My Little Wife[✔]

By deraxchochoblue

162K 18.9K 1.5K

❛❛Aku tahu kau pasti merasa ragu, tapi biarkan aku membuktikan kalau aku memang menyayangimu. Menikah dengank... More

Restu
Calon
Keluarga
D-Day
Hari Pertama
Ibu Rumah Tangga
Taman Bermain
Tanggung Jawab
Who's that girl?!
Kesehatan Jantung Jisoo
One Step Closer
Day to remember
Perasaan Aneh
Sumber Energi
Rindu
Keluarga Min
Piano
SPECIAL CHAPTER: UCAPAN ADALAH DOA
Keraguan
Pertanyaan Lain
Alasan Sebenarnya
SPECIAL CHAPTER: The Day We First Met
Kecewa
Lean On Me
Usai
His Weak Side
It's (Not) Over
Her Guardian Angels
Secercah Harapan
Everyone's Favorite Girl
Baikan?
Lost Without You
SPECIAL CHAPTER: Rencana Kabur Bersama
Don't Give Up On Us
Home
SPECIAL CHAPTER: Gadis Pertama
BONUS CHAPTER
SPECIAL CHAPTER: Main Bersama
BONUS CHAPTER
BONUS CHAPTER

I'll Try

2.8K 406 27
By deraxchochoblue

Fyi, chapter 31 ini masih berlatar hari yang sama dengan chapter sebelumnya.
Happy reading 🤗

Jarum jam terpantri di angka 10, sudah tidak bisa dikategorikan sebagai pagi hari sih, tapi tetap saja aneh melihat Soobin sudah bersiap dengan pakaian rapinya di saat hari tengah libur begini. Seusai simulasi ujian selesai dilaksanakan yang berakhir membuat kepala beberapa siswa terasa mau pecah, sekolah memberikan jatah libur sebagai bentuk persiapan diri menghadapi simulasi ujian kedua sekaligus yang terakhir sebelum akhirnya ujian kelulusan yang sesungguhnya.

Satu-satunya penghuni yang ada di sana juga rupanya menangkap keanehan itu. Biasanya saat sedang libur Soobin memilih mengurung diri di kamar dengan komputer miliknya, keluar kalaupun membutuhkan sesuatu atau ada keperluan penting, makanya Jaera menatap bingung sang adik dari balik meja makan.

Pandangan mata keduanya beradu ketika Soobin selesai berurusan dengan ponselnya, "Kau mau kemana, Soobin-ah?"

"Menjenguk teman." Ponsel Soobin kembali bergetar tanda masuknya pesan dari Jeno. Jaera hendak bertanya kembali saat suara teriakan milik Donghyuck terdengar memanggil nama Soobin dari arah gerbang depan, sang pemilik nama sontak bangkit dan berjalan menuju gerbang untuk membuka'kan pintu.

"Oh, kau sudah siap ternyata." Itu menjadi salam pembuka yang Donghyuck lontarkan sesaat setelah melihat penampilan Soobin yang rapi, "Kita mau langsung pergi saja?"

"Kalian masuk saja dulu, duduk sebentar menunggu yang lain siap sekalian aku mau mengambil buku catatatan." Soobin membuka pintu lebih lebar agar sepeda milik Donghyuck dan Jeno dapat masuk ke dalam.

"Astaga, aku lupa membawa buku catatan untuk Jisoo." Donghyuck menepuk keningnya, yang hanya dilirik malas Jeno di samping,

"Mau bawa juga percuma, kau'kan tidak pernah mencatatat." Donghyuck mendengus dan Soobin terkekeh pelan.

"Kau sendirian?" Donghyuck berbisik ketika mereka berjalan berdampingan masuk menuju rumah Soobin, tak perlu menjawab sebab sosok Jaera lantas menampakkan dirinya, tersenyum menyapa kedua teman adiknya.

"Dia kakakku. Nuuna, ini Donghyuck dan Jeno." Donghyuck dan Jeno menundukkan kepala memberi salam, kemudian digiring untuk duduk di sofa ruang tamu.

"Aku mau mengambil catatan dulu, kalian tunggu di sini." Soobin memilih mengundurkan diri, menyisakan kedua temannya bersama Jaera di ruang tamu.

"Kalian mau minum atau makan sesuatu?" Jeno buru-buru menolak dengan ramah sebelum Donghyuck sempat membuka mulut, ia takut menyusahkan Jaera sebab kadang Donghyuck itu suka tidak tahu diri kalau berurusan dengan makanan.

"Ck, kau apa-apaan sih, aku'kan haus." Bisik Donghyuck di samping Jeno, lelaki berkulit tan itu protes sebab menurutnya kalau ada rejeki jangan ditolak.

"Malu, hyuck." Jeno menjawab dengan bibir melengkung tersenyum ke arah si tuan rumah.

Jaera tersenyum kecil, bisik-bisikan itu terdengar samar di telinganya dan menurutnya itu mengemaskan. Dasar anak-anak remaja.

"Nuuna mau pergi juga?" Donghyuck melontarkan pertanyaan basa-basi sebab melihat pakaian yang Jaera kenakan,

Jaera sendiri ikut menoleh menatap pakaian miliknya, tersenyum kecut sebelum menjawab, "Aku baru pulang bertemu seseorang. Kalian teman sekelas Soobin di sekolah?" Jaera mengalihkan topik pembicaraan selain agar membuat kedua teman adiknya tidak merasa canggung sembari menunggu Soobin balik dari kamarnya juga sebagai pelarian supaya dirinya tidak mengingat kejadian beberapa saat lalu.

"Iya, nuuna. Kami sekelas dengannya."

"Bagaimana Soobin kalau di sekolah?"

"Soobin baik. Ia tidak banyak bicara, pendiam sekali." Bukan hal yang mengejutkan sih bagi Jaera, adik lelakinya itu memang luar biasa pendiam sejak kecil. "Diantara kami bertujuh, Soobin yang paling jarang bicara."

"Oh, Soobin punya teman-teman lain selain kalian?" Jaera tidak tahu dapat merasa senang begitu mendengar kenyataan Soobin yang memiliki banyak teman, lelaki itu berarti dapat berbaur dengan baik. Rasa khawatir dan takut Jaera terhadap Soobin bisa sedikit berkurang, sebelumnya ia merasakan perasaan demikian sebab Jaera merasa ia kurang memperhatikan Soobin, ia jarang di rumah dan sibuk bekerja padahal keluarga Soobin di Seoul hanyalah dirinya.

"Kalian lalu akan pergi menjenguk teman beramai-ramai?"

Jeno mengangguk, "Kami akan bertemu dengan tiga teman kami yang lainnya di halte bus, mereka tadi mengirim pesan masih bersiap jadi kami menunggu di sini."

"Kalian akan menjenguknya di rumah atau rumah sakit?"

"Rumah sakit," Usai mengatakan itu Donghyuck menoleh cepat pada Jeno, "Jisoo masih di rumah sakit'kan?"

Jaera yang sudah tersenyum geli karna tingkah laku Donghyuck mendadak menegang begitu pemuda itu menyebut nama yang tidak asing. "Nama teman kalian Jisoo?"

"Iya, namanya Jisoo, sebenarnya kami sudah menjenguknya kemarin tapi tidak bisa lama. Makanya, hari ini kami mau datang lagi ke sana. Kasihan dia, tidak ada yang menemani." Pelopor menjenguk Jisoo hari ini memang datang dari Donghyuck, walaupun terlihat nakal begini, Donghyuck paling peduli dengan yang namanya teman. Apalagi ia tahu beberapa hari silam Jisoo terlihat murung, ditambah fakta bahwa kemarin ketiga kakak lelaki yang mereka jumpai ternyata sudah memiliki kesibukan sendiri.

Jaera mencoba untuk berfikir positif, bukankah banyak orang Korea bernama Jisoo? Nama tersebut juga bisa dipakai lelaki dan perempuan, mungkin Jisoo yang mereka bicarakan berbeda dengan yang ia pikirkan.

"Memangnya ia tidak ada orang tua?" Jaera bertanya dengan hati-hati, ia tahu tidak sopan mengorek informasi pribadi seseorang yang tidak ia kenal melalui orang lain pula, tapi Jaera sudah terlanjur penasaran.

"Setahuku orang tuanya sudah meninggal saat ia masih kecil, Jisoo sekarang tinggal bersama tiga kakak lelakinya. Kakak-kakaknya terlihat protektif sekali padanya, wajar sih, Jisoo adik bungsu mereka." Jeno menyenggol Donghyuck pelan, menurutnya tidak baik membicarakan teman mereka sendiri pada orang asing, tapi namanya juga Lee Donghyuck. Lelaki itu malah balas memandang sengit Jeno.

"Aduh, kasihan sekali ya. Tapi pasti ia lelaki yang mandiri."

Jaera mengerutkan kening bingung alih-alih tersinggung saat Donghyuck menahan tawanya, tapi tak lama raut terkejut memenuhi wajahnya saat mendengar kalimat penjelasan dari Donghyuck, "Nuuna, Jisoo itu perempuan."

Memori dirinya ketika bertemu pertama kali dengan Jisoo di kantor Yoongi terlintas, seragam yang gadis itu kenakan sangat mirip dengan seragam Soobin. Sesuatu terasa menghantam dirinya, Jaera lantas memilih pamit dan bergegas menemui Soobin.

"Kau tidak seharusnya membicarakan Jisoo pada orang asing, Hyuck." Jeno menyikut lengan Donghyuck bertepatan dengan Jaera yang pergi menghilang dari hadapan.

Donghyuck mengadu, mengelus perutnya yang terkena serangan dadakan, "Aku hanya membicarakan hal biasa mengenai Jisoo pada kakaknya Soobin. Lagipula kurasa itu baik untuk membuatnya mengenal sedikit demi sedikit mengenai calon adik iparnya."

"Hah? Apa maksudmu?"

"Ei, kau ini hanya pintar pelajaran saja ya. Untuk apa berteman dengan Jaemin kalau kau masih tidak bisa mengerti masalah begini."

"Ck, tidak usah berbelit. Maksudnya apa?"

Donghyuck mencibir tapi ia akhirnya tetap menjawab pertanyaan Jeno setengah berbisik dan membuat Jeno terkejut, "Kurasa Soobin menyukai Jisoo."

"Tidak mungkin!" Jeno menutup mulutnya dengan kedua tangan, melirik ke arah dalam lalu menilik temannya lagi.

"Tidak ada yg mustahil di dunia ini, bro. Lagipula tidak lihat diantara ketiga perempuan di pertemanan kita, Soobin terlihat lebih dekat dengan Jisoo?"

"Ya, mungkin karna Jisoo yang lebih dulu berteman dengan Soobin?" Jeno ingat bahwa Jisoo'lah yang pertama kali menarik Soobin ke dalam lingkup pertemanan mereka, sehingga akhirnya sekarang Soobin bisa ikut berteman dengan Jeno dan kawan yang lain.

"Bisa iya, bisa juga tidak. Tapi dari sudut pandang seorang Lee Donghyuck ya, Soobin memang terlihat menyukai Jisoo." Jeno memutar bola matanya. Malas meladeni Donghyuck dan segala hal aneh yang keluar.

Menurut Jeno, perlakuan Soobin biasa saja, lelaki itu tidak menunjukkan tanda-tanda menyukai Jisoo seperti yang sering ia lihat di diri temannya yang berkencan. Namun Jeno juga tidak bisa menampik bahwa terkadang ia menangkap basah Soobin memperhatikan Jisoo, juga sikap Soobin yang terlihat lebih santai saat berbicara dengan Jisoo daripada dengan Haeum atau Mirae, tapi bukankah itu belum cukup untuk menyimpulkan bahwa Soobin menyukai Jisoo?

Ah, sudahlah Jeno malas memikirkannya. Biarkan itu menjadi urusan Soobin.

Di sisi lain usai meninggalkan tamunya di depan Jaera berjalan menghampiri Soobin yang baru saja keluar dari kamar dengan membawa beberapa buku di tangan, belum sempat lelaki tersebut membuka mulut, Jaera sudah melontarkan pertanyaan perihal siapa teman yang akan dirinya dan teman-temannya kunjungi.

"Jisoo." Soobin sudah mempunyai firasat saat Jaera lagi-lagi bertanya hal seputar Jisoo bahkan sampai meminta foto si gadis. Astaga, baru ditinggalkan beberapa menit dengan Donghyuck padahal.

"Untuk apa menanyakan hal itu?"

"Aku ingin memastikan sesuatu. Kau punya?" Melihat nada bicara Jaera yang terdengar memaksa, Soobin akhirnya meraih ponsel. Membuka galeri dan menunjukkan foto dirinya dengan teman-teman yang lain saat di taman bermain tempo hari. Hanya sebuah foto tapi berhasil membuat Jaera merasakan dadanya terhimpit. Istilah dunia itu sempit ternyata ada benarnya, dari sekian banyak orang bernama Jisoo yang bisa menjadi teman Soobin kenapa harus Jisoo yang ia kenal?

"Kau mau mengunjungi bocah ini? Tidak boleh, aku tidak mengijinkan kau pergi menjenguknya." Soobin mengeryit, tidak mengerti kenapa Jaera tiba-tiba terlihat sangat marah begini.

"Apa maksudmu? Jisoo temanku, ia sedang sakit, tentu aku akan menjenguknya."

"Ck, kau tidak seharusnya berteman dengan bocah sepertinya. Aku tidak mengijinkan, kau tidak boleh berteman dengan dia." Jaera melipat kedua tangannya, memandang sengit adiknya yang masih membela Jisoo. Ia kesal, ia marah dan tidak suka. Terlebih kejadian tadi pagi masih membekas di ingatannya dan melukai harga dirinya. Yoongi menolaknya dan memilih bocah itu, lalu kini adiknya juga akan berlaku demikian.

"Kenapa kau tiba-tiba mengaturku?" Soobin berusaha mengatur nada bicaranya agar tidak meninggi.

"Karna aku kakakmu."

"Kakak ya? Jadi, sekarang kau ingin bermain peran itu lagi?" Soobin yakin dirinya tidak sengaja melontarkan kalimat tersebut, ia sepertinya terpancing akan ucapan Jaera barusan.

"Apa maksudmu, Soobin?" Jaera menurunkan lipatan kedua tangannya, tatapan sinisnya masih terlihat walau tidak setajam sebelumnya.

Soobin menarik nafas dalam-dalam sebelum berujar, "Selama ini kau kemana saja? Kenapa tiba-tiba ingin bermain peran sebagai seorang kakak? Nuuna, bukannya bermaksud kurang ajar, tapi bukan'kah sudah telat untuk bertingkah seperti seorang kakak sekarang?" Soobin melirik sekilas ruang tamu, berharap teman-temanya tidak mendengar perdebatan dirinya dan Jaera.

"Nuuna, aku tidak tahu pasti apa masalahmu dengan Jisoo, tapi apakah ini juga ada hubungannya dengan Yoongi-hyung?" Jaera menautkan alisnya, ekspresi terkejut terpampang di sana membuat Soobin dapat mengerti bahwa sekali lagi tebakannya benar.

"Aku bertemu dengan Yoongi-hyung kemarin, ia memberitahuku bahwa ia sudah menikah dan Jisoo adalah istrinya," Soobin memelankan suara agar tidak ada yang mendengar fakta itu selain Jaera, "Aku tahu kau pernah terlibat akan suatu hubungan dengan Yoongi-hyung, tapi nuuna, itu terjadi di masa lalu. Yoongi-hyung mempunyai kehidupannya sendiri sekarang dan kau juga seharusnya begitu."

"Kau tidak mengerti, Soobin-ah. Kau tidak mengerti bagaimana rasanya." Soobin merasa sedih saat melihat mata kakaknya mulai berkaca-kaca, tanpa berbicara ia lalu menarik Jaera ke dalam pelukan, "Kau tidak mengerti, Soobin. Aku masih menyayangi Yoongi, tapi ia justru menikah dengan orang lain."

"Kalau kau menyayanginya, lantas kenapa pergi saat itu?" Pertanyaan itu sangat menganjal di kepala Soobin, mengenai kakaknya yang tiba-tiba pergi meninggalkan dirinya dan kedua orangtuanya tanpa memberitahu alasan jelas. Apalagi kedatangan Yoongi dulu di rumah mereka untuk bertanya perihal Jaera makin membuat rasa penasaran membuncah.

"Aku takut. Ia mengajakku ke jenjang serius tapi aku belum siap. Menikah tidak ada dalam daftar prioritasku saat itu."

"Nuuna, itu jawabannya." Soobin menarik diri, "Yoongi-hyung menaruhnu dalam daftar prioritasnya maka itu ia mengajakmu menikah tapi kau tidak melakukan hal yang sama."

Jawaban itu seolah menjadi tamparan bagi Jaera. "Nuuna, ini bukan salah Jisoo, rasanya tidak adil melihatmu marah begitu padanya. Ia temanku, bahkan ia yang membuatku mempunyai banyak teman sekarang." Melihat Jaera yang belum memberikan tanggapan, Soobin kembali melanjutkan kalimatnya.

"Kau ingat aku pernah bercerita mengenai gadis yang mengajakku bicara di saat semua teman yang lain menertawakanku karna dialekku?" Jaera mengangguk, menghapus air mata di pipinya. Topik itu merupakan topik pertama yang kedua saudara Choi tersebut bicarakan setelah sekian lama tidak berjumpa akibat Jaera yang pergi ke luar negeri, "Teman itu Jisoo."

Jaera tidak tahu harus memberikan reaksi seperti apa, dulu saat mendengarnya pertama kali ia merasa senang, mengucapkan terima kasih dalam hati pada teman yang Soobin maksud tempo hari karna sudah bersikap ramah pada adiknya, tapi kini saat mengetahui sosok sebenarnya, entah kenapa Jaera merasa aneh. Masih ada perasaan berterima kasih dalam dirinya, tapi bercampur dengan rasa tidak percaya serta bersalah.

"Nuuna, aku tidak memaksamu menyukai Jisoo. Aku tahu pasti sakit melihat orang yang kau sukai bersama orang lain, tapi bukankah lebih sakit melihatnya sedih?"

Tidak ada yang bisa mendeskripsikan bagaimana malunya Jaera saat ini, "Soobin-ah, maafkan aku. Aku bertingkah kekanak-kanakan ya?"

"Semua orang menjadi bodoh bila dihadapkan dengan cinta, itu hal yang wajar. Makanya, ada aku di sini untuk menyadarkanmu."

Kurva melengkung tercipta, "Astaga, sejak kapan adikku dewasa begini?" Jaera mengacak rambut Soobin, agak kesulitan mengapai puncak kepala lelaki tersebut karna perbedaan tinggi yang ada.

Mungkin adiknya benar. Jaera tersenyum menatap satu-satunya saudara yang ia miliki, "Terimakasih, Soobin-ah. Setidaknya sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan."

Terkadang menyerah bukan berarti kalah, menyerah terkadang mencegahmu untuk jatuh ke dalam lubang yang lebih dalam bernamakan sakit, terlebih bila kau sudah dapat melihat dengan jelas apa yang akan kau temui di final nantinya.

⊱─━━━━✧━━━━─⊰


"Ck, kau benar-benar kuliah'kan? Awas kalau ternyata aku tahu kau membolos, Kim Taehyung, habis kau di rumah nanti." Seokjin menghela nafas, mengelengkan kepalanya kecil, selalu saja begini rasanya setelah ia selesai berbicara dengan adik nomor tiganya. Taehyung itu memang sesuatu, Seokjin rasa kalau orang tuanya masih di sini, mereka juga akan bertingkah sama seperti dirinya bila di hadapkan dengan Taehyung.

Seokjin lantas mendudukkan dirinya di kursi tunggu depan rawat inap Jisoo. Lelaki itu hendak masuk kembali ke dalam karna tujuannya keluar hanya untuk mengomeli Taehyung tapi niatannya menjadi terhenti sebab ia mendengar suara tawa milik adiknya bercampur dengan suara remaja lainnya. Memberi Jisoo waktu bersama teman-temannya sepertinya bukan hal yang buruk. Seokjin bersyukur tiap kali mengetahui adik-adiknya memiliki banyak teman, itu berarti ketika dirinya tidak ada untuk menemani adiknya ketika ada masalah, teman-temannya akan ada di sana. Bukankah itu yang seharusnya teman lakukan?

Ah, mengingat kata 'teman', Seokjin jadi teringat akan Yoongi. Apa yang temannya itu lakukan sekarang? Bohong kalau Seokjin tidak merasa khawatir setelah menghajar Yoongi, ia tahu lelaki itu lemah, ditambah saat di rumah sakit tempo hari Namjoon kembali menghajarnya.

"Ck, dasar lemah." Gumamnya.

Seokjin mendongak, mensejajarkan punggung dengan sandaran kursi sebelum matanya melirik ke arah sekitar dan mendapati kehadiran orang yang ada di pikirannya barusan kini sudah nyata di depan mata. Yoongi menatap dirinya ragu sebelum akhirnya berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.

Belum ada percakapan, dan seharusnya ini bukanlah hal yang baru bagi Seokjin mengingat Yoongi memang pendiam, Seokjin bahkan sempat mengira Yoongi meninggal saat perjalanan karya wisata mereka dulu sebab tidak kunjung bersuara di dalam bus, namun rupanya Yoongi masih bernafas membuat Seokjin mengusap dada lega, tapi tentu saja situasi saat itu dengan kini berbeda. Keheningan kali ini terasa aneh dan canggung, sebab keduanya tahu mereka memiliki masalah yang harus diluruskan.

"Orang tuaku masih ada di dalam?" Seokjin tersentak sedikit saat Yoongi bertanya,

Seokjin mengeleng, "Paman dan Bibi buru-buru pulang karna masih ada urusan, sekarang teman-teman Jisoo yang berkunjung."

Walau agak bingung kenapa teman-teman Jisoo bisa terus-terusan datang begini, mereka tidak punya kesibukan ya? Tapi Yoongi langsung tersadar, mereka masih siswa tentu kerjaan mereka hanya belajar.

"Kau tidak ke kantor?" Keduanya saling bertatapan lalu terkekeh kecil saat mendengar pertanyaan yang mereka lontarkan sama.

"Aku akan datang setelah selesai jam makan siang," Seokjin melirik jam di pergelangan tangannya dan Yoongi yang berada di sampingnya ikut melakukan hal serupa. Seokjin hanya punya waktu kisaran 30 menit sebelum kembali ke kantornya, yang berarti kalau Yoongi ingin menyelesaikan masalah mereka harus segera dilakukan.

"Kau sendiri?"

"Aku baru selesai meeting, sekretarisku menawarkan diri untuk mengurus pekerjaanku."

"Ah, lelaki bernama Hoseok?" Yoongi mengangguk, ia memang pernah bercerita pada Seokjin perihal Hoseok. Yoongi sebelumnya menawarkan posisi tersebut untuk diisi Seokjin tapi lelaki itu menolak.

"Aku bosan ya bertemumu dari masih pakai seragam sampai pakai jas." Itu alasan yang Seokjin keluarkan saat ia menawarkan pekerjaan. Seokjin benar-benar bosan bertemu Yoongi terus, ia ingin mencoba suasana baru ditambah Seokjin tidak yakin mentalnya akan baik-baik saja bila bekerja bersama Yoongi, sudah di rumah pusing di hadapkan dengan tingkah laku adiknya, di kantor ia masih harus menahan kesal karna sikap batu Yoongi.

"Betah juga dia bekerja untukmu, padahal aku pikir kalau nanti dia tidak kuat aku mau mengirim Taehyung. Gaji di tempatmu lumayan, ditambah Taehyung itu takut denganmu." Hoseok dan Taehyung yang berada di tempat lain mendadak telinganya merasa berdengung karna dibicarakan.

Yoongi hanya menanggapi dengan senyum seadanya, "Kau baik-baik saja'kan?"

"Kalau kau berbicara mengenai wajah, aku baik-baik saja, tapi kalau kau berbicara mengenai hati aku tidak baik-baik saja," Seokjin ingin menyela dan menggoda Yoongi karna bisa-bisanya berbicara sok puitis begitu, tapi sedetik kemudian sadar bahwa percakapan mereka ini serius. Jadi, ia menyilahkan Yoongi untuk melanjutkan kalimat, "Aku tidak tahu bahwa adikmu akan memiliki pengaruh yang besar terhadapku. Kau ingat saat aku datang malam-malam ke rumahmu untuk bertemu denganmu tapi akhirnya aku memutuskan untuk pulang sebelum kau sampai?"

Seokjin memutar tubuh menghadap Yoongi, ia juga penasaran kenapa saat itu Yoongi memutuskan pulang padahal saat mendengar suaranya di telepon Seokjin yakin Yoongi mau membicarakan hal serius.

"Aku mau berbicara mengenai perihal Jaera dan persyaratan yang diajukan orang tuaku. Aku sudah melamar Jaera tapi ia menolakku lalu menghilang tanpa alasan jelas. Aku pikir aku butuh saranmu atau setidaknya teman untuk meluapkan makanya aku berkunjung ke rumahmu."

"Tapi kau langsung pulang saat itu, kau juga tidak membicarakan apa-apa lagi keesokkannya."

Yoongi mengulas senyum tipis, sangat tipis sampai Seokjin tidak menyadarinya. "Jisoo ikut menemaniku saat aku menunggumu pulang. Ia bercerita banyak hal, kalau aku boleh jujur, semua yang ia bicarakan tidak penting sih tapi entah kenapa aku tetap mendengarkannya,"

"Kau percaya kalau aku bilang saat itu suasana hatiku membaik hanya karna mendengarnya bercerita?"

"Aku percaya."

Seokjin melontarkan senyumnya, menepuk pundak lawan bicaranya pelan, "Jangan membuat Jisoo hancur lagi, kau tahu'kan aku hanya berniat untuk membawanya melintasi altar satu kali untuk seumur hidupnya?"

===Tbc==

Sorry untuk update yang lama 👉👈

Tapi tetap tinggalkan jejak berupa comment dan vote ♥️ Bagi yang menunggu moment Jisoo-Yoongi mohon bersabar, karna sepertinya di chapter depan baru akan terealisasikan.

By the way, mampir ke work aku yang lainnya ya :)

See yaa 💜

Continue Reading

You'll Also Like

81.6K 9.4K 30
[ Completed ] Bagaimana jika ada seorang pria kaya raya yang memiliki paras wajah yang sangat tampan, sangat menginginkan seorang anak. Dan dia ingin...
367K 1.3K 3
Warning! 21+ Fantasi belaka Bocil minggir! Ga suka? Skip!
157K 312 9
Gadis polos yang terjerumus suasana malam club, menceritakan cerita seorang influencer yang terkenal dikalangan remaja berusia 16 tahun. cerita lengk...
120K 10.3K 42
Jadi orang tua dadakan.. Ternyata ini enggak seburuk yang gue kira...