KALE [END]

By SiskaWdr10

49.1K 3.1K 365

[Series stories F.1 familly] ⚠️Bisa dibaca terpisah⚠️ Tamat☑️ [Start: 19:07:20] [Finish: 26:11:20] Luka ter... More

01.Tersayang
02.Lingkungan Kale
03.Stempel pemilik
04.Kejadian silam
05.Si datar candu
06.Dua hama
07.Karangan Salsabila
08.The power of love
09.Kale keliru
10.Putri hujan
11.Bule peduli
12.Gugur
13.Pelukan hangat
14.Bundadari
15.Ancaman
16.Psycho
17.Sebuah rasa
18.Tersangka
19.Celah keuntungan
20.Duri manis
21.Momen
22.Cinta ke benci
23.Bekas luka
24.fired
25.Puncak masalah
26.Kacung
27.Tupperware
28.Wanke
29.Sekolah robot
30.Tumbuh
31.Pecah
32.Macan tidur
33.Bertahan
34.Sampah
35.first kiss
36.Air dan minyak
37.Jealous
38.Mabuk
39.Alasan
40.Over posesif
41.Marah besar
42.Badut
43.Omes
45.Mainan
46.Roti dan susu
47.Jawaban
48.New thing
49.No LGBT
50.Story night
51.Program Gapara
52.Labil
53.Tugas
54.Taktik
55.Bertingkah again
56.Perangkap
57.Kesibukan
58.Permintaan
59.Tidak baik
60.Menjauh
61.Kado
62.Lolipop
63.Terbongkar
64.Double kill
65.Berakhir
66.Terbiasa sepi
67.Selamat lulus
68.About Tapasya
69.Kebenaran
70.Pada akhirnya
71.Milik ku [END]
hiii

44.Hampa

478 39 0
By SiskaWdr10

Ternyata beristri dua itu nikmatnya lahir batin.  -KALE-
______________________________________

Satu minggu setelah kejadian itu Anya sengaja mematikan ponselnya dan ia bersikap seolah tak terjadi apa-apa jadi kedua orang tua Kale yang sudah pulang ke Indonesia menganggap semuanya baik-baik saja, keadaan Ica semakin membaik ia akan kembali bisa berjalan normal bila terapinya lancar. Kale sendiri merasa Anya banyak berubah setiap bertemu Kale pasti selalu menghindar. Sejujurnya Anya hanya kecewa.

Malam hari ini Epot dan Desvilia makan malam di suatu restoran yang berada di Jakarta pusat. Epot terheran sendiri mengapa sangat tiba-tiba sekali, Desvilia bilang ia butuh kesegaran angin malam dan butuh teman bercerita, mungkin ada yang mau ia ceritakan pada Epot.

Mereka berdua memesan makanan, sedikit canggung sebenarnya apa lagi Desvilia memasang wajah datar. Cara makan Desvilia berbeda dari gadis yang lain, tidak terdengar berisik, tidak terlalu lama dan juga tidak sok cantik. Sepertinya cara makan saja diatur oleh Ibunya.

Desvilia memandang kearah depan dengan tatapan kosong, Epot yang ada di depannya jadi merasa diperhatikan ia pun tersenyum kikuk sambil meminum jus.

"Kemal," panggil Desvilia. Ia asing bila mendengar nama Epot.

"Iya?" jawab Epot.

"Gue bingung harus seneng atau sedih saat diterima kelas unggulan, rasanya bener-bener berkecamuk," ucap Desvilia membuat Epot yang tak tahu apa-apa jadi bingung.

"Kenapa?"

"Ada yang mundur saat gue mulai maju, ada yang berkorban saat gue nyerah, ada yang peduli sama gue, dia ... Anya," ucap Desvilia.

Desvilia tahu Epot kenal Anya dari malam saat Anya mabuk bersama Kale.

"Dia ngundurin diri buat lo?" tanya Epot. Desvilia mengangguk.

"Bener apa kata Galang, seharusnya apapun alasannya Anya nggak bisa dengan mudah korbanin apa yang udah selama ini ia perjuangin cuma buat gue, gue sama dia ya sama-sama berjuang, cuma bedanya Anya cepet tanggap nggak kaya gue yang lemot, gue tahu jelas Anya itu anak yang pemales dan bodoh, ngerjain satu soal aja dia nggak bisa, tapi berkat mulut gue sendiri dia belajar mati-matian sama Galang sampai akhirnya nampar gue pakai prestasinya yang semakin hari semakin bikin gue ngerasa bersalah ... gue ... gue itu cuma pengen cari aman aja mal," kata Desvilia dengan suara bergetar.

"Gue nggak mau dibentak sana sini sama orang rumah, mereka keluar uang banyak cuma buat gue, tapi mereka nggak pernah ngerti kalau gue ini anak yang lemot dan nggak sepinter yang mereka kira," lanjutnya dengan satu tetes air mata yang membasahi pipinya.

Ia mulai terisak dan Epot ikut merasa sedih, menjadi anak orang kaya tidaklah seenak yang orang-orang lain pikirkan. "Lia, jujur gue sekolah bertahun-tahun nggak ada satupun bidang mata pelajaran yang gue bener-bener ngerti, suka ataupun jago gitu, nggak ada kayanya. Mungkin terkadang ada beberapa yang gue ngerti, suka atau bisa. Dalam pelajaran pjok misalnya, bisa doang nggak terlalu jago kaya Bule atau temen-temen cowok gue yang lain, mereka hebat. Walau begitu gue nggak maksain buat suka sama hal yang nggak gue suka, sekalipun gue dalam keadaan tuntunan kaya lo, gue nggak mau stres dan orang tua gue nyesel di kemudian hari Lia, gue bakalan berani nentang dan bilang ke bokap nyokap gue sekenceng-kencengnya biar mereka ngerti apa maunya gue," kata Epot menasehati agar Desvilia tidak menjadi penakut.

"Pinter itu emang harus balance tapi kalau kita nggak kuat? apa harus biarin batin tersiksa. Gue, lo atau orang diluar sana banyak yang ada di posisi kaya lo, dan mereka nggak nemu titik untuk keluar dari masalahnya, jalan bodohnya mereka bunuh diri, gue nggak mau lo juga gitu Lia," lanjut Epot. Air mata Desvilia mengalir begitu deras, ia membiarkannya tanpa mengusap. Ia lelah harus berpura-pura terlihat baik-baik saja.

"Satu hari dalam hidup gue, gue pernah berpikir kaya gini. Gue nggak pinter, gue harus nutupin kebodohan gue ini dengan sikap baik gue, karena kalau belajar otak gue udah nyerah. Gue susun apa yang harus gue perbuat, salah satunya coba ngertiin orang lain, coba nggak cuek sama orang-orang sekitar, coba nggak egois, coba buat ngalah biar semua baik-baik aja, coba buat menghargai apa keputusan orang lain, coba nggak marah sama hal-hal sepele dan ya intinya nyoba jadi orang-orang baik berhati malaikat. Tapi kenyataan gue ini sampai sekarang masih manusia yang ngelakuin hal-hal bertolak belakang dari apa yang udah gue susun, gue yakin sekalipun itu orang yang bener-bener baik pasti dia punya hasrat buat egois, marah atau pun dendam. Itu termasuk hal yang wajar dan normal bagi kita selaku manusia, yang nggak normal itu saat lo maksain apa yang nggak lo suka sampai diri lo hilang kendali dan jadi stres." Lanjut Epot.

"Gue harus gimana, mal? gue takut buat bilang," kata Desvilia jujur.

"Sampai kapan mau takut?" tanya Epot. Epot sengaja memperpanas suasana agar saudaranya ini berani.

Desvilia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Anya emang orang baik, gue akui dia emang paling baik dari beribu orang baik, bisa jadi juga Anya itu adalah titipan dari Tuhan yang sengaja sekolah di Gapara buat ngasih teguran sama lo, biar lebih peka sama orang-orang sekitar, supaya lo nggak nutup diri dan jadi anak introvert. Anya juga ngebuktiin kalau ada orang yang sayang sama lo kalau lo berani buka suara dan jelasin apa yang lo mau, orang-orang nggak akan ngerti maksdud kita kalau kita diem aja Lia," ucap Epot lebih tegas.

"Percuma kalau nanti gue buka suara nggak ada yang mau ngerti, buat apa?!" tanya Desvilia sedikit membentak.

"Seengga lo udah nyoba, orang yang berani jatuh berkali-kali adalah orang kuat Lia, ayo lo bukan penakut," balas Epot.

Desvilia malah menangis lebih kencang sambil menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya mengingat perlakukan kejam Ayah dan Ibunya. Epot pindah duduk di sebelah gadis itu dan memberanikan diri untuk memeluknya, tak menyangka Desvilia membalas pelukan tersebut. "Nyokap gue selalu bilang kalau temen itu nggak penting mal, nggak penting sampai gue ngerasa kalau gue ini bukan manusia normal pada umumnya, gue capek," kata Desvilia sambil terisak.

Malam ini adalah malam penuh arti bagi Epot yang bisa menjadi pendengar terbaik sekaligus menjadi penasehat untuk gadis yang terpuruk, jujur ia jadi merasa lebih sedikit berguna menjadi manusia.

Ica sudah bisa berjalan walau sedikit agak ngilu, mungkin belum terbiasa lagi. Kale dengan sabar membantu Ica berjalan dengan merangkulnya, padahal ini sudah waktunya tidur.

"Abang kenapa sih pengen Ica bisa jalan? nggak mau Ica repotin buat suruh ngambil ini itu?!" tanya Ica seraya mengerutkan bibir.

Kale terkekeh kecil. "Biar kita bisa lari bareng-bareng Ca," balas Kale dengan suara lembut.

"Iya nanti lari bareng-bareng sama putri?" tanya Ica. Putri adalah Anya yang sekarang sedang berdiri di tepi menunggu mereka berdua. Kale tersenyum sedih.

"Iya, sama putri." Jawab Kale.

Ica tersenyum lebar. "Abang makasih ya," kata Ica tiba-tiba.

"Untuk apa?" tanya Kale.

"Untuk selalu ada buat Ica," kata Ica sambil tersenyum lebar.

"Geli ih." Balas Kale membuat Ica kembali mengerutkan bibir.

Setelah Ica selesai Kale berjalan menuju dapur, ia melihat Anya tengah mengiris bawang sampai mengeluarkan air matanya.

"Anya," panggil Kale. Anya menoleh.

"Kenapa?"

Kale sebenernya ragu untuk mengatakan hal ini, tapi ia tak mau setiap harinya selalu dianggap tak ada oleh Anya karena kejadian hari itu.

"Lo anggap gue apa?" tanya Kale.

"Ah-hah gimana?"

Mengulang pertanyaan membuat Kale semakin gugup. "Lo anggap gue apa?"

Alis Anya bertautan, "Ya Kale."

"Kale apa?"

"Maunya apa?" tanya Anya dengan wajah polos. Kale berdecak kesal.

"Lo nggak paham maksud gue?" tanya Kale.

Dengan polosnya Anya mengangguk. "Udah deh lupain," ucap Kale.

"Pacar," balas Anya sambil menyengir kuda. Mata Kale membulat ia langsung salting, "Bercanda," lanjutnya.

Kale mendekati wajah Anya, "Lagian gue nggak baper."

"Tapi pipinya merah tadi," jawab Anya.

"Berisik lo!" kesal Kale. Ia pun pergi begitu saja karena malu. Anya memandangnya dengan tatapan bingung.

Sesampainya di kamar Kale tersenyum-senyum sendiri, bisa-bisanya ia terperangkap basah oleh ucapan sendiri.

"Gue kan tadinya mau minta maaf, kok susah banget setan!" ucap Kale kesal.

Ia memikirkan cara untuk dapat meminta maaf pada Anya. Ia berjalan kesana kemari sambil memaikan rambutnya. Ia memetikan jarinya kala mendapat ide. Ia berganti baju dan turun ke bawah dan meminta izin pada kedua orang tuanya untuk izin keluar rumah, sebelum keluar ia menemui Anya terlebih dulu.

"Anya mana, bi?" tanya Kale saat ia tak menemui Anya di dapur.

"Di kamar bibi lagi ngelicin baju sekolah," balas Bi Isma.

"Lho, bukannya sekolah libur Bi?" tanya Kale. Bi Isma mengangguk.

"Ya emang kenapa atuh den cuma ngelicin bajunya aja," ucap Bi Isma. Kale menggaruk tengkuknya, benar juga apa yang dikatakan bi Isma.

"Anya ini gue," kata Kale sambil mengetuk pintu. Anya tersenyum lebar akhirnya Kale bisa sopan sedikit padanya, ia berjalan membuka pintu.

Mata Anya melihat penampilan Kale yang sangat rapi sekali. "Kenapa?" tanya Anya.

"Gue ... gue mau keluar," ujar Kale membuat Anya bingung.

"Oke, hati-hati." Jawab Anya.

"Mau nitip apa?" tanya Kale.

"Apanya?" tanya Anya.

Kale berdecak kesal. "Kenapa lemot banget si jadi orang? ya makanan lah mau nitip apa!"

"Nggak, makasih." Balas Anya. Kebaikan Kale kadang hanya pura-pura.

"Gue serius," kata Kale.

"Dalam rangka apa tiba-tiba nawarin makan?" tanya Anya.

"Jadi lo curiga ke gue?!" tanya Kale membentak Anya langsung menunduk.

"Ya udah-udah juga gitu kan?" tanya balik Anya. Kale mengingat hari itu saat ia membelikan Anya banyak makanan.

Kale menghela nafas, "Dalam rangka gue ... gue minta maaf sama lo."

Wajah Anya menoleh pada Kale. "Minta maaf?"

"Mau beli apa?" tanya Kale.

"Untuk apa?" tanya balik Anya.

"Pasta? Ramen? Ciki? Atau minuman?" tanya Kale mencoba untuk mengelak.

"Oh itu, Anya nggak mau pakai makanan. Anya mau denger langsung Kale bilang maaf sama Anya," kata Anya yang langsung peka pada kesalahan Kale.

"Ribet banget lo!" kesal Kale.

"M-a-a-f," ucap Anya mengeja. "Simple tau!"

"Kata maaf itu berarti banget buat lo sampe nolak makanan?" Anya mengangguk atas pertanyaan Kale.

"Sangat-sangat berharga, apa lagi kalau ucapannya tulus, rasanya uang bermiliar-miliar aja kalah jumlahnya," kata Anya.

"Maaf," ujar Kale tulus. Anya dapat melihat ketulusan dari mata Kale, Anya langsung membeku di tempat, "Maafin gue."

Entah kenapa hati Anya tiba-tiba merasa sedih, apa lagi bila mengingat tindakan bodoh Jawa. Anya mengangguk sambil tersenyum sedih. "Makasih," kata Anya.

"Mau nitip apa?" tanya Kale.

"Apa aja, hati-hati." Jawab Anya. Kale mengangguk lalu berjalan keluar rumah. Hatinya merasa tenang dan lega.

"Abang!" panggil Risa yang tengah berjalan kearahnya.

"Apa Bun?" tanya Kale.

"Kamu apain Gladis?" tanya Risa. Kale kembali mengingat pada hari itu. Setelah ia berkelahi dengan Jawa ia langsung mengantar Gladis pulang tapi Gladis sama sekali tidak membuka suara padahal Kale sudah mengajaknya berbicara.

"Kenapa emangnya?" tanya Kale.

"Dia dari kemarin-kemarin nggak mood terus," kata Risa. "Coba pulangnya kamu samperin ke rumah dia, tanya kenapa. Kalian kan sama-sama masih muda, kalau sama Bunda dia malu Bang."

"Iya," kata Kale lalu mencium tangan Risa.

Kale ternyata membeli makanan di tempat Epot dan Desvilia berada, mereka bertemu di depan restoran tersebut.

"Le," panggil Epot.

"Ngapain lo?" tanya Kale lalu melihat pada Desvilia, jujur Kale jadi mengingat cerita Epot tentang anak itu.

Dan tiba-tiba Desvilia mendekati Kale lalu memegang tangannya, Kale dibuat diam begitupun Epot. "Mau lo pacar atau siapunnya Anya, tolong sampaikan maaf gue ke dia. Gue minta maaf selama ini salah sangka sama dia, gue minta maaf udah pernah buat hatinya sakit, dia orang baik, gue minta maaf," kata Desvilia dengan satu tetes air mata yang kembali turun.

Satu tangan Kale mengusap bahu Desvilia, walau Kale tak tahu masalah aslinya tapi ia sangat paham kalau Desvilia menyesal telah berbuat jahat pada Anya. "Nggak usah nangis, nanti gue bilangin ke dia, Anya juga pasti maafin lo kok."

"Makasih," ucap Desvila.

Cukup banyak Kale mengeluarkan uang untuk membelikan Anya makanan, ia memasuki mobilnya untuk meluncur kerumah Gladis terlebih dulu.

Epot tiba-tiba melenpon untuk menceritakan masalah tadi.

"Thanks udah bikin Lia semakin tenang," kata Epot di seberang sana, Kale tersenyum lebar padahal ia hanya mengucapkan kata-kata itu saja.

"Nyantai aja kali, ada masalah apa dia sama Anya?" tanya Kale.

Epot ragu untuk mengatakannya. "Tapi sebelumnya maaf ni, Le."

"Hm."

"Anya tuker kelas sama Desvilia, harusnya Anya anak kelas unggulan tapi karena dia kasihan sama Desvilia jadi tuker, gue dari awal udah curiga si saat Anya bilang nggak masuk, kaya keliatan banget kalau dia bohong," kata Epot menjelaskan.

Bukan marah Kale malah tersenyum tipis, Anya Mamang gadis baik dan cantik tak salah ia sampai sekarang jatuh cinta padanya. "Anaknya emang nggak pinter bohong, gue nggak ada hak buat marah itu keputusannya."

"Hahaha nggak biasa bohong, makasih Le." Balas Epot.

Mobil itu terparkir di pekarangan rumah Gladis, Kale langsung keluar tak lupa Kale juga membelinya makanan untuk Gladis dan keluarganya.

Om Johan dan Tante Misel tersenyum saat melihat Kale, Kale menyalami tangan kedua orang tua Gladis. "Bawa apa kamu ini Azil, repot-repot aja," kata Johan.

"Nggak kok om, Gladisnya ada om, tante?" tanya Kale sopan.

"Ada gih sana ke kamarnya, dia Galau terus. Ada masalah heart mungkin," kata Misel. Kale tersenyum tipis.

"Oke deh, Azil izin ke kamarnya ya," kata Kale yang dijawab anggunkan oleh kedua orang itu.

Benar saja anak itu tengah murung sambil memeluk boneka sapi berukuran besar miliknya, Kale duduk dekat Gladis. "Suka ice cream nggak?"

Gladis menoleh pada sumber suara, "Anto! ngapain lo?"

"Masih marah ke gue?" tanya Kale sambil membuka ice cream.

"Lagian siapa yang marah, gue cuma kesel aja sama Jawa," ucap Gladis. Kale mengangguk-ngangguk lalu menyendok ice cream itu dan ia arahkan ke mulut Gladis.

"Aaaaa," kata Kale. Gladis sedikit terkejut tapi ia menerima suapan itu.

"Gue boleh bantu biar lo nggak Galau lagi?" tanya Kale.

"Seriusan mau bantu?" tanya Gladis. Kale mengangguk sambil menyuapi anak itu ice cream.

Gladis tersenyum lebar. "Oke bantu gue ya!"

Sesampainya di rumah Kale menghampiri Anya, ia memberikan banyak makanan pada Anya.

"Anya nggak bakal habis," kata Anya.

"Gue bantuin," balas Kale. Mereka memilih memakannya di meja makan.

Ciki dan makanan itu mulai Anya makan sambil tersenyum lebar, andai saja setiap harinya seperti ini pasti Anya senang sekali. "Ini en-"

Ucapan Anya terputus saat melihat Kale melamun. "Kale kenapa bengong?" tanya Anya. Kale langsung tersadar dari lamunannya.

"Nggak, makan aja lagi." Jawab Kale.

Yang tengah Kale pikirkan adalah permintaan Gladis yang lagi-lagi membuatnya bingung.

"Besok anter gue mau nggak?" tanya Kale.

"Kemana?" tanya Anya sambil membuka cikinya.

"Mau atau nggak?" tanya Kale.

"Kemana dulu?" tanya Anya.

"Naik mobil," balas Kale. Anya menahan tawa.

"Iya, tujuannya kemana?"

"Besok siap-siap aja deh, nanti juga tahu sendiri."

                             🐟🐟🐟

Esok harinya Anya sudah cantik, entah Kale mau membawanya kemana yang pasti Anya selalu berpikir positif.

Kale sudah meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi membawa Anya, Kale sedikit terkejut melihat penampilan Anya yang semakin hari semakin cantik saja.

"Ayo," kata Kale. Anya mengangguk sambil berjalan kearah mobil.

Kening Anya berkerut saat mobil Kale terpakir di rumah yang lumayan besar. "Tunggu disini," kata Kale. Anya mengangguk.

Tak lama Gladis datang bersama Kale. Firasat Anya mulai buruk, bahkan Anya mengalah ia duduk di belakang walau tak ada yang memintanya. Ia pikir ini waktu berdua dengan Kale ternyata bukan.

"Lo marah sama gue, Nya?" tanya Gladis sambil melihat Anya di kaca spion.

"Nggak," balas Anya berbohong. Ia benci Gladis di hari itu.

"Kalau gue pacaran sama Kale marah nggak?" tanya Gladis. Kale langsung menoleh pada Gladis.

Anya bingung harus menjawabnya, "Emang kalian udah pacaran?"

"Maunya," kata Gladis berbohong hanya untuk membuat Anya panas.

"Nggak marah kok," jawab Anya yang juga berbohong.

Kale tersenyum tipis, Anya tak marah tapi raut wajahnya jadi terlihat kesal. Mobil Kale terpakir di tempat makan, mereka bertiga makan terlebih dulu, Kale yang membayrkanya. Saat Kale makan ia melihat pada wajah Gladis dan Anya, ia merasa seperti mempunyai istri dua, tak sadar bibirnya membentuk sebuah senyum, ada-ada saja pikirannya itu.

Ternyata Gladis menngajak Kale ke dufan untuk mengambil foto sebelum ia pergi kembali ke Inggris, Ibunya akan pergi dan ia ikut. Yang menjadi masalah Kale adalah Gladis meminta Anya menemani mereka berdua menghabiskan waktu untuk menjadi tukang foto, Kale tahu Anya masih ada rasa padanya begitupun Kale. Disini Anya jadi seperti nyamuk, dan Kale jadi merasa bajingan yang sedang selingkuh terang-terangan, padahal mereka sudah mantan.

Setelah memesan tiket mereka berdua dipersilakan masuk dan menikmati semua wahana yang ada, Anya beberapa kali menghela nafas saat Gladis dengan lancang memegang tangan Kale untuk bergandengan.

"Ayo Anto!" ucap Gladis bersemangat.

"Mau naik apa?" tanya Kale. Sebelum menjawab Gladis memberikan kameranya pada Anya.

"Wait! fotoin gue sama Kale," kata Gladis lalu bergaya bersama Kale. Kale terlihat kaku sekali.

Satu ... dua ... tiga...

"Lihat hasilnya!" kata Gladis bersemangat.

Gladis melihatkan hasilnya, ia tertawa renyah. "Apaan si Anto flat banget muka lo, ulang-ulang!"

Gladis kembali bergaya bersama Kale, kali ini senyum Kale lebih tulus ditambah melihat wajah Anya yang sedang menahan cemburu wajahnya sangat menggemaskan.

"Apaan si Kale! seneng banget kayanya," batin Anya kesal.

"Lihat dong hasilnya," kata Gladis, spontan Gladis mencolek pipi Kale karena senang hasilnya bagus. "Uuuuh, Anto so handsome!!!" kata Gladis memuji.

"Baru nyadar?" tanya Kale dengan percaya dirinya.

Mereka bertiga mulai kembali berjalan untuk menaiki salah satu wahana kora-kora. Saat Gladis tengah menalikan tali sepatunya, Kale mendekati Anya.

"Lo nggak takut kan naik ini?" tanya Kale. Anya menggeleng dengan wajah sinis.

Padahal aslinya Anya sangat takut, apa lagi itu wahana yang cukup menantang bagi gadis payah seperti Anya.

Suara terikan mulai terdengar, Kale duduk di tengah, Galdis memegang erat tangan Kale sambil menjerit. Anya melipat tangannya kedepan dada kesal seolah wahana yang sedang mereka taiki ini tak ada rasanya, Anya coba menahannya sampai satu wahana itu selesai.

"Seriously jantung gue kaya mau copot, tapi seru juga," ucap Gladis sambil tersenyum lebar. Kale senang akhirnya Gladis bisa kembali tersenyum lebar.

"Lebay!" kata Anya dalam hati.

Sambil memberi umpatan Anya memotret mereka berdua, biarkan lah sekarang Gladis dekat-dekat dengan Kale toh nanti juga mereka akan pisah.

Senyum Kale mengalihkan perhatian Anya. "Ayo," kata Kale sambil menarik tangan Anya. Mereka bertiga membeli minum terlebih dulu untuk kembali menaiki wahana.

"Makasih," ucap Anya pada Kale yang membelikannya minuman. Kale mengangguk.

Di lanjut mereka mencari tempat duduk untuk bisa minum. Saat Anya ingin duduk Gladis meminta Anya untuk berdiri di sana mengambil foto Kale dan Gladis. Anya menurut saja. Kale tersenyum tipis.

Awal-awal masih aman, tapi ketika foto ketiga Gladis memeluk Kale dan Kale terlihat biasa saja. "Anya!" teriak Gladis karena anak itu malah terdiam.

"Oh iya sebentar," balas Anya. Kale tersenyum tipis.

Banyak foto yang Anya ambil, ia pun dibolehkan duduk dan mulai meminum esnya. Gladis tersenyum karena hari ini terasa sempurna untuknya.

"Setelah gue balik ke Inggris, gue harap Jawa inget gue, gue nggak berharap dia nyesel, tapi gue pengen diinget aja kalau dia pernah disukai sama cewek pemaksa kaya gue," kata Gladis.

Detik itu juga Anya paham kalau Gladis tak menyukai Kale, tapi tetap saja rasa cemburu itu masih ada.

"Kalau lupa nanti gue ingetin," kata Kale.

"Cewek pemaksa sekaligus cantik!" ralat Gladis. Kale bergidig ngeri.

Setelah minuman mereka habis, kembali lagi mereka menaiki wahana.

"Main lagi yuk!" ajak Gladis.

"Sok berani lo tadi aja berisik," kata Kale jujur. Gladis langsung mengacak rambut Kale. Anya kembali cemburu.

"Ada saran nggak, Nya?" tanya Gladis pada Anya.

"Ah-ya?" tanya Anya yang tengah menahan kesal.

"Mau main apa?" tanya Kale mengulang pertanyaan Gladis.

"Apa aja," jawab Anya.

Kale ingin sekali mencubit pipi Anya. "Saran," ucap Kale.

"Tornado aja." Balas Anya. Ia ingin berteriak sekenecang-kencangnya untuk menghilangkan api cemburu.

Saran Anya tidak begitu buruk, akhirnya mereka memutuskan bermain wahana satu itu. Lagi-lagi terdengar jeritan, Kale juga lagi-lagi duduk di tengah kedua gadis tersebut.

Saat baru saja naik, Gladis meminta tangannya berpegangan pada Kale. Kale pun menurutinya. Bola mata Anya berputar malas.

"Aaaaaaaa love you so much Jawa!" teriak Gladis membuat yang mendengarnya mengira Jawa adalah Kale sebab tangan mereka berpegangan.

"Secinta itu Gladis ke Jawa?" tanya Anya dalam hati.

Rasa takut Anya tiba-tiba hilang, ia terdiam saja tidak berteriak bahkan tangannya sengaja ia lambaikan kebawah tanpa memegang apapun.

Yang Anya rasakan adalah merasa sepi dalam keadaan ramai seperti ini.

Saat ia melamun Kale tiba-tiba menggegam erat satu tangan Anya. Anya terkejut dan melihat ke arah Kale yang mengalihkan wajahnya.

Senyum Anya terukir lebar, walau merasa diduakan tapi ini nikmat.

                               ******

Continue Reading

You'll Also Like

168K 16.4K 34
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ⚠️ WARNING! CERITA INI MEMBUAT ANDA INGIN SELALU BERKATA KASAR, JADI HARUS SIAPKAN KESABARAN SEBELUM MEMBACANYA!⚠️ "Sampai s...
252K 9.4K 41
[SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE. FOLLOW UNTUK BISA MEMBACA] Cowok songong,kasar,dan menyebalkan yang pengen banget jadi pacar april,walau udah ditolak! C...
1.4M 115K 71
[Sequel Of Sekasa] WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA! Pemberontak, suka kebut-kebutan, tidak tertib dan di takuti seisi sekolah. Itulah sifat yang dimil...
519K 39.3K 45
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...