TRANSIT

By kicauanpelangi

61.8K 5.3K 1.2K

[COMPLETED!!!] - Pernahkah jatuh cinta pada seseorang yang sudah berkeluarga? - Pernahkah menjalani hubungan... More

PENGANTAR
PROLOG
FLIGHT 1
FLIGHT 2
FLIGHT 3
FLIGHT 4
FLIGHT 5
FLIGHT 6
FLIGHT 7
FLIGHT 8
FLIGHT 9
FLIGHT 10
FLIGHT 11
FLIGHT 12
FLIGHT 13
FLIGHT 14
FLIGHT 15
FLIGHT 16
FLIGHT 17
FLIGHT 18
FLIGHT 19
FLIGHT 20
FLIGHT 21
FLIGHT 22
FLIGHT 23
FLIGHT 24
FLIGHT 25
FLIGHT 26
FLIGHT 27
FLIGHT 28
FLIGHT 29
FLIGHT 30
FLIGHT 31
FLIGHT 32
FLIGHT 33
FLIGHT 34
FLIGHT 35
FLIGHT 36
FLIGHT 37
FLIGHT 38
FLIGHT 40
FLIGHTS 41
FLIGHT 42
FLIGHT 43
FLIGHT 44
FLIGHT 45
FLIGHT 46
FLIGHT 47
EPILOG
BONUS Chapter

FLIGHT 39

568 72 25
By kicauanpelangi

-PROMOSI JABATAN-
=========================


NAPAS panjang itu kubuang dengan mata terpejam, ketika perkataanku gak digubrisnya sedikitpun. Hesa, selama ini adalah seorang teman yang sangat asik. Menghabiskan waktu untuk mengobrol dengannya bukanlah sebuah kegiatan yang sia-sia. Lantas hari ini berbeda. Dari sejak satu jam yang lalu ia duduk di hadapanku, ia sibuk sendiri dengan dua ponsel pintarnya. Entah apa yang sedang dia kerjakan. Yang pasti dia tidak sedang bermain sosial media. Oh, ini bukan pertama kalinya dia seperti ini. Mungkin tiga dari beberapa pertemuan terakhirku dengannya kalau tidak salah, ia selalu sibuk sendiri dengan ponselnya.

Memang, aku yang memintanya datang ke apartemen. Bagaimanapun setengah dari isi kepalaku kini ada nama Angga yang terus memenuhi. Hesa? Tentu harus membantuku untuk setidaknya memberi saran akan apa yang harus aku lakukan. Toh, selama ini dia juga yang menginginkan agar aku bisa menjadi pacar sahabatnya itu.

Masalahnya, tentu karena aku gak bisa. Nadia sudah lebih dulu mengisi hatiku. Dan aku jelas sekali gak mau melepasnya.

Lagi pula, aku juga gak mengerti kenapa bisa-bisanya kecanduan sama satu laki-laki yang bahkan belum aku kenal.

Dia manis. Aku tahu.
Mungkin itu juga yang menjadi daya tariknya yang membuatku seolah ingin terus melekat padanya. Padahal ketika dulu hadir sosok Belva, seorang pria dewasa yang penuh karisma itu rasanya aku gak se-adiktif sekarang.

"Gini deh..." aku berdiri dari tempat dudukku. "Kalau sekiranya lu lagi sibuk, lu beresin aja dulu kerjaan lu. Daripada lu di sini tapi otak lu gak di sini percuma-Koh-Hesa!"

"Bentar dong Ge." Ujarnya tanpa menatap wajahku sedikitpun.

"Bentar? Udah sejam kita duduk di meja makan Hesa. Noh liat mie tek-tek milik lu!" aku menggeser piring berisi mie milik Hesa lebih dekat padanya. "Udah dingin dan udah ngembang mie-nya tahu gak"

"Ya udah lo mau ngomong apa si?" Ia menatapku menantang.

"What? Dari tadi gue ngoceh sampe berbusa baru nanya mau ngomong apa? Udah lah lu balik aja. Kita ngobrol entar aja!" aku pun berbalik. Meninggalkannya di meja makan dan pindah ke depan tv.

"Ya sorry... Gue kan--"

"Sibuk?" Potongku meraih remot tv di atas meja. "Gua tahu kalau itu. Makanya gua suruh lu balik aja sana"

"Lo ngusir gue?!" Ucapnya setengah membentak.

Aku menengok padanya, "Kok lu ngegas?"

"Lo ngapain ngundang gue ke mari kalau ujung-ujungnya nyuruh gue balik?!"

"Ya gua minta lu datang karena ada yang mau gua omongin. Kalau lu gak bisa kan tinggal bilang dari tadi. Nah ini, lu sendiri yang nyanggupin, lu sendiri yang datang. Kalau lagi sibuk ngapain juga mesti dipaksain?!"

"Kan kata gue tunggu bentar, Gelar..."

"Sejam itu sebentar? Satu jam loh kita duduk di meja makan dan gua hanya ngomong dengan piring berisi mie tek-tek! Harus nunggu berapa lama lagi?"

"Elah, baru juga sejam" ia keluar dari area meja makan dan menghampiriku.

"Liat jam!" Aku menunjuk jam dinding dengan wajahku. "Gua dari sore minta lu datang pas makan malam kalau lu bisa. Faktanya? Oke lu bisa. Tapi lu datang jam sembilan. Dan sekarang udah jam 10 lebih, Sa"

Ia hanya melempar tatapan malasnya membuatku bingung harus bersikap seperti apa.
"Please, Sa. Gua lagi pusing kenapa otak gua dipenuhi sama dia?"

"Ya udah santai aja kan besok Sabtu. Kerja juga libur"

"Lu libur, gua kagak!"

"Jadi mau lo apa"?

"Udah lah gua udah gak mood cerita" aku membanting punggungku ke sofa.

"Bisa gak sih jadi HOMO GAK USAH SENSI?!" Ucapnya setengah membentak.

Mendengar itu, aku yang tadinya hendak menarik napas panjang langsung melihat ke arahnya.

"Maksud lo Sa?" Aku berdiri dan perlahan mendekatinya.

"Hm! Lo dari tadi mau cerita soal Angga kan?" Hesa lebih mendekatkan wajahnya padaku. "Ternyata lo sama dia bukan hanya banyak kesamaan dari sisi prestasi kalian sewaktu di bangku kuliah ya, tapi dari sifat juga lo gak beda jauh. Sensitif, gak sabaran!" Hesa mengangkat sedikit wajahnya.

Ada raut benci lebih ke jijik yang ia perlihatkan. Tapi aku terus berusaha tenang.

"Gua bukan sensi Sa. Gua nunggu berjam-jam juga gak masalah kalau besok libur. Or even lu gak datang pun gak masalah kok. Tapi jangan sampe kehadiran lo ke sini bukannya jalanin apa yang gua minta tapi malah bikin gua kesel. Apalagi sampe kata-kata 'homo' keluar. Jujur gua--"

"Lo gak suka? Lo kesel sama gue?" Timpanya menarik bagian atas bajuku membuatku penasaran dengan sikapnya.

"Sa, lu kenapa si?"

"Heh, kalian tuh para homo sama aja tahu gak!"

"HEY!" Bentakku balik menarik kerah bajunya. "Lu ngomong apa barusan? Jaga Sa mulut lu kalau ngomong!"

"Udahlah Ge. Lu buang jauh-jauh  deh nama Angga dari otak lo!" Ia menepis tanganku dengan cukup kasar.

"Really? Lu yang minta dari dulu supaya gua kenal sama dia terus sekarang disaat gua udah tahu dia dan pengen tahu lebih banyak soal dia, lu semudah itu nyuruh gua lupain dia? ARE YOU KIDDING ME?"

"Ya masalahnya percuma!"

"Apa yang percuma??!"

"Si Angga udah suka cowok lain!"

"Hah?"

Hesa merenggut kepalanya. Lalu terdiam sembari mendaratkan tubuhnya di sofa. Nafsu yang tadinya hampir meluap itu seketika luluh ditimpa rasa penasaran akan apa yang baru saja Hesa ucapkan.

"Cowoknya adalah orang yang belum lama ini gue kenal, bahkan dalam beberapa bulan ini sering main ke apartemen gue" Hesa mulai membuka kalimat setelah beberapa saat terdiam.

"Main ke apartemen lu?"

"Tiap kali Angga datang ke apartemen, pasti selalu bawa orang itu. Gue juga udah mulai deket sama dia. Dan bodohnya, gue kira selama ini cowok itu straight. Taunya 'belok' juga. Dan sekarang gue tahu kalau mereka saling suka"

"Mereka pacaran maksud lu?"

"Belum" Hesa dengan cepat menatapku.

"Tapi gue yakin mereka bakalan jadian. Gue gak bakalan pernah terima kalau sampai Angga pacaran sama orang itu." Sambungnya.

"Kenapa? Dia bukan orang baik?"

"Entahlah. Gue gak bisa tahu dia baik apa enggak. Yang pasti sejauh ini dia baik-baik aja orangnya. Ini fotonya..."

Ia memberikan ponselnya. Ada foto tiga orang laki-laki yang ia perlihatkan di layar ponselnya. Hesa, Angga, dan satu orang yang gak aku kenal. Mereka nampak berfoto di sofa apartemennya Hesa.

"Cakep sih. Ya pantas saja Angga suka sama itu cowok" kataku datar.

"Gue udah anggap Angga adek gue. Dan gue gak bakalan biarin itu terjadi Ge."

"Maksud lu?" Aku mengerutkan keningku gak mengerti.

"Ya makanya dari tadi gue sibuk sendiri itu karena--"

Ucapannya terhenti. Ada sikap gugup yang tak bisa ia sembunyikan.

"Kenapa?"

Hesa berdiri. Lalu diraihnya jaket dan tas kerja dari sudut sofa. "Emm... Lanjut kapan-kapan aja deh. Gue harus balik"

"Loh, obrolan kita belum selesai Sa."

"Gue gak bisa Ge. Sorry!" Ia sempat menatapku sesaat.

Aku mengerti, kalau sudah seperti itu dipaksa segimanapun hanya akan menimbulkan keributan.

"Oke. Ya udah kalau gitu..." Kataku.

Ia pun pergi dengan cepat. Meninggalkan banyak sekali pertanyaan di atas kepalaku.

Apa yang aku alami selama ini saja belum selesai, sekarang Hesa menambahkannya dengan persoalan lain.

Tapi apa iya Angga sedang menyukai orang lain? Apa iya Angga akan segera memiliki pacar? Pria manis itu akan menjadi milik orang lain?

Ah, apa urusannya denganku?
Bahkan mengenalnya saja tidak.

Beberapa saat kemudian, ketika aku sedang membereskan piring-piring bekas makan, aku kembali terpikir tentang orang di foto yang Hesa kirim tadi.

Iya, melihat foto itu aku seperti mengenali sesuatu. Tapi apa?

Maka kukirimkan pesan pada Hesa dan meminta foto itu dikirimkan padaku.

Sejam berikutnya, disaat mata ini hendak terpejam. Kepalaku rasanya masih bekerja. Bukan memikirkan tentang Angga, melainkan sosok cowok yang ada di foto yang Hesa kirim setengah jam yang lalu. Ingatan itu perlahan memperlihatkan titik terang. Hingga kemudian aku ingat sesuatu...

~~~

"Lo nungguin gua di sini?" tanyaku pada seseorang yang terlihat menungguku selama aku makan. Aku bertemu orang itu di salah satu pusat perbelanjaan besar di Jakarta. Tepatnya di sebuah restoran Jepang bernama Bijin Nabe selepas aku makan bersama Mas Julian.

"Kagak. Kepedean lo!" ia buru-buru mengalihkan pandangannya dariku.

"Terus?"

"It doesn't matter!" bisiknya tegas.

Setegas postur tubuhnya yang atletis dengan tampang yang menurutku di atas rata-rata orang Indonesia. Ia seperti seorang blasteran dengan tinggi yang nyaris sama denganku. Meski jika kutaksir ia mungkin memiliki 5-7 cm lebih tinggi dariku.

Obrolan basa-basi singkat itu berakhir ketika dengan tiba-tiba ia memberikanku sebuah saputangan.

"Ini alamat kostan gue sama kontak gue. Kabari kalau mau datang" ujarnya memberikan saputangan itu.

Kulirik sesaat. Ada nama berikut nomor ponsel dan sebuah alamat tertulis di sana.

Ia pun pergi setelah itu. Meninggalkan wajah datar penuh makna di pikiranku.

Kulihat saputangan itu. Ada nama Alex di sana.

~~~

Benar. Aku yakin se-yakin-yakinnya. Jika orang di foto ini adalah Alex yang aku temui waktu itu.

"F*ck!"

Aku segera beranjak dari kasur. Membuka lemari dan laci dengan tergesa. Maka bukan perkara sulit bagiku untuk menemukan saputangan di tengah-tengah pakaianku yang gak seberapa jumlahnya itu.

"Ini saputangan dia, ini nomor dan alamat dia, ini punya Alex" pikirku.

Kuambil ponselku dan dengan cepat jariku menekan satu-persatu angka sesuai yang tertera di saputangan.

"Nomor yang ada tuju tidak dapat dihubungi, harap periksa kembali nomor tujuan Anda"

"Damn!" Umpatku.

***


Pagi-pagi sekali aku sudah berada di lounge departemen entertainment. Lebih pagi dari biasanya. Bahkan aku berangkat tanpa menunggu Nadia. Setelah kupastikan timnya Angga belum ada yang datang, aku dengan buru-buru masuk. Kuhampiri meja kerja Angga dan kusimpan sebuah buku karya Joel Osteen, penulis buku kesukaan Angga berikut segelas Green Tea panas. Tak lupa kusertakan sebuah tulisan di sana;

"Temui aku di rooftop jam makan siang - Alex"

Ya, kutuliskan nama Alex di sana. Lalu pergi dengan buru-buru sebelum ada yang lihat.

"Gelar!" Sapa seseorang mengejutkanku ketika aku sudah beberapa langkah keluar dari ruangan itu.

"Eh, Pak Julian..." aku reflek dibuat gugup.

"Kamu kok ada di sini?"

"Emm... Anu Pak... abis nemui teman hehe..."

"Hayoo... Teman apa teman nih?"

"Teman Pak... Bapak sendiri kenapa ada di sini pagi-pagi?"

"Seorang atasan harus datang lebih pagi dari anak buahnya toh?" Ujarnya santai.

Aku hanya menyeringai. "Hehe iya sih"

"Haha becanda Ge." Dia menepuk pundakku. "Barusan habis ada perlu aja. Oh iya, nanti makan siang bareng ya. Ada hal penting yang mau saya omongin"

"Siang ini pak?" Tanyaku meyakinkan.

"Mungkin gitu kalau siang kemarin? Ya hari ini lah..."

"Emm... B...baik Pak..."

"Eh gak ada tugas liputan kan?"

"Gak ada Pak hemm..."

"Sip deh. Yuk kita turun!" ajaknya.

Aku pun gak bisa menolak. Apalagi salah satu anak creative terlihat baru saja memasuki ruangan kerja yang tadi aku masuki. Padahal aku ingin sekali mengambil kembali apa yang tadi kuletakkan di meja kerja Angga.

Lagi pula kenapa juga atasanku ini malah mengajakku makan siang?

===

Starbucks Oakwood, 12:40 wib.

Jam satu siang kurang dua puluh menit, aku baru saja tiba di sebuah coffeeshop dimana aku dan Pak Julian janjian untuk makan siang. Lebih tepatnya, ngopi siang. Begitulah kira-kira. Kami janjian bertemu setengah satu, dan Pak Julian baru menghubungiku lima menit yang lalu katanya baru mau keluar dari kantor.

Jujur perasanku gelisah sekali saat ini. Bukan karena mau bertemu atasanku, melainkan karena pikiranku sedang terfokus ke rooftop.

Aku yang membuat janji pada Angga untuk menemuinya di sana, tapi aku sendiri yang mengingkarinya.

Gimana kalau dia nungguin? Pikirku. Aku yang tak bisa menolak permintaan atasanku itu juga secara bersamaan gak punya cara untuk membatalkan apa yang sudah kujanjikan pada Angga.

Hingga pak Julian tiba, perasaan gelisah itu masih ada. Aku berusaha menutupinya sebisa mungkin meski cukup sulit.

Dua gelas kopi beserta cemilan menemani obrolan siang kami berdua. Seperti biasa, ada basa-basi terlebih dahulu sebagai pencair suasana. Lalu obrolan yang tak jelas itu mendarat di titik yang cukup membuatku terkejut.

Bagaimana tidak, sebagai seorang karyawan yang usianya masih sangat baru, Pak Julian menawarkan promosi jabatan padaku.

Lebih jelas, pak Julian memaparkan tentang adanya rolling staff bulan depan dimana beberapa karyawan dengan kinerja bagus hingga karyawan yang sudah cukup lama menduduki posisi tertentu akan dipindahkan ke departemen lain. Bisa jadi akan naik jabatan di departemen yang sama atau pindah departemen tapi memegang jabatan tetap. Dan Rizal, sebagai PA untuk program olahraga di departemen kami akan dipindah-program-kan. Pak Julian belum memiliki orang yang pas untuk menggantikan posisi Rizal hingga tiba-tiba saja ia menawarkan jabatan itu padaku.

Jujur saja, ada perasaan bingung yang seketika menyelimutiku. Di satu sisi, aku ini bukan orang produksi. Aku adalah tim jurnalis lapangan yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar kantor. Lalu, apa kata mereka orang-orang produksi yang sudah senior? Mereka yang jauh lebih berpengalaman memegang program harusnya mendapatkan tawaran ini terlebih dahulu.

"Tenang, kamu jangan berpikir orang-orang akan cemburu atau gak suka sama kamu. Kita semua yang ada di tim ini adalah orang-orang pilihan yang tak sepatutnya menaruh sikap gak suka ketika tiba-tiba ada orang luar yang menduduki posisi tertentu. Semuanya balik lagi tentang bagaimana kinerja orang itu" papar pak Julian ketika melihat sikapku yang sedari tadi banyak berpikir.

"Tapi kan tetap saja Pak, yang ada saya diomongin sama mereka"

"Gak akan. Saya bisa jamin itu. Untuk itu saya ngomong ke kamu dari sekarang. Kalau kamu siap, masih ada waktu tiga minggu untuk mempersiapkan diri. Nanti saya bilang ke Rizal supaya kalian saling koordisnasi satu sama lain."

Aku menundukkan kepala. Apa yang harus kulakukan? Aku sadar dari sisi jabatan sebenarnya sama antara jurnalis dan seorang PA. Bahkan bisa jadi jurnalis kedudukannya lebih tinggi. Tapi bukankah dari awal aku terjun ke dunia kerja ini bukan jabatan yang aku kejar? Iya, aku harus mendapat pengalaman yang banyak. Aku justru harus bisa menunjukan kompetensiku yang lain. Dan aku harus memperlihatkan jika aku mampu.

"So?"

"Oke!" Kataku cepat.

Pak Julian tersenyum. Lalu diminumnya kopi yang masih tersisa di gelasnya sampai habis.

"Seharusnya saya tidak memilih kamu" lirihnya.

"Loh? Kok berubah pikiran pak?" Tanyaku setengah kaget.

Ia mendekatkan wajahnya padaku.

"Ge. Ini pelajaran buat kamu ke depannya. Dalam lingkungan pekerjaan maupun di masyarakat, ketika ada seseorang yang memberimu kepercayaan, jabatan lebih dari yang sekarang meski mungkin jabatan itu gak tinggi-tinggi banget, kamu harus langsung ambil. Langsung bilang mau, bilang siap ketika mendapat tawaran tanpa berpikir panjang dulu. Tanpa harus punya perasaan gak enak. Kenapa? Dengan kamu memberikan respon cepat, orang itu akan semakin percaya sama kamu. Tapi kalau kamu saja ragu, gimana orang mau ngasih kepercayaan"

"Maaf pak" kataku merasa tidak enak hati.

"Kita hidup jangan hanya betah di satu tempat saja, jangan terus-terusan di posisi yang itu-itu saja. Saya tahu, passion kamu di jurnalis. Saya ngerti usia kamu di perushaaan ini belum lama, tapi ketika kamu ditawarkan bidang lain, jangan banyak mikir, langsung ambil. Akan ada pengalaman dan pelajaran baru yang bakal kamu dapatkan di tempat baru. Dan satu hal, ketika saya menawarkan ini padamu, artinya saya tahu kinerja kamu seperti apa"

"Siap Pak" tegasku kali ini.

"Kedepannya kalau dapat tawaran jangan kayak gini lagi"

"Jadi saya gak jadi nih Pak menggantikan Rizal?"

Ia menarik masing-masing ujung bibirnya ke arahku.
"Jadi lah. Saya tahu kinerja kamu. Tapi tentu saja kamu gak sendiri"

"Maksudnya pak?"

"Sebenarnya ada dua kandidat lagi selain kamu. Dan mereka adalah orang produksi. Jadi ketika kamu menyatakan siap, kamu harus benar-benar bisa menjadi paling layak menduduki posisi itu. Paham?"

"Oke pak. Saya paham"

"Ya sudah, saya harus balik ke kantor. Kamu kalau mau lanjut makan siang gak apa-apa"

"Gak ada Pak. Saya juga ada kerjaan lain. Makasih ya Pak"

Dari pertemuan itu, aku segera bergegas lari ke kantor. Menggunakan lift yang berbeda dengan pak Julian, tujuanku hanya satu. Rooftop.

Ya.

Meski waktu sudah lewat dari jam makan siang karyawan, tapi apa salahnya aku pergi ke sana. Siapa tahu Angga masih menungguku di sana.

Setibanya di rooftop, tak kutemukan seorang pun di sana. Atau bisa jadi Angga bersembunyi?

Tidak.

Aku bisa pastikan gak ada sosok Angga saat ini. Ada perasaan kecewa, tapi apa boleh buat. Salahku juga yang tidak datang tepat waktu.

Belum sempat aku meninggalkan rooftop, aku dengan jelas bisa melihat sebuah buku di salah satu meja kosong dekat dinding kaca. Buru-buru aku menghampiri buku itu.

Benar saja, buku Joel Osteen yang tadi pagi kuletakkan di meja Angga ada di sini. Itu artinya, Angga memang datang ke  tempat ini. Di bawah buku itu ada secarik kertas yang langsung kubuka dan kubaca isinya.

"Meski Alex beberapa kali datang ke kantor ini, tapi jelas sekali jika kamu bukan Alex. Pertama, orang tidak bisa dengan mudah datang ke tempat ini apalagi orang itu bukan karyawan sini. Kedua, Alex yang aku kenal ada kontaknya di hp-ku. Aku tinggal memastikannya padanya tentang semua ini. Itu hal yang gampang. Jadi, siapapun kamu, aku tahu kamu bukan Alex yang kukenal. Tapi aku tahu jika kamu mengetahui sesuatu tentang aku dan Alex. Pintaku hanya satu, tolong jangan usik kehidupanku maupun kehidupan Alex setelah masalah demi masalah yang menimpa kami. Kecuali kamu adalah dalang dari semua masalah yang aku hadapi saat ini. Kalau kamu bukan dalang yang aku maksud, tolong berhenti. Tapi kalau kamu penyebab semua masalah yang ada sekarang, aku tunggu permainan apalagi yang selanjutnya akan kamu kirim padaku!"

Aku terdiam.

Benar-benar terdiam selama beberapa saat. Bukan karena isi tulisan itu yang menyatakan jika Angga tahu pengirimanya bukan Alex, melainkan kata "masalah" yang seketika membuatku begitu penasaran. Apa yang sedang terjadi pada Angga?

Masalah demi masalah, dalang dari masalah yang ia hadapi, adalah beberapa kalimat yang sungguh membuatku ingin mencari tahu. Meski dia bukan siapa-siapaku, dan masalah dia juga bukan urusanku, tapi aku yakin jika dia lagi tidak dalam keadaan baik saat ini.

===

Jam setengah tujuh malam, ketika aku hendak meninggalkan kantor dan sedang menunggu ojek online pesananku tiba, dari salah satu sudut lobi kantor aku melihat seseorang yang wajahnya tidak asing lagi akhir-akhir ini.

"Itu kan Angga dengan produsernya. Akrab banget kayaknya mereka" gumamku.

Benar, Angga dan seorang produser yang dikenal galak itu terlihat sangat akrab.

Hingga beberapa detik berikutnya tangan produser itu menunjuk sesuatu ke arah luar. Angga melihatnya. Termasuk aku yang ikut melihat ke arah yang ia tunjuk.

Sebuah mobil putih berhenti di depan lobi. Dan ternyata Angga mendekati mobil itu.

'Siapa orang di dalam  mobil itu?' pikirku penasaran.

Lalu sesosok laki-laki keluar sembari melambaikan tangannya pada Angga.

"Alex?!" Kataku reflek membuka mata lebar-lebar.

'Dia jemput Angga?' bisikku dalam hati.

Bagaimana bisa mereka sedekat itu? Bagaimana ceritanya orang yang kutemui di Bijin Nabe beberapa waktu silam kini dekat sekali dengan pria yang sedari dulu aku tunggu-tunggu? Kenapa dunia sesempit ini? Kenapa juga Angga mau berteman dengan dia? Bukankah pria itu dengan sangat murahan waktu itu memberikan saputangan padaku, memberikan nomor telepon lengkap alamat kostannya padaku agar aku datang?

"F*CK!" Umpatku cukup keras hingga beberapa mata langsung tertuju padaku.

Aku gak peduli. Yang jelas, aku harus cari tahu tentang mereka.

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 186K 34
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
16.7M 725K 42
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
236K 11.7K 20
*Another Repost Gay Story *Original Writer : @andityawidjaja *If you don't like, don't read. *LGBT HATERS GO AWAY!!
6M 314K 58
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...