Iridescent

By E-Jazzy

174K 41K 12.3K

[Completed Chapter] Danta berusia 75 tahun ini, dan satu-satunya acara jalan-jalan keluar rumah yang bisa pri... More

P I R A U
Semacam Prolog
Prolog Sungguhan
1 Februari 2001
2 Desember 2013
3 Januari 2014
4 Januari 2014
5 Januari 2014
6 Januari 2014
7 Januari 2014
8 Juni 2005
9 Januari 2014
10 Januari 2014
11 Desember 2005
12 Januari 2014
13 Januari 2014
15 Januari 2014
16 Januari 2014
17 Januari -
18 Januari 2014
19 November 2004
20 Januari 2014
21 Januari 2014
22 Januari 2014
23 Januari 2014
24 Januari 2014
25 Januari 2014
Benar-benar Epilog
Epilog Lainnya
- Qalian bertanya & Akika menjawab (QnA) -
- Readers' Gallery -

14 Januari 2014

4K 1.1K 253
By E-Jazzy

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Jian tidak menunggu sampai lusa. Rupanya, tak sampai 24 jam setelah pertemuan terakhir kami, dia memutuskan bahwa sudah saatnya untuk pergi. Ketika Wilis dan Olive datang lagi ke rumahku hari ini, pohon mangganya sudah kosong, daunnya berguguran, dan ranting-ranting lapuk mulai berjatuhan ke jalan. Tidak akan butuh waktu lama sampai warga setempat berinisiatif kembali untuk menebangnya.

"Buahnya kayak membusuk di pohon, ya?" kata Wilis saat dia melepas kunci sepeda motor. "Grey pernah bilang padaku pohon ini ada penunggunya."

Olive melirikku sebentar, lalu kembali ke kakaknya. "Kenapa kita balik lagi ke sini?"

"Kita nggak menemukan apa-apa kemarin," kata Wilis. "Dan aku betul-betul habis akal mesti mencari ke mana lagi."

Olive lagi-lagi melirikku, tetapi aku berusaha untuk mengabaikan tatapan matanya. Sejak semalam, dia berusaha membujukku untuk memberi tahu Wilis, atau langsung pergi ke rumah gaib yang terus muncul di pertigaan jalan dekat rumahnya. Dia bahkan melakukan—kukutip dari ucapannya—riset kecil-kecilan. Artinya dia mencari di internet dengan kata kunci "Cara menempelkan roh kembali ke badan," dan "Rumah Gaib" sampai "Cara mengusir iblis jahat".

Nah, sudah kubilang padanya dia tidak perlu melakukan itu. Lagi pula, semuanya sudah berjalan mulus. Kak Safir sudah dipastikan memesan tempat di restoran keluarganya besok malam untuk reuni. Aku bakal jujur ke Wilis tentang apa yang terjadi setelah kembali ke tubuhku sendiri. Pada saat itu, aku mungkin sudah bersama dengan kakakku di sampingku—begitulah rencanaku ... secara garis besarnya.

Aku mencoba untuk menutup mata dari kemungkinan-kemungkinan terburuk. Lintasan waktu yang kacau, terbentuknya lebih banyak dunia paralel, dan mungkin beberapa perubahan yang bakal terjadi—entahlah, bisa saja presiden kami tiba-tiba berubah atau beberapa kelahiran/kematian tertunda. Hal-hal semacam itu tidak terhindarkan. Apa pun itu, tidak masalah. Toh, musibah selalu terjadi. Tidak masalah aku mengubah sesuatu atau tidak, pasti akan ada hal baik dan buruk yang tetap terjadi. Aku hanya perlu berhati-hati dan meminimalkan kerusakan. Ini akan berjalan mulus ... kuharap.

Rasanya aku jadi mengerti apa yang dirasakan Kak Nila dan Kak Safir dulu. Saat aku hanya menonton, aku memberi nasihat: kenapa kalian mau mengubah ini-itu? Kenapa tidak menjalaninya saja? Kenapa ingin sembuh dari astral projection? Itu anugerah, bukan penyakit. Kenapa ingin menyudahi hidupmu? Hidupmu sudah beruntung—lumayanlah. Jalani saja.

Yah, begini masalahnya: aku tidak berada di posisi mereka. Aku memang melihat, mendengar, dan merasakan beberapa hal yang tidak tertangkap panca indra manusia biasa—aku bernapas dengan kemampuan itu seumur hidupku. Aku sudah terbiasa menjalaninya saja. Mereka tidak. Mereka berusaha mengubahnya.

Sekarang, aku berada dalam posisi di mana aku tidak mampu untuk menjalaninya saja. Aku gagal menampik godaan pertama yang datang kepadaku. Godaan yang menjanjikan bahwa aku bisa mengubah semuanya, bahkan meski godaan itu datang dari Entitas bengis yang memakan jiwa anak-anak.

Untuk adilnya, Olive juga sama sekarang. Dia tidak berada di posisiku. Bukan dia yang harus tinggal di rumah lusuh ini sendirian, sebatang kara, yatim, hilang mama, hilang saudara. Mudah baginya untuk mengetik di mesin pencarian "Cara menempelkan roh ke badan" seolah-olah ada seseorang yang menjual lem perekat untuk itu di toko online.

Masalahnya, aku tidak bisa memaksa mesin pencari di internet untuk menghasilkan "Cara menemukan kakakku yang hilang ditelan dimensi sebelah" atau "Cara mengembalikan hidupku biar utuh seperti setahun yang lalu."

Tidak. Aku harus melakukannya sendiri. Setidaknya aku akan mencoba dulu—kembali ke masa lalu, melihat apa yang bisa kuubah agar kehidupan keluargaku kembali normal. Kalau ada kemungkinan terjadi hal buruk ... yah, semoga tidak.

Bahkan Annemie juga sedang berjuang saat ini. Si bocah hantu terus-terusan keluar dari rumahku, mencoba meredam kemarahan dan aura kegetiran yang mulai menumpuk pada intisari ruhnya. Dan aku betul-betul menghargai kesungguhannya—dia berusaha untuk tidak menghancurkan rumahku dengan badai poltergeist dari energi kelam hantunya.

Pergi mencari padang ilalang dan lahan berumput hijau, katanya pagi itu tanpa menatapku. Suatu tempat penuh tumbuhan yang tidak dirusak kaki manusia, asap kendaraan, dan roda-roda gerobak jajanan pinggir jalan—itulah yang dicari Annemie. Ironisnya, tempat semacam itu kini hanya bisa ditemukannya di lahan pekuburan terdekat.

Sampai tengah hari, aku hanya duduk menyandar di bawah pohon mangga yang dulu dihuni Jian. Saat matahari tepat di atas kepala dan manifestasiku agar terbuyarkan di bawah cahayanya, aku beranjak kembali ke halaman. Wilis dan Olive masih belum keluar, tetapi aku bisa melihat bayang-bayang mereka menuruni tangga dari jendela kamar kakakku.

Kuamati semak-semak yang makin meninggi di bawah jendela, rumput yang meranggas di sebagian besar pekarangan, tanah kering berbatu, pot-pot pecah dan bunga-bunganya layu. Meski aku menyukai semua tanaman Mama, aku tidak pernah pandai merawatnya. Waktu kecil, saat Mama mengajakku membantunya merawat pekarangan, yang kulakukan cuma mengacau—main tanah, mencari cacing, bertengkar dengan kakakku ....

Sekarang aku menyesal, mengapa dulu aku tidak sungguh-sungguh menyimak dan membantunya? Kenapa aku nakal dan pemalas sekali dulu?

Barangkali perubahan sifat Annemie ada hubungannya dengan pekarangan ini. Bagaimana pun, dia punya banyak sekali kenangan di sana. Sebagian besar masa kanak-kanaknya dia habiskan di pekarangan kami saat dia masih hidup—saat perumahan ini masih berupa bentang rumput liar, padang ilalang, dan bebungaan. Dan karena sifat Mama yang mencintai pemandangan hijau serta hobi berkebun, Annemie seringkali bersikap seolah-olah mamaku adalah mamanya juga.

Sejak kakakku mengalami kesulitan dengan magang, tugas akhir, dan lingkungan kampusnya, Mama tidak pernah mengangkat sekop dan karung pupuk lagi. Pot-pot terabaikan dan bunga-bunga berhenti disirami. Mama dan Kak Nila jadi lebih sering menghabiskan waktu dengan bertengkar.

Sekarang, kakakku sudah tidak ada. Mama terlalu patah hati untuk pulang ke rumahnya. Aku jadi hantu. Dan pekarangan ini hancur lebur—penuh tahi codot pula. Kondisi yang membusuk seiring berjalannya waktu memudarkan ikatan Annemie dengan dunia kami. Dan ... Jian memang benar—Annemie sudah terlalu lama terikat di dunia orang hidup.

Ketika pagar berkeriut, aku bersiap menyambut Annemie dan meminta maaf padanya—aku mesti mengatakan sesuatu untuk menenangkannya sementara ini. Lalu, aku tercenung. Annemie, 'kan, tidak pernah membuka pagar.

Namun, orang itu tidak membuka pagar. Tidak perlu, sebetulnya, karena Wilis dan Olive tidak menutup pagar saat masuk. Orang itu berdiri sambil memegangi ujung pintu pagar, ragu-ragu hendak masuk atau tidak. Kacamatanya yang besar dan berlensa tebal merosot ke ujung hidung, kemejanya yang licin dan kelihatan mahal agak kebesaran di badannya, dan celananya licin seolah baru disetrika. Bahunya agak maju ke depan, postur tubuh yang terbentuk dari sekian tahun berdiam di depan komputer.

"K-Kak Zamrud?"

"Grey?"—Jantungku mencelus saat dia memanggil. Aku hampir menyangka dia bisa melihatku. Lalu, kusadari tatapan matanya menembusku, terarah ke pintu yang setengah terbuka. Di belakangnya, sebuah mobil hitam mengilap masih menyala, pintunya terbuka, suara mesinnya mendengung lembut. "Permisi? Grey?"

Sekian tahun yang lalu, saat aku masih kecil sekali, Kak Zamrud hampir seukuran denganku. Badannya begitu pendek, kurus, dan wajahnya jerawatan. Kalau Kak Zamrud berjalan, kelihatannya seolah-olah dia meloncat dan bukannya melangkah—seperti ada pegas di dalam sepatunya,. Sekarang, dia sudah agak tinggi, hampir setinggi aku—mungkin tingginya sama seperti Wilis. Namun, karena begitu langsing, Kak Zamrud jadi terlihat jangkung.

Jerawatnya sudah hilang, tetapi kulitnya agak kecokelatan seperti orang yang terlalu sering berjemur di bawah cahaya matahari. Dia juga berkantung mata sekarang di balik kacamata tebal itu. Daripada mirip orang yang kurang tidur, dia lebih menyerupai orang yang kena penyakit parah.

"Grey—"

Tentu saja Wilis dan Olive memilih saat itu untuk keluar. Saat yang begitu pas, tetapi amat sangat tidak tepat. Tas mereka menggembung, helm terpasang, dan keduanya mengendap sambil pakai sepatu dari dalam rumah. Orang normal yang mengenal keluargaku bakal langsung meneriaki mereka maling, tetapi Kak Zamrud hanya tersaruk sedikit. Kedua belah pihak saling memelototi untuk waktu lama.

"Halo?" Olive yang pertama bersuara. Wilis tampak gelisah, seperti ingin langsung kabur di sampingnya. "Hmm, Anda kerabatnya Grey?"

"Ya," jawab Kak Zamrud ragu-ragu. "Grey ada?"

"Grey sekarang sedang ...." Olive menelan ludah, dan betapa hebatnya gadis itu masih mampu memasang senyum ramah-tamah di bawah tekanan. "Grey sedang pergi. Dia ketinggalan sesuatu, jadi kami mengambilkan barang itu untuknya."

Kak Zamrud tampaknya mulai curiga. "Ke mana?"

"Mall," jawab Olive, dan Wilis malah memutuskan pada detik yang sama untuk angkat bicara: "Lapangan."

Keduanya bertatapan. Untuk sepersekian detik lamanya, keduanya menyambar ketololan masing-masing; Olive mengganti jawabannya dengan, "Lapangan," sedangkan Wilis berucap, "Mall."

"Jadi, yang mana?" Kak Zamrud mematikan mesin mobil dan mencabut kunci. Tangannya meraba saku celana, di mana ponselnya berada. "Mall atau lapangan?"

"Grey mengajakku main bola di lapangan depan rumahku," kata Wilis. Sikunya menyenggol-nyenggol Olive.

"Tapi, sayangnya Grey lupa dia sudah telanjur berjanji mengajakku kencan ke mall." Olive melanjutkan. "Jadi, kami ke sini untuk mengambilkan ... dompetnya. Ketinggalan—yeah, dompetnya ketinggalan. Grey memang ceroboh. Dia menungguku di mall sekarang. Tentu saja dia memprioritaskan janjinya terhadapku—"

"Sayangnya, Dik," sahut Wilis dengan senyum seram—ada kejengkelan samar-samar tertahan di sana, "Grey pasti di lapangan bola sekarang. Karena anak cowok memegang kata-katanya dan bersumpah setia pada bola sepak, bukannya mall dan anak cewek!"

Aku mendesis. "Kalian berdua sama saja."

"Kalian tidak mungkin berharap aku memercayai semua itu!" Kak Zamrud membanting pintu mobilnya sampai menutup, membuat jiwa hantuku bergetar.

Masalahnya, mobil itu bagus sekali. Masih mulus, modelnya keren, dan aku bisa saja memutuskan untuk tinggal di dalamnya kalau bisa punya mobil sebagus itu—aku akan jadi kaum nomaden, hidup dalam mobil mewah selamanya, tidak perlu mengurusi kotoran codot lagi. Rumah dan tanah butuh pajak ini-itu, kalau hidup dalam mobil aku cuma keluar duit seribu rupiah buat parkir.

"Mana Grey? Dan siapa kalian ini sebenarnya? Maling, ya?"

Olive menepuk-nepuk tas Wilis dari belakang, hampir seperti mendorongnya. Dengan gaya percaya dirinya yang biasa, Olive berucap, "Grey ... seperti yang kubilang, sedang menungguku di mall. Kunci ini,"—Olive mengangkat kunci rumahku sampai Kak Zamrud terpaku, sama sekali mengabaikan Wilis yang tengah berjalan mengitarinya untuk mencapai pagar. "Ini adalah bukti Grey membiarkan kami masuk ke rumahnya. Dia tahu kami ke sini karena memang dia yang menyuruh kami. Lihat."—Gadis itu menutup pintu rumahku, lalu memutar kunci. "Lihat? Sudah aman. Aku sudah mengunci pintu rumahnya. Pencuri tidak akan sebaik aku ini. Nah, sekarang biar aku balik bertanya, Anda ini siapa dan kenapa mondar-mandir di depan rumahnya Grey? Anda sangat mencurigakan!"

"Aku teman kakaknya—"

"Hah!" Olive menggertak, membuat Kak Zamrud tersaruk dan kacamata melorot ke bawah hidungnya. "Anda teman kakaknya? Aku kenal baik dengan kakaknya! Kak Nila itu ... tidak punya teman seperti Anda! Yang mirip saja tidak ada! Aku tahu karena kami sangat akrab! Aku sering melihat foto-foto di album keluarganya dan tidak ada muka Anda di satu pun foto-foto itu! Sebelum Kak Nila menghilang, kami sudah saling bercerita banyak seperti kakak dan adik ipar!"

Sementara Kak Zamrud kebingungan, dan Olive bermonolog tanpa bisa dihentikan, Wilis sudah mencapai kendaraannya. Wilis memasukkan kunci motor, menyeka keringat di kening, lalu memberi isyarat pada Olive untuk bergegas.

"Sekarang, tolong minggir sebelum aku berteriak." Olive mengancam. Jujur, aku sendiri hampir tergoda untuk menundukkan kepala dan menyingkir dari jalannya. "Aku tidak peduli Anda ini dari sindikat apa atau jaringan kartel mana—"

"Apa?!" Kak Zamrud terperangah. "Tidak, aku tidak bisa minggir—kalian bisa saja mencuri dari dalam sana! Dan aku bukan anggota sindikat! Kalian ini yang mencurigakan! Aku tidak akan minggir sebelum kau memperlihatkan isi tasmu!"

"Aku tidak akan memperlihatkan isi tasku sebelum Anda minggir!"

"Oke." Kak Zamrud mengeluarkan ponselnya. "Aku akan menelepon Grey, dan kita lihat apakah ada sedikit saja dari ceritamu itu yang benar!"

"Yeah, telepon saja!" Olive mulai bergeser ke samping Kak Zamrud. "Grey bakal mengatakan semuanya ke Anda!"

Kak Zamrud sibuk mencari kontakku, tak memerhatikan ketika Olive melewatinya begitu saja dan melenggang ke sepeda motor kakaknya.

"Buruan!" bisik Wilis, hampir berteriak. "Kenapa jalan kayak angsa begitu?! Cepat!"

"Tidak diangkat—"

Namun, begitu Kak Zamrud berbalik, Wilis sudah menghidupkan mesin motor. Dia tidak bisa mengejar—hanya berteriak dengan tangan masih memegangi ponsel, memelototi dua kakak beradik yang kini berkendara menjauhinya.

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


***

Sweet lil Olive sama Denim yang kayak capek banget digendong
Thanks to Shiholilah ♡'・ᴗ・'♡



Trio bobrok (Wilis-Olive-Grey) sama ... siapa tuh dua sosok di ujung? Kok mata ini pedes yah ....
Thanks to seirin11_04 ヽ(*゚ー゚*)ノ❤

Continue Reading

You'll Also Like

82K 16.4K 70
🏆 Wattys Winner 2022 (Wild Card) 🏆 Reading List WIA Indonesia Periode 3 Konon, seorang Dream Walker hanya terlahir satu di setiap generasi. Selama...
32.2K 5.6K 55
[BOOK #2 OF THE JOURNAL SERIES] Andrew Stanley tidak pernah menulis jurnal sebelumnya, dia benci membaca dan menulis karena menurutnya membosankan. H...
Oh! Liona By Taa

Teen Fiction

2.5K 172 4
Jake mendengar para pria itu membicarakan gadis cantik yang baru saja keluar dari toilet umum. Ketika ia melihat orang yang mereka bicarakan, ia hany...
3.6K 575 60
[Reading List WattpadfantasiID Januari 2024] Diculik sebagai tumbal, Wafir---bocah naif yang selamat dari tenggelamnya separuh daratan bumi---harus m...