"...maaf, Yuna..."
Selena terdiam ketika Annika menyebut namanya secara langsung saat ini, suaranya yang terdengar ragu-ragu sudah menjelaskan apa yang ia rasakan saat ini.
"Kau...tidak percaya?"
"...."
"Annika, alasan kenapa Carlos membiarkan Helena bahagia dengan Hansel adalah karena ia tidak ingin Helena terkena kutukan mata merahnya!"
"...."
"Ha...apa kau masih tidak percaya?"
Selena tertawa hambar disaat bersamaan dan menatap kearah mata ungu milik Annika. "Aku tidak ingin kehidupan baru mu sebagai Annika berakhir hanya karena kutukan."
Selena bangkit dan meraih tangan Annika yang dingin, dengan sorot mata penuh harap, ia menatap Annika dengan mata redup.
"Kumohon..."
"Jika aku akan terkena kutukan karena perasaannya padaku, kenapa aku masih baik-baik saja? Kenapa Lucian tidak mengatakan apapun? Dan kenapa kau begitu yakin jika ia memutar waktu?"
Annika menoleh lagi kearahnya.
"Kutukan itu....tidak ada, itu hanya dongeng tidur untuk menakuti anak kecil."
Annika tersenyum kecil dan melepaskan tangannya dengan lembut. Membungkuk hormat dan berbalik tanpa memberi jawaban lainnya, meninggalkan Selena dalam diamnya. Selena menarik nafasnya pelan, ia sudah menduga hal ini sebelumnya, ia bahkan membawa sendiri buku itu untuk membuktikan nya, tapi Annika sudah lebih dulu pergi mengingat sekarang sudah pukul delapan malam.
Namun saat ia akan membuka kembali buku itu. Mata emas milik Selena melebar sempurna.
Tulisan tentang mata merah yang sudah ia beri tanda sebelumnya menghilang seperti sihir seolah tidak ingin diketahui oleh siapapun sebelumnya.
Hilang seperti debu...
***
Annika berjalan dengan langkah pelan menuruni tangga pintu utama kastil besar itu. Ya, ia berjalan menuju gerbong keretanya, sebelumnya ia berniat untuk kembali ke tenda barak para bangsawan, tapi sekarang rasanya ia ingin kembali kerumahnya saja saat ini.
Rumah...
Memikirkan rumah membuatnya teringat dengan Marchionnes Raihanna yang selalu tersenyum ramah dan membelai kepalanya lembut layaknya ibu pada umumnya.
Tanpa ia sadari sendiri, semua orang yang ada disisinya begitu berharga.
'jika saja aku tidak mengalami semua ini, apa aku tidak akan pernah bisa merasakan kebahagiaan seperti ini?'
Annika menghela nafas, uap panas keluar dari mulutnya, layaknya musim gugur dengan udara dingin seperti di Eropa. Annika mengelus lengannya yang dingin.
Saat itu juga, suara hangat datang menyapa.
"Ini dingin, kenapa kau pulang dari kastil dimalam hari?"
"Ha?"
Annika yang berpikir kosong tidak menyangka akan menabrak seseorang saat ini, syukurlah suara yang menyapanya menyadarkan nya dari lamunannya. Ia mendongak dan mendapati sosok Lucian dengan mata merah dan ekspresi wajah tersenyum hangat padanya.
"...Ian?"
"Apa yang kau lakukan dimalam hari begini? Bertemu dengan yang mulia Putri lagi? Wah, persahabatan kalian bukan main rupanya." Ia terkekeh dan melepaskan jubah hitam dengan sulaman emas miliknya. Jubah itu terlihat megah, Annika hanya sesekali saja bisa melihat Lucian mengenakan nya, ia hanya akan mengenakan nya jika pergi ke istana.
Dan Lucian memasangkan nya ke bahu Annika.
"Kenapa kau melepaskan nya? Aku sudah memakai mantel, kau bisa kedinginan!"
"Mantelmu terbuat dari kain tipis, itu tidak akan mempan, lagipula, hidungmu terlihat seperti Rudolph saat ini, ini merah."
Lucian menekan ujung hidung Annika dengan jarinya, itu benar, suasana malam musim gugur sangat dingin itu sebabnya hidungnya memerah saat ini. "Sejak kecil, aku selalu memperhatikan nya, seperti nya kau memang tidak tahan dengan udara yang dingin."
Annika menatapnya jubah yang menutupi bahunya saat ini, samar-samar dapat mencium aroma persik manis yang khas di hidung nya saat ini, itu aroma yang sama dengan sabun persik yang pernah ia gunakan dulu. Mengabaikan ucapan Lucian tentang hidungnya, Annika teringat masa lalu.
'kau bau!'
Mengingat bagaimana ekspresi nya ketika Lucian menolak untuk dimandikan oleh pelayan membuat Annika semakin ragu terhadap kata-kata Selena tadi. Semua terasa seperti kebohongan belaka ditelinga nya, namun disaat bersamaan semua yang terjadi seakan saling berkaitan. Apa yang ia baca dibuku, ucapan nenek cenayang yang sudah lama ia lupakan, dan beberapa hal lainnya terlihat saling berkaitan.
'bagaimana jika itu benar?'
"...."
"Jika diingat-ingat, kita bertemu saat musim dingin kan? Kau mengejarku dengan kaki kecil mu saat itu."
"...."
Lucian menghela nafas dan mengacak rambutnya. "Waktu telah berlalu begitu cepat rupanya."
Annika diam, membiarkan Lucian yang semula mengacak rambutnya kini menata kembali rambut pirangnya dengan hati-hati, ia masih berpikir saat ini, namun disaat bersamaan pula ia tidak ingin mengetahui apa arti dibalik semua hal yang saling berkaitan saat ini.
'aku ingin pura-pura tidak mengetahui apapun...'
Matanya memanas tanpa ia kehendaki.
'Jika apa yang Selena katakan benar...aku harus apa?'
"Hei, kenapa kau terus diam?"
Lucian menangkup kedua pipinya dengan tangan hangatnya, menatap kearah mata ungu lavender milik Annika yang terlihat berkilau.
"Hiks..."
"Ha?"
Lucian yang tengah memerhatikan kini tersentak kaget seolah dia telah melakukan kesalahan besar. Annika yang tiba-tiba menangis melepaskan tangan yang ada di pipinya jatuh ketanah dan memeluk kedua lututnya erat.
"H...hei, Annika, kenapa kau..."
"Bodoh, kenapa mata ini malah menangis, hiks...aku tidak ingin menangis....hiks..."
"Annika."
"Kenapa aku harus hidup dengan takdir yang rumit seperti ini....aku hanya ingin bahagia, aku tidak ingin mati ditangan siapapun...aku...aku hanya ingin hidup dengan baik, aku tidak pernah berbuat salah sebelumnya pada orang-orang disekitar ku...bahkan kepada keluarga ayahku...kenapa...kenapa... huwaaaa...."
"Ann..."
"Memangnya aku pernah berbuat apa? Aku bahkan tidak pernah meminta uang pada mereka, aku hidup seperti pelayan yang selalu turut dan patuh, kenapa semua ini sulit....apa karena aku anak haram, itu sebabnya hidup ku seperti ini? Aku merasa aku tidak pernah hidup dengan baik selama ini... aku... aku tidak ingin mati, aku tidak ingin mati...."
"...."
"Aku tidak ingin mati untuk yang kedua kalinya..."
Annika mengangkat wajahnya, mendongak menatap Lucian yang ikut mensejajarkan tinggi nya dengannya, mereka berada didepan gerbong, tapi Lucian telah memasang sihir pemisah ruang agar tidak ada yang melihat mereka atau mendengar percakapan keduanya. Ia menghela nafas pelan seolah menyadari bobot makna dalam kata-kata Annika tadi.
"...kenapa aku harus hidup seperti ini?"
Mata ungunya yang sembab, membuat Lucian menahan nafas, lalu menyapu air mata itu dengan tangannya, Annika tidak menghindar dan menoleh kearah lain, Lucian adalah pria yang peka terhadap perubahan hatinya. Jadi ia memilih tidak melakukan kontak mata dengannya saat ini.
"Apa ada yang salah?"
'apa yang aku harapkan sebelumnya? bukankah selama ini Annika yang lebih menderita karena ketakutan nya terhadap kematian yang disebabkan oleh ku dulu?'
Lucian menahan diri sekali lagi untuk menanyakan pertanyaan "kenapa saat itu kau mencari ku? Kenapa saat itu kau bertingkah seolah kau mengetahui masa depan dimana kau akan mati ditanganku?" Ia selama ini ingin bertanya, tapi ia menahannya selalu seperti itu. mungkin ia mengira Annika akan mengatakan hal itu nanti padanya, itu sebabnya ia tidak mengatakan apapun dan bertingkat semua tidak pernah terulang sebelumnya.
Annika yang sesenggukan menggelengkan kepalanya dengan susah payah.
"Lupakan apa yang aku katakan...aku sedang tidak ingin bicara..."
Ia menyapu sisa air matanya dengan punggung tangan, "ini keretamu?" Mendengarnya, Lucian mengangguk.
"Kau ingin pulang? Aku bisa mengantarmu..."
"Aku ingin ke rumah. Katakan pada ayah, aku akan kembali saat hari terakhir perburuan."
Lucian mengangguk, memerhatikan lutut Annika sebentar lalu dengan mudah meraih pinggang kecilnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Hei! Apa yang kau lakukan!"
"Sepertinya kakimu sedikit lemah untuk berdiri, jadi aku mengangkatmu..."
"Turunkan aku! Ini memalukan!"
Lucian tertawa kecil dan membawanya ke dalam kereta dengan mudah seolah tidak merasakan berat tubuh wanita ditangannya sama sekali. Membawanya seperti anak kecil, Annika dengan wajah basah yang datar memukul habis-habisan dirinya.
***
"...."
Menatap ke jendela kaca gerbong, Annika tidak mengatakan apapun, keheningan yang terjadi didalam gerbong kereta dengan dua orang itu cukup hening hingga kecanggungan tidak sengaja terjadi diantara keduanya saat ini. Bukan tanpa sebab, Lucian merasa, Annika menjaga jarak dengannya.
"Hei...Ian."
"Hmm?"
"Aku pikir...aku pernah menanyakan nya sebelumnya, tapi kau tidak menjawabnya....apa itu sihir pengembalian waktu?"
Lucian tersentak, tentu saja ia tidak melupakan hari dimana ia mendengar Annika bertanya seperti itu padanya dulu.
"Itu sihir untuk mengembalikan waktu, itu sihir yang cukup sulit dilakukan oleh penyihir, memakan banyak pasokan mana. Sihir tabu yang dilarang, dilakukan dengan perantara waktu seperti jam pasir kuno, dan tentunya....penyihir yang melakukan sihir itu harus membayarnya dengan sesuatu yang sama harganya..."
"Seperti ingatannya?"
"...."
Lucian diam tak menjawab, Annika menolehkan kepalanya dari jendela dan menatapnya dalam diam.
"Apa aku benar?"
"....iya."
Seolah menjawab satu pertanyaan di hatinya, Annika tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya tanpa sebab, membuat Lucian mengangkat alis dan bertanya-tanya.
"Kenapa... tiba-tiba kau tadi menangis?"
Lucian menolehkan kepalanya kearahnya dengan khawatir. Diwajah sendunya, air mata tetap jelas terlihat, Lucian menyentuh ujung matanya dengan jari-jari hangatnya dan mencium mata sembab Annika.
"Kau bisa bercerita..."
Nafas panas terasa ketika Lucian menyandarkan kepalanya dibahunya, seperti yang biasa ia lakukan dulu, Annika yang mencari posisi nyaman terlibat ragu untuk mengatakannya, karena Lucian adalah orang yang bersangkutan dengan masalah keresahan hatinya saat ini.
".... bagaimana aku bisa menceritakan nya, ini sulit."
"Sesulit apapun itu, kau bisa mempercayakan aku."
"...."
Terdengar lucu, Annika memejamkan matanya, air mata menetes lagi dari matanya, ia menyeka nya dengan punggung tangan tanpa mengeluarkan suara.
".... bagaimana perasaan mu? Ketika melihat apa yang kau perjuangkan selama ini...berakhir sia-sia tanpa kau bisa merasa puas dengan apa yang kau capai?"
Itu suara yang pelan.
"Apa ini tentang dirimu?"
"....mungkin."
"Aku pikir aku akan melakukan semuanya dari awal lagi."
"Bukankah itu sulit?"
"Tidak peduli sesulit apapun itu, jika aku bisa bertemu kembali denganmu, dan menyelesaikan semua nya tapi sisa sedikitpun, aku akan melakukan nya meski itu gagal berkali-kali."
Annika tidak mengerti apa yang Lucian ucapkan tadi, rasa kantuk mengalahkan fokusnya dan membuatnya menutup mata.
"Bagaimana dengan kutukan yang dirumorkan oleh orang-orang dulu terhadap matamu"
"....kutukan?"
"Apa kau percaya?"
"Selama aku tidak melupakan ucapan mu yang mengatakan bahwa mata merah ku indah, aku tidak akan peduli dengan kata-kata mereka."
"Yah...kau benar, kutukan mata merah itu tidak nyata."
Annika memeluknya erat, dan akhirnya tertidur lelap karena rasa berat pada matanya.
'dari awal hingga akhir, aku hanya menginginkan kebahagiaan...
Kupikir, inilah kebahagiaan ku.'
TBC
Don't forget to vote, jangan jadi sider!
Note: maaf, tadi Luna kepencet publikasi chap 16:') itu buat besok:')