Trapped by You

By Ristan

807K 16.9K 946

"Sayangku, ahh....akhirnya aku mendapatkanmu." Jantungku berdegup kencang saat kalimat itu dibisikkan ke teli... More

Chapter One
Chapter Two
Chapter Three
Chapter Four
Chapter Five
Chapter Six
Chapter Seven
Chapter Eight
Chapter Nine
Chapter Ten
For Your Info

Chapter Eleven

62.7K 1.7K 191
By Ristan

Gumpalan awan kelabu yang menandakan air hujan akan membasahi daratan, kontan menimbulkan keresahan. Jelas, Jakarta tak mungkin diguyur hujan kala memasuki bulan kemarau.Tetapi, pemanasan global membuat semua yang tidak mungkin menjadi mungkin, kan? Jadi, cuaca zaman sekarang kadang tidak ada kaitannya lagi dengan bulan.

Salah satu hal termustahil yang berubah status dalam sekejap juga dialami Dhania beberapa waktu ini. Bisa dikatakan ia mendapat durian runtuh! Kalau Dimitri "memaksanya" untuk berangkat ke kantor bersama bukan termasuk kategori mendapat durian runtuh, entah sebutan apa lagi yang sekiranya cocok untuk itu. So, tanpa banyak babibu, Dhania menyetujuinya dengan antusias meskipun perubahan sikap Dimitri cukup mengherankan.

Tetapi, ada konsekuensi yang merepotkan.

Setiap kali mereka sampai di parkiran khusus direksi Dhania harus jeli memeriksa sekitar, memastikan tidak ada karyawan Aquila Enterprise yang melihatnya keluar dari mobil Dimitri untuk mencegah kemungkinan dilempari high heels oleh para fans kakaknya kalau sampai ketahuan ia berangkat bersamanya.

"Nanti pulangnya sms gue. Kalo gue masih ada kerjaan lewat dari jam kantor, tunggu dulu aja. Oke?" Instruksi Dimitri kepada Dhania.

"Sip. Gue keluar duluan ya. See you."

Dhania keluar mobil dan langsung masuk gedung perkantoran. Hari masih terlalu pagi, masih belum begitu banyak karyawan yang menggunakan lift sehingga tidak butuh waktu lama untuknya mengantri di depan boks listrik itu menuju ruangan.

Saat melewati kubikal Agil, ia mengintip sekilas. Masih kosong. Dengan asumsi yang nyaris sama, Dhania iseng menengok kubikal Silla. Ajaibnya, Silla sudah duduk manis di depan meja dan tangannya menggenggam gelas karton Starbucks yang masih mengepulkan asap panas.

Aneh. Sejak kapan Silla doyan kopi?

"Coffee drinker lo sekarang?" Ledek Dhania, bersandar di pembatas kubikal.

Silla mendongakkan kepalanya, memeriksa tersangka utama yang dengan sengaja mengejutkannya. "Nggak usah pake ngagetin kali, Dhan!"

"Lebay lo... Suara bidadari gini masa bikin kaget sih?" Ujar Dhania membela diri. Kini ia menduduki sisi meja Silla.

"Suara bidadari neraka lebih tepatnya." Cibir Silla. "Tumben kesini, kangen ya sama Madam Silla?"

"Sebenernya sih enggak. Tapi, buat temen yaaa... apa boleh buat lah."

"Asem! Eh eh... entar makan siang bareng dong. Bosen gue makan berdua Agil mulu. Ngerusak pasaran gue lama-lama."

"Siapa suruh maennya di pasar?" Celetuk Dhania asal yang disambut lemparan pensil dari Silla.

"Diusahain ya, Sil. Lo kan tau kerjaan gue gimana. Kalo Mbak Sarah sibuk ya pasti gue telat makan karna bantuin."

"Halah, kancut! Cuma bengong aja pake bilang bantuin. Pokoknya entar makan bareng, nggak mau tau! Masa gue geret Agil mulu?" Keluh Silla.

"Setan bokis!" Tiba-tiba sosok yang menjadi objek cemoohan Silla datang dan bergabung dengan mereka.

"Justru sekarang gue malah lebih sering makan bareng karyawan laen ye, Mak Lampir! Kalo gue samperin pas jam makan siang, lo nya udah lenyap nggak tau kemana." Protes Agil.

"Kemaren-kemaren kan bareng kaleee..." Silla membela diri seraya memeletkan lidah.

"Ya kemarennya kapan? Jaman jebot aja! Trus sekarang lo makannya dimana sih? Mata gue ngider seantero kantin tapi ga nemu bibir monyong lo!"

"Gue keluar kantor. Tempat makan kan nggak cuma kantin doang."

"Gaya lo sok bener aja pake makan diluar. Giliran pulang aja nebeng gue, ngakunya ongkos tipis. Sue'!"

"Ya kan buat penyegaran. Siapa tau ada yang ganteng pas lagi makan." Silla mengangkat alisnya jenaka.

"Inget Sammy woyy...." Timpal Dhania sambil geleng-geleng kepala.

"Siapa Sammy?"

Nada penasaran itu membuat tiga pasang mata menoleh ke arah suara.

Dimitri berdiri tak jauh dari kubikal sambil mengantongi kedua tangan di saku celana. Mengangkat satu alis tanda bertanya.

"Sammy itu...."

"Mas Dimi udah dateng? Macet nggak tadi jalanannya?" Belum juga selesai kalimat Dhania, Silla buru-buru memotongnya. Dhania dan Agil saling lirik. Sedangkan Dimitri diam seribu bahasa.

Jengah dengan awkward moment ini, Dhania dan Agil akhirnya memutuskan untuk kembali ke kubikal masing-masing. Sesampainya, ternyata Mbak Sarah sudah datang dan terlihat sibuk di depan komputer.

"Pagi, Mbak." Sapa Dhania lalu duduk di kursinya.

"Pagi. Tumben kamu, Dhan empat hari ini nggak mepet lagi sampe kantor." Ledek Sarah sambil tersenyum tanpa mengalihkan matanya dari PC.

"Ish kok di tumbenin sih, Mbak? Dipuji gitu lho anak didiknya sekarang rajin gini."

"Hahaha... abisnya kamu bisa sepagi ini pasti bukan karna bis kaleng udah berubah jadi awan kinton kan?"

"Ya ampun Mbak, dikata aku manusia setengah monyet kali naek awan kinton." Dhania mendengus, "lagi ngerjain apa sih, Mbak kok masih pagi udah serius banget?"

"Ini tuh kerjaan beberapa hari kedepan yang mesti dikebut. Si Mister kan hari ini berangkat ke Bali, biar pas beliau disana kerjaan disini ga numpuk."

Dhania benar-benar lupa kalau hari ini adalah keberangkatan Mr. Dante ke Bali!

Sejak insiden terakhir kali bersama bosnya itu, Dhania belum pernah berinteraksi dengannya lagi. Sebab belakangan ini, Mr. Dante selalu berada di dalam ruangannya sepanjang hari. Walau kadang beberapa klien atau tamu bertemu dengannya untuk diskusi masalah pekerjaan. Sepertinya ia sibuk akhir-akhir ini.

Bukan Dhania tidak menyadarinya. Justru beberapa hari ini, ia merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya. Terlepas dari berbagai perdebatan yang sering terjadi diantara mereka, tapi entah kenapa hatinya berdesir setiap kali interkom berbunyi dan suara bariton bosnya yang errr... seksi itu membahana. Degup jantungnya akan lebih cepat dari kerja otaknya.

Bahkan semalam, ia merindukan suara lelaki itu menyebutkan namanya!

Nama tengah yang selalu menjadi kesukaannya sejak kecil. Angelyn.

Which he always calls as Angel.

Nama yang tidak pernah ia suruh orang-orang gunakan untuk memanggilnya oleh karena satu alasan picisan.

Baginya, nama itu spesial. Jadi, ia hanya ingin orang yang benar-benar menganggapnya spesial yang memanggilnya seperti itu.

So, does it mean she's special to him?

Atau hanya kebetulan semata?

Belum lagi kalau tanpa sengaja ia merasakan tiupan angin dari balkon kamar menyentuh pipinya, ia pasti teringat lembutnya jemari Dante yang selalu berhasil melumpuhkannya.

It sounds creepy, isn't it?

Ditambah dengan ingatan di waktu lalu saat matanya bertumbuk dengan sepasang mata maskulin itu, sontak akan mampu membuat wajahnya memanas dan merona tak jelas seperti seorang ABG bau kencur!

Suatu hari ketika atasannya itu keluar ruangan untuk menuju ruang meeting, ada keinginan gila yang muncul dalam benak Dhania yaitu agar Dante menoleh padanya barang sedetik! Tapi yang terjadi sebaliknya, sang CEO hanya melangkah mantap tanpa sedikit pun menjatuhkan pandang ke arahnya sama sekali. Lebih gila lagi, rasa kecewa tiba-tiba menyeruak memenuhi hatinya. Setelah itu Dhania langsung lari ke toilet, membasuh wajahnya di wastafel untuk mengembalikan kewarasannya.

"Hey, earth to Dhania!" Sarah menjentikkan jari tangannya membuyarkan lamunan Dhania.

"Duuuhh.... penyakit bengongmu kok akut banget sih? Aku kasih kerjaan deh biar ga ngelamun mulu. Tolong bikinin kopinya si bos ya. Kamu udah tau kan kesukaannya?"

Dhania tersadar dari lamunannya. "Lah kan si Ujang udah pasti nganterin ke ruangan tiap pagi, Mbak." Terang Dhania merujuk pada office boy yang setiap pagi selalu mengantarkan minuman wajib bosnya itu.

"Biasanya emang gitu. Tapi, sampe jam segini kopinya belom dianter tuh. Tadi Mbak sempet liat pas ngambil map-map ini di meja si bos." Sarah menunjuk tumpukan map di depan mereka dengan dagunya.

Dhania beranjak berdiri dari kursinya sudah hendak pergi ke pantry, sampai Sarah memperingatkannya.

"Nggak pake lama ya, Dhan. Soalnya jam-jam segini kan si bos bentar lagi dateng. Beliau bakal kesel kalo kopinya lebih telat dateng dari pada dirinya sendiri." Mbak Sarah mengedipkan matanya lalu kembali sibuk dengan tugasnya.

Dhania mengangguk mengerti serta mulai melangkah. Di perjalanan menuju pantry, hanya satu hal yang ada di pikirannya.

Black coffee.

~~

Fixed.

Dante sudah seperti remaja ingusan yang baru pertama kali tertarik dengan seorang perempuan!

Parahnya, ia layaknya pecundang yang baru ditolak bahkan sebelum ia maju berperang!!

Bayangkan. Sekarang ia sedang berada di kamar mandi khusus di ruang kantornya, merendam wajahnya di wastafel berisi air. Semua sengaja dilakukan demi mendinginkan tempurung kepalanya yang terasa mendidih saat pagi ini, lagi-lagi, ia melihat kebersamaan dua insan itu di lapangan parkir direksi.

Angel dan Dimitri.

Yang mereka tidak tahu, beberapa pagi belakangan ini Dante selalu melihat, oh koreksi... memergoki mereka berdua turun dari mobil Dimitri. Pagi pertama dimana ia secara tidak sengaja melihat si gadis keluar dari mobil temannya itu ialah kala Angel sibuk menengok ke kanan dan kiri seperti sedang memeriksa situasi.

Angel tidak tahu bahwa tak jauh dari mereka, Dante melihat semuanya dengan jelas tanpa ketahuan sedikitpun. Wajar jika Angel merasa situasi aman-aman saja, karena hari itu Dante sengaja membawa mobil kesayangannya, Audi R8 GT Spyder, tanpa supir pribadi. Kaca film yang sangat gelap membuat siapapun kesulitan untuk tahu apakah ada orang di dalamnya atau tidak. Sehingga tidak ada yang menyangka bahwa sang CEO tidak melewatkan secuil pun peristiwa yang ada di depan matanya.

Kesal, nafasnya memburu menahan amarah. Ia tidak mengerti kenapa tiap kali melihat kedekatan Angel dengan Dimitri, hatinya memanas.

Tiap kali?

Itu artinya SELALU.

Tapi, kenapa?

Apa yang terjadi padaku?

Kalau diingat lagi, semenjak hari dimana mereka bertengkar, Dante berusaha untuk menjauh dari Angel. Bukan karena ia masih menyimpan keganjalan dihatinya atas pertengkaran sengit mereka sekaligus dampak yang ia timbulkan, namun lebih untuk menenangkan hati dan pikirannya sendiri. Dia menghindar lebih dikarenakan ia butuh waktu menelaah semua yang ia rasakan terhadap gadis itu. Apa yang membuatnya begitu reaktif kepada Angel akan kedekatannya dengan Dimitri?

Teman baiknya sendiri!

Ceklek.

Pintu ruangannya dibuka, membuyarkan lamunannya. Ia tak ambil pusing untuk sekedar kembali ke mejanya menemui si pembuka pintu. Ia yakin, di waktu sepagi ini pasti itu office boy yang mengantarkan kopinya seperti biasa.

Setelah setengah jam puas menenangkan diri dan emosinya mereda, ia meraih handuk kecil untuk menyeka air di kepala dan wajahnya. Beruntung, hari ini ia memakai kaus hitam lengan panjang dipadu dengan blue jeans sehingga tetesan air yang jatuh ke bajunya tidak akan begitu kentara. Ia sengaja tidak memakai setelan jas lengkap karena nanti siang akan berangkat ke Bali menggunakan pesawat pribadi. Toh, kepergiannya ke Bali tidak bisa disebut sebagai pertemuan bisnis formal. Jadi, ia memilih berpenampilan santai selama perjalanan nanti.

Keluar dari kamar mandi, ia menghampiri mejanya berniat meminum kopi. Namun, minuman itu tidak tampak dimanapun.

Jadi, yang tadi bukan OB?

Tepat sebelum jarinya sempat memencet interkom hendak menegur sekretarisnya, pintu terbuka dan disanalah dia.

Wanita yang semenit lalu memenuhi otaknya dan mengganggu ketenangan batinnya memasuki ruangan seraya memegang nampan berisi cangkir kopi.

Dhania mematung di tempat. Tampak kaget dan kikuk saat melihat bosnya berdiri di dekat pesawat telepon. Sedangkan Dante membeku dengan sebelah tangannya mengeringkan rambut dengan handuk. Hampir tidak percaya dengan penglihatannya, suara wanita yang dari tadi hilir mudik di pikirannya itu menyentaknya ke kenyataan.

"Maaf Sir, saya pikir Anda belum datang jadi tidak mengetuk pintu dulu. Saya mau mengantar kopi." Dhania menjelaskan dengan sedikit perasaan bersalah. Ia tidak menduga Dante sudah ada di dalam ruangannya.

Dante maklum. Sehabis mengatur tarikan nafasnya supaya lebih tenang pasca pemandangan di parkiran, ia baru beranjak dari mobil dan masuk ruangannya. Di meja sekretaris belum ada siapa-siapa, jadi dia pikir Sarah pasti belum sampai dan Angel... entahlah.

Ke ruangan Dimitri dulu mungkin?

Pemikiran itu segera membuatnya sesak. Ditepisnya pertanyaan konyol tersebut sebelum membangkitkan kembali gelegak amarah yang dengan susah payah ia hilangkan tadi.

"It's oke." Ia berusaha menjaga suaranya terdengar biasa saja.

Dhania menaruh kopinya di meja, namun entah karena salah lihat atau bagaimana, sekilas Dante melihat rona merah muda di pipinya.

"Kalau begitu saya permisi, Sir." Dhania undur diri. Baru beberapa langkah, ia berhenti karena suara bosnya.

"Siapa yang memperbolehkanmu pergi, Angel?"

Dia berbalik dan memasang wajah bingung. "Maaf, apa ada masalah, Sir?"

"Kamu tau kan, kalau saya paling tidak suka keterlambatan?" Tanya Dante sengaja mengulur waktu. Ia ingin memperpanjang kebersamaan mereka saja, maka ia bertanya demikian. Anggaplah otaknya sedang terbentur atau apapun itu, ia tidak peduli. Ia tidak ingin keberadaan gadis itu hanya sebagai oase sesaat. Apalagi pemikiran bahwa ia tidak bisa bertemu Angel untuk beberapa hari ke depan membuatnya geram.

"Ya, saya tau. Dan hari ini saya tidak datang terlambat, Sir."

"Aku tau itu. Tapi, yang kumaksud kopi ini." Dante mengangkat cangkir itu lalu menyesapnya tanpa memutus kontak mata mereka.

Dhania menahan nafas.

Tatapan itu lagi.

Bagai isyarat mau menelannya bulat-bulat.

"Maaf Sir... "

"Berapa kali kusuruh kau panggil namaku saat kita sedang berdua saja?" Bentak Dante, menggertakan gigi.

"Tapi Sir, saya tidak bisa..."

Dhania tidak mampu merampungkan kalimatnya saat Dante mendekat, bersandar ringan di pinggir meja kerja sambil bersidekap tepat di depannya.

"Kau. Bisa. Dan. Harus." Perintah Dante dengan menekankan setiap kata.

Dhania menghembuskan nafas frustasi.

Ini gila!

Berani taruhan, kau tidak akan mungkin bisa bertemu CEO macam begini setiap harinya. CEO gila yang menyuruhmu mengucap namanya saat berduaan saja! Batin Dhania.

"D-dante." Dhania tergagap gugup, suaranya pelan seakan ragu.

Senyum Dante mengembang.

Ia lebih dari sekedar senang. Ia bahagia!

Ia memajukan tubuhnya, memulai kebiasaannya yang sekarang lebih seperti ritual. Mengelus pipi wanita di hadapannya.

"Again." Pintanya.

"Dante." Kali ini suara Angel lebih mantap di telinganya.

"That's better, baby."

Wanitanya merona. Menunduk malu karena kontak mereka yang seintens ini.

"Say my name whenever we're alone, 'kay?"

Dhania mengangguk lemah. Masih belum bisa menenangkan detak jantung yang bertalu-talu sampai ke gendang telinganya. Ia tahu, ini bukan hal normal yang akan dialami oleh wanita yang sudah memiliki kekasih.

Kekasih?

Apa Pram masih menganggapku kekasihnya?

Dante merasakan perubahan Angel dibawah sentuhannya. Wanita itu menegang, seperti tersentak akan sesuatu.

"Maaf Sir, Bu Nadine ada di sini ingin bertemu."

Suara interkom dari sekretarisnya membuat mereka terkejut. Dante menekan tombol.

"Baik. Suruh dia masuk."

Tahu kalau ini adalah kesempatannya untuk kabur, Dhania segera pamit. "Kalau begitu s-saya permisi."

Kali ini dia benar-benar tidak berhenti berjalan sampai pintu ruangan terbuka dan menampakkan wanita cantik nan anggun. Nadine, sang Manager Accounting, yang akan menemani perjalanan Dante ke Bali. Mereka saling bertukar senyum sebelum pintu akhirnya tertutup.

~~

Aku kelainan jantung!

Usai kejadian di ruang CEO tadi, ternyata efeknya masih tertinggal sampai sekarang. Debaran jantungku tidak mau kembali normal juga, padahal sudah lewat tiga jam lebih sejak aku keluar dari sana! Suhu tubuh ini juga seperti mengkhianatiku. Hawa panas di wajah yang berkebalikan dengan hawa dingin di telapak tanganku, menandakan aku seperti masih berada bersamanya.

"Woyy.... dari tadi gue tungguin ternyata lo masih di sini? Ayo cabut, laper nih."

Aku terlonjak kaget. Tahu-tahu, Silla sudah berada di mejaku untuk mengajak makan siang.

Ya ampun! Melantur di jam kantor betul-betul tidak sehat. Aku jadi tidak memperhatikan sekitar, sampai janji makan siang dengan Silla terlupakan.

Aku buru-buru mengambil dompet dan ponsel. Melangkah dengan Silla ke arah lift. Di perjalanan, aku menonaktifkan airplane mode sehingga ponselku bisa menangkap sinyal seperti semula. Sampai depan lift, sudah ada Agil dan Mas Dimi. Antrian yang sepi menunjukkan bahwa semua karyawan menggunakan waktu makan siang dengan sebaik-baiknya.

"Lo mau makan bareng kita, Mas?" Tanyaku, berdiri di sampingnya. Sekilas, aku melihat gerak gerik Silla yang gusar.

Kenapa nih anak?

"Enggak. Gue mau ke runway." Jelasnya sambil lalu karena sibuk dengan iPad di tangannya.

"Runway?" Tanyaku tak mengerti.

"Noraknya kumat deh nggak tau runway. Landasan pesawat, dul." Agil menjawab kebingunganku.

Mas Dimi masih sibuk sendiri, aku makin ingin tahu. "Lo mau kemana emangnya?"

"Bali. Ini juga dadakan."

Hah?

"Ngapain ke Bali?"

"Anak kecil nggak perlu tau urusan orang dewasa." Tiba-tiba hidungku sudah dipencet olehnya. Kampret!

Kutepis tangannya, si kampret malah senyum pepsodent.

"Bukannya yang nemenin tuh Bu Nadine ya?" Tanyaku lagi.

"Iya. Jadi bertiga."

Oh..

"Trus udah bilang mama? Baju lo gimana?"

"Udah beres semua." Ia mengambil kunci mobil dari saku celana dan disorongkan kepadaku.

"Nih kunci mobil gue. Entar lo bawa pulang aja ya. Gue berangkat bareng Mr. Dante."

"Oke." Aku memasukkan kuncinya ke dalam dompet.

"Mobil gue jangan sampe lecet, lho." Ia mewanti-wantiku.

"Najong! Malah lebih sayang sama mobil ketimbang gue. Mobil lo kan di asuransi, gue enggak."

"Soalnya dia nggak sebawel elo!" Ia tertawa. Yang lebih rese', Agil dan silla pun tertawa mengiyakan pernyataan Mas Dimi. Dengan sebal aku misuh-misuh padanya. Ia malah mengelus puncak kepalaku iseng sampai rambutku berantakan. Kupukul bahunya sebagai balasan. Tawanya berhenti, lalu ia mencium keningku.

"Ati-ati ya, Mas. Bawain gue oleh-oleh yang banyak." Aku nyengir. Dia mengangguk.

Tepat saat denting lift terbuka berbunyi, mendadak tanganku disambar dan aku ditarik paksa untuk mengikutinya. Sebelum aku tahu siapa pelakunya, sebuah suara dingin menyadarkanku.

"Aku ada urusan dengannya. Kalian silahkan masuk lift!"

Tak salah lagi. Itu Dante!

Suaranya lebih terdengar penuh emosi tertahan ketimbang perintah. Dan aku hanya bisa pasrah saat ia membawaku pergi dengan cengkeraman tangannya yang kuat menggenggam tanganku.

Sampai di ruangan yang ternyata adalah ruang kantornya, kami masuk lalu ia menyenderkanku dibalik pintu. Kami begitu dekat, ia memeluk pinggang dan tengkukku.

"Sayangku, ahh.... akhirnya aku mendapatkanmu."

Jantungku berdegup kencang saat kalimat itu dibisikkan ke telingaku. Seketika tubuhku merasakan gelenyar aneh. Tubuhku meremang. Dan tanpa sadar lenguhan tertahan keluar dari mulutku ketika bibirnya mengecup bagian bawah telingaku dengan perlahan. Aku meleleh. Antara bingung dan terbawa suasana, aku merapatkan tubuhku dalam pelukannya.

Sial!

Ini tidak boleh! Hanya dengan kekasihku saja harusnya aku merasa seperti ini. Tapi nyatanya, aku pun menyukai sentuhan pria yang mendekapku sekarang!

Kutengadahkan kepalaku dengan susah payah hingga mataku menatap matanya.

Positif!

Dalam kedua mata berkabut Mr. Dante, atasanku, terpampang jelas gairah yang menggebu. Begitu jelasnya, hingga aku kesulitan setengah mati untuk menelan ludah.

Sekarang ia memelukku.

Aku berusaha mengendurkan rangkulannya. Karena aku ingin tahu arti dibalik ini semua. Aku tidak mau mengikuti arus nafsunya yang perlahan tapi pasti menumpulkan akal sehatku. Jadi, sebelum aku kehilangan kewarasan, aku berusaha menjauh dari tubuhnya.

"Be mine, baby."

Aku tertegun. Walau bisikannya teredam dibalik lekuk leherku, kalimat itu masih bisa kudengar. Ia mengangkat wajahnya dan menangkup pipiku dengan satu tangan.

"A-apa maksudmu?"

Kerongkongan yang kering membuat kalimatku tersendat.

"Aku tak tahu apa yang terjadi padaku tapi aku tahu satu hal, aku sangat tidak nyaman tiap kali melihatmu bersama Dimitri."

Aku shock!

Kalau ada kata lain untuk menggambarkan sesuatu yang melebihi 'shock', maka itulah keadaanku sekarang.

Dia?

Cemburu?

Well, oke. Teknisnya, ia memang tidak mengatakan itu dengan gamblang. But, you see the similarity within the words, don't you? And if there is a jealousy, there is a feeling, right?

Is he falling in love with me?

Aku serasa ingin muntah memikirkannya. Ngeri sendiri dengan pemikiranku barusan. Bagaimana mungkin seorang lelaki tampan, CEO perusahaan besar dan terpandang, bisa memiliki sebuah perasaan istimewa terhadapku?

Mustahil, kan? Iya, kan?

Dan, apa katanya tadi?

Dimitri? Ia cemburu saat aku bersama kakakku sendiri?

Dia gila atau apa???

....

....

Deg!

Aku baru sadar. Ia belum tahu apapun mengenai hubunganku dan Mas Dimi. Crap!

"A-aku dan Mas D-dimi..."

"Leave him, baby. Jangan menyiksaku lagi."

"Tapi..."

"Tolong pertimbangkan dulu ucapanku. Baru setelah aku kembali lagi, beri aku jawabanmu."

Selanjutnya, ia mencium keningku lembut. Dengan penuh perasaan. Perutku bergolak. Seakan ribuan kupu-kupu berkepakan di dalam sana. Hatiku berdesir merasakan pengakuannya yang bagai petir di gurun pasir.

Dia melepas pelukannya lalu pergi meninggalkanku sendirian di ruangan ini. Sedetik kemudian, aku meluruh ke lantai. Kakiku lemas. Aku coba mencerna kejadian barusan. Tapi, otakku kosong.

Yang mengganjal, dia tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan.

~~

From: Jeng Silla

Gue di belakang. Kanopi ujung. Hurry!!!

Aku cepat-cepat berjalan menuju spot yang diinstruksikan Silla melalui sms. Setelah masuk ke dalam kafe, mataku mencari dua makhluk binal versi majalah trubus itu.

Agil melambaikan tangannya. Aku menuju meja mereka. Belum-belum perutku mulas duluan melihat tatapan menusuk dari Silla. Aku tahu, ini saatnya "pengadilan".

"Jelasin!"

See?

Belum juga pantatku ajeg duduk di kursi, Silla sudah segarang ini. Mau tidak mau, aku menceritakan seluruhnya. Reaksi pertama datang dari Agil.

"Kenapa lo nggak bekep aja mulutnya pake beha biar lo bisa jelasin sampe tuntas?"

Aku meliriknya tajam. "Gil, sumpah ya, ini serius tau!"

"Menurut gue, Dhani nggak harus jelasin apa-apa." Silla menengahi dengan santainya, sedangkan aku mengerutkan kening.

"Iya, lo nggak punya kewajiban buat jelasin apapun ke dia selama itu nggak penting buat lo. Except, you have a crush on him too. So, do you?"

Nah, itu dia masalahnya.

Seandainya hatiku tidak terombang-ambing seperti sekarang, mungkin aku punya jawabannya.

"Gue...."

Drrrt drrrrt...

Ponselku bergetar. Ada panggilan masuk dari nomor yang tidak kukenal. Cukup lama layarnya kutatap. Biasanya, aku malas menyahuti telepon asing. Aku tidak suka ada orang yang tidak jelas menghubungiku.

Belum sempat aku menjawab, panggilan itu berhenti. Menyisakan notifikasi panggilan tak terjawab.

Aku kembali memandang wajah teman-temanku yang balas menatapku sambil mengunyah makan siangnya.

Jujur, aku tak bisa menjawab apa-apa. This is too good to be true.

Iya, ini impian semua wanita kan? Impian untuk mengatakan "yes" kepada seorang lelaki yang mengatakan "be mine" dengan begitu berharapnya?

A dream of a single lady.

But, me?

Drrrt drrrrt...

Ponselku bergetar lagi. Entah karena angin apa, aku menggeser layar untuk menjawab telepon dan mendekatkan telingaku ke speaker.

"Halo..."

"...."

"Halo..." Ulangku lagi.

"Dhania."

Aku menegang. Untuk sesaat aku tidak percaya dengan apa yang kudengar. Dalam satu hari, aku bagai disambar petir sebanyak dua kali!

Aku jelas mengenal suara ini. Ini adalah suara yang kutunggu dari berbulan-bulan lalu. Demi mendengarnya lagi, aku rela menatap layar ponsel berjam-jam di hari-hari tersuramku yang telah lewat. Suara yang kurindukan sekaligus suara yang membangkitkan kepahitan dan kemarahan yang kualami selama ini.

Tanganku mulai gemetar. Ponselku hampir terlepas. Suara yang datang dari mulutku selanjutnya terasa berat. Dan aku hanya mampu berucap lirih.

"Pram..."

~~

Hi,

Ciyee yg galau... :D

Perjuangan nih jeng nulisnya. Tolong appreciate ya. Jd, jgn komen semisal "lanjut dong thor/kpn update thor/cpt update dong biar ga keburu lupa" lagi. Krn jujur, gue malah jd kehilangan mood nulis klo baca begituan. Kegiatan gue kan ga cuma watty-an. Disemangatin malah lebih enak. Beneran. ^_^
Trs itu gue sisipin foto sebagai Dhania. Semoga suka.

Voments are always welcomed, guys. See ya...

Continue Reading

You'll Also Like

1M 3.9K 16
seorang remaja polos bernama calista kelas 12 sma menjadi babu di rumah keluarga kaya raya tapi ternyata bos nya menyukasi gadis remaja ini Rey seora...
43.6M 2.3M 96
SERIES SUDAH TAYANG DI VIDIO! COMPLETED! Alexandra Heaton adalah salah satu pewaris Heaton Airlines, tetapi tanpa sepengetahuan keluarganya , dia men...
1.7M 65.9K 73
Bukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.
582K 119K 41
Reputation [ rep·u·ta·tion /ˌrepyəˈtāSH(ə)n/ noun, meaning; the beliefs or opinions that are generally held about someone or something. ] -- Demi me...