-Ada yang sudah pulih dan sembuh, berhenti menemuinya agar lukanya tak lagi kambuh-
Duduk berdua di bangku tengah, Ann belum pernah merasa secanggung ini sebelumnya. Ia dan Dimas tidak sedekat itu hingga ia perlu berani menyapa duluan. Mereka beberapa hari lalu hanya saling sapa selayak teman kelas pada umumnya.
Namun saat Dimas beranjak duduk di sebelahnya, dengan dalih ingin kerja sama, Ann merasa ada sebuah tujuan yang tersemat dari kalimat-kalimat Pemuda terkenal itu. Ann hanya tahu Dimas terkenal karna prestasi sepak bola dan juga menjadi kesayangan guru.
Mengenai sifat brengseknya, Ann belum kenal.
"Jadi, mau tidak bertukan nomor?" Tanya Dimas lagi.
"Boleh," Ann itu pemalu, apalagi jika menghadapi manusia semacam Dimas.
Dimas tersenyum, meraup mangsa ternyata mudah sekali.
Ann yang lugu, manis dan polos, juga Dimas yang merupakan brandal yang sukanya tebar pesona. Tolong, mereka tak sepatutnya untuk bersama. Entah dalam permainan Dimas maupun permainan yang melibatkan rasa dan campur tangan semesta.
Ann baru masuk lingkungan ini, Ann baru saja beradaptasi dan ia bukannya tak mau langsung dijatuhi kasih seperti ni. Bisa saja Dimas tidak sebaik apa yang orang lain lihat dan katakan.
"Rumahmu jauh?"
Ann menoleh sekali lagi saat Dimas bertanya hal-hal yang belum perlu mereka bicarakan. Mereka belum lebih dari sekedar teman sekelas. Ann sudah tanam yakin pada dirinya bahwa ia tak ingin cepat percaya.
Namun, semesta mengambil alih semuanya.
----
"Aku muak Dimas! Kemarin Mulan menangis di hadapanku dan menyalahkanmu, lalu aku yang dihujani amarahnya!" Pekik Teo tak tanggung di atap sekolah, hadapi karibnya yang satu ini.
"Memang aku kenapa? Aku lupa sudah melakukan apa padanya." Balas Dimas ringan, seakan memang amukan Gadis itu pada Teo memanglah tak berarti apa-apa.
"Astaga! Kau mencium pipinya tanpa izin Dimas! Lalu dikeesokan harinya kau menganggap dia sampah!" Seru Teo, gemas dengan kelakuan Dimas.
Cukup, ia sudah tak mau lagi jadi pihak yang meminta maaf.
"Yasudah maafkan aku, besok-besok tak akan lagi. Aku akan serius."
Teo menoleh, ia tak percaya. Jujur saja.
"Aku tak mau lagi bertanggung jawab." Teo mendelik sebelum mendengus kasar saat Dimas hanya tersenyum seperti orang idiot.
"Kali ini kau tak perlu repot, aku akan mulai serius."
"Jangan membual, Dimas, aku sudah lelah hadapi amukan para gadis."
"Aku berjanji kali ini tidak akan sampai begitu."
----
Tidak, bukan hal seperti ini yang Ann harapkan saat ia memasuki sekolah baru. Ia hanya ingin hidup tenang dengan teman yang mengerti. Bukan malah jatuh hati pada Pemuda yang baru ia kenal tempo hari.
Dimas memang tidak buruk, namun Ann tidak mau jatuh secepat ini.
"Besok aku bisa antar kau pulang lagi jika mau. Kau tak keberatan kan?" Tanya Dimas, siap menebar perhatian agar Ann percaya bahwa Dimas memang baik hati.
"Aku tidak keberatan, atau malah mungkin kau yang keberatan?" Ann bertanya balik, pipinya bersemu merah muda.
Dimas terkekeh, "mana ada aku keberatan? Aku malah senang."
Hari itu Ann percaya bahwa ia adalah satu-satunya Gadis yang Dimas perlakukan demikian. Hari itu Ann percaya bahwa Dimas serius menemaninya. Hari itu Ann percaya bahwa ia benar-benar jatuh pada dekapan Dimas dan segala kerumitannya.
Dan hari itu juga, semesta kembali bermain-main hanya untuk sekedar mengetes ketabahan diri Ann.
"Namaku Dimas," ujar Dimas tiba-tiba saat jaln mereka sengaja melambat, sengaja mengulur waktu.
"Aku tahu, Dimas, kenapa memperkenalkan diri lagi?" Ann kebingungan sembari remat tali tas punggungnya.
"Aku hanya kau tahu namaku, lalu hanya menyebut namaku dalam hari-harimu. Mengerti?'
"Jangan bercanda." Ann merona sendiri mendengarnya.
"Mau jadi kekasihku tidak?" Dimas lagi-lagi sekenanya ajukan pertanyaan itu.
Ia pikir pertanyaan itu mudah, ia pikir pertanyaan itu gurauan. Namun nyatanya hati Ann berantakan.
"Kita baru dekat tadi pagi Dimas," tolak Ann halus.
"Memang kenapa? Bukankah cinta tak memandang waktu? Ara bilang begitu padaku."
"Cinta memang tak membutuhkan waktu, namun butuh waktu untuk mengenal satu sama lain." Jawab Ann, seakan paling tahu hukum waktu.
"Bailah, minggu depan. Setuju?"
"Hah?"
"Rumahmu terhalang dua rumah lagi kan? Aku sampai sini saja ya? Jangan lupa makan dan minum, lalu tersenyum, aku suka senyummu."
Ann diam mematung, kaku, coba pungut kesadrannya yang baru kembali saat Dimas sudah jauh melangkah kembali. Ia yakin ia telah jatuh, namun tak ingin mengakuinya sekarang.
Ada sebuah rasa lainnya yang terlibat, yang ikut terkurung dalam luka perih masa lalu. Ada sebuah jiwa yang baru saja masuk, tanpa tahu apa-apa dan hannya bisa tersenyum malu. Senyuman itu memang awal yang baik bukan? Namun tangisan adalah hal yang selalu waktu janjikan.
----
Ann risih, terlebih saat Vio selalu menatap nyalang ke arahnya saat ia sedang mengobrol ringan dengan Dimas dan Teo di sekolah, tidak dengan Ara- gadis itu terlalu jauh untuk diraih.
"Apa aku berbuat salah pada Vio?" Gumam Ann yang mana ditangkap jelas oleh Teo.
Teo menoleh ke arah Vio, Ica dan Kea yang kini berkumpul seperti biasa lalu curi-curi pandang ke arah mereka. Hela napas keluar dari bibirnya, ia paham betul apa yang terjadi disini.
Penyesalan yang datang saat semuanya telah perlahan pulih.
"Nanti apa kita akan pulang bersama lagi?" Tanya Dimas, melepas lamunan Ann yang memikirkan apa salahnya pada Vio.
Ann menggeleng, "Aku dijemput hari ini."
Dimas ahirnya anggukan kepala pasrah, lalu ajak Teo untuk beli sebotol mineral untuk hilangan haus di siang hari. Teo tak mau sahabatnya yang sedang mencoba untuk sembuh kembali harus menempuh. Menempuh sebuah pilihan antara harus kembali atau tidak.
"Kak Teo, temanku yang itu ingin meminta nomormu, apa boleh?" Seorang adik kelas dengan kuciran rambut tinggi itu menghalangi jalan keduanya.
Teo menengok ke arah Gadis yang ditunjuk, berdiri di sebrang koridor dengan wajah tertunduk.
"Tentu saja."
Dimas mendelik mendengar jawaban Teo, yang katanya setia pada satu akhirnya runtuh juga. Apa Dimas bilang, satu itu tak cukup.
"Terimakasih, kak."
"Itu nomor aslimu?" Tanya Dimas saat sang adik kelas sudah melenggang pergi.
"Tentu saja." Jawab Teo denga santai.
"Omong kosong mengenai kesetiaanmu pada Ara."
Dan pada hari itu, ada perasaan-perasaan baru yang masuk terlibat pada lingkaran permainan hati yang diciptakan semesta dan didukung dunia. Ada hati-hati baru yang harus bersiap patah sewaktu-waktu jika senja menginginkannya.
----
"Ada sebuah hati yang harus dipatahkan demi satu hati lainnya yang ingin diselamatkan."
~
~
~
~