KALE [END]

By SiskaWdr10

49.1K 3.1K 365

[Series stories F.1 familly] ⚠️Bisa dibaca terpisah⚠️ Tamat☑️ [Start: 19:07:20] [Finish: 26:11:20] Luka ter... More

01.Tersayang
02.Lingkungan Kale
03.Stempel pemilik
04.Kejadian silam
05.Si datar candu
06.Dua hama
07.Karangan Salsabila
08.The power of love
09.Kale keliru
10.Putri hujan
11.Bule peduli
12.Gugur
13.Pelukan hangat
14.Bundadari
15.Ancaman
16.Psycho
17.Sebuah rasa
18.Tersangka
19.Celah keuntungan
20.Duri manis
21.Momen
22.Cinta ke benci
23.Bekas luka
24.fired
25.Puncak masalah
26.Kacung
27.Tupperware
28.Wanke
30.Tumbuh
31.Pecah
32.Macan tidur
33.Bertahan
34.Sampah
35.first kiss
36.Air dan minyak
37.Jealous
38.Mabuk
39.Alasan
40.Over posesif
41.Marah besar
42.Badut
43.Omes
44.Hampa
45.Mainan
46.Roti dan susu
47.Jawaban
48.New thing
49.No LGBT
50.Story night
51.Program Gapara
52.Labil
53.Tugas
54.Taktik
55.Bertingkah again
56.Perangkap
57.Kesibukan
58.Permintaan
59.Tidak baik
60.Menjauh
61.Kado
62.Lolipop
63.Terbongkar
64.Double kill
65.Berakhir
66.Terbiasa sepi
67.Selamat lulus
68.About Tapasya
69.Kebenaran
70.Pada akhirnya
71.Milik ku [END]
hiii

29.Sekolah robot

375 29 17
By SiskaWdr10

Besok atau lusa~

                               *******

Apa maksud perfect yang Noni katakan? apakah Galang memang sebaik dan semenyenangkan itu, tanggapan Anya malah berbanding terbalik, tapi ia tidak boleh menilai seseorang dalam satu atau dua pertemuan saja. Kita lihat hari ini dan seterusnya apakah benar yang Noni katakan.

Galang duduk di kursi kantin sambil memikirkan apa yang Dika katakan. "Lang, makasih ya. Maaf juga." Ucap Wanda.

"Santai aja kali." Jawab Galang lalu tersenyum tipis.

"Oh yaudah, gue duluan ya." Ucap Wanda yang dijawab anggunkan oleh Galang.

Setelah duduk di sebelah Abigel dalam kelas Anya langsung disuguhi soal-soal ujian, melihatnya saja membuat Anya menghela nafas berkali-kali apa lagi mencoba mengerjakannya. "Duh, ini masih pagi juga."

"Nya, bentar lagi ulangan kita harus banyak belajar supaya masuk kelas unggulan." Jawab Abigel.

Orang-orang di dalam kelas juga banyak yang belajar, Anya jadi merasa orang pemalas sendiri. Tapi apa sepenting itu kelas unggulan? ia baru ingat kalau Febrianto juga akan memberikannya hadiah bila ia bisa masuk kelas unggulan.

"Kamu mau banget ya gel, masuk kelas itu?" tanya Anya. Abigel yang sedang menulis langsung menoleh pada Anya.

"Iya lah oncom!" jawab Abigel dengan suara meninggi, ia menghadap Anya. "Dengerin gue ya, di sekolah ini kalau lo masuk kelas unggulan univ yang bagus pasti bakalan nerima lo, nah kalau lo nggak milih kuliah juga pasti bakalan dapet kerja yang gajinya gede. Enak banget kan? yang dapet enaknya anak kelas unggulan yang bisa lulus dengan memegang status sebagai anak kelas unggulan. Jadi mereka mati-matian buat bisa bertahan sampe kelas tiga dan anak yang lain juga berjuang supaya pas kelas tiga dia bisa ada di kelas itu." Tutur Abigel.

Ternyata itu alasannya, pantas saja semuanya sangat berambisi untuk mendapat nilai besar, bahkan di setiap lorong sekolah ada saja ditemui anak-anak yang membaca buku tebal tentang pelajaran, mungkin ada yang masa bodo seperti Anya tapi hanya beberap saja.

Anya mengangguk. "Hm, setiap tahun kelas unggulan bertambah dong?"

Abigel yang kembali menulis mengangguk. "Nggak cuma bertambah tapi juga ada yang keluar dari kelas unggulan, sedih banget si pasti, maka dari itu kalau udah masuk kelas unggulan harus bisa bertahan. Nggak banyak kok yang dipilih paling cuma dua atau tiga orang perkelas." Jawab Abigel.

"Oh." Jawab singkat Anya. Abigel menatap sinis pada Anya.

"Yaudah belajar dong!" perintah Abigel mengomel layaknya Ibu pada anak.

Anya langsung mengambil alat tulis untuk mengikuti Abigel. "Ahhh, nyebelin banget."

Tak hanya Anya Kale juga sedang belajar bersama kedua temannya. Ralat, bukan kedua temannya hanya Kale yang belajar yang lain hanya mengiyakan dan menguap berkali-kali, apa lagi Epot.

Mereka belajar di bawah pohon yang jauh dengan keributan kelas. "Ni kalau ada si Bule lebih mudah ni mempelajari bahasa Inggris."

"Jangan bergantung sama orang." Jawab Kale, walaupun Kale pandai bahas Inggris tapi ia tak mau menerjemahkannya untuk Epot dan Jawa.

Jawa menatap Epot lalu mengambil salah satu buku di dekat Kale. "Hettt, awas ah Ujang kasep mau belajar." Ucap Jawa.

Epot mencudah kesembarang tempat. "Mencium bau permusuhan ah."

Kale fokus sendiri mengabaikan kedua temannya. "Ni pot ikutin gue ngomong agar lidah lo nggak keselimpet lagi kalau ngomong Inggiris." Kata Jawa.

Epot mengangguk senang, akhirnya ada yang membantu. "Oke."

"Mulai ya." Kata Jawa, dapat dilihat dari raut wajah Jawa kalau ia berniat mengerjai Epot. "I'm ngising-ngising batu." Ucap Jawa.

Kale langsung menoleh dan menahan tawa, Kale paham Jawa berniat mengatakan i'm singing, tapi ia pelesetkan ke bahasa Sunda jadi ngising yang artinya membuang air besar.

Wajah Jawa yang meyakinkan membuat Epot menurutinya. "I'm ngising-ngising batu." Ucap Epot.

Dua jempol untuk Epot dari Jawa. "Nah, gob-eulok." Jawab Jawa dengan suara yang di mirip-miripkan dengan Bule gila.

"Apa tu artinya?" tanya Epot.

Ah sial, kalau begini Kale gagal fokus apa lagi saat mengucapkannya Epot sungguh terlihat polos.

Jawa berdehem. "Saya bernyanyi di dekat batu." Jawab Jawa. "Again ah." Ucapnya, kalau again Epot juga tahu.

"Gasss." Jawabnya. "Njir le gue bentar lagi ngalahin Bule ni."

"Hm." Balas Kale.

"Pineapple you-you-you-" Jawa sangat bingung bagaimana cara membaca kata selanjutnya ini. Ia menggaruk tengkuknya.

"Yes-yes." Jawab Epot karena Jawa tak kunjung selesai membaca kata selanjutnya.

"No yes-yes." Ucap Jawa.

"You no, i'm yes." Balas Epot. Mengucapkan dua kata yang diulang-ulang membuat Epot merasa sangat bangga.

"Le, you no ... or yes no?" tanya Epot.

"Apaan si?" Tanya Kale bingung sendiri.

Jawa dan Epot tertawa, ternyata Kale tidak mengerti, lebih pintar Epot dan Jawa. Pikir kedua manusia aneh itu.

Bel istirahat berbunyi, baru satu langkah keluar dari kelas Anya sudah ditarik oleh Galang. "Aiiish." Ucap Anya kesal.

"Ikut gue." Ucap Galang.

Di dalam kelas ada gadis yang memandang kesal dengan kedekatan Anya dan Galang.

Yang lain tak ada yang sama sekali curiga atas kedekatan Anya yang sudah dua hari itu dengan Galang, kan memang Galang dengan siapa saja bisa dekat.

"Duh, ngapain si?" tanya Anya ketika ia dibawa ke perpustakaan.

Galang menghadap Anya dan menatapnya lekat. "Kan gue udah bilang kalau gue bakalan sering gangguin lo. Serap itu ke otak."

Kening Anya berkerut, apa untungnya juga mengganggu Anya. "Ya, terus?"

"Cariin gue buku sekarang!" ucap Galang memerintah seenak jidat.

Walau Anya bodoh tapi ia juga tak mau jika diperbudak apa lagi oleh seseorang yang baru saja ia kenal ini. "Ya cariin gue buku lah, buku paket fisika." Lanjut Galang saat Anya menatapnya.

Anya tersenyum lebar pada Galang, Galang bingung sendiri apakah sesuka itu Anya diperintahkan olehnya? tapi tiba-tiba rautnya berubah menjadi datar. "Cari aja sendiri!" Jawab Anya lalu berbalik meninggalkan Galang, dengan gerakan super cepat Galang berdiri di depan Anya.

Bruk

Kening Anya menabrak dada bidang milik Galang. "Aw." Ringis Anya sambil mengusap keningnya.

"Cari!" pinta Galang memaksa. Ah dimana letak baik yang orang-orang kira itu, tolong tunjukan pada Anya.

Dengan lancang Anya memegang tangan Galang dan mengusap-ngusapnya pelan. "Galangkan wanke, boleh dong Anya minta bantuan cariin buku." Ucap Anya dengan senyum manisnya.

Galang menepis tangannya lalu memasang wajah dingin. "Cari sendiri, nyonya tupperware!" bentak Galang.

Menyebalkan sekali, tapi Anya enggan kembali dibentak ia pasrah saja lalu memasuki perpus untuk mencari buku yang diperintahkan oleh Galang.

"Ini?" tanya Anya setelah mendapatkan buku tebal itu.

Saat Galang ingin mengambilnya, ia kembali dipanggil. "Langg!" panggil siswa yang kemarin bermain basket bersama Galang.

"Apaan, ri?" tanya Galang saat Fahri sudah berada di depannya. Alih-alih menjawab ia malah menunjuk-nunjuk ke arah ruang Guru.

"Ada apa?" tanya Galang untuk yang kedua kalinya.

"Bu Neneng keseleo." Ucap Fahri.

"Dimana?!" tanya Galang panik.

"Ruang Guru." Balas Fahri.

Mereka berlari ke ruang Guru meninggalkan Anya dengan buku pake fisikanya. "Aissshhh, anak itu." Ucap Anya kesal sendiri, ia menatap punggung Galang yang mulai menjauhi dirinya. "Galang bisa jadi tukang urut juga?" tanya Anya pada dirinya sendiri.

Gladis banyak di dekati anak laki-laki tapi ia lebih memilih dekat-dekat dengan laki-laki yang menyuruhnya untuk memanggil Kale, bukan anto-anto lagi, sepertinya nama itu sudah kuno di telinga Kale.

Mereka berdua berjalan menuju kantin. "Nanti sore gue mau kerumah lo." Ucap Gladis.

"Rumah gue nggak nerima gelandangan." Jawab Kale mengejek.

Gladis mengerutkan bibirnya. "Gembel aja terus."

"Lah emang arti nama lo apa coba?" tanya Kale.

"Gadis manis." Jawab Gladis ngasal.

Kale berdecih, pede sekali gadis ini. "Bukan, tapi gelandangan di sisi gue."

Gladis langsung berjingkat dan mengacak rambut Kale. "Sialan lo!" balasnya. Mengacak rambut Kale adalah favorit Gladis.

"Kata Bokap gue bonyok lo nanyain gue kan? mau lihat perkembangan gue yang semakin wow." Kata Gladis menyombongkan diri.

"Lupa bawa plastik lagi." Jawab Kale.

Gladis paham jawaban yang Kale maksud. "Telan aja lagi kalau mau muntah."

Menu di kantin Gapara ternyata harganya lebih mahal dari pada di Alberto, uang sepuluh ribu hanya dapat satu aqua itu juga yang berukuran kecil. Memang selalu beda jika sekolah elit, lagi pula mengapa juga Febrianto memasukan Anya ke sekolah yang lebih bagus dari pada sekolah anaknya, apa Febrianto tahu Anya ini pemalas?

"Mau beli apa, Neng?" tanya pedagang kantin.

"Eu-eu." Anya panik sendiri ia kembali berpura-pura membaca menu yang tertera.

"Mie ayam dua, dua-duanya jangan pakai daun bawang." Ucap laki-laki di belakang Anya. Anya menoleh kebelakang.

"Galang?"

Mereka duduk berdua dengan mie ayam yang Galang pesan, ia pusing bagaimana harus membayarnya pasti lumayan mahal. "Galang udah ngurut Bu Neneng?" tanya Anya.

"Hm." Jawab Galang sambil meneguk air aquanya.

"Padahal nggak usah dipesenin, Anya nggak lapar." Kata Anya berbohong.

Galang bukanlah orang yang mudah percaya. "Lagian siapa yang bilang buat lo?" tanya Galang.

Tidak jelas, Anya malu sendiri. "Lah terus kenapa Galang ngajak Anya duduk?"

"Suapin gue." Jawab Galang sambil menggeser kan dua mangkuk mie ayam tersebut.

Benar-benar Galang sangat merepotkan. "Apa?" tanya Anya.

"Cepetan!" bentak Galang.

"Gak mau." Balas Anya. "Lagian punya tangan sendiri."

Tangan Galang langsung ia arahkan pada hidung Anya, tercium menyengat bau bawang dan minyak urut, pantas saja dari tadi Anya mencium bau-bau yang tidak enak. "Huekk!" Anya langsung menutup hidungnya.

"Jelas?" tanya Galang, mengapa juga ia tidak mencucinya niatnya memang benar-benar ia lakukan membuat Anya repot.

"Kenapa nggak dicuci?" tanya Anya.

"Kalau gue cuci kerannya jadi bau bawang, udah cepetan!" perintah Galang memaksa.

Lagi-lagi Anya menurut, bisa jadi orang yang semakin bodoh Anya bila terus-terusan dibentak oleh Galang dan Kale. Sikap mereka berdua memang jauh berbeda tapi soal menyebalkan hampir sama.

Dengan sabar Anya menyuapi Galang. Satu mangkuk telah habis. Terdengar Galang bersendawa. "Lagi?" tanya Anya sambil menunjukan ke mangkuk yang masih terisi mie.

"Abisin sama lo." Jawab Galang. Sebenarnya Galang tahu dari awal Anya berdiri di dekat menu sampai ia lama memesan karena apa, alasannya itulah mengapa ia memesan dua.

"Nggak, makasih." Jawab Anya gengsi.

"Makan sendiri atau gue suapin?" tanya Galang. Dengan cepat Anya langsung menarik mangkuk mie ayam tersebut dan memakannya.

Tercetak senyum kiri di bibir Galang.

                              🐟🐟🐟

Sore harinya Anya dan Kale telah ada di rumah, Bi Isma bilang akan ada tamu yang datang jadi mereka harus menyiapkan makanan, inilah hidup Anya sekarang tidak ada waktu untuk beristirahat walau sebentar saja.

"Hati-hati itu minyaknya panas." Ucap Bi Isma pada Anya yang tengah menggoreng sambal.

Mereka sibuk menyiapkan ini dan itu, Ica sendiri tengah ditemani oleh Abangnya di teman belakang. Saat tengah sibuk-sibuknya bel rumah berbunyi. "Aku aja yang buka, Bi." Kata Anya pada Bi Isma yang akan membuka pintu, Bi Isma mengangguk dan Anya pun berjalan kedekat pintu.

Gadis di depan Anya ini sungguh asing, entah siapa tapi yang jelas dia sangat manis. Anya tersenyum lebar padanya dan ia pun membalas senyuman Anya. "Nyari siapa?" tanya Anya.

"An- Kale." Jawanya.

"Oh ada kok." Kata Anya. Gladis memperhatikan Anya, siapa Anya ini?

"Kamu siapanya?" tanya Gladis.

Anya tersenyum hingga terlihat gigi rapinya. "Aku pa-"

"Kacung." Jawab Kale menyeka.

Anya menoleh kebelakang, Kale mendekati kedua gadis itu. "Pembokat baru di rumah ini, ayo masuk Bunda ada di atas." Jawab Kale membuat Anya terdiam seribu bahasa.

Gladis juga bingung mengapa ekspresi Anya langsung sangat berubah padahal tadi ia sangat ceria. Kale menarik tangan Gladis dan membawanya kedalam. "Tapi Le it-"

"Udah nggak penting." Jawab Kale mengabaikan Anya yang menahan sakit di hatinya.

Pilunya berkali-kali lipat ketika seseorang membuatmu istimewa kemarin, tapi sekarang dibuat sangat tidak berati.

Kale membawa Ica dan Gladis ke kamar Risa, sedangkan Anya ia memilih kembali ke dapur dengan wajah yang sedih.

"Nya ay-"

Ucapan Bi Isma terhenti saat melihat wajah Anya, Anya mendekati Bi Isma lalu tersenyum seolah baik-baik saja. "Sini aku yang goreng." Ucap Anya sambil mengambil spatula dari tangan Bi Isma.

Bi Isma tak memberikannya pada Anya. "Kenapa atuh?" tanya Bi Isma.

Anya mengipasi wajahnya sendiri agar tidak menangis. "Anya gerah banget bi, ada pekerjaan di luar yang bisa Anya kerjain nggak? sekalian cari angin." Ucap Anya.

Ada masalah pada Anya, Bi Ismi akan bertanya lain kali saja. "Siramin bunyanya Bunda Risa aja gih, di depan." Balas Bi Isma.

Sebagai balasan Anya memberikan jempol pada Bi Isma. Ia keluar dengan menahan air matanya, kalau di bilang cengeng memang Anya cengeng. Ia mulai menyirami bunga-bunga indah milik Risa.

Di atas sana hati Kale tak tenang telah mengatakan hal itu pada Anya. "Papi Anto pulannya malem ya, Bun?" tanya Gladis.

Risa mengangguk. "Kamu mau nunggu?"

"Nggak-nggak, repot Bun." Ucap Kale menyangkal.

Gladis memandang sinis pada Kale. "Ge-er banget kamu, Le. Lagian Gladis udah mandiri ya sayang?" tanya Risa. Gladis mengangguk senang merasa di bela.

Kale memutar bola matanya malas. Ica sendiri banyak diam. "Ica main sama aku yuk?" ajak Gladis dengan senyum tulusnya.

Ica mengangguk senang, ia tidak kenal Gladis walau Gladis mengenalnya. Ica, Bunda dan Gladis bermain bersama sedangkan Kale merasa resah sendiri.

"Ada apa, Bang?" tanya Risa peka terhadap anaknya.

"Abang mau ke bawah dulu sebentar." Jawab Kale yang diberi anggukan oleh Risa begitupun Gladis.

Bunga milik Risa sangat terurus dan tumbuh menjadi indah, keindahannya sampai membuat Anya tersenyum walau hatinya tengah berdenyut sakit.

"Bunga juga bakalan layu kalau nggak di sayang dengan cara mengurusnya, begitupun perasaan, ia bakalan hilang bila terus-terusan di-"

"Ngapain lo?" tanya Kale yang tiba-tiba ada di belakang Anya. Anya terkejut terciduk bicara dengan bunga.

Ia menunduk karena takut menangis bila menatap mata Kale. "Ini-an-"

"Jangan bilang mau ngerusak bunga, Bunda!" bentak Kale.

Ada masalah apa dengan Kale ini sangat suka membentak Anya?

"Nggak." Jawab Anya sambil sesekali memandang Kale. "Anya la-la-lagi nyiram bunga punya Bun-"

Ucapan Anya terhenti, ia melihat pada Kale yang sedang memperhatikannya bicara. "Punya Tante Risa." Jawab Anya.

Kale sendiri yang memintanya untuk memanggil itu, tapi ketika Anya ucapkan Kale malah merasa sedih dalam hati.

"Bagus." Ucap Kale seraya tersenyum kiri. "Selain jadi babu lo juga cocok jadi tukang kebun." Lanjutnya tanpa memirkan perasan Anya.

Anya hanya menjawab dengan anggukan kecil, ia tidak ingin memasukan ucapan Kale dalam hati tapi apalah daya hati tidak bisa ia kontrol. Sakit, tetap sakit. Setelahnya Kale pergi menemui teman-temannya yang sedang di rumah sakit.

Bule lebih membaik sekarang, mungkin berkat dihibur oleh para teman-temannya yang mirip dengan warga kebun binatang itu. Sebuah hadiah terindah memang memiliki teman asik mereka.

Kale datang tepat disaat Epot mulai bercerita, Kale duduk di sebelah kiri Bule sedangkan Jawa dan Epot berada di sebelah kanan. "Serius gue ni, ceritanya gini- hahaha."

Menyebalkan belum cerita sudah tertawa, Kale yakin pasti cerita Epot garing dia saja yang mudah tertawa dengan hal-hal sepele. "Si Daus kenal nggak? si cibey-cibey itu dipanggilnya." Ucap Epot.

Daus atau dikenal Cibey adalah tetangga Epot yang sangat kecanduan bermain judi hingga ia putus sekolah, orang tuanya pun sampai menyerah untuk mengurus anak itu, usianya satu tahun lebih mudah dari pada mereka berempat.

Jawa dan Bule mengangguk, Kale seperti biasa hanya bagian menyimak. "Dia -hahaha!"

Lagi-lagi Epot tertawa, sebelum mulai cerita. "Panggil Dokter minta suntik mati, Wa." Ucap Bule.

Jawa pura-pura bangkit dengan cepat Epot tahan. "Ehhh, hahaha!"

"Jirr, bubar gak lo pada!" amuk Bule kesal. Sikap Bule sudah kembali.

Rasanya sangat menggelikan bagi Epot untuk menceritakannya. "Bentar deh gue ke kamar mandi dulu." Ucap Epot sambil terus tertawa geli.

"Siap aja lo pot kalau garing gue tendang ke Arab." Kata Jawa.

Di dalam kamar mandi Epot kembali tertawa membayangkannya, suara tawa Epot sampai terdengar ke luar. "HAHAHA!" tawa Epot sambil mengetuk-ngetuk dinding kamar mandi ruangan VIP milik Bule.

Ketiga laki-laki itu terdiam, aneh sekali Epot. Saat keluar dari kamar mandi Epot masih saja tertawa bahkan sampai mengeluarkan air mata. "Udah nggak usah cerita dah." Kata Epot karena ia tak bisa berhenti tertawa.

"Dok-dok." Panggil Bule menakut-nakuti.

"Ehh anjir jangan!" jawab Epot. "Oke-oke gue mulai, ia menarik nafas lalu saat ingin kembali tertawa Bule sudah memandangnya horor. "Si Cibey emaknya kan gitu-gitu juga paling mentingin fashionnya, nah dia beli dress yang bagian dadanya ada blink-blinknya gitu, mahal lah pokonya." Semua terdiam menyimak. "Malam minggunya si Cibey mau judi nggak ada duit, nah inisiatip dah tu anak jual dress emaknya ke Emaknya si Angga, tau kan lo pada? tetangga gue juga, sama-sama lah Emaknya mentingin fashion gitu, saingan lah sebutannya, kejual dah tu dress ke mak nya si Angga, Maknya si Angga nggak tau itu yang Mak si Cibey karena emang baru banget beli. Nah, pagi harinya emaknya si Angga mau pamer tu Ke Mama gue, dia lewat rumah si Cibey kebetulan Maknya si Cibey lagi maskeran pakai masker apa tu ya warna kuning, dia juga sadar dong kalau dress Maknya si Angga mirip banget sama yang punya dia." Tutur Epot menahan tawa. "Disamperin kan, terus ditanya-tanya jujur lah tu emaknya si Angga kalau dia belinya di si Cibey, anjing keterusannya mereka berdua- Hahahah! sumpah men ngalahin Bule lawan anak Alberto."

Sebenarnya tidak terlalu lucu tapi Epot tertawanya sangat menggelikan sekali sehingga membuat semua ikut tertawa termasuk Kale. "Hahaha! terus gimana maskernya?"

"Skil cewek kalau ribut, jenggut-jenggutan kan itu mah masker kuning Maknya si Cibey kemana-mana udah kaya tai." Lanjut Epot membuat Jawa tertawa renyah.

"Tolol banget ya punya anak satu." Ucap Jawa.

"Hahaha! Iya setan, lebih parahnya Mak Cibey minta balikin karena belum lunas, lah anaknya mah aman-aman aja maen kartu." Kata Epot.

"Durjana-durjana." Kata Epot. Semuanya tertawa bersama melupakan beban yang mereka punya masing-masing.

"Gue mau ngomong." Ucap Kale setelah tawa mereka terhenti. Semua menatap pada Kale.

"Kenapa?" tanya Bule lebih dulu.

Kale menceritakan semua tentang Anya dari mulai ia bertemu di depan minimarket sampai menjadi asisten di rumahnya, karena disitu yang tahu hanya Jawa. Semua terkejut, tapi enggan berkomentar karena Kale punya alasannya sendiri.

"Terus sekolah di mana dia?" tanya Epot.

"Sekolah robot." Jawab Kale.

Semuanya langsung paham. "Keras juga bokap lo nyekolahin Anya di situ." Ucap Jawa. Bule terdiam.

"Biar nggak males." Jawab Kale.

Keempat laki-laki itu mengetahui SMA Gapara, selain terkenal dengan prestasinya yang cukup banyak, SMA Gapara juga memiliki ketua pertahanan di bidang pertarung jalanan yang sulit sekali dikalahkan, ketuanya Ray. Yaps, si anak nakal yang bermain sangat handal. Ia sempat tidak naik kelas dan tidak lulus akibat ikut turun ke jalan, luar biasa hebatnya sekolah satu itu walaupun Ray bermain cantik tetap saja dapat tertangkap. Bule berteman baik dengannya.

"Gua bakalan sekolah disitu." Kata Bule. "Nenek udah nyari pengacara buat bebasin gue, jujur gue nggak minta, tapi ya namanya orang tua."

Semuanya langsung memandang pada Bule. "Gue nggak setuju." Balas Epot. "Lo kalau disatuin yang sesama durjana makin parah."

Jawa mengambil pir di nakas lalu menggigitnya. "Nggak akan kali, kapok si Bule juga masuk sel lagi."

Kale tersenyum kiri. "Kapan, Le?"

"Nggak tau gue, padahal gue udah akrab tu sama Bapak-Bapak yang mandi sebulan sekali." Ucap Bule.

Epot dan Jawa bergidig ngeri. "Idiot ih." Celetuk Jawa.

"Dia doang yang paling baik dan lumayan agak waras si dari yang lain." Jawab Bule.

"Ya seengganya Le, mabok lancar dong, tak ada amer ketek pun jadi." Ucap Epot.

"Hahaha, sebelah dua belas lah sensasinya yang penting halal ya, Le." Tandas Jawa.

Kale tersenyum kiri. "Opini gue fine-fine aja si kalau Bule berteman sama manusia kaya gitu, nggak ada salahnya juga kalau Bule berteman sama orang yang lebih absurd dari dia semacam Ray, yang penting Bule harus bisa ngontrol diri supaya nggak ikut-ikut nambah jelek. Gue sama Ica dididik sama Bokap buat bebas berteman sama siapa aja, asal bisa jaga diri dan tetap di jalur kita. Bokap sempet cerita ke gue, semasa dia SMA mendekati hari ujian prakteknya, dia bener-bener buntu nggak bisa mainin salah satu alat musik, minta bantuan temen? sibuk parah. Pakai Guru pembimbing? masalahnya di pulus nggak aman. Salah dia juga selama orang-orang persiapan uprak dia malah santai-santai aja, alhasil dia belajar gitar dari orang gila di pinggir jalan, orang gila itu dulunya punya mimpi tinggi buat jadi musisi tapi sayang gagal di biaya, kemana-mana selalu bawa gitar. Agak terdengar bodoh tapi ini beneran terjadi, finally-nya bokap gue mutusin berteman sama orang gila itu supaya dia mau ngajarin main gitar, setiap hari bokap gue bawa satu bungkus rokok buat mereka sebat berdua, Mereka akrab dan berteman? Jelas. Bahkan orang yang lewat hampir bingung bedain bokap gue sama orang gila itu, mana yang gila aslinya, tapi hasilnya luar biasa dia mau ngajarin bokap gue main gitar sampai mahir, lebih gilanya bokap dapet nilai sempurna dari temen-temennya yang pakai guru pembimbing." Tutur Kale bercerita. Sedari tadi mereka bertiga menyimak dengan serius karena ceritanya sangat menarik dan punya moral yang cukup besar.

"Ajib, gile. Terus gimana?" tanya Jawa.

"Ya, gitu. Jadi bokap nggak pernah masalahin gue mau berteman dengan siapun asal gue bisa ambil sisi positifnya, dia percaya gue sama Ica nggak akan bodoh buat ngelakuin hal yang ngerugiin diri sendiri. Buktinya ini, kalian sama gue bisa seakrab ini, padahal berkali-kali lo pada masuk ruang BK, turun ke jalan dengan nyawa taruhannya. Apa gue ikut-ikutan? absolutely not, nggak. Gue nggak mau nakal tapi nggak mau juga jadi kutu buku." Ucap Kale.

Epot mengangguk-ngangguk paham dengan cerita Kale. "Alhasil jadi kutu kupret tukang dakwah?"

"Hahaha." Tawa ketiga teman kampret Kale.

"Pantesan hasilnya mantep, yang ngedidiknya mantan temen orang gila." Kata Bule pada Kale.

"Yhaaaaa!" balas Epot dan Jawa lalu menertawakan Kale. Sialan memang.

Tapi sejujurnya, cerita Kale sedikit mengetuk pintu hati ketiga temannya ini. Terutama Bule yang akan segara sadar atas tindakannya yang selalu merugikan banyak orang. Bule melihat pada Kale dan tersenyum sedih.

Cemburu paling berat itu, cemburu ke seseorang yang punya keluarga lengkap. Batin Bule.

"Eh! tapi beda cerita kalau gue yang berteman sama orang gila." Kata Epot.

"Langsung merepasi lo mah gilanya, udah ketebak banget sumpah." Balas Jawa.

Kale tersenyum tipis. "Bisa jadi juga orang gilanya langsung waras karena nggak kuat berteman sama lo, lo sendiri doang yang gila." Lanjut Bule. Epot jadi biang sasarannya.

"Saraf lo, emang gue jimat." Kesal Epot. Semua tertawa puas.

                              ******

1.Gladis

2.Bule


Continue Reading

You'll Also Like

4.9K 626 46
Orion itu, menyebalkan, mengesalkan, play boy cap kaleng-kaleng yang sangat tengil plus jahil. Manusia pertama yang Bintang benci. Bintang itu bar-ba...
11.5K 1.7K 38
Dear Baskara : ❝Teruntuk Manusia kuat yang masih bernafas dibumi❞ Mencintai dalam dendam, kehancuran, dan mental yang harus dipertanyakan. Seolah se...
839K 23.5K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
252K 9.4K 41
[SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE. FOLLOW UNTUK BISA MEMBACA] Cowok songong,kasar,dan menyebalkan yang pengen banget jadi pacar april,walau udah ditolak! C...