Irwan & Sabiya ( Tamat )

By IstiqaJeinRow

635K 42.4K 17.5K

( Beberapa part di private, follow untuk membaca nya) SUDAH PERNAH TAMAT, SEDANG DIREPOST *Spritual Romance... More

Selamat Datang
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36. Pecah!
37
38
Read, Oke?
39
40. Malam Yang Mendekap
41
42. Amarah Mendekap
Read
43. Hampa Yang Nyata
44
45. Kecamuk Hati
46
47
48
49. Kena mental di Markas Militer!
50. Malam Pertama
51
52.
53
54
STORIAL
55
56.
Part 56 A Spesial 1 ( Gugur Bunga )
Part 56B Spesial 2 ( Telah Usai Janji Bhakti )
57
58
59.
60 ( Misi Selesai )
Prajurit
Bonus Chapter : Slide Garuda
Ekstra Part : The Loneliest 75 Hz Whale
Chapter Spesial!
BONUS: Spesial Part Ramadhan

48. Part 2

8.7K 812 327
By IstiqaJeinRow

Edisi lagi baik :) typo bilangin 💕

Jadi, setelah Vote. Rangga sama Hamdan itu hampir sama, yang mana dong ya 🤔

Gak nyangka fans nya Kang nyinyir banyak banget 😭

Rangga nanti besar kepala 😖

Fans nya Abah Daebak siapaaaaa 😁😁😁

Emak pengen temu sama Rega versi muda😭 bisa-bisanya kawin sama Zuhroh 😭😭

5 Juli 2018

Sabiya dan Acha sibuk membicarakan tentang barang-barang yang ia genggam di tangan, ajudan mereka yang tampan sekaligus perhatian melindungi dari belakang.

Saka namanya, pria tegap tersebut melihat kiri kanan dengan waspada. Ada yang aneh, suasana di parkiran bawah tanah ini terlalu sunyi. Paling tidak harus nya ada seseorang yang keluar masuk kan? Saka meneguk ludah, tidak panik tetapi was-was.

"Nona, apa tidak sebaiknya kita cepat-cepat? Bapak sudah menghubungi sejak tadi."Alibi Saka, sengaja untuk tak membuat keduanya panik.

Sabiya menoleh, lantas mengangguk setuju. Abah memang posesif sekali.

"Iya, bener Kak. Mending kita cepet-cepet daripada kena omel, Abah cerewet kalo marah."Balas Acha, menenteng tas berlogo branded dengan senang.

Mereka baru saja menguras uang Alman, laki-laki itu kalah bermain monopoli. Beberapa menit mereka hanya berjalan melewati mobil-mobil yang terjejer rapi sambil mencari mobil mereka sendiri.

"Kok sepi banget ya, Kak?"Tanya Acha, sedikit curiga."Tumben."Lanjutnya, mengecil.

Sabiya yang tidak sadar jadi memperhatikan sekitarnya, agak takut juga kala menyadari situasi nya seperti mencekam. Mereka hanya bertiga, tetapi rasanya seperti di kepung. Dingin dan mengerikan."Saka,"

"Ya, Nona?"

"Ugm, di mana mobil nya? Aku jadi ingin cepat-cepat ketemu Abah."

Saka mengerti kalau Sabiya mulai cemas, wajah wanita itu tak dapat berbohong kalau sedang ketakutan. Acha juga sama, bahkan gadis manis itu sudah melingkarkan tangannya di lengan Saka."Kak Saka, Acha kok takut ya?"

Tentara tersebut mencoba menenangkan Acha, sesekali melirik Sabiya yang terlihat gelisah. Langkah kaki Saka terhenti saat tak sengaja melihat moncong senjata di balik mobil, tepat di dekat ban, terlihat ada bayangan seseorang.

Kali ini, Saka tak main-main kalau cemas. Otak nya berputar, mencari jalan keluar. Dalam diam, Saka memelankan langkah nya selagi terus berpikir keras. Tangan nya sengaja menjatuhkan tas-tas yang ia bawa."Ah, maaf menjatuhkan nya."Kata Saka agak keras, ia menunduk seraya satu tangan nya menarik pistol dari balik jaket.

Matanya melirik bawah, dan benar. Ada kaki manusia di sana, jantung Saka berdetak kencang. Lalu, untuk membuat orang tersebut keluar. Saka melepaskan pelurunya, dengan sigap menarik Sabiya juga Acha berlindung di mobil terdekat. Sabiya menjerit kaget, sedangkan Acha tak kalah berisik.

Benar saja, beberapa detik dari pancingan Saka. Bertubi-tubi peluru menghantam mereka, Saka menekan kepala Acha dan Sabiya lebih ke bawah. Melindungi nya, ia bersesis kesal saat menyadari kalau parkiran ini pasti sudah di sabotase.

Dor - Dor
Dor - Dor

Tcak - Tcak
Tcak - Tcak

"ABAH!"Teriak Sabiya sekencang nya, menyadari kalau kaca-kaca di atas kepalanya kini sudah hancur dan body mobil bergoyang tak tentu di hajar habis-habisan peluru."AKHH!"

Di kiri Saka, Acha memanggil Fania dengan keras. Tubuh nya gemetaran kala terus menjerit-jerit."MAMA!"

Saka mengeram keras, sedikit bingung dan syok berat. Tidak menyangka akan di serang, tidak ada tanda-tanda sebelumnya. Ia melirik sekitar, arah senjata itu berasal."Bangun! Bangun!"Bentak Saka, menarik paksa keduanya."Kita harus pindah!"

Sabiya dan Acha yang tak bisa berpikir jernih hanya diam, air mata sudah menggenang di wajah mereka. Mulut mereka seolah terkunci rapat, meskipun mendengar samar perintah Saka otak keduanya tak paham.

Mereka baru sadar saat Saka kembali menarik paksa sambil berlari, Sabiya menjerit sejadi-jadinya saat Acha terjatuh ke lantai. Bola mata nya membesar hebat menangkap darah keluar dari punggung Acha."ACHA?!"

Saka mendorong Sabiya hingga jatuh ke balik mobil, lalu berlari kembali menarik Acha. Ia sempat terjatuh karena kakinya terkena sasaran, tapi memaksakan diri dan jatuh tepat di hadapan Sabiya. Tempat ini lebih aman dari yang tadi.

"Akh?! Akh?!"Sabiya menutup mulutnya, gemetaran hebat. Menarik Acha ke pelukan saat adiknya mengap-mengap mencari jalan nafas, Sabiya melihat dada kanan Acha juga mengeluarkan darah.

Kala menyadari luka tersebut adalah tembakan, ia menggerung sangat kuat. Tangisan nya begitu dahsyat menggema."Maafin Kakak, Acha!"

"Enggak! Enggak! Acha?!"Sabiya kebingungan, di landa syok begitu parah di samping rasa takut yang teramat. Sabiya menepuk-nepuk wajah Acha melihat adiknya mengedip-ngedip kesusahan, dan tubuhnya mulai lemas perlahan."ACHA! Acha, liat Kakak! Acha ... Acha ... Buka mata mu, Sayang. Acha ... Akhhh!"Sabiya geleng-geleng berulang, cepat sekali."Acha ... Jangan bikin Kakak takut, Acha. Abah, hiks. Abah ... Mama ... Tolongin Biya!"

Tangan belakang nya ia lirik, darah Acha mengalir deras di sana. Kemudian tangan depan nya ia buka, tapi tak lama kembali menekan darah-darah yang terus keluar dari tubuh adiknya. Sabiya menangis sampai tersedu-sedu, otak nya blank seketika. Bahkan Sabiya tak menghiraukan Saka yang juga menahan sakit di samping nya.

Saka melirik kakinya, lalu memejamkan mata sambil membenturkan kepalanya di mobil. Ia melihat Acha dan jadi tertegun, rasa marah hinggap dalam dirinya. Ada rasa bersalah juga kecewa karena tak dapat menjalankan tugas nya. Merasa kalau dirinya dalam keadaan yang tidak baik, Saka mengeluarkan ponselnya.

Tetapi sebelum itu, ia meneliti Acha dahulu. Lalu mengumpat saat sadar Acha butuh pertolongan segera, Saka tidak tau berapa jumlah musuh dan di mana saja mereka. Akan sangat berbahaya kalau nekat keluar, jadi Saka mencari jalan aman."Dengar, Nona. Jangan panik dan jangan bersuara."

Sabiya tak mendengar, masih terus menangisi Acha seraya memeluknya. Tak tega melihat Acha kesakitan, Sabiya takut kalau Acha akan meninggal. Ia tersentak saat wajahnya di tarik Saka, di paksa melihat ke arah laki-laki itu. Wajah Sabiya berantakan parah, darah menghiasi nya."Nona, lihat aku!"Sabiya menurut sambil terisak-isak."Acha akan baik-baik saja ya? Aku janji, kita semua akan baik-baik saja. Sekarang tolong tenang, aku akan mencoba melawan. Diam, dan menunduk lah."

"Tap-tapi--"

"Nona."Saka memotong tak sabar."Aku akan melindungi mu dan Acha, aku akan berusaha membantu mu selamat. Demi tuhan, aku rela mati untuk kalian. Aku akan berjuang semampu ku!"

Sabiya menangis, matanya menangkap kaki Saka. Lalu tersentak, saat akan bicara. Saka sudah lebih dulu berbalik, Sabiya amat takjub dengan keberanian Saka. Debar was-was menyertai nya kala melihat dua pistol di keluarkan Saka, satu dari balik pinggangnya dan yang lain dari sepatunya. Lidah Sabiya kelu kala Saka mengokang nya, lalu mengeluarkan telapak tangan nya dan menarik cepat. Tak sampai satu detik, tembakan menghujani mereka.

"Ketemu!"Kata Saka entah apa, ia mulai menembak. Dan menarik diri secepat kilat, saat yakin satu musuh sudah berhasil ia basmi. Saka melirik Sabiya, melempar ponselnya."Telpon seseorang, Nona!"

"Apa?"Sabiya yang panik tak karuan tak siap mendengar perintah Saka, ia jadi hanya memegang ponsel dengan gemetar."Siapa yang harus ku hubungi?!"

"One! Telpon dia sekarang!"Balas Saka, sibuk membalas serangan. Ia mendesis keras kala satu lengan nya terkena tembakan, Sabiya yang sadar jadi berteriak kaget. Telinga nya mulai tak berfungsi benar, Sabiya mengkhawatirkan nya. Tetapi Saka menyuruh untuk tetap tenang dan melanjutkan apa yang harus di kerjakan."Aku tidak apa-apa! Lakukan saja perintah ku!"

Susah payah Sabiya memainkan ponsel itu, ia uring-uringan tak jelas kala baru sadar kalau ponsel nya di kunci."Tidak bisa di buka?!"

"NKRI 1945!"Teriak Saka.

"Ya?!"Balas Sabiya, jadi ikut tak tenang. Mereka berbicara di tengah peluru yang terus membombardir juga jeritan kaget Sabiya. Acha sudah tergeletak tak berdaya di atas paha Sabiya yang berlumuran darah."Apa?! Apa yang harus ku lakukan?! Saka?!"

"Sandinya NKRI 1945! KETIK ITU?!"

Sabiya terkaget-kaget, lalu mengetik hal tersebut cepat-cepat. Salah, dan salah lagi. Sabiya menjerit frustasi, sudah amat panik. Lalu saat kebuka, ia mencari kontak atas nama One tersebut. Baru saja Sabiya ingin menekan tombol panggil, dirinya di kejutkan saat Saka menubruk nya dan memeluknya erat-erat. Melindungi nya dan Acha dari ... Ledakan!

Brommm!

"AKHHHH!"

Ledakan itu menyebabkan setengah badan mobil hancur, dan puing-puing nya menghantam mereka. Bahkan melukai Saka yang di atas nya, mencoba menjadikan dirinya sebagai Tameng!

Sabiya menjerit kuat-kuat, telinga nya sakit. Dan ia tak tau lagi harus berbuat apa, pasrah tetapi tak mau. Sabiya menangis tanpa suara, gemetar dan tanpa sadar balas memeluk Saka erat. Ledakan itu teramat panas juga menakutkan, rasanya lama. Sabiya menangis, sampai sesak. Saka meringis ngilu, merasakan lengan nya sedikit terbakar juga kaca-kaca yang menusuk punggungnya.

Ia bangkit perlahan, mengedip-ngedip. Saka menghancurkan paksa pintu mobil yang samping, lalu membuka nya. Ia merangkak masuk susah payah tak memperdulikan rasa sakit yang dahsyat menyerang tubuhnya, atau kekagetan Sabiya. Saka menendang pintu yang sebelah, lalu menyuruh Sabiya melewati nya.

"CEPAT NONA! TIDAK ADA WAKTU?!"Bentak nya saat Sabiya malah diam."SABIYA?!"

Bagai di setrum, Sabiya tersentak. Lalu, geleng-geleng berulang. Ia takut kalau tiba-tiba di serang lagi, dan tak mau meninggal kan Acha sendiri."Acha ... Acha ..."

"Aku akan membawa---"

Dor!

---"Sial! Cepatlah!"Bentak Saka, Sabiya menurut. Melompati mobil tersebut dan terus menoleh kebelakang dengan khawatir melihat Saka menggeret Acha susah payah, ia terus berdoa agar peluru yang terus menghantam mereka meleset.

"Ya Allah yang maha penyayang, lindungi kami. Selamatkan kami!"Dalam hatinya, Sabiya terus berdoa gak putus-putus.

"HUBUNGI ORANG TADI, SABIYA?!"

Sabiya membuka matanya, lalu gemetaran kembali menuruti perintah Saka. Ia melirik cemas lagi ke belakang, Saka merobek bajunya untuk menahan luka Acha padahal laki-laki itu juga terluka parah.

"Bagaimana?!"Tanya Saka, keringat dan darah sudah menjadi satu di kepalanya. Saka mendesis sedih, lalu mengusap kepala Acha dengan Sayang."Aku akan melindungi mu, Acha. Kamu akan selamat, kamu akan selamat."Ujar nya berkali-kali."Maaf, maaf."Saka melirik Sabiya, kembali bertanya."Nona?! Apakah sudah di respon?!"

"Ti-tidak di angk--"

"Halo?"

Deg!

Sebuah suara, sangat kecil. Tetapi Sabiya yakin mendengar jawaban meski samar, suara yang amat dalam juga dingin memasuki gendang telinga nya. Sabiya jadi bingung ingin berkata apa."To-tolong!"

Sosok tersebut diam, masih tak memberi reaksi. Sabiya menangis, jadi emosional."Tolong! Tolong kami!"

"Siapa kamu?"

Sabiya melirik Saka meminta bantuan, ia mendadak bodoh saat di situasi genting begini.

Tau kalau Sabiya kebingungan, Saka berteriak."BLACK SAVANA, ONE! AKU ULANGI, BLACK SAVANA!"

Sosok yang di panggil Saka dengan sebutan One tersebut langsung membombardir Sabiya dengan pertanyaan. Black Savana adalah kode darurat, terinspirasi dari gurun pasir yang terlihat indah namun menakutkan."Hei, katakan di mana keberadaan mu?"

Sabiya geleng-geleng, menepuk-nepuk kepalanya dengan kuat. Sakit, rasanya ia ingin pulang saja.

"Halo? Hei, siapa nama mu? Tenang, oke? Cobalah untuk tenang."

Sabiya malah makin kuat menjerit frustasi, ia bingung. Apalagi mendengar orang tersebut seperti sedang dalam mobil.

"Halo? Halo?"

"Ya ..."Balas nya getar.

"Tenang, oke? Tenang. Bantuan akan segera datang, teruslah berbicara."

Sabiya mengangguk bodoh, lalu memejamkan mata sambil menggigit jarinya ketakutan.

"Dengan siapa aku berbicara?"

"A-apa?"

"Dengan siapa aku berbicara?"

Nada lembut itu membuat Sabiya mengedip-ngedip berulang."Sa-sabiya."

"Oke, Sabiya. Tenang, jangan panik. Kamu akan baik-baik saja ya?"

"Iya ... Iya ..."Sabiya mengangguk bodoh, dengan air mata yang terus jatuh.

"Baik, bisakah kamu menjelaskan kondisi yang terjadi? Di mana kamu?"

"Ak-aku ... Hiks, Aku ... Aku--"

"Tarik nafas, Sabiya. Tenang, tenang. Jangan khawatir, aku akan datang kepada mu."

"Aku ... Aku ... Takut! Aku ... Aku ... Mau pulang ... Abah ..."

"Iya, aku tau. Tapi jangan panik ya? Cobalah tenang, jangan gegabah oke?"

"Hmmmm, Iya ... "

"Bagus, ku ulangi di mana kamu?"

"Di Pa-parkiran ba-wah ta-tanah."

"Oke, bisakah kamu lebih spesifik? Misal nya, di bagian mana?"

"Aku di antara mobil-mobil, AKHHHH!"Sabiya menutup kedua telinganya saat sadar sebuah peluru di atas kepalanya. Kaca di atasnya lebah, menghantam dirinya. Sabiya menjerit kaget, lupa kalau sedang berbicara dengan orang."ABAH hiks?!"

"Halo ... Sabiya? Sabiya? Kamu mendengar ku? Sabiya?"

Sabiya menutup mulutnya, matanya berpendar sangat ketakutan. Ia menjerit makin kencang saat Saka dan Acha menjatuhkan diri di samping nya, Sabiya kira itu orang lain. Saka mengedip-ngedip lemah, lalu saat sadar kalau Sabiya jadi sasaran. Ia melompat ke belakang Sabiya, melindungi gadis yang terus bergetar hebat di pelukan nya itu.

Mulut Saka mengeluarkan darah, dekapannya mengendur di pinggang Sabiya. Lalu berbisik amat kecil dan lemah."Ma-maaf ... Maaf kan A-aku Nona."

Bruk

Tes
Tes

Air mata Sabiya berjatuhan, saat sadar di kelilingi dua orang yang sudah tak sadar dan berlumur darah. Suara dari telepon genggam yang terus memanggil nya pun ia abaikan, Sabiya makin di liputi kegelapan dan kengerian.

Kaget dan tak percaya Saka sampai melindungi dirinya dan rela berkorban nyawa, Sabiya memegang tangan Saka. Mengguncang nya."Saka ..."

Tangis nya berderai saat ikut melihat Acha sudah sangat parah, bahkan tak bergerak sedikit pun. Satu-satunya yang sadar adalah dirinya."Saka ... Jangan tinggalkan aku ... Saka ... Bangun ... Tolong! akhhhhhh! Ak-aku takut ... Saka ... Hisk ... Hisk ..."

Sabiya memegang kepala Acha dan tangan Saka bersamaan, menangis keras dan deras. Parah, Sabiya tak kuat lagi. Rasanya ia terus di sudutkan dan di buat sesak."Abah ... Abah ... Akhhhhhh! Abah ... Biya takut. Biya takut ... Abah ..."Rengek Sabiya memeluk lututnya sendiri, lalu geleng-geleng."Abah ... Hisk ... Peluk Biya ... Bawa Biya pulang Abah ..."

Sabiya menjerit-jerit minta pertolongan saat melihat lagi kondisi Acha dan Saka. Otak nya benar-benar hanya berisi gumpalan asap."Mama ... kak Yudha .. kak Alman ... Rehan ... Hiks!"

"Sabiya? Sabiya? Sabiya? Bisa jawab aku? Sabiya?"Orang tersebut bertanya sambil tergesa-gesa memasuki mall yang sudah di kosongkan. Pakaian serba hitam dengan alat-alat lengkap, sosok tersebut memerintahkan anak buah nya untuk masuk dan mulai menjalankan misi penyelamatan."Halo? Sabiya? Bicaralah."Laki-laki itu mulai panik karena yang terdengar hanya suara tangisan saja.

Sabiya sendiri sudah tak dapat berpikir, ia mengambil ponsel tersebut dan terus menangis meminta tolong.

"Aku sudah dekat dengan mu, Sabiya. Jangan takut, hei ... Katakan, mobil apa yang terdekat dengan mu?"

"Tolong ... Tolong aku!"

"Tentu, aku akan menolong mu."

"Adik ku tertembak, hisk! Ac-acha tertembak ... Tolong! Cepat! Aku takut ... Ya Allah, ku mohon cepatlah."

"Iya, tunggu aku. Tenang, Sabiya. Teruslah berbicara ... Warna mobil apa yang dekat dengan mu?"Tanya nya, dengan wajah panik. Tetapi tetap profesional mulai memerintah tim nya, tentara yang akan menolong Sabiya itu berhati-hati memasuki ruang bawah tanah. Saat melihat musuh, ia segera melumpuhkan nya. Sempat bertarung di tangga akhir menuju parkiran, tetapi ia berhasil meringsek masuk."Tetap di posisi, tahan tembakan."Ucap nya saat tim nya sudah memberi laporan.

"Halo ... Sabiya ... Hei, aku akan melindungi mu. Tolong ... Jangan cemas."

"Hijau."

"Ya?"

"Mobil nya warna hijau ..."

"Bagus! Bisa lebih detail, seperti apakah ada stiker di sana?"

"Iya ... Ada ..."

Sosok tersebut mulai melangkah diam-diam, celingak-celinguk mencari keberadaan terget."Apa itu?"

"Gam-bar keropi ... Mobil ini penuh stiker keropi ... Hiks, kenapa kamu lama sekali?! Aku--Akhhhhh! Apa Abah---Abah! Akhhhhhh! Abah! Tolong Bi--"

"Halo .. Sabiya, sab--"

Dor!

Tut-tut-tut

Langkah One terhenti, ia mengepalkan tangannya ke atas tanda untuk diam. Tim yang melihatnya mengerti, Irwan meneguk ludah. Hati-hati melangkah, saat mendengar jeritan ia mulai mempercepat laju nya tetapi tetap menjaga kehati-hatian.

Sementara di posisi nya, Sabiya yang sedang berbicara dengan seseorang di kejutan kala di todong pria bersenjata dengan senyum miring dan leher penuh tato.

Sabiya melotot, gemetaran hebat. Lalu hendak melompat untuk berlari, sayang di sisi lain seseorang sudah menunggu nya. Lalu menjambak kepalanya kuat, menyeret nya bagai hewan. Sabiya melempar ponselnya dan tau kalau Sabiya menghubungi seseorang, sosok tersebut murka dan menampar nya. Lalu menembak ponsel tersebut hingga hancur.

Sabiya di giring ke daerah yang lebih sepi, ia di jatuhkan paksa di hadapan seorang pria berjas hitam yang memakai masker tengkorak. Sabiya berontak, lalu diam saat tepat di depan matanya ada pisau yang mengundang bahaya.

"Shut up!"

Deg!

Sabiya membatu, menggigit bibir bawahnya sambil terus berdzikir. Tangan nya kaku di samping tubuh, begitupun dirinya. Rasanya seperti di tenggelamkan, gelap, sesak, dan sulit sekali bergerak. Sabiya menangis, membiarkan air matanya mengalir tanpa dapat di cegah. Ia ketakutan setengah mati, mencoba untuk tenang selalu gagal. Sabiya makin meringis saat tangan sosok itu mengusap wajahnya, menghapus air matanya dan berbicara dalam bahasa asing.

Sabiya menangkap tato berbentuk tengkorak berasap di dekat tangan nya, lalu menggeleng sigap saat pisau itu berjalan menuju leher nya. Ia mendangak untuk melindungi diri, lalu memejamkan mata mendengar tawa pria misterius itu."Allah, aku mohon lindungi aku. Wahai engkau yang maha kuasa."

"You're so sweet, Honey. With blood pressure."Ucap nya, suaranya serak dan terdengar seram."Pantas saja Hamdan Dirgantara menjaga mu dengan ketat, kau sangat cantik."Ujar nya, tangan nya berjalan menuju wajah Sabiya. Mencengkeram nya."Bagaimana kalau kau tidur dengan ku, Hmm?"

Mata Sabiya menyalak, sebagai wanita. Ia sangat tak suka di rendah kan."Aku lebih baik mati daripada menuruti mu!"Desis nya berani.

Alis pria itu naik, lalu tersenyum simpul. Rasanya menyenangkan di balas oleh perempuan, senang saat ada yang menantang nya."Sayang nya, kau harus menuruti ku, Baby. Kau akan menjadi sandera ku, Hahaha. Kita lihat, apakah Ayah mu lebih menyayangi mu atau negaranya."

Memang, tujuan pria itu menangkap Sabiya adalah sebagai kunci untuk pergi dari Indonesia. Ia akan pergi, dan sebagai balasan Sabiya akan di lepas. Pria tersebut sadar kalau sudah di kepung, jadi untuk bisa selamat keluar dari negara Indonesia ia harus menangkap salah satu orang penting.

"Why don't you leave me?"Lirih Sabiya."Please, Ak-aku tidak tau apapun!"

Kepala sosok tersebut mengangguk-angguk."Ya, kau memang tidak tau apapun. Tapi ... Kau salah karena lahir di keluarga Hamdan, Sayang."

"Aku tidak pernah merasa terbebani karena lahir di keluarga Militer! Aku tidak pernah menyesal mempunyai Ayah seorang Tentara, terlebih Abah ku!"

"Wow ... You amaze me, Dirgantara."

Sabiya berteriak murka saat pria itu hendak mencium pipi nya, ia menampar pria tersebut sekuat tenaga."JANGAN MENYENTUH KU!"Dada Sabiya naik turun."DEMI TUHAN! Jangan ... Jangan menyentuh ku pria gila!"

Pria tersebut tersenyum tipis, mengusap pipinya yang memerah."Ready for die, Hmm?"Itu bukan sebuah pertanyaan, tapi ancaman nyata.

Sosok angkuh dengan Jas hitam tengah mengacungkan pistol di kepala nya. Membuat Sabiya seolah jiwanya melayang, dan tak dapat bergerak sedikit pun."Kau sangat berani untuk menyakiti ku, Sayang."Bisik nya."APA KAU INGIN MATI SEKARANG, HAH?!"Teriak nya murka, menampar Sabiya hingga terpental ke lantai.

Sosok tersebut lalu bercerita mengenai jati dirinya pada Sabiya, sambil terbahak-bahak ia menjelekkan negara nya sendiri. Tetapi tak ada yang tau, ada luka dalam mata hijau yang berbinar.

Bibir Sabiya berdarah-darah, lalu menangis hebat. Gemetar, jiwa nya benar-benar perlahan seolah di cabut paksa. Matanya menangkap sesuatu, kecil. Sabiya menyeringit heran, lalu menggenggam nya.

Air matanya terus menetes, tapi orang itu tak sedikit pun iba. Sabiya melirik Saka dan Acha yang sudah diambang batas, keduanya terbaring penuh darah dan mengenaskan."Let me go... please."Lirih Sabiya parau, dengan suara bergetar."Don't...don't shut me, apa salah ku ... Apa salah ku?"

Pria itu tertawa keras, Sabiya sampai memejamkan mata nya karena kebencian yang kuat. Ia menusuk-nusuk kepala Sabiya dengan pistol, kemudian tanpa diduga-duga membuka penutup wajahnya."Look at me!"

Sabiya mengangkat kepala takut-takut, dan berusaha mengingat lekat wajah di depan nya tersebut. Di perhatikan nya dengan seksama, di pandang nya dalam. Hal yang paling menyita perhatian Sabiya adalah mata hijau terang nya, indah tapi menakutkan. Orang ini bukan berasal dari Asia, rahang tegas nya malah mirip dengan aktris Hollywood yang ia tonton.

Sosok itu memainkan pisau nya di tangan, lalu menempelkan nya di bawah dagu Sabiya."Honey, i will release you if you do what i want. So..."Sosok itu menggantung kalimat nya, menambah kesan seram pada Sabiya. Membiarkan korban nya makin terbelenggu rasa sesak dan takut."Give me the Chip!"Permintaan yang tak dapat di ganggu gugat.

Sabiya tersentak, lalu mencengkeram baju nya yang koyak. Ia tidak menyangka sosok itu tau ia mengambil sesuatu benda kecil seperti memori card. Jika sosok itu menginginkan nya, berarti benda ini amat berharga.

"Jadilah pemberani, putri prajurit nya Abah. Berani membela yang benar, dan menegakkan keadilan. Meskipun seluruh dunia melawan mu, teteplah berpijak dengan gigih. Allah tidak pernah tidur, dan pada akhirnya yang benar akan selalu menang."

Kalimat Abah membuat nya merasa mendapat suntikan keberanian, Sabiya membalas tatapan tajam sosok itu dengan penuh tekat."No! Never, ever and forever!"

Sosok itu rupanya kaget, lalu menyeringai."You Amaze me Dirgantara."Ia meletakkan pisaunya, pistol nya kembali mengambil alih."Give me the Chip, and you will be save."

"In your dreams!"

Plak
Plak
Plak

"Akhhhh!"

Bibir Sabiya berdarah, wajahnya lebam. Sosok itu menamparnya dengan tenaga, sampai membuat wajah Sabiya terpental ke lantai saking kuatnya.

"Holly Shit!"Teriak sosok itu keras-keras, murka."Do you want to die, Hah?!"Tanya sosok itu, seraya menarik rambut Sabiya dengan keras. Sabiya bahkan merasa kulit kepalanya ikut tertarik, dan itu sangat sakit. Sisa-sisa kekuatan nya, ia memberanikan diri untuk meludahi pria tersebut."Fuck you!"Sosok itu menendang kepala Sabiya.

"You jerk!"Jerit Sabiya, kesakitan. Mengerang, memegang kepalanya.

Sosok itu menggerakkan giginya, amat marah dengan ucapan Sabiya."You--! Stupid!"Bentak nya sambil menarik pelatuk pelan-pelan.

Sabiya menangis, ia tak peduli lagi kala sosok itu terlihat bercerita. Ia memejamkan mata saat merasakan moncong senjata menempel di pelipis nya."Abah...Mama."Sabiya kehilangan harapan, memanggil kedua orang tuanya dengan nada keputusasaan. Ia memejamkan mata, pasrah. Kemudian sosok itu menyeringai.

Sosok itu mengokang senjatanya, ia jadi kepingin melenyapkan Sabiya sekarang juga."You die!"

Dar

"Akhhhh!!!"

Teriakan Sabiya di ikuti oleh sosok itu."Shit! What's happened?!"

"Go! Go! Go! Boss, get out! Faster!"Teriak anak buah nya sambil menarik sosok tersebut.

Sabiya membuka mata, nafasnya tercekat. Konyol, ia berpikir sudah mati. Tapi, kalaupun ia tertembak bukan nya ia tak dapat berteriak? Sabiya yang duduk kaku mulai melemas, lalu kemudian jatuh terbaring miring dengan air mata yang ikut mengalir. Apa ini akhir nya? Apa ia akan mati di tangan mafia itu? Sampai kemudian ia merasa tubuhnya melayang.

Sebelumnya, One mengikuti teriakan Sabiya. Ia ikut memperhatikan Sabiya yang tengah di ancam dengan senjata, takjub saat mendengar balasan dari gadis itu. Meskipun ketakutan, terlihat kalau Sabiya berupaya untuk tegar. One menatap anggota tim nya."Aku akan keluar!"

"Kau gila?!"

"Lakukan tembakan perlindungan, aku akan menyerang."

"Mayor One--"

"Lakukan perintah ku, Kasuari!"

"Shit!"

Mayor One, yang bernama asli Irwansyah Regara Satria Bagaskara itu membidik musuh. Perlahan-lahan, ia maju lalu saat di rasa keadaan cukup genting dan target yang harusnya di lindungi dalam bahaya.

Dor

Irwan lari secepat kilat, membopong tubuh wanita yang sudah tak berdaya. Ia menunduk dalam, lalu menjatuhkan diri di balik mobil. Bersembunyi, wanita dalam dekapannya itu berontak keras.

Irwan terpaksa mendorong nya di depan pintu mobil, lalu menekan kedua tangan nya di sana."Tenang, tenang. Hei, Tenang!"

Sabiya membeku, menatap sosok di depan nya dengan takut-takut."Jangan ..."

Sesaat Irwan terdiam, lalu melepaskan tangan nya. Dan ganti, menggenggam tangan Sabiya erat."Aku tidak akan menyakiti mu, aku adalah orang yang kamu hubungi. Jangan khawatir, aku datang untuk melindungi mu. Aku tidak akan menyakiti mu, percayalah."

Mata Sabiya berpendar gelap, lalu orang tersebut mengaku sebagai Tentara. Ia hanya terisak mencoba untuk paham segalanya."Kamu ... Tentara?"

"Ya, dan aku akan menyelamatkan mu."Irwan mengusap wajah Sabiya, meneliti nya apakah terkena tembakan atau sebagainya."Maaf."Katanya, menarik hijab Sabiya ke depan karena rambut-rambut halus terlihat di sana."Dengar, aku butuh informasi mu."

Sabiya menatap sosok tersebut dalam diam, lalu menangis. Informasi apa? Ia bahkan tak dapat berpikir jernih.

"Sandera bersamaku, lindungi kami!"Perintah Irwan, kemudian menatap Sabiya kembali."Apa yang kau lihat?"Irwan memejamkan mata, dan membuang nafas tak sabar saat Sabiya hanya menangis dan menangis."Aku butuh informasi mu!"

Seorang wanita yang tampilannya sangat hancur terus diam, pandangan nya kosong namun air mata terus meluruh deras. Jiwa wanita itu bagai hilang dengan kewarasan nya. Irwan melirik sekitar hati-hati, mereka tengah bersembunyi dari intaian Mafia. Wanita itulah target nya, Irwan hanya di tugaskan untuk membawanya kembali dengan selamat.

"Tolong! Katakan sesuatu, aku akan menjagamu! Dengar, kita bisa keluar dari sini dengan selamat jika kau mau bekerjasama."

Mata wanita itu mengerjap penuh kengerian."Ak-aku ti-tidak tau."Lalu menangis kembali."Ak-aku tidak ta-tau ... Hisk."

Irwan terdiam, wajah di depan nya ini penuh darah. Benar-benar terlihat ketakutan. Lalu, ia menyerah."Maafkan aku sudah memaksamu."

Irwan menelan ludah, mengusap kepalanya hati-hati."Jangan khawatir, aku akan menjagamu melebihi nyawaku. Prajurit ini sedang berjanji padamu, maka percaya lah itu."

Sabiya tak menjawab, tapi kemudian ia berteriak saat peluru melintas di sekitarnya. Beruntung, Irwan sigap menariknya dan membawanya berlari.

Sambil memeluk wanita yang kini melemas, Irwan berkata selagi mengelus kepalanya yang penuh pecahan kaca."Tutup matamu, Sabiya. Lupakan ini semua, dan jangan takut. Jadilah pemberani, aku bersamamu."

Dia meredam kepala Sabiya di dadanya, lalu mulai menembak ke berbagai arah. Tatapan mata Irwan tajam, sarat akan kemarahan yang meluap-luap.

Saat tembakan mulai tak terdengar, tanpa ia duga Sabiya berkata."Mereka mempunyai Tato ditangan nya, sebuah gambar tengkorak berasap di dekat jari jempolnya."Katanya cepat, tapi sukses di denger Irwan. Teriakan nya menggema lantang saat tembakan terus menghujami mereka, Sabiya refleks memeluk leher Irwan kuat-kuat."Jangan tinggalkan aku ... Jangan tinggalkan aku ..."

"Zulfan?! Pintu keluar bagaimana?!"

"Masih berbahaya, One. Musuh banyak sekali di sini, jangan keluar sampai aba-aba ku!"

"Mobil ini akan hancur!"

"Lari lah, aku akan melindungi kalian!"

Mendadak Satria berkata, Irwan menurut. Lalu membopong Sabiya dengan mudah, ia menoleh saat Sabiya menjerit kaget ke arah dua orang yang tergeletak tak berdaya.

"ACHA?!"

Irwan mendesis, efek teriakan Sabiya. Mereka jadi sasaran empuk, dengan terpaksa Irwan turut bersembunyi lagi. Sabiya berontak dalam dekapan nya, memeluk sang adik. Melihatnya, Irwan menarik Sabiya."Diam! Diam!"

Sabiya menggeleng merespon nya, lalu menjerit frustasi. Irwan menekan kepala Sabiya, memaksa untuk terus menatap matanya."Sabiya, diam. Oke? Adik mu akan baik-baik saja, jangan bersuara."

"Tapi---"

"Percayalah, Sabiya. Semua akan baik-baik saja, mengerti?"

Sabiya mengangguk kaku.

"Bagus."Irwan menghubungi seseorang."Kasuari, ke posisi ku!"

"Siap!"

Sabiya memejamkan mata dan terus berdoa di samping sosok yang sedang mencoba melawan dengan cara menembak. Sosok tersebut seperti tidak punya rasa takut, terus balas menyerang tanpa ampun.

Ia terkejut kala tiba-tiba, sosok lain hadir. Sabiya sampai memeluk kaki Irwan karena ketakutan, membuat Irwan menoleh dan mendapati teman nya sedang menunggu perintah."Bisakah kau bawa korban?"

"Ya!"

"Lakukan lah, berlari lah sekuat tenaga. Satria dan Zulfan akan melakukan tembakan perlindungan untuk mu!"

"Di mengerti!"

Sabiya mengedip-ngedip tak mengerti saat sosok tersebut membawa Acha."Ap-apa yang kau lakukan?"Tahan nya.

"Aku akan membawanya keluar."

"Jangan! Jangan bawa adikku pergi! Dia kritis! Jika kau membawanya pergi, kalian bisa tertembak seperti tadi. Adikku bisa saja meninggal, Hiks."Sabiya menahan kaki seorang yang datang untuk mengevakuasi Acha."Jangan! Jangan pergi! Tolong ... Aku tidak ingin kehilangan adik ku."

Sosok tersebut menatap Ketua tim nya dengan bingung. Untungnya, sang Mayor mengerti lalu dengan lembut melepas tangan Sabiya pada kaki anggotanya."Jangan tahan dia, Sabiya. Seperti yang kamu bilang. Adikmu kritis, dia butuh penanganan cepat. Percayalah, kawan ku akan menjaga adikmu dengan nyawanya. Dia seorang prajurit, dia sudah terlatih. Adikmu akan aman dan selamat. Biarkan dia melakukan tugas nya."

Sabiya membalas tatapan elang itu dengan mata berkaca-kaca."Te-tembakan terus terdengar, me-mereka bisa-"

"Kita tidak punya banyak waktu, biarkan adikmu menyusul Sak-Maksudku, bodyguard mu agar bisa dapat bantuan medis segera. As soon as possible, right? Kamu juga harus keluar dan selamat setelah ini."Potong nya cepat.

"Dengarkan aku, kawan ku tidak akan membuat adikmu tertembak atau terluka. Dia akan menjaganya dengan baik, sangat hati-hati. Kami seorang prajurit, kalian adalah bagian tugas kami. Dan kami akan melakukannya dengan sebaik mungkin. Paham?"Sabiya tidak membalas.

"Mayor One, aku menunggu perintah selanjutnya."Sambar prajurit yang sudah siap pergi dengan Acha. Sabiya menatap dengan berat.

Sosok yang di depan Sabiya mengangguk ringan, lalu berucap."Lakukan tindakan evakuasi korban secepatnya, Kasuari. Pergilah, dan hati-hati."

"Siap, Mayor!"

Semua terjadi begitu cepat, jantung Sabiya menggema keras tiap kali prajurit yang membawa Acha berlari sesekali melindungi diri. Ia memejamkan mata, menggigit bibir bawahnya."Allah, selamatkan adik ku."

Ia sedikitnya lega saat prajurit tersebut kembali untuk membawa Saka keluar. Sabiya menangis sampai tersedu-sedu, sesak. Air mata dan darah seolah tercampur rata.

"BRENGSEK?!"Sabiya terlonjak kaget mendengar seruan orang di sampingnya, ia di tarik berdiri. Karena tak siap Sabiya terjatuh, tapi kemudian dirinya di seret segera."AWAS?!"

Booom!

"Akhhhhhh?!"Teriakan Sabiya di ikuti bunyi sirine mobil-mobil yang berbunyi. Sabiya sulit bernafas, ia merasakan pipinya di tepuk-tepuk."Mama ... Mama ..."

"Hei, tenang. Hei,"Irwan melirik sekitar, merasa aman di balik mobil yang cukup besar."Sabiya, Sabiya. Bernafaslah! Hei, Sabiya. Nafas!"Perintah nya karena Sabiya seperti tak dapat mengais udara dengan benar dan wajahnya benar-benar makin parah.

"Aku ... Aku tidak bisa dengar ..."Ucap Sabiya geleng-geleng berulang."Hisk ..
Hisk ..."

"Sabiya ... Sabiya ... Tetap bersama ku, oke? Lihat mata ku, Sabiya. Hei, hei, jangan tutup matamu. Sabiya, tenang ya? Tenang."Ujar nya lembut, Sabiya melompat dalam pelukan nya karena kaget dengan suara tembakan."Tenang, tenang ... Aku bersama mu"

"Jangan kemana-mana!"

"Ya, aku akan tetap bersama mu."

Sabiya baru sadar kalau bahu belakang orang tersebut terkena luka bakar, ini pasti efek menyelamatkan nya."Ba-bahu mu ---"

"Aku seorang prajurit, nyawamu lebih berarti daripada nyawaku. Dan aku akan menjagamu dengan nyawaku. Luka tidak akan menghentikan ku untuk melindungi mu."

Sabiya melepaskan dekapannya, lalu menatap sosok tersebut dengan gemetar.

"Lihat mataku, dan katakan jika kau menemukan keraguan di dalam nya. Aku berjanji akan membawa mu kembali dengan selamat. Pegang janjiku, meski aku tertatih membawamu keluar aku tetap tidak akan meninggalkan mu."

Kala itu, Sabiya terus menangis deras. Ia terus terisak keras, membuat prajurit tersebut berupaya membesarkan kesabaran nya.

Nekat juga terpaksa, ia memegang sisi kepala Sabiya dengan kedua tangan nya. Pegangan nya kuat, khas seorang yang bertenaga.

"Aku janji, dan saat seorang prajurit berjanji, ia tak akan pernah mengkhianati. Percayalah."

Sabiya membalas dengan senyum pedih."D-ia juga seorang prajurit, tapi--dia mengingkari janji nya pada negaranya. Jadi, bagaimana bisa aku mempercayai mu?"

Prajurit itu membeku."'Dia' di sini? Siapa? Apa... penyandera itu?"Selidiknya.

Tapi Sabiya tak menjawab dan malah bilang."Aku hanya ingin pulang, aku ingin kerumah. Ku mohon, aku takut sekali. Aku ingin bersama Abah, Mama dan Kakakku...Hiks. Bawa aku pergi, ku mohon."

Terbawa suasana, prajurit itu mendekap Sabiya erat-erat."Jangan menangis, apa bisa? Kita sedang bersembunyi, jangan menimbulkan suara sekecil apapun."Dia meredam suara Sabiya di dadanya."Jika ada yang harus mati dalam pertempuran ini, maka aku lah orang nya. Bukan kamu."

Irwan memeluk Sabiya, lalu memutuskan untuk menyerang. Satu jam lamanya mereka bertarung, Sabiya tidak bisa di evakuasi. Jadi, selama itu pula ia mau tak mau terus bersama Irwan.

Bahkan, saat-saat terakhir nya. Yang Sabiya lihat sepasang alis hitam yang teejejer rapi, tangan Sabiya yang memeluk erat tubuh Irwan mengendur. Ia jatuh tak sadarkan diri dengan segera, Irwan menangkap nya dan membawa nya keluar dengan selamat.

"Kamu adalah gadis yang pemberani, Sabiya."

Sekarang

Irwan mengelus punggung Sabiya saat istrinya terus menangis deras, di tengah jalan cerita Irwan meminta untuk berhenti. Tetapi Sabiya terus memaksakan diri, kuda nya sudah di ikat di batang pohon. Keduanya kini duduk di atas bebatuan, Irwan mengecup kepala atas Sabiya."Kamu hebat, kamu benar-benar Ufairah-ku."

Sabiya melepaskan pelukannya, tubuhnya masih gemetaran akibat ketakutan ingat kejadian itu. Sabiya membiarkan Irwan mengusap wajahnya dengan senyum tipis."Jangan takut, aku bersamamu."

Mengangguk, Sabiya melompat lagi ke pelukan Irwan. Rasanya puas sekaligus lega, walaupun ada beberapa titik dalam hati nya kembali terluka."Dia juga pernah nelpon Biya, Abang ..."

"Aku tau."

"Dia bilang akan kembali."Lirih Sabiya.

"Tidak akan ku biarkan dia menyakiti mu lagi, tidak akan ku biarkan dia menyentuh mu sedikit saja."Bisik Irwan."Aku akan menjagamu melebihi nyawaku."

"Abang ..."

"Ya, Ufairah?"

"Tetap di samping Biya."

Irwan tersenyum, mengelus kepala Sabiya dengan sayang."Sampai maut menjemput, Sayang. Sampai maut memisahkan."Irwan membiarkan Sabiya tenang lebih dahulu, baru saat di rasa sudah cukup Irwan membuka mulut."Sabiya, aku ada beberapa gambar seseorang. Tolong jawab dengan jujur apakah orang ini adalah pelaku nya, bisa?"

Sabiya menatap Irwan, tau ketakutan nya. Irwan menggenggam tangan Sabiya erat."Cukup jawab saja, Sabiya. Jangan takut, ya?"

"Baiklah."

"Ini."Irwan mengeluarkan foto."Apa ... Dia orang nya?"Jauh dalam hati Irwan, ia berharap jawaban Sabiya adalah tidak.

Sayang, melihat gerak-gerik Sabiya yang langsung gemetaran. Irwan tau, sosok itu adalah pelaku sebenarnya. Irwan langsung menyimpan foto tersebut, lalu kembali menarik Sabiya dalam pelukan."Sudah ya? Semua nya sudah berlalu, kamu akan baik-baik saja."

Irwan memejamkan mata, lalu mengeratkan pelukannya. Ia ikutan sedih, kenapa ... Kenapa teman nya?!

"One, kau tidak apa-apa?"

Suara itu, Satria. Irwan melirik sekitar, menemukan Satria. Lalu menggigit bibir bawahnya, kesedihan menghantam pria itu. Tetapi Irwan menyembunyikan nya.

"Jadi benar ya, dalang nya adalah ..."Saka juga tak dapat melanjutkan kalimatnya, sangat terpukul."Sial!"

Satria menghela nafas."Dia pasti sedang sedih sekarang ini."

"Dia?"

"Irwan."Satria tersenyum sendu."Dia sangat mempercayai teman-teman nya, Irwan ... Demi tuhan! Bayangkan saja kalau di posisi nya, ia harus menjaga istri nya dengan cara melawan kawan nya sendiri."

"Kabar baiknya, Sabiya menyimpan chip itu."

"Ya, chip pertahanan angkatan laut ternyata di tangan yang tepat selama ini."

"Kita pulang ya?"Ajak Irwan.

Sabiya mengangguk."Abang ..."

"Iya?"

"Biya ... Mau ... Pulang bareng Abang."Cicit nya.

Irwan tertawa, mengecup tangan Sabiya."Dengan senang hati."

"Ugm ... Setelah ini kita akan bertemu Zayla kan?"

Irwan membeku, tangan nya yang sedang menarik tali ikut diam. Lalu, menoleh kebelakang. Ia mengangguk kecil."Ya, kita akan bertemu dengan nya."

"Ya Allah, aku hanya ingin berlalu baik. Semoga Zayla akan mengerti dan Sabiya menerima semua ini."

Irwan tersenyum getir mengingat tawa anak kecil yang selalu terekam dalam kepalanya."Abi pulang."

***

Abi dong ABIIII😈

Iya, Abi itu lhooo panggilan anak kecil ke Bapak nya😁😝

Abi Irwan dari anak istri pertama

Abah Irwan dari anak istri kedua

Ayah Irwan dari anak istri ketiga

Haduhhhh enak ya Mayor One 😆

Senang nya dalam hati ... Kalau beristri tigaa Wkwkwk

PART DEPAN KETEMU ZAYLA?!

SIAPA YANG NGGAK SABARRR

Emak lebih nggak tahan mau ketemu One junior 😋

Say something ke tiga ciwik-ciwik dalam hati Mayor coba💕

Zayla

Sabiya

Azkia

Mantapppp One! Kawinin aja semuaaaa nya🤣

GIMANA PART INI?!

APAKAH DAPAT TEGANG-TEGANG NYA?!

BAPER NYA?!

KURANG KEJAMMMM, NANTI KITA KE RUMAH ABAH YA----BACAIN YASIN HAHA😖

Jadi kangen DOTS😭

Bocoran part depan

Zayla : "Aku merindukan mu, Regara."

Sabiya : "Ku menangisssssss"

Wkwkwkwk 💃

Terimakasih sudah membaca Irwan dan Sabiya 💕

Love you Sabi's

J. S Row pacar satu-satunya Jisung Nct 😚

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 46.8K 39
[Atmadja series] [Sedia tisu sebelum membaca, karena cerita ini memiliki alur dengan konflik berat dan plot twist yang menguji kesabaran, emosi dan a...
119K 13.2K 36
"Gue mendingan nikah sama anak SMA ketimbang hidup sama orang yang gak pernah nganggep gue ada." "Selama ini apa Mas pernah peduli sama Aya? Enggak M...
306K 15.8K 30
Aku tidak mencintaimu, tapi aku tak pernah menyesal menikahimu Novel ini sudah terbit dalam bentuk buku.. pemesanan bisa menghubungi Ae Publishing ca...
6.6M 463K 58
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...