Pengasuh Unfaedah

By Nastarzf2

22.1K 2.6K 1.7K

[UP tiap SABTU.] "Kerja di sini harus GOOD LOOKING!" "Dih, kerjaan kok mandang fisik?" Azka Aji Nugraha ad... More

One πŸŒ™
TwoπŸŒ™
Three πŸŒ™
Four πŸŒ™
Five πŸŒ™
Six πŸŒ™
Eight πŸŒ™
NineπŸŒ™
TenπŸŒ›
Eleven 🌜
Twelve πŸŒ›
Thirteen πŸŒ™

Seven πŸŒ™

1.2K 198 128
By Nastarzf2

Ada yang kangen sama story ini?

***

"Tidak ada yang bisa menebak akhir cerita, selain pencipta cerita itu sendiri."

***

Azka melanggar permintaan Kaira.

Azka sadar apa yang dia lakukan itu tidak benar. Tapi, ia tidak bisa menyangkal perasaan dan tidak bisa memendam semuanya. Ia akan menanggung semua konsekuensi termasuk jika dipecat. Ia bisa menghadapi itu kecuali satu hal.

Penolakan.

Please Nda, jangan nolak gue.

Amanda menghela napas, dan tidak memudarkan senyum dari bibirnya. Bahkan saat Azka menyentuh tangannya, cewek itu bergeming. "Nggak."

"Nggak nolak, kan?" Azka masih positive thinking.

"Nggak mau beneran."

JEDARRRR!

Untuk pertama kali, cowok itu broken heart. Namun, Azka tidak terlihat kecewa, seolah sudah menduga bahwa Kaira benar: tidak ada seorangpun yang akan menyukainya karena dia jelek. JELEK.

Azka benci kenyataan bahwa ia tidak good looking.

Mendadak, cowok itu jadi sad boy.

Mengsedih.

"Nggak apa-apa. Serius, gue nggak apa-apa," jawab Azka sok tegar, padahal hati sudah meronta-ronta.

"Lo akan tetap berteman dengan gue, kan?"

"Iya."

Azka berdiri, beranjak pergi. Meski ia terlihat baik-baik saja, cowok itu tidak bisa menyangkal bahwa ditolak rasanya menyedihkan. Dadanya sesak. Meski begitu, ia tidak mau Amanda merasa tidak enak dan kasihan.

"Ka!" Amanda menyusul. Wajahnya terlihat khawatir. "Gue harap lo nggak marah sama gue. Tapi gue bener-bener nggak bisa nerima perasaan lo."

"Jangan susul gue." Azka malah ngedrama.

"Gue kira lo marah, Ka."

"Nggak. Gue nggak marah." Azka menggeleng. "Tapi emang waktunya gue kerja. Jadi gue pamit."

"Lo kerja? Di mana?"

"Deket sini, kok." Azka menjelaskan. "Tadinya gue pengen kerja, tapi gue ngeliat lo jadi gue ke sini."

"Deket sini?" Amanda mengernyitkan dahi dan melihat sekeliling. "Jangan-jangan lo ya, yang kerjanya nyolong tali pocong yang masih baru?"

Azka menggeleng panik. "Sumpah bukan gue!"

"Terus? Kerjaan apa?" Cewek itu memicingkan mata curiga. "Di sini nggak ada apa-apa selain kuburan."

"Gue ..." Azka menelan saliva. Dia bingung harus menjelaskan apa. Akhirnya, cowok itu menghela napas panjang dan memilih jujur. "Sebenernya ..."

"Sebenernya apa?"

"Sebenernya, gue peng--"

"Penggali kubur?"

"Ah iya itu!" Ketika mengatakan itu, Azka memukul bibirnya sendiri. Ah, salah. Padahal bukan itu maksudnya. Tetapi tak masalah, karena Amanda percaya dan menganggukkan kepala.

"Oh. Semangat ya, kerjanya."

Azka tersenyum. Tidak ada beban setelah mengungkapkan perasaan, dan cowok itu merasa ringan sekarang. Setidaknya ia tak perlu overthinking lagi. "Lo juga semangat."

Keduanya berpisah.

Kalau saja cowok itu punya uang, tampang akan termaafkan. Azka bertekad akan menyelesaikan pekerjaannya, mendapatkan gaji dan mengejar Amanda kembali. Cowok itu nggak akan nyerah sampai sini.

"Berada di pelukanmu, mengajarkanku ... Apa artinya kenyamanan, kesempurnaan ..." Azka pulang sambil bernyanyi-nyanyi kecil. "Kekeluargaan, kebersihan, kebanjiran, kemalingan--"

Ketika sampai, ia sudah disambut dengan pelototan marah dari Kaira. Cewek itu melipat tangan dan mulai memaki-maki Azka.

"Lama banget, sih! Ngapain lo ke kuburan? Nakut-nakutin pelayat?" tuduh Kaira sebal sambil menunjuk jam tangan. "Lo tau nggak gue udah nunggu berapa lama? Dua menit! Lo udah buang-buang waktu berharga gue! Setan!"

Azka hanya geleng-geleng. "Dua menit buat ngerebus mi aja masih belum empuk."

"Bacot. Rumah udah lo bersihin belum?"

"Iya bentar, gue bersihin sekarang."

"Ka." Kaira menarik seragam Azka begitu menyadari ada yang aneh. "Itu noda apa?"

Azka melirik noda spidol yang mengotori seragam putihnya. "Oh, ini tadi--"

Lagi-lagi, ponsel Azka berdering. Cowok itu menemukan nama Ibu Negara tepat di layar ponsel. Azka memberikan kunci rumah pada Kaira, lalu mengangkat telepon.

"Iya Bun, kenapa?"

"... "

"Heh! Lo telponan sama siapa, sih?!" desak Kaira yang kesal karena tak diperhatikan. "Lo udah bersihin rumah belum? Gue nggak bayar lo buat telponan! Heh, Bangsat!"

"Diem, Ra." Azka memberi isyarat.

"Apa gue peduli? Dasar nggak professional!"

Kaira yang kesal memilih masuk ke dalam rumah, dan Azka melanjutkan telponnya. "Bentar, suaranya kresek-kresek. Aku loudspeaker dulu, Bun."

"Siapa yang bareng kamu itu? Ngomongnya bangsat-bangsat, kayak nggak pernah disekolahin!"

"Setan kali, Bun. Ada apa?"

"Kamu ke mana? Pulang sekarang!"

"Kok Bunda tau? Bunda di kost?" Azka terbelalak.

"CEPAT PULANG ATAU BUNDA CORET KAMU DARI DAFTAR AHLI WARIS!"

Azka mengelus telinganya yang berdengung karena teriakan sang Bunda. "Iya, Bun. Aku pulang sekarang. Aduh, kenapa Bunda nggak ngabarin, sih?"

"Biar suprise dong, Zeyenk."

"Suprise itu mendadak dikasih satu milyar, kek."

"Mau bantah kamu, iya? Bunda kutuk jadi batu akik mau?!"

"Iya Bun, maaf--"

Tut. Tut. Tut.

Telepon ditutup secara sepihak. Azka menghampiri Kaira yang memainkan ponsel di ruang keluarga. "Ra, maaf gue pulang duluan. Bunda gue nelepon."

"Lo pikir lo bisa ngehindar pake alasan kayak gitu?!" Kaira melotot. "Lo pikir gue tolol?!"

"Sedodol dodolnya gue, gue nggak akan bohong pake nama Bunda. Ntar kualat lagi. Gue pamit. Sampaikan permintaan maaf gue ke Tante Rose."

"Ye, kalo inget."

Azka buru-buru mengendarai motornya cepat, hampir saja ia menyenggol kendaraan lain karena terlalu panik. Cowok itu mengambil jaket yang ia taruh di laundry kemarin, dan kembali tancap gas.

Jangan-jangan, ada sesuatu yang gawat?!

Sebelumnya, bundanya selalu mengabari tiap akan mengunjungi kosan. Tapi, entah kenapa hari ini mendadak beliau datang. Pasti ada sesuatu. Azka yakin itu, dan penasarannya akan terjawab jika ia segera datang dan menemui bundanya.

Begitu berada di kosan, Azka mengenakan jaketnya dan berdiri berhadapan dengan sang Bunda. Napasnya terasa memburu. "Bunda? Ada apa?"

"Azka." Bunda memegang pundak putra sulungnya dan mengguncang-guncangkannya. Wajah wanita itu terlihat cemas. Azka jadi ikutan panik.

"Ada apa? Terjadi sesuatu sama Ayah?"

"Enggak."

"Ada tsunami dan kalian terpaksa mengungsi?"

"Enggak."

"Eca sama Eci bikin dapur kebakaran?"

"Enggak,  Zeyenk." Bundanya lagi-lagi menggeleng.

"Terus, ada apaan?"

"Kenapa kamu khawatir sama kita, sih? Harusnya khawatirin dirimu sendiri! Kamu nggak kekurangan gizi kan, di sini? Ya ampun, kenapa kamu kayak lidi begini?" Bundanya mengunyel-nguyel pipi Azka. Tetap saja, di mata wanita itu Azka hanyalah anak kecil.

Inilah alasan kenapa Azka ngekos. Selain menyelamatkan koleksi hotwheelsnya dari tangan jahil adik-adiknya, cowok itu juga ingin mandiri bagaimanapun caranya.

Termasuk jika harus makan di kondangan orang tak dikenal.

"Aku nggak apa-apa, kok."

"Kamu nggak lupa pakai jaket, kan?"

Azka menunjuk jaket yang ia kenakan, dan bernapas lega karena petugas laundry menyelesaikan jaketnya tepat pada waktunya. "Selalu."

"Udah makan?"

"Belum. Nanti beli."

"Udah sikat gigi?"

"Udah dong, waktu mandi tadi."

"Kamu nggak pake kolor kebalik lagi, kan?"

"Itu kan waktu SD, Bun. Jangan diungkit lagi." Azka menghela napas. "Jadi, ada apa?"

"Gini, Bunda mau kasih kamu tugas negara yang sangat penting." Bunda kini memasang wajah serius. "Jadi Bunda mau nitip Eca sama Eci."

"Hah?"

"Kenapa hah? Emang Bunda keong?"

"Kenapa nggak ke penitipan anak aja?" tanya Azka sambil menatap dua makhluk tak berdosa yang sibuk kejar-kejaran.

  Jika Riki dan Niko saja berpotensi membuat kosannya berantakan, apalagi kedua adiknya yang masih sekolah dasar? Bisa-bisa kosnya yang aesthetic jadi kapal pecah.

"Penitipan anak mahal. Mending buat beli skinker. Biar ayahmu nggak berpaling dari Bunda."

"Kenapa Eca Eci dititipin?" Azka mengacuhkan pertanyaan Bundanya.

"Ayah sama Bunda mau jalan-jalan berdua ke tempat romantis," ujar Bunda. "Tapi ribet kalau harus bawa Eca sama Eci. Kamu kan tau mereka hiperaktif."

"Udah tua mau bulan madu segala."

"Makanya cari pacar, biar bisa ngerasain jatuh cinta."

Jleb.

Perkataan sang Bunda begitu menusuk, terutama untuk Azka yang baru saja ditolak. Cowok itu kini tersenyum kecut, tidak berniat menanggapi ucapan Bundanya. Jelas, iris matanya melayangkan protes.

"Bunda punya uang, sih." Bunda menaruh uangnya kembali dalam saku. "Tadinya mau buat kamu, tapi muka kamu cemberut gitu. Ya udah, Bunda sumbangin aja ke kotak amal."

"Siapa yang cemberut, Bun?" Azka mendadak tersenyum lebar dan mengambil uang yang diberikan oleh bundanya.

"Jaga baik-baik adikmu, ya! Dah!"

Azka mengangguk pasrah, bahkan setelah mobil orangtuanya menjauh dari kosan. Bu Melani Aratha, panggilannya Melarat alias pemilik kosan, menatap Eca dan Eci setelah orangtuanya pergi. Sedari tadi, ia telah mendengar percakapan Azka.

"Tenang aja, Ka," ujar Bu Melarat. "Kalo kamu sekolah, biar Ibu aja yang bantu jagain. Di rumah sepi karena anak-anak Ibu udah pada kerja."

"Ibu yakin?"

"Kenapa nanya gitu?"

"Mereka omnivora, Bu. Pemakan segala." Azka menjelaskan. "Kayu aja kadang diembat sama mereka."

"Yakin, kok. Nggak usah khawatir."

Kontradiksi dengan muka Azka yang terlihat sengsara, Eca dan Eci justru berseri-seri. Kedua makhluk tak berdosa itu sibuk mengajak Azka mengobrol dan bermain.

Mau tak mau, sebagai kakak yang baik hati, Azka menurut. Ternyata, kedatangan mereka itu ada hikmahnya. Hal melelahkan itu cukup membuat cowok itu lupa akan penolakan Amanda. Cowok itu bahkan bisa tertawa dengan kelakuan adik-adiknya.

"Kak Aka," ujar Eca sambil menarik tangan kakaknya terus-menerus. "Beli makan, yuk! Eca laper!"

Lidah Eca tidak kepeleset. Memang begitu cara lidah cadelnya memanggil Azka. Dan, cowok itu pasrah.

"Eci juga!"

"Makan pecel lele depan kosan, ya." Azka menggandeng tangan kedua adiknya menuju warung tenda di depan kosan. Tapi, Eca menggeleng.

"Gamau! Maunya makan di mall biar kayak selebgram di tiktok."

"Buset, kakakmu ini aja sehari-hari makan nasi aking. Lah kamu malah pengen makan ke mall. Nggak!"

"Kakak pelit!" teriak Eca. "Kuburannya sempit! Matanya sipit! Ntar matinya kejepit sandal jepit! HUAAAAAAAAAA!!!"

"Yaudah. Sekali ini aja, ya." Azka yang takut dituduh pedofil karena membuat bocah nangis, kini mengalah.

"Asik Eci, kita makan enak!" Eca yang baru kelas tiga SD itu langsung tos dengan adik kembarnya. Eci yang lebih kalem hanya mengangguk antusias.

Azka mengecek dompetnya yang sudah sekarat. Habislah sudah.

***

Kaira rebahan di kasur, bergumul di balik selimut. Ia menggenggam ponselnya erat setelah whatsapp-an dengan Felix beberapa menit lalu.

"Astaga ... Teori cowok pake baju item itu ganteng, ternyata bener. Damage-nya ga main-main."

Kaira seolah merasa melayang, tubuhnya serasa bebas. Hatinya jelas berbunga-bunga. Seolah, kupu-kupu berterbangan bebas di perutnya.

Kaira terkesiap saat mendengar suara mobil melintas memasuki gerbang. Ia buru-buru menyelipkan ponsel di bawah bantal dan berpura-pura tidur.

Dengan mata terpejam, cewek itu bisa mendengar mamanya berbicara dengan seseorang. Tak lama, seseorang itu berjalan mendekati kamarnya. Pria itu membuka pintu kamar Kaira, dan cewek itu refleks mengeratkan dekapnya pada selimut.

"Papa tau kamu belum tidur!"

Tubuh Kaira bergetar. Kekokohan yang selalu ia tunjukkan lenyap, luruh seiring dengan getar tubuhnya. Cewek itu sadar sebentar lagi ia akan menemui ketakutan terbesar, yaitu papanya.

Tidak ada gunanya berpura-pura sekarang.

"Iya, Pa," jawab Kaira pendek sambil menegakkan tubuh. Ia bahkan tak berani menatap sang papa.

"Mana HP-mu?!"

Kaira yang gemetar mengambil ponsel di bawah bantal dengan gugup. Ia mengatur pola dan buru-buru menghapus semua history chatnya.

Ponsel itu terenggut dari tangan Kaira, tapi cewek itu terkejut sekaligus  bernapas lega karena chat dari Felix sukses terhapus. Kaira masih bertanya-tanya kenapa papanya pulang secepat ini.

"Ada kontak baru di sini. Pak Felix, siapa?!"

"Ngg ... " Entah kenapa, saking gugupnya lidah Kaira terasa kelu. Yang keluar dari bibirnya hanya sebuah gumaman. "Itu guru baru. Dia nyuruh semua murid nyimpen nomornya, kebetulan dia masih muda."

Itulah alasan kenapa Kaira mengganti nama kontak Felix, dan mengapa ia menyimpan sedikit kontak di ponsel. Ketika papanya pulang, apapun yang berada di ponsel Kaira akan dikontrol dan dipertanyakan.

Papanya terlihat percaya-percaya saja dengan itu.

Rafa, sebagai sang papa, mengecek ponsel kembali. Ia menjelajahi isi galeri dan media sosial lain, seolah privasi anaknya tak begitu berarti. Kaira menghela napas, ia bahkan tak berniat merebut balik ponselnya.

"Papa dengar, nilaimu masih sama kayak dulu. Lebih burik dari kualitas ep ep!" Om Rafa terlihat gusar. "Apa kamu nggak bisa sedikit aja menggunakan otakmu? Kamu nggak sadar berapa banyak uang yang harus Papa habisin buat masukin kamu ke MIPA 1?!"

Bayangkan. Masuk kelas unggulan saja nyogok, itulah alasan kenapa Kaira bisa berada di IPA 1 padahal otaknya tidak mampu.

Kaira tertunduk dalam. Ia sangat ingin membantah, tetapi bibirnya masih saja terkatup.

"Papa egois." Pelan dan penuh kekecewaan, Kaira berucap. "Aku nggak pernah mau ke sana. Aku nggak pernah mau pengasuh. Aku juga nggak mau ... punya mama baru."

"Anak tidak tau diri! Siapa kamu bisa mengatur-atur hidup Papa? Kamu pikir Papa nggak tau kelakuanmu di sekolah? Anak bar-bar, berkelahi, nggak terkendali! Memalukan!"

Plak!

Satu tamparan melayang keras di pipi. Kulit Kaira seolah kebas, ia bahkan diam tak bergeming. Meski pipinya terasa nyeri, meski hatinya terasa ngilu.

"Azka yang kasih tau, ya?" tanya Kaira dengan sisa-sisa suara yang ia punya. Kebencian tersirat dari mata cewek itu, baik untuk Azka, atau Tante Rose yang memberinya pengasuh. Ini terlalu konyol.

"Kamu nggak perlu tahu."

"Tapi, aku--"

"Papa tidak mau dengar kamu kena kasus atau punya nilai sejelek ini lagi, jika tidak ... " Om Rafa menatap tajam anaknya itu tanpa menjawab pertanyaan barusan. "Masuk pondok pesantren!"

Kaira tercekat.

Om Rafa melempar ponsel ke ranjang dan Kaira refleks menangkapnya. Tangan kanannya memegangi pipi dan meringis. Satu memori buruk hari ini menambah kebenciannya pada semua orang.

"Gue benci. Gue benci!" Kaira melempari barang-barangnya ke pintu, seolah pintu itu adalah representasi dari papanya. Napasnya tak beraturan, cairan bening kini menggenangi mata. "Gue benci Papa, gue benci Mama, dan gue benci lo, Azka! Gue pastiin lo bakal menderita lebih dari yang gue rasain!"

Malam itu hanya isakan tertahan yang terdengar.

***

"Kakak! Makan di situ, yuk!" Begitu masuk ke mall, Eca menunjuk restoran Korea secara asal-asalan.

"Mahal, Eca. Di situ bayarnya nggak boleh nyicil."

"Pokoknya Eca mau di situ! Di situ! Ya kan, Eci?"

Eci hanya mengangguk-angguk.

"Eca, jangan provokasi adikmu. Udah, kita balik aja makan pecel lele."

"Gamauk! Eca benel, Kak. Ayo makan di situ!" Eci menarik tangan kakaknya masuk ke restoran Korea. Azka mengikutinya pasrah.

Di dalam restoran, Azka harus menenangkan kedua adiknya yang terus-menerus menunjuk menu makanan yang mahal. Ia juga harus senyam senyum kikuk di depan pelayan restoran yang menunggu.

"Hush! Jangan tunjuk yang itu, pamali." Azka menepis tangan Eca yang menunjuk menu-menu yang harganya tidak masuk akal.

"Jadi beli yang mana, Kak? Jangan menguji kesabaran saya." tanya pelayan restoran tak sabar karena hampir setengah jam berdiri menunggu. Kakinya jadi kebas.

Azka menutup buku menu. "Tiga air putih aja, Mba."

Eca dan Eci melotot tajam. Cowok itu nyengir. "Oh ya Mbak, password wifinya apa?"

Pelayan itu langsung bermuka masam. Kakinya pegal karena kelamaan berdiri, tapi sang pembeli hanya membeli air putih. Minta password wifi pula. Tipe-tipe pembeli miskin.

"Beli makan dulu."

"Yaelah Mbak, pelit amat." Azka membaca buku menu. "Yaudah nih, beli kimbap yang paling murah satu. Passwordnya apa?"

"Beli makan dulu, Mas."

"Kan udah beli makan, Mbak. Mentang-mentang cuma beli satu jangan didiskriminasi gini, dong."

"Passwordnya beli makan dulu, Mas."

"Hah?" Otak Azka masih loading.

"PASSWORDNYA BELIMAKANDULU GAPAKE SPASI, BLOK!" Pelayan restoran itu malah berteriak, mengagetkan pengunjung di sekitar. Kemudian, ia menghela napas panjang dan mengelus dada. "Maap ngegas. Silakan menunggu."

Eca dan Eci cekikikan.

Azka kini membaca ayat kursi.

***




🌙🌙🌙
Bersambung ajalah gajelas.
4 September 2020.

28 Agustus 2021

Kalian team apa?
#KaiLix ?
#AmAzka?
#AzKaira ?
Atau couple lain ? Nando Mila misalnya :p

Pendapatmu tentang Azka? Tentang Kaira? Tentang Amanda?




Salam dari gebetannya Ceye,
NastarzF 🖤

Continue Reading

You'll Also Like

56M 3.3M 102
Telah terbit di Penerbit Romancious. Cerita ini tidak di revisi, jadi masih berantakan. Kalau mau baca yang lebih bagus penulisannya bisa beli bukuny...
70.5K 11.3K 26
Tetangga baru yang selalu membuat keributan berhasil membuat dorison ingin pergi dari rumah. Ketenangan nya hilang saat tetangga baru nya suka menan...
2.1M 200K 151
Baca aja siapa tau jatuh cinta πŸ˜³πŸ’• JISOO JENNIE ROSE LISA empat cewek cantik tapi otaknya gada yg bener πŸ˜‚ cuma jennie doang yg otaknya beneran diki...
29.5M 1.3M 44
[Story 4] Di penghujung umur kepala tiga dan menjadi satu-satunya orang yang belum nikah di circle sudah tentu jadi beban pikiran. Mau tak mau perjod...