KALE [END]

By SiskaWdr10

47.7K 3.1K 365

[Series stories F.1 familly] ⚠️Bisa dibaca terpisah⚠️ Tamat☑️ [Start: 19:07:20] [Finish: 26:11:20] Luka ter... More

01.Tersayang
02.Lingkungan Kale
03.Stempel pemilik
04.Kejadian silam
05.Si datar candu
06.Dua hama
07.Karangan Salsabila
08.The power of love
09.Kale keliru
10.Putri hujan
11.Bule peduli
12.Gugur
13.Pelukan hangat
14.Bundadari
15.Ancaman
16.Psycho
17.Sebuah rasa
18.Tersangka
19.Celah keuntungan
20.Duri manis
21.Momen
22.Cinta ke benci
23.Bekas luka
24.fired
25.Puncak masalah
26.Kacung
27.Tupperware
28.Wanke
29.Sekolah robot
30.Tumbuh
31.Pecah
32.Macan tidur
33.Bertahan
34.Sampah
35.first kiss
36.Air dan minyak
37.Jealous
38.Mabuk
39.Alasan
40.Over posesif
41.Marah besar
42.Badut
43.Omes
44.Hampa
46.Roti dan susu
47.Jawaban
48.New thing
49.No LGBT
50.Story night
51.Program Gapara
52.Labil
53.Tugas
54.Taktik
55.Bertingkah again
56.Perangkap
57.Kesibukan
58.Permintaan
59.Tidak baik
60.Menjauh
61.Kado
62.Lolipop
63.Terbongkar
64.Double kill
65.Berakhir
66.Terbiasa sepi
67.Selamat lulus
68.About Tapasya
69.Kebenaran
70.Pada akhirnya
71.Milik ku [END]
hiii

45.Mainan

446 39 0
By SiskaWdr10

Mainin perasaan lebih seru ketimbang mainin boneka. -KALE-
______________________________________

Tak ada kabar dari Galang membuat Anya galau selama berhari-hari, jujur ia menyesal marah pada Anya, bisa kenal Anya itu sangat sulit sekali dan dengan mudahnya Galang menjauh begitu saja, bodoh? memang. Setiap harinya Galang sibuk belajar sampai kadang lupa makan, tidur dan lupa mandi, padahal jelas-jelas itu hari libur. Sekarang dia tengah tertidur di meja belajar dengan buku-buku tebalnya, Mutiara membuka pintu kamar adik satu-satunya itu.

Mutiara hanya bisa tersenyum simpul melihat adik satu-satunya ini, ada rasa senang bercampur sedih yang sulit sekali untuk Mutiara jelaskan. Pola hidup Galang tidak teratur dan tidak sehat, ia bisa berubah separah ini akibat di tinggal oleh kedua wanita yang sangat ia sayangi.

"Semoga Sonya bisa sembuhkan luka kamu Lang," ucap Mutiara dengan suara parau.

"Ka Tia," ucap Sifa saat ia membuka pintu kamar Galang. Mutiara langsung menetralkan suasana.

"Sini, bantu aku!" ucapnya.

Sifa gadis setengah laki-laki itu merangkul Galang untuk ke tempat tidur dibantu oleh Mutiara, dengan hati-hati Mutiara menyelimuti Galang.

Mutiara dan Sifa keluar kamar. "Kayanya capek banget Galang," ucap Sifa.

"Kadang aku bingung dia nyari apa, dia mau apa sampai segitu kerasnya belajar, kalau nyari prestasi kan bisa sewajarnya," balas Mutiara.

"Pola hidup dia jadi nggak sehat, Kak Tia takut Galang kenapa-kenapa ya?" tanya Sifa. Mutiara mengangguk.

Galang bangun sore hari dan Sifa masih ada di rumah Galang, rasanya Sifa lebih seru bermain dengan Galang dari pada dengan teman-teman yang tidak satu humor dengannya.

Dengan langkahnya yang gontai ia membasuh muka lalu berjalan menuju dapur untuk mencari makan. Sifa yang melihat Galang langsung bangkit dan mendekatinya.

"Ngapain bangun padahal belum banjir?" tanya Sifa.

"Kenapa kalau banjir mau jualan thai the sama gue?" tanya Galang.

"Bobanya nyari pup kambing dulu," kata Sifa.

Wajah Galang langsung datar saat melihat isi di meja makan, hampir semuanya sayuran dan Galang sangat tidak suka itu.

"Kak Muti yang masak?" tanya Galang. Sifa yang tengah menyendok makanan mengangguk.

"Ayo lah makan sayur, biar sehat!" jawab Sifa yang tahu Galang tak suka dengan sayur.

Galang duduk dan ia terpaksa harus memakan sayur, "Kaya makan obat."

"Mana yang pahit si Lang?" heran Sifa.

Sifa terkekeh kecil saat Galang menyendok sayur bayam hanya satu sendok saja. "Apa si ini anak!" ucap Sifa lalu menyendok lebih banyak sayuran ke piring Kale.

"Apa si lo bocah!" kesal Galang.

"Biar sehat dan berotot Lang!" omel Sifa.

"Gue udah sehat, lagian gue nggak ngerokok dan mabok-mabokan," kata Galang sambil mengembalikan sayur itu pada Sifa.

Bola mata Sifa berputar malas. "Iya deh iya, ampun bang jago."

Selesai makan Sifa menemani Galang bermain basket, Galang sulit untuk di kalahkan. "Ngalah dong sama cewek!" kesal Sifa.

"Emang lo cewek?" tanya Galang.

"Durjana!" kesal Sifa lalu mengejar Galang untuk menyelidiki perutnya.

Ketika sudah lelah keduanya duduk di bawah ring tersebut. "Capek," keluh Sifa.

"Anya gimana kabarnya?" tanya Galang.

"Gue masih belum dapet kabar tentang dia," ucap Sifa.

"Kasian banget kita," jawab Galang. Sifa menoleh pada Galang.

"Lo yang kasian!"

Galang mengangguk-ngangguk. "Hidup gue emang sehampa ini," kata Galang.

Jujur Sifa jadi sedih mendengarnya. "Lang lo udah nemuin orang yang bener-bener mirip Tapasya, bahkan mungkin ini lebih baik. Jadi ayolah mulai sekarang rubah pola hidup lo, jujur sama gue lo pasti capek kan?"

"Tentang apa?" tanya Galang.

Sifa berdecak lalu merubah posisi duduknya menghadap Galang. "Terus-terusan ambisi karena lo mau lupa sama semuanya, Lang kesehatan itu nomer satu, lo harus cinta sama diri lo sendiri, coba suka sama sayur, coba tidur tepat waktu, coba buat nggak bergadang terus. Jangan mentang-mentang lo rajin olahraga jadi bakalan sehat, harus seimbang Lang. Gue bilang gini karena gue peduli sama lo," kata Sifa.

"Gue juga maunya gitu Fa, tapi itu sama aja gue buka luka lama. Gue takut buat tidur delapan jam lamanya karena mimpi gue selalu Tapasya, gue nggak suka sayur karena Mama gue selalu masakin itu buat gue dulu, hal-hal yang menyangkut masalalu selalu gue hindarin Fa. Tiap malam gue sering minta sama Tuhan buat ngerti apa mau gue, balikin masa-masa indah gue, mau gue sesimple itu tapi Tuhan nggak pernah denger karena gue kemarin-kemarin udah banyak minta," kata Galang dengan wajah sedihnya.

"Ada yang lebih sederhana dari angan-angan lo itu lang," jawab Sifa.

Galang terkekeh kecil, balik ke masalalu memanglah tindakan yang tidak bisa dikembalikan. "Apa?" tanya Galang.

"Berhenti dan sadar kalau lo udang nggak ada di masa-masa itu, sisimple itu kalau lo mau nerima keadaan sekarang Lang." Jawab Sifa membuat dada Galang terasa sesak.

Perlahan Sifa bersandar pada bahu Galang, "Yang ikut menderita nggak cuma lo, tapi gue dan Kakak lo, dia sayang banget sama lo. Lo mungkin nggak akan percaya kalau gue bilang gini, tapi gue peka Lang sama sikap kakak lo. Cara orang sayang itu nggak selalu terang-terangkan bilang kalau aku sayang kamu, nggak," ucap Sifa.

"Bilang sama lo gue sakit juga nggak harus teriak-teriak supaya lu paham kan?" tanya Galang. Kini giliran Sifa yang tersenyum sedih, selama ini Sifa tidak pernah benar-benar mengerti sakit yang Galang maksud.

Sepulangnya dari rumah Galang malam harinya Sifa berdandan untuk kencan bersama Jawa, perlu kalian ketahui Sifa punya hasrat untuk menjadi wanita sejati itu hanya untuk Jawa.

Ia perlahan memakai liptsik ke bibirnya lalu tersenyum geli, karena malu Sifa kembali menghapus lipstik tersebut.

Drtt....

Jawa:
Gue udah depan rumah lo

Sifa langsung turun ke bawah dan menemui Jawa yang ternyata tengah duduk di motornya. "Lama ya, maaf," kata Sifa.

Jawa menggeleng. "Rumah lo gede dan gelap banget, nggak takut?"

"Nggak," jawab Sifa sambil kembali memperhatikan rumahnya. Lampu luar memang jarang sekali Sifa hidupkan. "Setan sama gue udah beda alam, itu kata bonyok gue, jadi ngapain harus takut?" tanya Sifa.

Mendengar jawaban Sifa membuat Jawa sedikit iri, "Perduli banget kayanya kedua orang tua lo."

"Hm ... sangking pedulinya sampai cuma kadang satu Minggu cuma sekali aja ada d rumah." Balas Sifa. Jawa bangkit dari motornya untuk memakaikan Sifa helem. Sifa awalnya menolak tapi Jawa mengangguk seraya tersenyum tipis meyakinkan kalau ia hanya memakaikan saja.

"Mereka cari duit juga buat lo, jangan manja," ucap Jawa yang pernah mendengar cerita keluarga Sifa. Sifa tersenyum manis, rasanya senang dan malu saat Jawa memakaikannya helem.

"Ayo," ajak Jawa.

Dengan motor vespanya itu Jawa mengajak Sifa berjalan-jalan menikmati angin malam, Sifa perlahan mulai meluluhkan hati Jawa dan itu yang diharapkan oleh semua orang, sebab bila dengan Najwa sudah berbeda alam.

"Lo nggak niat peluk gue gitu?" tanya Jawa tiba-tiba. Sifa yang masih kaku dalam hal seperti ini terdiam.

"Apa?" tanya Sifa pura-pura tak mendengar. Tiba-tiba Jawa menarik tangan Sifa untuk masuk kedalam saku hodie yang Jawa kenakan.

"Ja-"

"Gini," kata Jawa lalu ia tersenyum tipis.

Hangat, itu lah yang sejujurnya Sifa rasakan. Bolehkah ia merasakan ini lebih lama pada laki-laki yang sedari dulu mencintai satu wanita?

Motor Jawa ternyata berhenti di penjual sate tepi jalan, Jawa membuka helem Sifa dan rambut Sifa langsung berantakan Jawa tersenyum tipis lalu mengacak rambut Sifa dengan lembut, Sifa yang tak pernah suka diperlakukan manis lama-lama mulai mencair.

"Ciah, langsung blushing." Goda Jawa. Sifa langsung memasang wajah jutek.

"Apaan si lo!" jawabnya lalu duduk diikuti oleh Jawa.

Mereka berdua memesan sate, "Lo biasa makan sisi jalan?" tanya Jawa.

"Nggak," jawab Sifa.

"Serius?" tanya Jawa terkejut. "Maaf ya gue ngajak lo kesini, mau pindah?"

Sifa terkekeh kecil. "Biasanya di rumah dan itupun dengan makanan instan, jujur ini enak. Gue nggak berani keluar sendiri," jawab Sifa.

Ternyata gadis yang terlihat kuat ini hampir sama dengan Jawa, kekurangan kasih sayang dari orang tua, "Ya kenapa nggak gofood?"

"Gue takut, rumah gue kan kaya rumah kosong takut pengantarnya ngelakuin hal yang macem-macem," kata Sifa.

"Gue nggak kepikiran sampai situ." Jawab Jawa, Sifa tersenyum simpul.

"Lo sendiri, sering makan disini?" tanya Sifa. Jawa mengangguk.

"Gue kalau laper cari makan di luar yang udah mateng, males kalau harus masak-masak mie, lagian itu kurang sehat. Lo harus kurang-kurangin makan mie, ajak temen atau gue kalau lo mau makan di luar," ucap Jawa.

"Siap deh."

Selesai makan mereka pergi mencari jajanan untuk di makan di roftoof. Jujur Sifa sangat menyukai tempat seperti ini, ia bukan gadis yang takut akan ketinggian bahkan Galang dengannya sering melakukan hal seperti ini.

"Berasa deket bulan nggak si?" tanya Jawa. Sifa yang tengah memakan ciki mengangguk.

"Jawa sering kesini?" tanya Sifa.

Jawa mengangguk. "Gue sering kesini sendirian, temen-temen gue satupun nggak ada yang tahu. Kalau gue sedih atau senang tempat ini tujuan gue, disini gue ngerasa deket sama Mama dan Najwa."

Sifa melemah saliva di mulutnya, ini lah resiko jatuh cinta pada laki-laki yang masih belum bisa move-on. "Kenapa sekarang lo ajak gue kesini?" tanya Sifa. Jawa menoleh pada wajah Sifa.

"Mau minta izin sama Mama dan Najwa buat jatuh cinta sama lo," ucap Jawa.

Entah rasanya Sifa senang mendengar jawaban dari Jawa, Sifa dulunya teman dekat Najwa dan sekarang mereka terpisah, tangan Sifa melambai keatas langit. "Hai Mama Jawa dan Najwa. A-aku Sifa Ma, Jawa anaknya baik," kata Sifa membuat Jawa tersenyum tipis, "Untuk Najwa temenku yang paling baik, dengerin aku sekarang ya, mungkin aku bakalan sakit denger dia cerita tentang kamu terus, tapi aku orangnya sabar aku nggak akan marah aku bakalan coba bikin dia sembuh tapi bukan berarti dia lupain kamu, aku cuma ngajak dia nikmatin hidup tanpa kalian," ucap Jawa.

"Artinya?" tanya Jawa.

"Apa?" tanya balik Sifa.

"Mau jadi pacar gue dan nerima segala resikonya?" tanya Jawa. Ini tidak terlalu cepat bagi keduanya karena Jawa dan Sifa diam-diam sudah dekat dari dulu, mereka juga tahu latar belakang keduanya.

"Ini ceritanya lo nembak gue?" tanya Sifa dengan tampang polosnya.

"Gue cinta pertama lo kan?" tanya Jawa. Sifa tersenyum malu.

"Gajelas lo!" kesal Sifa.

"Iya-iya sebelum lo suka gue lo suka Kale kan? jadi gue ini kedua?" tanya Jawa. Sifa meminum esnya, Sifa juga pernah bercerita pada Jawa kalau ia pernah menyukai Kale.

"Gue ke Kale itu bukan suka atau semacam cinta, tapi cuma kagum aja," jelas Sifa.

Jawa mengangguk-ngangguk. "Jadi diterima nggak nih first love lo?"

"Hm," Sifa mulai berpikir terlebih dulu.

Jawa memakan ciki Sifa. "Lo harus tahu dulu ke kekurang gue!" kata Sifa.

"Apa?"

"Oke, gini. Seandaikan gue suka haluin seleb atau gue K-Pop atau suka banget sama musisi dan pemain bola, boleh?" tanya Sifa. Jawa pura-pura berpikir.

Laki-laki di sebelah Sifa itu berdehem sebelum menjawab. "Kamu haluin siapa aja bebas, asal jangan haluin bapak aku. Aku belum siap punya Mama muda," jawab Jawa, seketika Sifa langsung tertawa renyah.

"Ya, itu juga termasuk si."

"Apa lagi kekurangannya?" tanya Jawa.

"Banyak," kata Sifa.

"Sama gue juga banyak, tapi bukannya setiap manusia punya kurangnya? Ada si yang punya kelebihan, lebih lemak di perut maksudnya," kata Jawa lagi-lagi Sifa terkekeh kecil.

"Gue tahu kekurangan lo wa dan ... gue mau jadi pacar lo," balas Sifa dengan senyum tulusnya.

Jawa merubah posisi duduknya dan menggengam erat tangan Sifa lalu ia simpan di hatinya. "Semangat dan harus sabar ya kalau gue masih agak suka inget masalalu, lama-lama juga isinya bakalan penuh nama lo," kata Jawa dengan senyum senang yang sudah lama hilang.

Sifa melepaskan tangan Jawa dan memeluknya, "First love and first hug."

Bibir Jawa mengukir senyum lebar, lalu ia membalas pelukan tersebut. "Sifa si cewek agresif," ucap Jawa meledek.

Malam itu resmi merubah status Jawa, Sifa menjadi miliknya begitupun sebaliknya. Sifa merasa banyak kekuarang Jawa yang hampir sama dengannya jadi ia pikir ia bisa melewati keduanya ini bersama Jawa.

                                🐟🐟🐟
                               

Hari telah berganti Anya bangun dari tidurnya dan mulai bergegas mencuci muka untuk pergi memasak bersama Bi Isma. Semenjak jadi pembantu di rumah Kale Anya memang sering bangun pagi sekali.

Selesai masak Anya ingin menyiram bunga di depan tapi Kale datang dengan pakaian olahraga. "Temenin gue lari," ajak Kale.

Anya menggeleng karena tugasnya masih banyak. "Nggak, Anya banyak kerjaan."

"Harus dipaksa dulu?" tanya Kale dengan tampang datar. Mau tak mau Anya berganti baju dan menemani Kale berlari.

"Jangan lama-lama, kasian tau Bi Isma ngerjain sendirian," kata Anya saat keduanya tengah berlari santai di jalanan komplek.

"Sebelum ada lo juga Bi Isma bisa sendiri, emang lo ngebantu, bukannya ngerepotin?" tanya Kale.

"Lumayan sih, Anya bisa beresin empat kamar. Ngerepotin banget kan?" tanya Anya menyombongkan diri.

Kale lari lebih cepat, "Aneh jadi babu aja masih bisa songong."

Mata Anya membulat mendengar ucapan Kale jika saja dia bukan tuannya sudah Anya pukul.

Setengah perjalanan Anya mulai lelah dan mereka memutuskan untuk berhenti dan duduk di tepi jalan tersebut, Anya meronggoh ikat rambut di sakunya dan mulai mengingat rambutnya.

"Aw-"

Kale menarik ikatan rambut tersebut, ia tak suka leher Anya terlihat oleh orang-orang. "Aishhh," kesal Anya.

Kale pun mengingat rambutnya yang selama liburan ini sudah semakin panjang, ia juga sengaja tak memotongnya.

Anya tersenyum melihat itu, jujur Anya suka sekali melihat laki-laki yang rambutnya diikat satu seperti Kale saat ini, menggemaskan.

Mereka kembali berlari, hati Kale rasanya seperti berbunga-bunga, rasa yang telah lama hilang kembali datang.

Kale berhenti di penjual minum dan hanya membeli satu aqua, Anya tak membeli karena tak membawa uang.

"Cuma beli satu?" tanya Anya yang kewalahan. Kale dengan entengnya mengangguk.

"Lo ngarep gue beliin?" tanya Kale.

"Kan Kale juga yang ngajak!" kesal Anya.

"Oh," jawab singkat Kale lalu meminum air Aqua dingin itu di depan Anya. "Ah."

Anya hanya bisa menelan saliva di mulutnya. "Mau?" tanya Kale. Anya mengangguk. "Tapi katanya kalau satu aqua berdua itu sama aja kaya ciu-"

"Sttt! gak! Nggak jadi." Jawab Anya sinis. Gadis itu kembali berlari meninggalkan Kale yang tersenyum puas.

Sesampainya di rumah Anya minum air satu gelas penuh, sialan memang mantannya itu. Lalu ia berlanjut sarapan dan membereskan kamar tamu dan kamar Risa.

Setelah beres, ia akan pergi menuju kamar Ica, tapi Anya akan membuat martabak pisang kesukaan Ica terlebih dulu.

Waktu menunjukan pukul sepuluh siang. Anya pergi ke kamar Ica untuk membantu Ica meminum obat rutin.

"Putri, aku mau minum di luar boleh?" tanya Ica.

"Boleh kok," jawab Anya.

Bel rumah Kale berbunyi dan Risa segera membukanya, ternyata itu adalah Gladis yang akan izin pulang menuju Inggris kembali, ia berpamitan pada Risa.

"Kirain Bunda kamu bakalan betah di sini," ucap Risa.

"Iya Bun, aku kira juga begitu."

"Bentar bunda panggil dulu Kalenya," kata Risa lalu berjalan menuju kamar putranya.

Anya dan Ica berhenti di dekat pintu kolam, jaraknya dengan pintu lumayan jauh, selesai minum obat Anya mengelus pipi Ica.

"Pinter, putri bikin martabak kesukaan Ica lho. Aku ambil dulu ya," kata Anya. Ica hanya mengangguk saja.

Gladis sedari tadi memperhatikan kedua orang itu, ia pun punya niat licik untuk menjatuhkan Anya. Kaki Gladis mendekati kursi roda Ica, matanya melirik kesana kemari untuk memastikan tak ada orang yang melihat.

"Maaf, Ica." Batin Gladis lalu mendorong kursi roda Ica kearah pintu. Gladis langsung menjauhi Ica.

Ica yang sadar kursi rodanya bergerak sendiri mulai panik. "Putri-putri!" teriak Ica sambil tangannya ia arahkan ke belakang meminta bantuan.

Kale yang tengah turun tangga melihat itu langsung berlari, dari atas tangga memang terlihat. "Abang adikmu!" teriak Risa. Kale gagal menyelamatkan Ica.

Bruk....

"Hiks ... hiks ... hiks...." Ica menangis sangat kencang saat dirinya menabrak pintu. Kale menggedong Ica, Gladis langsung datang dan pura-pura terekjut.

"Ada apa, Le. Ica kenapa?" tanya Gladis. Anya datang dan langsung benar-benar terkejut.

"Ica-"

Mata Kale menatap Anya tajam. Ica kembali menangis.

"Ada Abang Ica," ucap Kale.

"Bawa ke kamar," perintah Risa.

Kale pun membawa Ica ke kamar dan memeluknya sangat erat. Ketiga wanita itu membantu mengobati luka kecil di kening Ica. Wajah Kale sangat tidak bersahabat pada Anya, apapun yang menyangkut Ica masalahnya akan diperbesarkan oleh Kale.

Pintu kamar Ica ditutup oleh Risa, membiarkan Kale berduaan dengan Ica. Risa dan yang lain memakluminya.

"Bunda maaf-"

"Nggak papa sayang, itu namanya kecelakaan. Sehebat apapun kita menjaga kalau takdirnya harus celakan ya celaka, nggak usah tegang mukanya, minta maaf sama Abangnya Ica aja," kata Risa sambil mengusap bahu Anya. Risa benar-benar Ibu terbaik bagi siapaun. Gladis tersenyum kiri melihat wajah Anya yang sangat ketakutan.

Anya berjalan kedapur dengan tubuh yang bergetar, ia takut Kale akan kembali marah besar padanya apa lagi ini kesalahannya.

Cup....

Satu kecupan dari Kale untuk kening Ica yang kini telah tertidur. Ia keluar kamar dan menemui Gladis yang akan pergi.

"Gue balik, jangan kangen lo!" ucap Gladis.

"Kabarin gue kalau nikah," kata Kale dengan wajah santai.

"Kamu duluan kali bang," imbuh Risa membuat Gladis tersenyum lebar.

Sebagai tanda perpisahan Gladis memeluk Kale, Kale membalas pelukan tersebut. Anya memantau dari jendela hatinya kembali terbakar.

"Maaf Ica," kata Anya sangat menyesal.

Setelah Gladis benar-benar pergi, kaki Kale melangkah menuju dapur. Pas sekali ketika Kale masuk Anya akan keluar, dengan sangat kasarnya Kale menarik tangan Anya dan membawanya ke tempat yang sepi di rumah ini yaitu, gudang.

"Ka-le-"

"Bodoh banget jadi babu," ucap Kale dengan wajah dingin.

"Maaf." Anya menunduk karena takut melihat wajah Kale yang sangat marah.

Satu jari telunjukKale menunjuk-nunjuk pada pelipis Anya. "Dipake dong, gimana kalau nanti Ica jatuhnya ke kolam. Lo sengaja bikin dia mati atau gimana?"

"Nggak Kale Anya nggak sengaja!" jawab Anya.

"Yakin banget nggak sengaja, siapa tahu diem-diem lo emang sengaja," kata Kale.

Ucapan Kale membuat air mata Anya tiba-tiba turun begitu saja. "Nggak mungkin Anya sengaja, Le."

Kale tersenyum kiri mendengar jawaban Anya. "Kenapa nggak mungkin? Ayah lo aja mungkin-mungkin aja kan?"

Mata Anya menatap Kale. "Ayah sama Anya beda, Le. Stop banding-bandingin," balas Anya muak.

"Sama aja, sama-sama punya pikiran pecik!" ucap Kale dengan nada meninggi.

"Anya minta-"

"Lo ngerti nggak si apa yang lo perbuat itu ... idiot!" lanjut Kale memaki Anya.

"Anya juga nggak mau gitu!" kata Anya mulai ikut kesal.

"Mikir dong Ica itu rentan buat celaka, harusnya lo jangan tinggalin dia!" balas Kale membentak.

Kepala Anya semakin menunduk karena suara Kale sangat kencang. "Anya minta maaf," ucap Anya dengan suara parau.

Kale menghela nafas, lalu ia mendekati telinga Anya. "Gue benci sama hidup lo, kalau nggak ada lo hidup gue baik-baik aja," balas Kale.

Lagi-lagi air matanya turun, ia tersenyum getir. "Kale jahat, buat Anya seneng terus sekarang bikin Anya nyadar kalau di rumah ini Anya bukan siapa-siapa buat Kale," kata Anya.

"Emang lo babu!" bentak Kale.

"Babu mana yang perasaannya dimainin dan dicium berkali-kali sama majikannya!" bentak Anya. Sontak Kale langsung mendorong Anya ke dinding dan menahan menggunkan tangannya.

"Karena lo emang cuma mainan buat gue, selama ini yang gue lakuin ke lo itu cuma main-main nya," balas Kale di telinga Anya.

"Mainan?" tanya Anya tak percaya.

Dengan sangat yakin Kale mengangguk. "Siapa yang mau serius sama babu?"

Anya menatap mata Kale tak percaya, "Kale bo-bo-"

"Gue nggak bohong, lo cuma apa si Anya? cantik juga nggak, pinter apa lagi, lo cuma gelandangan kalau gue usir dari sini, Nya!" ucap Kale kelewat batas.

"Kale bohong!" jawab Anya dengan nada meninggi, air matanya kembali turun.

Kale tersenyum kiri mendengarnya. "Anya-anya cuma-"

"Cuma babu yang bikin Ica menderita!" seka Kale membentak. "Kalau lo benci sama gue, gue lebih benci sama lo, kalau lo nanya kenapa gue gampang berubah sikap ya karna apa yang lo pikir itu bener Nya, lo cuma mainan buat gue."

Dengan kasar Anya mengusap air matanya, ia menunduk. "Maaf, Le," ucap Anya dengan suara parau nya. Posisi mereka masih sangat dekat.

"Nggak akan," balas Kale yang masih terbawa emosi.

Anya mendorong dada Kale agar wajahnya tidak berdekatan. "Udah ya main-mainya, Anya capek." Suaranya Anya sangat pelan dan parau. "Capek banget, jangan bikin Anya berharap terus, kalau mau nyakitin mending maki-maki Anya aja, jangan bawa-bawa hati suapaya Anya bisa lupain Kale. Makasih udah bilang."

Setelah mengatakan itu Anya berlari menuju kamarnya dengan air matanya yang berlinang deras. Kale langsung menampar mulutnya sendiri, mengapa ia selalu tak bisa mengontrol emosi.

Anya menangis di kamarnya, ia tak berbohong, ia senang saat Kale memegang tangannya mencium bibirnya, cemburu padanya. Tapi saat tahu kalau semua ini hanya permainan rasanya hati Anya kembali patah.

"Kale jahat," ucap Anya sambil mengusap air matanya. "Anya benci Kale!" dengan kasar Anya mengusap-ngusap bibirnya.

                              ********

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
ALRES By ⛓️

Teen Fiction

333K 19.3K 29
❗DI JAMIN ALUR CERITA GAK AKAN KETEBAK ❗ ___________________________________________ -Antara Aku, Kamu, dan Sandiwara- Tentang Alres Anibrata, cowok...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

6M 334K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
122K 6.4K 44
WARNING‼️‼️ Siapin mental dan stok sabar yang dobel pokoknya! Private acak follow sebelum baca! Sequel Trust Me Aretha Judul awal Realtas -> AKARA AK...