Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 164K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Brawala

21.4K 2.6K 63
By khanifahda

Waktu yang ditunggu-tunggu Grahita kini telah tiba. Akhirnya ia bisa membuka restoran impiannya itu. Ia bahagia ketika ia bisa mewujudkan mimpinya itu. Tak mudah memang, namun Grahita selalu optimis bahwa ia bisa.

Setelah serangkaian ceremony pembukaan yang dihadiri rekan sesama chef dan rekan ketika ia menimba ilmu di Le Cordon Bleu, ia juga kedatangan teman-teman semasa SMA-nya. Aura kebahagiaan nampak terpancar di wajah cantiknya.

"Gefeliciteerd juffrouw Grahita. Succes. Ik ben trots op je." Ujar pria berparas bule itu kemudian. (Selamat nona Grahita. Semoga sukses. Saya bangga dengan kamu)

"Dank u meneer Hendrik.  Ik ben blij dat je mijn evenement kunt bijwonen." (Terima kasih tuan Hendrik. Saya senang anda bisa hadir dalam acara saya ini)

Tuan Hendrik adalah salah satu mentornya ketika di Prancis dulu. Kebetulan juga Tuan Hendrik orang Belanda asli sehingga tak jarang mereka lebih memilih berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Belanda. kali ini Tuan Hendrik ke Indonesia karena diundang oleh salah satu ajang pencarian bakat memasak paling bergengsi di negeri ini.

Tuan Hendrik nampak tertawa, lalu menganggukkan kepalanya kecil.

"Sa-ya ju-ga sen-nang. Is het juist?" (Benar tidak?)

Grahita tertawa, "juist." (Benar)

Tuan Hendrik ini beberapa kali meminta untuk diajarkan bahasa Indonesia oleh Grahita. Hubungan mereka cukup dekat, layaknya bapak ke anak, mungkin. Tak jarang juga Tuan Hendrik sering mengajak Grahita untuk berdiskusi dan bereksperimen ketika masih di Prancis dulu. Saking dekatnya, mereka sempat dikira memiliki hubungan spesial, namun nyatanya mereka hanyalah seorang murid dan mentor yang kebetulan sangat dekat bahkan juga dengan keluarga Tuan Hendrik Grahita kenal baik.

Kemudian Tuan Hendrik berpamitan kepada Grahita karena harus terbang ke Bali untuk acara selanjutnya di sana. Walaupun hanya singkat saja, tetapi Grahita sangat senang hari ini. Baginya ini sudah cukup. Orang-orang baik disekitarnya sudi untuk datang pun Grahita sangat senang dan bahagia.

Satu persatu tamu kini berpamitan. Hanya tersisa beberapa orang saja di sana termasuk karyawan baru Grahita. Makanan yang dihidangkan pun sudah mulai menipis. Hanya tersisa beberapa saja. Para tamu tadi sangat menikmati jamuan pada pembukaan restoran Grahita. Gadis itu menamai restorannya dengan nama The Dirk Kitchen. Hal ini berkaitan dengan nama sang opa. Grahita memang sudah pernah berkata ke sang oma jika suatu saat nanti ia akan menamai restorannya dengan nama tersebut.

Lantas datang empat orang yang berjalan mendekat ke arah Grahita. Seorang pria bersetelan rapi, sedangkan pria satunya mengenakan kaos polo dan celana hitam. Lalu dua perempuan berbeda generasi itu datang mengenakan pakaian mahal yang begitu kentara. Grahita yang sedang memastikan makanan yang tersaji itu lantas menatap mereka.

"Selamat ya Tata, cucu eyang."

Tuan Soeroso lantas mendekat dan memberikan pelukannya. Grahita bergeming, namun tak masalah bagi Tuan Soeroso. Baginya ketika Grahita menerima pelukannya tanpa membalas pun itu merupakan sebuah keajaiban.

Tuan Soeroso nampak tersenyum bahagia. Laki-laki senja itu lantas mengurai pelukan mereka. Ia menatap cucunya itu lamat-lamat.

"Maaf ya, eyang telat karena habis kontrol kesehatan tadi." Ujar pria itu.

Grahita mengangguk pelan. Ia memang sengaja mengundang eyang dan papanya. Namun tidak dengan mama dan kakak tirinya itu. Ia tak berharap dua perempuan itu datang.

Lalu atensi Grahita beralih pada papanya. Benar, ia sangat mirip dengan laki-laki yang sial*nnya lagi adalah ayah biologisnya. Ia benci mengakuinya, namun takdir nyatanya memberikan sabda dan kuasanya yang bertentangan dengan harapannya.

Sadewa Pramonoadmodjo lantas menatap putri kandungnya itu. Putri yang telah lama ia tinggalkan. Bahkan dulu nasibnya sendiri ia tak tahu. Hanya saja ia tidak lepas tanggung jawab untuk keberlanjutan kehidupan putrinya itu. Namun tanggung jawab moral dan kasih sayang, Sadewa tak pernah memberinya.

Grahita menatap datar sang papa. Entah mengapa kebencian dan kemarahannya begitu berkobar di dalam hati dan pikirannya, bahkan di bawah alam sadarnya. Sejak kecil tertanam pada batinnya bahwa ia tak ubahnya anak yang di buang oleh orang tuanya sendiri. Hanya memikirkan kesenangan mereka saja, tetapi tanggung jawab padanya hanyalah bullsh*t semata. Ia benci itu, sungguh.

Perlahan senyum miring terbit di bibir gadis yang berusia 25 tahun lebih itu. Seumur-umur ia tak pernah melihat tatapan teduh laki-laki yang menyebabkan dirinya hadir di dunia ini. Yang ia tahu adalah tatapan angkuh nan dingin dari laki-laki itu. Jangan harap mendapat belas kasih

"Welkom Pramonoatmodjo." Ujar gadis itu dengan senyuman.

"Hoe gaat het met je? Ik hoop dat het goed is." (Bagaimana kabarnya? Semoga baik-baik saja)

"Niet." (Tidak)

Grahita lalu menatap sang papa yang menjawab pertanyaannya barusan. Tatapannya lurus menatap laki-laki itu.

"Niet? Why? Are you okay papa?"

"I'am okay." Sahut Sadewa dengan cepat kemudian. Nampaknya laki-laki itu mengalihkan pembicaraannya.

Grahita menatap papanya sekali lagi sebelum beralih kepada mama tirinya itu.

"Hai tante Diana. Selamat datang di restoran Grahita." Sapa gadis itu seakan baik-baik saja.

Sedangkan perempuan bernama Diana itu menatap anak tirinya lekat sebelum akhirnya memilih tersenyum paksa. Jika bukan karena Sadewa juga ia enggan kemari. Buat apa ia datang pada gadis kecil bengis dengan lidah tajam itu? Begitu pikirnya.

"Hai juga sayang, wah, keren sekali restoranmu ini." Ujarnya penuh kepalsuan.

Kemudian Diana memeluk Grahita. Sedangkan gadis itu hanya bergeming dan tak memberikan respon yang begitu baik. Grahita sudah paham itu.

Lalu atensi Grahita beralih kepada Agnes setelah pelukan mereka selesai. "Hai apa kabar kak Agnes?" sapa Grahita.

Sedangkan perempuan berusia 27 tahun itu tersenyum tipis dan menjabat tangan saudara tirinya itu. "Baik."

"Eyang jika ingin makan, Tata masih ada hidangan di sini. Silahkan kalian bisa menikmati semuanya di sini. Jika perlu nanti Tata bisa terjun ke dapur." Ujar gadis itu menjamu dengan baik.

Saat ini tak ada yang lebih baik ketimbang pencitraan. Mana mungkin Grahita berkata kasar dan tak menghargai kedatangan mereka sedangkan masih ada tamu yang menikmati acara di sana. Mereka berinteraksi saja sudah mengundang banyak tatapan mata, apalagi jika Grahita tak memberikan pelayanan terbaik untuk keluarganya.

"Nggak usah repot-repot, Ta." Sahut Tuan Soeroso.

Lantas Grahita memilih mengajak mereka semua menuju stand yang menyediakan beberapa makanan di hari spesial ini. Semua bisa mencoba makanan secara gratis dan beberapa ada yang membayar, tetapi mendapat potongan harga di awal pembukaan ini.

Grahita lalu hanya bisa menghela nafasnya. Jujur ini baginya sangat menyakitkan. Mengapa ia harus terjebak dalam situasi seperti ini? Apakah ia belum bisa memaafkan dan berdamai dengan semuanya? Sungguh, ini melelahkan.

Setelah acara makan bersama dan basa-basinya, Tuan Soeroso ingin diajak berkeliling di ruangan yang ada di restoran Grahita. Gadis itu pun tetap melayani dengan baik. Ia juga menjawab setiap pertanyaan dan menanggapi ucapan eyangnya. Sedangkan Sadewa hanya bisa membisu sambil sesekali melirik putrinya itu.

Sampai akhirnya mereka berada di ruangan pribadi Grahita. Sebenarnya ia enggan membawa mereka di sana. Namun sepertinya ada hal yang ingin disampaikan sang papa sehingga gadis itu melanggar sendiri janjinya.

"Pikirkan tawaran eyang Ta. Papa nggak mau kamu merasa hutang dengan eyang." Ujar Sadewa dengan tenang. Sedangkan Grahita hanya menatap empat orang di depannya itu dengan anggun.

"Jadi ini hal yang penting untuk dibicarakan?"

"Tata rasa kalian sudah sangat paham. Atau mungkin pernyataan Tata kemarin harus diulang kembali?" sahut gadis itu dengan tenang.

Sadewa nampak menghela nafasnya. Putrinya sama seperti dirinya, keras kepala dan sangat tenang dalam menghadapi apapun itu. Namun tatapan tajam dan wajah angkuh itu tetaplah milik sang mantan istri, Miranda.

Sadewa hendak berbicara kembali, namun segera dicegah oleh Tuan Soeroso. Lelaki tua itu tersenyum ke arah sang cucu.

"Nggak apa-apa. Kamu cicil semampumu kamu saja ya Ta." Ujar laki-laki itu dan membuat Sadewa menatap cepat ayahnya itu.

"Ayah?"

"Maaf ya eyang buat marah kamu lagi." Lanjut laki-laki itu mengabaikan teguran sang putra.

Lantas Sadewa menatap putrinya itu. "Setidaknya kamu tunjukkan empatimu kepada eyang, Ta. Bukan malah memberi masalah kembali. Jika kamu tidak suka, jangan meluapkan ke eyang. Luapkan saja ke papa."

Grahita lalu mendengus kecil seraya tersenyum miring. "Semudah itu ya? Sejak kapan Tata mengharap belas kasihan kalian? Sekarang Tata paham, lebih baik Tata meminjam uang dari bank ketimbang harus berurusan dengan Pramonoadmodjo."

Selanjutnya suara tamparan keras terdengar menggema di ruangan tersebut. Tangan Sadewa bergetar setelah menampar putri kandungnya sendiri. Sementara Tuan soeroso sangat kaget begitupun dengan Diana dan Agnes.

Grahita menatap nanar papanya yang terdiam sambil menatap tangannya yang masih bergetar. Rasa panas kini menjalar di pipi gadis cantik itu. Bahkan bekas tangan begitu kentara di wajah cantik Grahita.

"Mmm-"

"Puas? Anda puas 'kan?" tanya Grahita pelan penuh penekanan.

Matanya menggelap dan wajahnya menegang. Sungguh ia tak menyangka jika papanya itu menamparnya. Ini baru pertama kali laki-laki itu melakukan kekerasan pada sang putri.

"Sekarang jelas 'kan? Buat apa? Apa yang bisa saya harapkan kepada kalian? Saya sudah hancur. Saya sudah mati rasanya. Lara apa lagi yang kalian berikan pada saya? Lara apa lagi? Ayo, lakukan lagi. Biar saya semakin hancur dan tambah mati saja! Tidak ada gunanya. Apa itu anak? Apa itu darah? Bullsh*t!"

Grahita berujar keras dan penuh pilu. Ada marah yang membuncah. Ada sakit hati yang membiru. Namun ia harus tetap berdiri kokoh menantang takdir yang selalu menjebak dan membuat dirinya patah berkali-kali.

"Kamu keterlaluan!" sahut Diana kemudian.

Lalu atensi Grahita menatap sang mama tiri. Senyum miring tercetak di wajah Grahita yang justru terlihat menyedihkan.

"Kamu tidak seharusnya berkata seperti itu pada eyang dan papamu-"

"Diana!" ujar Tuan Soeroso tegas. Ia merasa Diana tak perlu ikut campur urusan yang tak akan dimengerti oleh perempuan itu.

"Tapi ayah-"

"Sudah cukup! Kamu tidak tahu apa-apa tentang kami! Ini urusan antara kami dan Tata! Kamu nggak perlu ikut campur lagi! Simpan saja bicaramu itu!"

Amarah Tuan Soeroso membuncah. Ia kira hari ini ia bisa memperbaiki hubungannya dengan sang cucu, namun ternyata malah tambah runyam begini. Lantas, kapan mereka bisa berdamai? Damai rasanya hanya seperti angan semata yang terdengar bak lagu lama di siang bolong.

"Sadewa kamu bodoh! Kenapa kamu tetap mempertahankan prinsip sial*nmu itu di depan anakmu sendiri! Ayah menyesal membanggakan dirimu jika kamu saja gagal menjadi ayah bagi putrimu sendiri!"

Tuan Soeroso berkata tegas. Lalu atensinya beralih pada Grahita yang bergeming di tempatnya.

"Sadewa, minta maaf ke putrimu!" ujar Tuan Soeroso memperingatkan putranya itu.

Kemudian Sadewa menatap putrinya yang menatap lurus dengan pandangan datar. Kakinya ingin melangkah mendekat, namun nyatanya justru langkah itu melangkah keluar ruangan tersebut.

Sementara itu Grahita tersenyum miris. Begitu susahnya kata maaf dan memperbaiki. Lantas kapan bisa berdamai?

Tuan Soeroso kaget dengan tindakan putranya yang menurutnya sangat bodoh itu. Lalu pria tua itu melangkah keluar dengan cepat diikuti oleh Diana dan Agnes. Sementara Grahita tersenyum miring dan terduduk. Hatinya remuk, sangat.

Matanya lalu ia pejamkan. Kemudian bulir air matanya turut turun cepat dari mata indahnya itu. Ia menangis dalam diam. Ia tak sekuat kelihatannya. Ia rapuh dan hancur.

.
.
.

Brawala : berselisih

Continue Reading

You'll Also Like

260K 20.5K 40
Note. Beberapa tanda kutip menghilang secara misterius dari cerita. I dont Know Why 😭😭 Mohon maaf atas ketidaknyamanan-nya. Dan saya berjuang mera...
1M 85.2K 57
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
57.2K 1 1
[Bucin Series 1] Ada yang bilang katanya; "cinta itu berat, kamu pasti nggak kuat. Biar aku aja." Gishania Alunra, gadis berusia 25 tahun merasa sepe...
211K 13.4K 58
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...