Dersik

By khanifahda

758K 94.4K 6.6K

Hutan, senjata, spionase, dan kawannya adalah hal mutlak yang akan selalu melingkupi hidupku. Namun tidak se... More

Peta
Khatulistiwa
Proyeksi
Kontur
Skala
Topografi
Distorsi
Spasial
Meridian
Citra
Evaporasi
Kondensasi
Adveksi
Presipitasi
Infiltrasi
Limpasan
Perkolasi
Ablasi
Akuifer
Intersepsi
Dendritik
Rektangular
Radial Sentrifugal
Radial Sentripetal
Annular
Trellis
Pinnate
Konsekuen
Resekuen
Subsekuen
Obsekuen
Insekuen
Superposed
Anteseden
Symmetric Fold
Asymmetric Fold
Isoclinal Fold
Overturned Fold
Overthrust
Drag fold
En enchelon fold
Culmination
Synclinorium
Anticlinorium
Antiklin
Sinklin
Limb
Axial Plane
Axial Surface
Crest
Through
Meander
Braided Stream
Oxbow Lake
Bar Deposit
Alluvial Fan
Backswamp
Natural Levee
Flood Plain
Horst
"Graben"

Delta

11.5K 1.5K 133
By khanifahda

Delta adalah endapan yang dibuat di muara sungai di mana sungai yang mengalir ke dalam laut, muara, danau, waduk, rata gersang daerah, atau ke sungai. Delta dibentuk dari endapan sedimen yang dibawa oleh aliran sungai dari hulu ke suatu tempat perairan yang lebih luas, hal ini dikarenakan adanya akibat dari berkurangnya laju aliran air yang membawa partikel sedimen pada saat memasuki danau atau laut.
.
.

Setelah serangkaian acara lamaran yang dilaksanakan selang 3 hari setelah Gayatri mengiyakan proposal Raksa, kini mereka sedang sibuk-sibuknya melakukan pengajuan pernikahan. Banyak hal yang Gayatri belum tahu dan menjadi tantangan tersendiri baginya. Ia tak pernah membayangkan akan menikah dengan alur yang menurutnya sangat ribet itu.

Seperti halnya sekarang ini, Gayatri dan Raksa sedang menghadap ke komandan Raksa di kesatuannya. Setelah memenuhi berkas yang bikin Gayatri terdiam karena saking banyaknya, serangkaian pengujian terhadap calon Persit hingga tes kesehatan dan terakhir menghadap ke pejabat kesatuan pun perlahan terlalui.

Gayatri dan Raksa duduk di ruang tunggu untuk mendapat giliran menghadap ke komandan karena komandannya masih ada urusan sebentar. Gayatri bosan hingga berkali-kali menguap.

"Kenapa?" tanya Raksa yang mengenakan seragam PDH lengkap serta Gayatri yang mengenakan seragam Persit tanpa lencana.

"Ngantuk." Jawab gadis itu. Semalam ia masih mengadakan observasi tempat operasi dan baru tidur pukul 2 pagi. Ia harus bangun untuk siap-siap menghadap ke kesatuan bersama Raksa. Lelah? Pastinya, tapi baginya hal ini akan bisa dilaluinya dengan baik. Malah justru menjadi pengalaman seumur hidup yang tak terlupakan.

Raksa melirik arlojinya. "Masih ada waktu 45 menit lah. Aku beliin kamu air mineral dulu ya." Tanpa persetujuan Gayatri, Raksa segera bangkit dan membelikan air mineral untuk Gayatri. Tumblr yang dibawa oleh Gayatri sudah habis sehingga laki-laki itu berinisiatif membelikan Gayatri minum agar tidak mengantuk lagi.

Tepat Raksa keluar dari gedung tersebut, seorang perempuan yang sama seperti Gayatri tiba-tiba duduk di samping Gayatri. Perempuan yang nampak agak mencolok dandanannya itu membuat Gayatri menatap sejenak sebelum akhirnya menatap depan.

"Permisi," Gayatri lantas menoleh.

"Iya?" jawab Gayatri.

"Nunggu lama ya?" tanya perempuan yang duduk di samping Gayatri.

Gayatri tersenyum tipis, "lumayan mbak." Jawabnya. Gadis itu perlahan tahu adab di dalam Persit walau belum sepenuhnya paham.

Perempuan itu mengangguk, "abangnya mana?"
Gayatari terdiam karena tak paham dengan apa yang dimaksud dengan perempuan itu, "abang calon suami maksudnya." Lanjut perempuan itu.

"Oh, iya, lagi keluar mbak." Jawab Gayatri.

"Ohh begitu."

"Pangkat abangnya apa mbak?" Gayatri yang sedang membalas pesan Meta lantas menatap perempuan itu cepat. Gayatri hanya tersenyum dan kembali membalas pesan Meta yang menyangkut pekerjaan.

"Apa mbak?" Perempuan itu seakan belum puas menanyakan kepada Gayatri yang sebenarnya sudah malas menanggapi. Entah mengapa first impression Gayatri begitu kurang baik terhadap perempuan tersebut.

"Masih Sersan pasti ya?" tebak perempuan yang hanya ditanggapi senyuman oleh Gayatri. Mengapa ia bisa bertemu dengan orang seperti ini? Ternyata masih banyak orang yang menatap orang lain karena rupa dan jabatan.

Tak lama kemudian Raksa kembali dengan membawa satu kantong plastik yang berisi minuman. Laki-laki itu langsung menyodorkan kepada Gayatri.

"Makasih." Ucap Gayatri.

Raksa mengangguk, "cepat diminum dan tarik nafas dalam-dalam supaya oksigen cepat mengalir ke otak dan nggak ngantuk lagi." Gayatri mengangguk dan meminum air mineral itu serta melaksanakan apa yang disarankan oleh Raksa.

"Itu abangnya Mbak?" tanya perempuan itu yang seakan belum puas. Padahal mereka belum kenalan, tetapi sudah menanyakan hal yang menurut Gayatri tidak patut ditanyakan ketika awal bertemu.

Gayatri hanya tersenyum tipis dan mengiyakan. Tetapi raut wajahnya begitu kentara jika ia mulai tak nyaman.

"Waduh, maaf ya Mbak, saya kira pangkat abangnya setara atau nggak lebih rendah daripada abang saya." Ucap perempuan itu seakan sudah bersalah pada Gayatri, padahal Gayatri sama sekali tak peduli.

"Aduh mampus! Kenapa gue lancang banget sama istri perwira." Gumam perempuan itu yang sayangnya didengar oleh Gayatri.

"Izin maaf ya Mbak, saya benar-benar nggak tahu kalau Mbak adalah senior saya. Sekali lagi maaf ya Mbak." Ucap perempuan itu lagi karena masih sangat malu. Belum apa-apa dirinya sudah berurusan dengan seniornya, tentunya ia tak mau terkena masalah saat ini.

"Iya nggak apa-apa kok." Jawab Gayatri. Lagipula tak masalah baginya. Justru ia malah aneh jika perempuan itu terus-terusan meminta maaf.

Perempuan itu terduduk malu dan memilih berbincang dengan pasangannya. Niat hati ingin petentengan membanggakan calon suaminya itu namun justru dirinya yang kepalang malu. Ia kira gadis di sampingnya yang mengenakan hijab itu seorang biasa saja. Namun ternyata Gayatri malah di atas dirinya.

Gayatri yang mengenakan baju Persit itu kini memakai hijab. Hal itu bukan tanpa alasan. Semakin ia belajar semakin ia tahu mana yang baik dan buruk. Dan pilihannya itu disambut baik oleh banyak pihak termasuk Raksa.

Awalnya ragu, namun beberapa kali mengalami pergolakan batin untuk mengenakan hijab. Setelah beberapa episode kebimbangan dan upaya menyakinkan dirinya,  akhirnya Gayatri mantap mengenakan hijab. Hal ini semata bukan karena Raksa, tetapi Gayatri tahu mana yang baik dan buruk serta yang menjadi kewajiban.

Di awal-awal Gayatri juga sempat ragu untuk mengenakan hijab. Ia takut tidak konsisten dan bisa saja melepas hijabnya itu kapan saja. Selain itu, ia juga takut disangka tobat dadakan karena hendak menikah. Hidup di dalam lingkungan yang memiliki toxic culture inilah yang membuat Gayatri harus berpikir berulang kali.

Namun sebenarnya niatnya itu sudah lama dan baru terbuka kembali ketika ia tahu bahwa ini adalah pilihan terbaik. Bahkan sebagai suatu keharusan baginya. Oleh karena itu, ia mengesampingkan omongan-omongan dan memantapkan hatinya untuk yakin berhijab.

Kemudian Gayatri dan Raksa bangkit setelah giliran mereka. "Jangan tegang, biasa saja. Anggap kamu ketemu atasanmu sendiri." Ucap Raksa menyemangati Gayatri yang sudah nampak lelah dan agak tertekan tentunya. Mengurus berbagi hal untuk pengajuan sudah banyak menyita waktu dan tenaganya apalagi ia masih padat penyelidikan kasus di divisinya.

Gayatri mengangguk, lalu mereka masuk ke dalam ruangan yang sudah ditunggu oleh komandan. Raksa langsung memberikan hormat, begitupun Gayatri yang bersikap siap dan sopan.

"Loh Raksa beneran mau nikah ini? Saya kira Letjen Damar kemarin hanya guyon ke saya kalau kamu mau menikah." Ucap komandannya itu setelah Raksa dan Gayatri dipersilahkan duduk.

Sementara Raksa hanya tersnyum sopan. "Lah nggak sama anaknya bapak Kasad Rak? Kemarin saya dengar kamu mau menikah sama anaknya Kasad yang nomor dua itu ya?"

Raksa melirik ke arah Gayari yang nampak tenang di tempatnya. Tetapi ia tahu jika Gayatri pasti kaget dan mungkin akan mempertanyakan hal ini.

"Izin jawab ndan, maaf, itu hanya kabar burung saja. Saya tidak hendak menikah dengan anaknya bapak Kasad. Dari awal saya hanya ingin menikah dengan gadis di samping saya ini." Jelas Raksa sopan. Sedangkan komandan itu tergelak pelan di tempatnya.

"Ya, ya, saya tahu. Biasalah bapak-bapak di sini pasti mendengar kabar hanya setengah saja. Nggak apa-apa, yang penting kamu nyaman dan yakin sama pilihanmu sekarang ya." Ucap komandannya itu bijak. Lalu mereka berbicara layaknya pengajuan yang dijalani oleh orang-orang. Obrolan mereka didominasi oleh sang komandan. Beberapa wejangan diberi oleh komandan sebagai bekal anggotanya ketika berumah tangga nantinya.

*****

"Kamu marah?" tanya Raksa sambil mengaduk sambal dan kecap dalam baksonya itu.

Setelah tahap terakhir dan mendapatkan ucapan selamat dari komandan atas lancarnya pengajuan mereka, Raksa langsung mengajak Gayatri makan bakso yang terletak persis di depan kantor satuannya itu. Sedangkan Gayatri hanya terdiam semenjak mereka memasuki ruangan komandan.

"Buat apa?" tanya Gayatri berusaha tenang dan tak terlihat aneh di mata Raksa.

"Tadi mengenai ucapan komandanku, aku jujur kok. Aku nggak ada apa-apa sama anaknya bapak Kasad." Jelas Raksa tanpa diminta Gayatri.

Gayatri mengangguk kecil, "ya sudah. Aku nggak marah juga." Sahut Gayatri.

Raksa menghela nafasnya dan meletakkan sendok dan garpunya di mangkok. "Terus kenapa kamu diam saja sejak tadi?"

Gayatri menggeleng, "nggak apa-apa, aku capek aja. Aku nggak marah dan nggak cemburu."

Raksa menatap Gayatri intens, "beneran? Kamu nggak bohong 'kan? Kalau kamu nggak percaya, aku bisa telepon mama atau nggak orangnya yang bersangkutan biar kamu nggak marah."

Gayatri lantas menatap Raksa, "nggak perlu. Intinya aku nggak terpengaruh dengan ucapan bapak komandan tadi." Jawab Gayatri tenang. Ia jujur mengatakan hal itu. Ia diam karena memikirkan sesuatu, tetapi bukan hal yang ditanyakan oleh komandannya Raksa. Selain itu, dirinya juga lelah dan ingin istirahat. Hampir 1 bulan lebih dirinya berkutat mengurusi pengajuan ini.

Rasanya kemarin Gayatri benar-benar diuji kesabaran dan ketelatenanya. Banyak hal baru yang ia rasakan. Beberapa kali harus mengurus izin dan berbagai macam surat sendirian. Tak jarang mereka berdebat masalah kecil yang akhirnya terselesaikan dengan saling intropeksi diri dan memaafkan.

Raksa menatap Gayatri kembali, memastikan gadis itu tak berbohong padanya. Ia tak mau kesalahpahaman ini malah memicu pertengkaran diantara mereka. Dan benar, Gayatri bukan sedang cemburu, wajah gadis itu terlihat lelah dan butuh istirahat.

Mereka lantas memutuskan untuk memakan bakso tanpa bersuara hingga seperti biasa, Raksa kembali memesan satu porsi lagi.

"Mau nambah lagi nggak?" tanya Raksa dan Gayatri hanya menggeleng pelan.

Raksa menghela nafasnya pelan dan menatap Gayatri yang nampak tak berselera itu. "Kenapa?"

Gayatri menoleh ke arah Raksa dan menggeleng pelan, "nggak ada apa-apa kok." Jawab gadis itu.

"Terus kenapa daritadi diam aja dan badmood gitu?" Raksa tak suka basi-basi dan kode-kodean sehingga sering langsung bertanya apa adanya.

"Nggak ada apa-apa. Cuma lagi mikir aja." Jawab Gayatri. Sedangkan Raksa menatap Gayatri intens yang membuat gadis itu berdecak pelan.

"Biasa aja pak kalau natap." Gayatri berucap setelah ditatap oleh Raksa dengan pandangan menelisik.

Raksa lantas memutus atensinya pada Gayatri dan memilih untuk menghabiskan es tehnya. "Kamu aja yang nggak mau jujur sama aku."

Gayatri menarik nafasnya panjang. "Jujur gimana? Aku sudah jujur sama kamu. Aku diam ya karena lagi mikir." Ucap Gayatri yang nampaknya lelah jika harus berdebat dengan Raksa.

Raksa hendak berbicara namun ia simpan dulu. Lebih baik mereka menyelesaikan hal ini di mobil saja daripada dijadikan tontonan para pengunjung di warung bakso itu.

"Kamu sudah selesai atau belum?" tanya Raksa memastikan. Gayatri mengangguk pelan, "sudah."
Raksa lantas mengangguk dan bangkit diikuti oleh Gayatri. Raksa membayar semua total makan mereka dan kembali ke mobil.

"Sekarang kamu ngomong aja apa yang kamu pikirin." Ucap Raksa setelah mereka sampai di mobil. Sedangkan Gayatri hanya terdiam menatap depan.

Gayatri menghela nafasnya sebelum menjawab. "Kadang aku merasa aneh dan nggak pantas ketika berhadapan dengan ini semua. Takut mengecewakan dan tidak bisa memposisikan diri menjadi istrimu. Bahkan beberapa ibu-ibu dan mbak-mbak kemarin menatapku sejenak sebelum akhirnya tersenyum paksa. Mereka bertanya apa pekerjaanku dan latar belakang keluargaku, seketika mereka diam dan akhirnya kembali bertanya. Dari hal itu aku mikir, apa aku nanti bisa memposisikan disitu dengan baik? Aku kadang mikir tentang rumor yang beredar cepat dan menjadi hal lumrah di lingkungan militer. Namun aku kembali menyakinkan diriku untuk tetap percaya diri walaupun sesekali aku terngiang."

Gayatri memberi jeda sebelum akhirnya melanjutkan lagi kalimatnya. "Bahkan komandan saja bertanya tentang kamu dan anak Kasad. Walaupun berita itu tak benar, tetapi orang-orang di luar begitu gencar menceritakan dirimu yang hendak menikahi putri seorang Kasad. Betapa kehidupan dipandang berdasarkan hal-hal yang selama ini aku hindari."

"Kamu tahu kenapa aku milih di divisi intel? Disitu aku merasa bekerja buka dipandang sebagai Bripda ataupun Briptu, tetapi dipandang sebagai intel polisi yang bekerja untuk menuntaskan kasus. Bahkan kami sering lupa antara dia senior ataupun junior. Ketika sudah turun di lapangan, kita bagai orang sipil yang sebisa mungkin cerdas dalam menyesuaikan diri. Bukan maksud aku memandang lain tentang jabatan dan pangkat, tetapi aku sadar bahwa hidup ke depannya aku nggak bakal jauh-jauh dengan dua hal itu."

"Mungkin pemikiranku ini bertolak belakang, tetapi percayalah aku tak bermaksud lain. Aku hanya mengutarakan isi hatiku selama ini. Sebuah pertanyaan sekaligus kenyataan yang harus aku terima bahkan."

Raksa terdiam, begitupun Gayatri yang berhasil mengeluarkan semua isi hatinya. Gadis itu akhir-akhir ini memang sering berpikir jauh dan merasa tak pantas dengan semua yang sudah ia dapatkan ataupun sedang ia hadapi saat ini.

"Aku paham. Nggak ada yang salah dengan pemikiranmu." Ucap Raksa kemudian.

Gayatri lantas segera menoleh, "kamu marah?" tanyanya.

Raksa dibalik kemudinya menggeleng, lalu ia menatap Gayatri yang masih menatapnya. "Buat apa aku marah? Justru aku punya pandangan lain sekarang. Terima kasih, kamu sudah mau mengerti dan memahami tentang lingkungan ini." Raksa tersenyum singkat.

"Kamu menyesal nggak mengambil keputusan ini? Aku begini adanya. Bisa menjadi pendiam ketika pikiranku terusik." Gayatri kembali tersenyum.

"Kamu jangan langsung marah ya? Kalau aku diam tolong beri aku space biar berpikir. Tetapi tolong ajak aku bicara juga supaya aku punya pandangan lain. Aku tipe orang yang menahan sesuatu secara sendiri dan meledak jika tak dapat menampungnya lagi."

Raksa mengangguk, lalu terkekeh pelan. "Kalau meledak tinggal peluk aja lah."

Gayatri langsung menatap Raksa kesal. "Aku serius."

"Aku juga." Gayatri langsung mendengus. "Udah deh." Ucap Gayatri kesal.

Namun perlahan Raksa tersenyum. "Nggak usah merajuk gitu. Nanti aku beliin nasi goreng pak Gendut lagi."

Gayatri berdecak pelan. Selalu saja Raksa membuyarkan pembicaraan yang serius.

"Nggak gitu konsepnya bambang! Dah lah males aku nanggepi kamu yang nggak jelas." Dumel Gayatri yang terpancing tengilnya Raksa.

Raksa langsung terbahak melihat Gayatri yang kesal. Ia memang sengaja memancing kekesalan Gayatri. Rasanya menjahili Gayatri itu sudah seperti hobi barunya.

"Jangan marah gitu."

"Aku nggak marah!" sahut Gayatri agak ngegas. Sedangkan Raksa masih terkekeh pelan di tempatnya.

"Oke, oke, aku serius ya. Begini, apapun yang kamu pikirkan itu, nggak ada yang salah. Tapi asal kamu tahu, isu yang berkembang itu hanyalah hoax semata. Kami memang dekat secara kekeluargaan, tetapi aku nggak ada rasa sama perempuan yang disebut sama komandanku. Berita selentingan itu diciptakan hanya dengan ilmu cocoklogi, Aya."

"Terus masalah kamu dipandang seperti itu, memang sudah menjadi wajar bagi kami. Mungkin kamu risih atau merasa nggak percaya diri. Tetapi aku nggak memperdulikan hal itu. Jika aku menikahi kamu, artinya aku serius dan yakin sama kamu. Aku pun nggak peduli dengan budaya ataupun hal yang lumrah itu. Aku ingin menciptakan sendiri caraku, bukan mengikuti cara mereka yang katanya lumrah."

"Jadi, stop overthinking kamu itu ya? Nggak baik. Lebih baik baik kamu cerita sama aku ketimbang kamu pendam sendiri." Lanjut Raksa.

Gayatri terdiam sejenak dengan pandangan lurus ke depan. Lalu atensinya menoleh ke arah Raksa seraya tersenyum sebagai jawaban. Ia bersyukur, selama ini Raksa selalu memberikan dirinya pengertian dan pandangan lain. Semoga saja Tuhan memberikan rahmat dan limpahan kasih sayang untuk rumah tangganya kelak.

.
.
.

Mohon maaf jika part ini tidak sesuai dengan harapan kalian. Saya hanya bisa menjabarkan sebagian kecil perjuangan pasangan yang sedang melakukan pengajuan pernikahan. Intinya, teruntuk ibu-ibu Persit dan calon Persit yang sedang berjuang pengajuan saat ini, kalian sangat hebat. Kalian adalah perempuan dan srikandi yang luar biasa.

Ambil baiknya, buang buruknya. Semua ini hanya karya fiktif yang lahir dari beberapa perspektif yang ada. Mohon maaf jika banyak kurang dan salahnya. Kritik dan saran sangat terbuka untuk cerita ini.

Sehat selalu semuanya, salam hangat dari saya❤

Continue Reading

You'll Also Like

5.8M 281K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...
283K 25K 52
Berawal dari Bunga yang di tinggalkan oleh calon suami yang selama ini selalu didambakannya, Bunga malah berakhir menikah dengan sahabat dari calon s...
154K 11.1K 72
Janji suci di antara kita, memiliki makna yang berbeda. Suci dan kebahagiaan bagiku namun, kosong dan neraka bagimu. Walau hatiku telah jatuh padamu...
218K 7.5K 49
Shafea seorang wanita karir yang gila kerja tapi juga seorang ibu muda yang ingin membesarkan dan mendidik anaknya sendiri secara sempurna. Ikuti kes...