menoleh ke arah Septa.
"Ke mana Tirta?" tanya Septa.
"Tomo--" Belum selesai Inspektur berbicara.
"Tomo, ya," Potong Septa.
Tomo pasti memiliki rencana, gua juga ga boleh tinggal diam di sini.
Septa berdiri, ia berjalan menuju lift.
"Septa! Mau kemana?" tanya Inspektur.
Septa hanya mengepalkan kedua tangannya dan berjalan menuju lift.
"Hentikan, Septa! Siapapun."
Septa berlari dan masuk ke dalam lift, ia menekan tombol lift dan pergi entah kemana. Inspektur mengejar Septa melalui tangga darurat.
Septa terdiam dengan amarahnya di dalam lift.
Ting
Lift berbunyi, Septa telah sampai di lantai paling atas. Ia keluar lift dan menaiki tangga menuju rooftop. Terlihat Emil yang sedang mengayunkan dua pisau belati, ia terlihat seperti sedang berlatih.
"Aaaaaa, sial. Aku sudah lupa caranya menggunakan senjata ini, sudah lama sekali."
Emil menyadari kehadiran sosok Septa yang berada di depan pintu. Terlihat jelas wajahnya yang penuh amarah.
"Apa selain lu, ada--"
"Anggota peti hitam yang bisa jadi binatang buas?" teriak Septa dengan nada membentak.
Emil menatap ke arah langit malam yang tak memiliki satu'pun bintang pada malam hari ini.
"Sayangnya--"
"Ga ada," ucapnya sambil tersenyum. Namun, terlihat sedih.
"BAJINGAN!" Septa berlari ke arah Emil.
Septa menyadari ada gigitan binatang buas pada leher Tara, itulah penyebab kematian Tara. Dan Emil adalah satu-satunya orang yang ia tahu, mampu berubah menjadi binatang buas.
Melihat Septa yang berlari, Emil memasang kuda-kuda dengan kedua pisau belati milik Tara.
"Kau tahu, yang menarik dari membunuh?" tanya Emil.
"Adalah, orang yang datang dengan cara bodoh, sambil menuntut balas dendam!" lanjutnya.
Entah perasaan apa ini, untuk pertama kalinya. Aku benci di datangi.
Septa melesatkan pukulan pertama pada Emil. Tentu saja, dengan mudah Emil berhasil menghindar. Emil melesatkan pisau digenggamannya ke arah leher Septa.
Namun, gerakan Emil terhenti.
"Satu," ucapnya.
"BANGSAT!" bentak Septa sambil melesatkan tendangannya ke wajah Emil.
Emil, menangkap kakinya dan menendang kaki yang menjadi poros untuk berdiri. Septa terjatuh. Emil melesatkan lagi pisaunya ke arah jantung Septa.
Namun, lagi-lagi gerakannya terhenti.
"Dua," ucapnya lagi.
Septa kembali bangkit dan menjaga jarak. Lalu segera melesatkan tinjunya lagi ke wajah Emil.
Namun, kali ini. Emil tak menghindar. Pukulan keras itu bersarang pada pipi kanan Emil. Septa memukuli Emil bertubi-tubi, hingga membuat wajah Emil penuh darah yang keluar dari pelipis dan bibirnya.
Di pukulan terakhir Septa, Emil menangkap tangan Septa dan memukul balik wajah Septa dengan keras, hingga membuatnya terpental.
"BEGINIKAH? NYAWA ORANG YANG DISELAMATKAN, PETRUS!" bentaknya.
Emil meneteskan air mata. "Lu ... harusnya udah mati dua kali, barusan!"
"BAGAIMANA BISA? MEMERANGI ORANG-ORANG JAHAT ... JIKA PAHLAWANNYA SELEMAH INI!"
"Apa ini, yang namanya emosi? Yang selalu ayah peringatkan? Ketika, gua ga bisa membunuh nyawa orang yang udah diselamatkan, Petrus!"
"Karena emosi juga? Orang yang dua kali buat gua muntah darah, jadi selemah ini!" ucapnya pada Septa.
"Apa ini? Yang di namakan rasa bersalah?"
Emil melemparkan pisau itu pada Septa.
"Bunuh," Pintanya pada Septa.
"Balas aja, dendam lu--"
Septa memborgol kedua tangan Emil. Membuat Emil berhenti berkata-kata.
"Kalo, Tara mau, dia bisa aja bunuh lu! Tapi dia ga lakuin itu," balas Septa yang menjadi tenang karena bentakan Emil.
"Gua ga boleh, bunuh nyawa yang udah di selamatkan, Sahabat gua sendiri," lanjutnya.
"Biar, hukum yang menentukan takdir lu."
Septa berjalan meninggalkan Emil.
Inspektur baru saja sampai, ia kehabisan nafas karena menggunakan tangga darurat hingga ke atas rooftop.
"Saya serahkan orang itu," ucap Septa.
***
Sementara itu, Mikail dan Bayu pergi ke mobil hitam yang digunakan Tara. Mobil itu sengaja di parkir agak jauh, untuk situasi semacam ini.
"Hey, hey, hey," ucap Uchul yang tiba-tiba datang membawa sebuah ban mobil. Uchul meletakkan ban mobil itu secara berdiri, ia duduk di atasnya sambil memainkan obeng. "Mau ke mana? Hahaha."
"Sepertinya, kau memiliki urusan," ucap Mikail pada Bayu.
Tirta dan Anna datang menyusul Uchul.
"Urus saja, Martawangsa itu," lanjut Mikail.
"Kali ini, saya pastikan kematian orang itu," balas Bayu sambil ia berlari ke arah Tirta.
"Isabela, akhirnya kita bertemu lagi."
"Ya, tapi malam ini, aku akan membunuhmu, Mikail!"
"Kasar sekali."
Orang ini menutup kedua matanya, tanpa melihat dan menoleh, ia tahu tentang kedatangan Tirta dan Anna. Bagaimana bisa?
Uchul beranjak dari duduknya, ia menutup kedua matanya dan menarik napas dalam-dalam.
Kau dengar aku?
Ya.
Aku butuh bantuan mu lagi.
Ya, aku tau itu--kekeke.
Kita bertukar.
Okay, tidurlah wahai diriku yang satunya.
Angin berhembus kencang, membuat Mikail merinding dan menoleh ke arah Uchul. Burung hantu yang berada di pundak Mikail terbang dan hinggap di dahan pohon.
Orang ini berbeda dari orang yang sebelumnya, siapa dia? pikir Mikail.
Deg.
Tiba-tiba saja Mikail menyentuh mata kanannya yang dalam keadaan terpejam. Begitu 'pun dengan Uchul, ia memegang mata kirinya yang tertutup penutup mata. Mata mereka berdua berdenyut, seperti detakan jantung. Membuat perasaan aneh muncul pada mereka berdua.
Sial! Ada apa ini, batin Mikail.
Anak itu ... ia memiliki mata yang sama dengan mu.
Apa?
Tidurlah, aku akan menggantikanmu.
Baiklah, aku mengandalkan mu. Diriku yang satunya.
Aura di sekitar Mikail berubah. Malam yang awalnya tak berangin ini, kini menjadi liar bagaikan badai di tengah samudra. Mikail membuka mata kanannya.
"Bagaimana bisa!" Sontak Uchul terkejut dengan mata itu. Mata hitam dengan bola mata putih. Mata yang menyala dengan warna merah darah di kegelapan.
Makhluk-makhluk aneh mulai bermunculan. "Angkara!"
Angkara adalah makhluk-makhluk hitam yang berasal dari alam suratma. Biasanya makhluk ini menyesatkan manusia yang baru saja meninggal, untuk dijadikan makanan. Andis dan Mila pernah menghadapi makhluk sejenis ini di alam suratma, tetapi yang jelas jumlahnya tak sebanyak yang sekarang muncul.
Gimana caranya mereka bisa masuk ke dunia manusia?
Apa jangan-jangan--
Anna berubah menjadi sosok berwarna hitam pekat, dengan gigi-gigi taring berwarna putih dan mata putih menyala. Ia menebas semua makhluk yang masuk ke dalam dunia nyata.
"Sudah lama, aku tidak melihat sosok aslimu. ISABELA!" teriak Mikail sambil cekikikan.
Uchul berlari ke arah Mikail. Kalo mata suratma punya gua bisa buka portal menuju alam suratma. Mata orang itu, bisa membuka portal dunia manusia dari alam suratma!
Uchul mengepalkan tangan kanannya, ia melakukan ancang-ancang memukul. Namun, Mikail dengan sangat cepat mencengram mulut milik Uchul.
"Aku tak pernah sebahagia ini," ucap Mikail.
Bagaimana bisa? Tanpa melihat.
Uchul menoleh ke burung hantu yang bertengger di atas dahan pohon. Cengkraman Mikail, membuat Uchul tak bisa melepaskan diri, Uchul menendang batu kerikil ke arah burung hantu itu.
Burung itu terbang menghindar. Namun, anehnya, Mikail melepaskan cengkramannya dari mulut Uchul dan seperti menghindari sesuatu.
Begitu! Begitu ya ... Berengsek ini melihat dengan pengelihatan burung hantunya. Kontrak Iblis.
"Anna, tangkap burung hantu itu!" teriak Uchul.
Tentu saja, itu membuat Mikail terkejut.
"Bahkan peti hitam saja, tidak ada yang sadar," ucapnya pada Uchul.
Ia meraih sesuatu di pundaknya, seperti ninja yang mencabut pedang dari sarungnya. Padahal tidak ada apapun di sana. Uchul memusatkan atma ke mata kanannya, ia hanya menggunakan mata kirinya di waktu yang tepat, dan ini bukan waktu yang tepat untuknya.
"Segoro geni."
Uchul gemetar, ia melihat cambuk panjang yang terbuat dari kobaran api, keluar begitu saja dari punggung Mikail. Mikail mengayunkan cambuk itu pada Anna.
"Anna, awas!"
Ceter
Cambuk itu mengenai Anna, ia terbakar dan jatuh.
"Normalnya, makhluk-makhluk lemah akan langsung mati, jika terkena cambukan Segoro Geni. Tapi kau memang berbeda, kau masih hidup. Itu yang membuatku jatuh cinta," ucap Mikail.
"Apa kau pernah mendengar tentang keluarga Sagara?" tanya Mikail pada Uchul.
"Sagara, adalah keluarga yang mampu berdiri di atas para Jin. Burung hantu, makhluk-makhluk itu, Isabela, bahkan Segoro Geni, Sagara mampu memperoleh semua itu karena mampu mengendalikan mereka.
"Manusia yang menjadi penghubung antara dua alam," sambungnya.
"Penghubung antara dunia manusia dan dunia mereka yang tak terlihat. Dengan adanya mata kirimu itu, aku bisa mewujudkan impian peti hitam, untuk menyatukan kedua alam ini!"
Mikail mengayunkan cambuknya pada Uchul. "Matilah! Biarkan aku memiliki mata itu."
"Majulah! Excalibur," teriak seseorang dari belakang Uchul.
Sebuah tongkat tiba-tiba terlempar dari arah belakang Uchul. Tirta mengambil tongkat itu.
"Badama!"
Badama adalah teknik mengalirkan atma ke dalam benda mati. Fungsinya adalah untuk membuat benda tersebut kebal dari senjata sihir. Namun, tetap saja, levelnya masih jauh di bawah senjata pusaka.
Tirta menahan Segoro Geni dengan tongkat itu.
"Ke ... ke ... ke--"
"Kalau, Sagara. Kami juga punya," ucap Uchul sambil menyeringai.
Andis berjalan hingga dirinya sejajar dengan Uchul.
"Sekarang, gua yang jadi pahlawannya," ucap Andis.
"Mata Suratma dan Sagara? Posisi kita seimbang, kekeke," ucap Uchul pada Mikail.
Di tambah, Tirta dengan badama nya. Itu mungkin bisa menahan cambuk kebakaran itu, batin Uchul.
"Kemana, Bayu?" tanya Mikail pada Tirta.
"Ya ... tanya aja sama orang itu deh, dia yang beresin," jawab Tirta sambil menunjuk Dirga.
"Yo, rekan! udah lama ya," ucap Uchul pada Andis.
"Udah berapa lama, kita ga berantem sebagai partner?" tanya Andis.
"Kekeke, semenjak lu memilih buat jadi anak culun," jawab Uchul.
"Tanggung jawab kita berdua besar di sini--pastikan selama beberapa tahun ini, lu ga jadi lemah," ucap Uchul memberikan tangan kanannya untuk melakukan tos.
"Andis still, Andis, Bro," yang berusaha membalas tos dari Uchul.
Dirga tiba-tiba saja berjalan di antara mereka berdua, sehingga membuat tos mereka gagal. Andis dan uchul menoleh ke arah Dirga yang berjalan lurus.
"Maksudnya--tanggung jawab kita berenam?" ucap Dirga yang berjalan sambil bersiap mengenakan topeng Tumenggung yang berada di tangan kanannya.
"Huft ..." Tama berjalan di belakang Dirga sambil membetulkan posisi sarung tangannya.
"Udah berapa lama, kerajaan kita ga bertempur sih?" tanya Ajay yang berjalan di belakang Tama dengan tangan kiri yang sengaja ia masukan ke dalam kantong jaketnya, sambil menempelkan tangan kanannya di tengkuk lehernya.
"Semoga pedang Excalibur ga karatan deh," ucap Tirta yang berjalan dan berdiri di sebelah Dirga, sambil ia menancapkan tongkat itu ke tanah.
Uchul dan Andis saling bertatapan. Mereka berjalan secara terpisah, Uchul berjalan ke pojok kiri barisan. "Hey, hey,hey--ayo kita akhiri pertempuran bodoh ini, kekeke."
Sedangkan Andis berjalan ke pojok barisan paling kanan. "Semua anggota kerajaan mantra, akhirnya berkumpul untuk mengalahkan, Raja Iblis Mikaileeee. Pangeran Tirta dengan pedang Excaliburnya. Pahlawan bertopeng yang selalu datang di saat-saat yang genting. Pemimpin pasukan bayangan, Tama dari Gang Mawar. Penasehat kerajaan yang lihai dalam merancang taktik, Ajay Nababan--"
"Anjir, kenapa jadi Nababan sih? Nababan tuh siapa!" protes Ajay memotong narasi yang di bawakan Andis.
"Iblis mata satu, putra dari, Ratu Iblis Jamile. Dan terakhir, pemeran utama sekaligus orang yang akan mengalahkan Raja Iblis Mikaile, Andis Sagara."
Andis mengakhiri narasinya dengan teriakan yang penuh semangat. "MANTRA SIAP BERTEMPUR!"
Sambil berbaris, mereka semua menatap ke arah Mikail. Begitupun sebaliknya, Mikail menatap mereka berenam.
.
.
.