[✓] I Love You in 10 Days

By KasirVal

12.9K 1.3K 83

Cerita antara Luciana Nicole dan George Louise ini sangat berbeda. Hanya dalam 10 Hari.. Apa yang terjadi dal... More

"Selasa"
"Rabu"
"Kamis"
"Jumat"
"Sabtu"
"Minggu"
"Senin" [2]
"Selasa" [2]
"Rabu" [2]
"Another Day"

"Senin"

4.2K 168 9
By KasirVal


Bunyi nyaring alarm membangunkan Lucy yang sedang tertidur nyenyak. Dengan setengah sadar, Lucy bangun dan duduk di pinggir kasurnya. Sinar matahari menembus masuk melewat gorden yang menutupi jendela kamarnya. Lucy membuka lebar gorden itu, dan membuka jendela yang ada di baliknya. Seketika hembusan angin dingin menusuk wajahnya, semerbak aroma tanaman tercium oleh hidungnya yang memerah karena kedinginan, kicau burung terdengar disekitar taman kecil yang ada di bawah kamarnya. Musim semi mulai datang.

Bulu kuduk Lucy meremang, bukan karena takut, tapi kedinginan. Lucy mengusap-usap tubuhnya untuk menciptakan rasa hangat. Lucy menengok ke arah kalender yang tergantung di dinding kamarnya. Melihat angka yang ia tandai dengan lingkaran merah, Lucy langsung berjalan kearah kalender itu. Melihat keterangan tanggal di kalender itu, mata Lucy langsung terbuka lebar. "Oh.. tidak. Tidak," katanya bergumam pada diri sendiri.

Dia hampir lupa, hari ini dia bekerja secara perdana di sebuah perpustakaan yang ada di kota London. Iapun berlari menuju kamar mandi, langsung membasuh muka dan segalanya. Memakai pakaian yang terbaik menurutnya.

Lucy sering meninggalkan sarapan karena tidak ada yang menyiapkannya, kalau Lucy menyiapkan sarapan untuknya, pasti dia akan terlambat.

Lucy sering merindukan suasana kekeluargaan sebelum ia tinggal sendiri. Sudah hampir 3 tahun ia melakukan aktifitas hariannya sendirian. Lucy mulai tinggal sendiri saat ia berumur 19 tahun. Orang tua Lucy pindah ke Swiss karena kondisi kesehatan Ibu Lucy yang kurang baik, dan kebetulan Ayahnya mendapat pekerjaan di sana. Orang tua Lucy terpaksa meninggalkan Lucy, karena Lucy sedang menyelesaikan kuliahnya di London.

Setelah dirasa cukup, Lucy menggenggam tas kecilnya, dan keluar dari apartemennya. Seketika tubuhnya tertabrak, Jake menangkapnya sebelum Lucy terjatuh. "Whoa.. hati-hati Lucy."

Dengan hati yang belum siap, Lucy berdiri dengan cepat. "Maaf Jake, aku terburu-buru."

Jake tersenyum, senyuman hangat yang selalu Jake berikan pada Lucy. "Aku tahu, hari ini kerja pertamamu di perpustakaan bukan? Kukira kau belum bangun, jadi aku berniat membangunkanmu."

Lucy tertawa. "Tentu tidak Jake, aku memasang alarmku pagi-pagi. Ayo kita kebawah." Lucy menarik tangan Jake, lalu menuruni tangga menuju lantai bawah.

Bibi Em baru keluar dari apartemennya sambil membawa sebuah gelas. "Oh Lucy? Selamat pagi.. kukira kau belum bangun." Bibi Em tertawa, lalu menarik Lucy untuk duduk di kursi dekat pintu apartemennya. "Minum ini dulu, kau pasti belum makan." Bibi Em memberikan segelas coklat hangat. Lucy menerimanya dengan senang hati.

Bibi Em adalah penanggung jawab bangunan tempat Lucy menyewa salah satu apartemen kecil miliknya. Apartemen milik Bibi Em ini hanya memiliki 3 lantai dengan 2 ruangan kecil di lantai satu dan dua, sedangkan di lantai tiga ada atap berbentuk teras, Lucy biasanya duduk di sana sambil melihat bintang jika menganggur. Isi dan lebar setiap ruang apartemen ini sama dengan ruangan yang lain, hanya berbeda sudut pandangnya saja. Ada 1 ruang tidur, kamar mandi di dalam, ruang tengah, dan dapur, perabotan di dalamnya disiapkan oleh Bibi Em. Dengan uang sewa yang sangat murah, Lucy benar-benar merasakan surga di apartemen ini.

Bibi Em tinggal bersama suaminya yang sering dipanggil Paman Damien. Tidak hanya ada mereka berdua saja di apartemen ini. Ada pula kakak-beradik kembar Jake dan Emily Rosechild. Tapi jangan salah, walaupun mereka kembar yang sangat identik, Emily seorang wanita dan Jake seorang pria. Mereka semua tinggal di lantai satu, sedangkan Lucy tinggal di lantai dua.

Lucy meminum habis langsung coklat hangat yang diberikan Bibi Em, dengan desahan panjang diakhir saat tubuhnya mulai terasa hangat. "Terimakasih Bibi Em, aku pergi dulu. Lihat waktunya! Aku sudah telat!" Lucy langsung berdiri dan meletakkan gelasnya di tempat ia duduk tadi.

"Hati-hati di jalan nak.. semoga berjalan lancar," kata Bibi Em sambil mengantar Lucy ke gerbang kecil apartemen.

"Hei tunggu! Aku akan mengantarmu," kata Jake sambil menarik tangan Lucy.

Lucy kembali berbalik, menepuk bahu Jake. "Tenang saja, aku tahu tempatnya kok, sungguh," kata Lucy mantap. "Bagaimana jika pulangnya saja kau menjemputku?"

Bibir Jake membentuk kerucut. "Baiklah, hati-hati di jalan." Jake melepaskan genggamannya, lalu mengelus pelan kepala Lucy. Dia kembali tersenyum, oh.. sungguh hangat senyumannya itu.

Lucy ikut tersenyum, pipinya terasa panas. Inilah yang ia suka dari Jake. Dia seperti kakaknya sendiri, selalu menyemangati, memberi nasihat, dan hal-hal lain yang membuat Lucy nyaman bersamanya. "Tentu Jake, aku menunggumu, oke?"

Jake mengangguk menjawabnya, lalu melambaikan tangannya pada Lucy. Bibi Em ikut tersenyum, lebih ke mesem-mesem dari pada senyum menyemangati.

Di sepanjang jalan Lucy menikmati segarnya udara kota London, tapi bukan di tengah kota London. Lucy tinggal di pinggir kota London yang sedikit jauh dari kesibukkan dan keramaian kotanya. Sambil memainkan ponselnya, dia mengecek lagi alamat perpustakaan yang akan menjadi tempatnya bekerja sampai beberapa bulan mendatang. Dengan sedikit bersenandung, Lucy berjalan dengan santai menuju tempat pemberhentian bus.

Semangat Lucy semakin bertambah setelah dia berada di depan perpustakaan tempatnya bekerja. Perpustakaan ini memiliki style bangunan tua, dengan banyak jendela dibagian wajah bangunan itu, pintu yang menjadi jalan masuk ke perpustakaan adalah pintu kaca, dan ada beberapa tanaman bunga yang masih belum bermekaran di sisi pintu masuk tersebut. Dengan langkah lebar dan perasaan tegang ditambah tak sabar, Lucy masuk ke dalam perpustakaan yang masih belum buka itu.

Seseorang yang berada di dalam perpustakaan itu melihat Lucy, ia tersenyum dan berjalan mendekati Lucy. "Maaf, perpustakaan kami belum buka," katanya lembut, "kurang lebih 1 jam lagi kami akan membukanya untuk umum."

Lucy tersenyum canggung pada wanita yang menyapanya. Wanita ini berambut pirang sepinggang dengan mata berwarna coklat. "Ah.. mulai hari ini aku bekerja di sini, ini.. kartu tanda pengurusnya." Lucy memberikan kartu perwakilan perpustakaan pada wanita yang ada di depannya.

Ia menerima kartu tanda perwakilan perpustakaan yang Lucy berikan, lalu mengamati kartu itu. Sambil tersenyum dia mengembalikan kartunya pada Lucy "Selamat datang Lucy! Senang bertemu denganmu, aku Helenia Silverlake. Panggil saja Helen." Helen mengulurkan tangannya.

Lucy menerima uluran tangan Helen, sambil tersenyum dia berkata, "maaf kalau aku telat.. ada yang bisa ku lakukan?"

"Simpan dulu barang-barangmu di ruang staff, oh dan seragammu ada di loker.. tunggu, aku ambilkan kuncinya!" Helen berjalan menuju meja resepsionis dan kembali sambil memegang sebuah kunci. "Ini, loker nomer 14. Saat kau sudah selesai mengganti pakaian, kembalilah kesini," katanya sambil memberikan kunci loker itu pada Lucy.

Lucy menerima kunci loker yang diberikan oleh Helen, ia mengangguk lalu berjalan menuju ruang staff. Lucy menyimpan barang-barangnya di dalam loker dan langsung berganti pakaian.

Seragam perpustakaan ini membuat Lucy terlihat sedikit lebih dewasa, kemeja putih polos yang dilapisi dengan blazer berwarna hijau tua dengan dasi kupu-kupu berwarna hijau muda yang dipasang di kerahnya yang berbentuk V dengan lengan panjang, dan rok selutut, ia juga mendapat sepatu dengan warna hijau tua, semoga saja dia tidak dianggap lumut berjalan.

Rambut ikal sebahu Lucy yang berwarna coklat dibiarkan tergerai. Sambil memasang pin nama, Lucy menatap matanya yang berwarna abu-abu dari pantulan cermin. Lucy menarik napas untuk menenangkan dirinya, lalu keluar dari ruang staff setelah dirasa cukup. Lucy langsung menghampiri Helen yang sedang merapikan beberapa buku di salah satu rak di tengah perpustakaan.

"Oh lihat!! Pas kan? Pilihan bos memang selalu tepat!" kata Helen setelah menyadari Lucy berada di sampingnya. "Nah sekarang.. kau lihat jendela yang ada di sana? tolong bersihkan." Helen menunjuk sebuah jendela besar yang berada di ujung perpustakaan. "Ini lap dan pembersihnya."  Helen memberikan Lucy sebuah lap dan cairan pembersih kaca. "Kalau sudah selesai.. kau bersihkan jendela yang ada di sebelahnya oke?"

Lucy mengangguk mengerti dan langsung berjalan ke arah jendela tersebut. Jantung Lucy masih berdebar kencang karena dugaan awal Lucy yang akan dikerjai habis-habisan oleh perwakilan perpustakaan yang lebih senior. Tapi untunglah untuk saat ini dia belum bertemu dengan perwakilan perpustakaan yang seperti itu. Atau apakah saat ini Lucy sedang dikerjai karena Helen menyuruhnya membersihkan kaca?

Dengan santai Lucy berjalan menuju jendela yang akan dibersihkannya setelah melupakan pemikirannya sendiri.

*****

  

Ponsel milik George berbunyi nyaring di ruang tengah rumah miliknya yang berada di dekat salah satu jalan kota London. Setelah mematikan kompor untuk membuat sarapan, George cepat-cepat menuju ruang tengah dan mengambil ponsel miliknya yang ada di atas meja. Raut wajahnya berubah setelah ia melihat nama yang ada di layar ponselnya tersebut.

"Hallo," kata George setelah menempelkan ponselnya di telinga.

"Selamat Pagi, dengan saudara George Louise?" kata seseorang yang berada diujung sana.

"Ya, saya sendiri, ada perlu apa?" Balas George.

"Kami dari Monecy Orkestra.. ingin memberi tahu bahwa anda diterima sebagai salah satu Violist yang masuk semi-final perlombaan seni yang akan diadakan 5 hari mendatang. Kemarin kami mendapat kabar dari para juri jika kemampuanmu kembali diasah—"

"Jadi saya akan kebabak selanjutnya?" Potong George. Dia tidak membutuhkan informasi itu. Apa dia salah dengar tadi? Tentang dia menjadi salah satu finalis? George menelan ludahnya.

"Ya, anda dipilih untuk bermain solo diperlombaan tersebut. Untuk itu, tempat latihan anda akan dipindahkan di . . ."

George terkesiap, masih tidak percaya akan hal yang didengarnya. Untung saja otaknya masih bekerja, dia berlari kecil menuju kamarnya, mengambil selembar kertas dan pena yang tergeletak di atas meja kecilnya. Langsung mencatat alamat yang diberikan oleh salah satu anggota dari Monecy Orkestra.

Setelah sambungan telfon terputus, George masih duduk di kursi yang berada di ruang tengah, berulang kali melihat kertas yang bertuliskan alamat bangunan tempatnya akan berlatih.. awalnya George ragu, apakah permainan solonya akan sukses? Dan, yaampun! George membayangkan mimpi apa dia semalam. Rasa senang menjalar di seluruh tubuhnya tanpa henti walau George sudah menarik napas terus menerus. Dia mencubit pelan pipinya, semoga saja dia tidak bermimpi.

Usahanya selama 5 tahun terakhir berkerja dengan giat untuk mengikuti lomba akhirnya terbayar. Dari kecil George senang bermain biola, dan bahkan bermimpi berada diatas panggung besar yang ditonton oleh banyak orang. Tidak hanya pertunjukan seni semata, George haus akan tepuk tangan untuknya seorang diri.

Dia mengirim e-mail pada adiknya, bahwa dia akan mengikuti perlombaan nanti. George tinggal sendiri, karena ayahnya berkerja di Indonesia. Apa mungkin keluarganya bisa datang nanti saat George berlomba? Masih dengan semangatnya, George kembali ke dapurnya. Melanjutkan membuat sarapan yang terhenti sebelumnya.

George duduk di meja makan yang mengarah langsung ke jalan yang ada di depan rumah miliknya, lantunan melodi musik klasik terdengar di seluruh ruang tengah hingga ke dapur, mendengar musik klasik saat ia makan menjadi kebiasaannya setiap hari. Sambil meminum teh hangat yang dibuatnya, dia melirik biola yang disimpannya di atas meja kecil dekat sofa ruang duduknya.

Ia melihat biolanya lebih bersinar dari biasanya, seketika tangan George serasa di gelitiki. George ingin memainkannya. Sabar..sabar, masih ada hari esok, katanya dalam hati, tapi sisi lain hatinya memaksa untuk memainkannya saat itu juga.

Ia meneguk habis teh nya, dan langsung berjalan mendekati biolanya, mengambil dan membuka sarungnya. Sebuah biola berada di dalamnya yang dibaluti kain putih untuk melindungi biola itu dari debu. Ia mengambilnya dengan hati-hati, lalu menyapu pandangannya pada seisi ruangan, memilih tempat yang pas untuk bermain biola kesayangannya itu. Akhirnya ia menemukan tempatnya untuk bermain, di depan jendela yang menghadap langsung pada bangunan yang ada di sebelahnya, dengan taman kecil yang berada di sekeliling bangunan itu.

George berjalan ke jendela itu, menarik napas dalam-dalam, dan mulai memainkannya dengan penuh rasa tenang dan damai pada hatinya. Saat ia bermain biola, tubuh George seperti tersetrum aliran listrik kecil, seperti merinding yang tenang. Ia memainkan lagu kesukaannya. Alunan nada biola yang digesek George memenuhi seisi ruangan rumahnya. Suara dari kendaraan di depan rumahnya dan Televisi yang menyala di ruang tengahnya terdengar begitu redup saat George memainkan biola. Konsentrasinya tercurah penuh pada permainannya sendiri, hembusan angin dingin yang tercium khas musim semi menerpa wajah George saat memainkannya.

Entah berapa lama George memainkannya, akhirnya George menghentikan permainan biolanya, dan melihat ada 3 burung yang bertengger pada jendela di depannya. Seperti melihat George yang sedang memainkan biola, lalu terbang setelah George menurunkan biola yang tadi ia mainkan.

Saat George mengangkat wajah, ada seorang wanita yang menatap lurus pada George, seketika George merasa kalau dadanya terpukul. Dia salah mengenali wanita yang ada di depannya saat ini. Wanita yang baru dilihatnya hari ini pada perpustakaan di sebelah rumahnya, biasanya ia melihat wanita dengan rambut pirang sepinggang—bernama Helen. Namun wanita ini memiliki rambut ikal berwarna coklat sebahu dan mata yang berwarna abu-abu. Percis seperti seseorang, sampai dia salah mengenalinya.

Wanita itu terus menatapnya, George melambaikan tangannya pada wanita itu setelah George meyakinkan dirinya kalau dia belum pernah bertemu dengannya.  "Hallo.. emm, pegawai baru di perpustakaan ya?"

Wanita itu mengerjapkan matanya seakan ia baru sadar. Lalu tersenyum pada George. Senyuman yang diberikan wanita itu kembali membuat George sedikit bergetar, kembali George teringat seseorang.

"Ah.. Hallo, maaf kalau mengganggu," kata wanita itu dengan suara nya yang lembut, lalu ia berdeham, "yaah.. aku baru bekerja di sini, dan oh.. permainan biola mu bagus," katanya, "aku suka musik klasik."

George tersenyum mendengarnya, wajah wanita itu benar-benar mirip dengan seseorang. "Terimakasih.. oh, dan yah.. selamat bekerja." George melambaikan tangannya dan berjalan menuju ruang tengah. Ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu.

"Hei!" George menghentikan langkahnya, ia mendengar wanita itu memanggil nya.

George berjalan mundur menuju jendela itu, dan melihat wanita itu kembali tersenyum, kembali dada George searasa dipukul, dia ingin menghilangkan rasa ini cepat-cepat. "Besok.. kalau kau memainkan biolamu lagi, boleh aku dengar?" tanya wanita itu.

George mengangguk, entah kenapa dia melakukannya. "Tentu, tidak masalah," jawab George. Ia langsung berjalan pergi, meletakkan biolanya di atas meja kecil di sebelah sofa. George menyandarkan tubuhnya di sofa, lalu menutup mata dengan bahu tangannya.

Tiba-tiba ingatan George pada suatu kejadian muncul seperti tayangan film dalam Televisi. Seorang wanita yang pernah ada di hidupnya saat ia berumur 17 tahun, dengan rambut ikal dan mata abu-abu yang sedang menatapnya lekat-lekat saat George bermain biola.

Wanita itu sangat cantik, di tambah saat ia tersenyum. Film itu masih berlanjut, ia berjalan dengan wanita itu. Tangannya yang menggenggam erat tangan George terasa hangat walau hanya memori yang muncul secara acak. George membuka matanya, seketika wajah wanita itu lenyap. Dadanya kembali terasa sakit. Usahanya selama 7 tahun belakangan ini seperti nihil. Usahanya.. untuk melupakan wanita itu.

*****

Lucy baru membuka jendela perpustakaan yang keenam dan mengelap kaca-kacanya saat dia mendengar alunan melodi di dekatnya. Entah kenapa Lucy teringat pada ayahnya. Lucy menengok kekiri dan kanan mencari sumber suara, ternyata asal melodi itu dari bangunan—semacam rumah—yang ada di sebelah gedung perpustakaan.

Seorang pria sedang memainkan biola. Wajahnya terlihat begitu tenang saat memainkan biolanya. Rambut pria itu berwarna coklat kemerahan. Ia ingat lagu ini. Lagu yang dimainkan oleh ayahnya saat ia masih kecil. Sesaat Lucy masuk kedalam memori yang sudah hampir dilupakannya.

Ayahnya sedang bermain biola di taman rumah yang dulu ia tempati saat Lucy masih tinggal bersama orang tuanya. Ayahnya berhenti saat Lucy berada disampingnya, melihat ayahnya yang sedang bermain biola.

"Ada apa Lucy?" tanya ayahnya dengan lembut, lalu menyimpan biolanya dan menggendong Lucy.

Lucy tersenyum saat digendong oleh ayahnya. "Apa ayah begitu menyayangi biola?" tanya Lucy.

Ayahnya tertawa dan berkata sesuatu, tapi Lucy tidak ingat apa yang dikatakannya. Lalu memori itu tiba-tiba menghilang, mengembalikannya pada realita di mana dia berdiri di depan jendela perpustakaan. Orang yang bermain biola tadi sudah berhenti memainkan biolanya dan sekarang dia sedang melambaikan tangannya ke arah Lucy.

"Hallo.. emm, pegawai baru di perpustakaan ya?" tanya pria itu sambil melambaikan tangannya, setelah dilihat pria itu memiliki mata yang berwarna biru.. seperti biru laut.

Lucy mengerjapkan matanya, terasa bingung membedakan mana realita dan mana bayangan semu, lalu tersenyum canggung melihat pria itu. Merasa pria itu terganggu akan kehadirannya, Lucy berkata, "Ah.. Hallo, maaf kalau mengganggu," kata Lucy sesopan mungkin, pria yang di depannya masih melihat kearahnya. Lucy berdeham memikirkan perkataannya, "yaah.. aku baru bekerja di sini, dan oh.. permainan biola mu bagus. Aku suka musik klasik," lanjutnya.

Pria yang ada di depannya sekarang mulai tersenyum kearahnya. Seketika Lucy menyukai senyuman Pria itu."Terimakasih.. oh, dan yah.. selamat bekerja," kata pria itu, dan dia melambaikan tangannya lalu berjalan pergi dari tempatnya berdiri.

Namun entah kenapa dirinya menyahut, dan beberapa detik kemudian pria itu berada di depannya lagi. "Besok.. kalau kau memainkan biolamu lagi, boleh aku dengar?" kata Lucy yang terdengar penuh harap oleh dirinya sendiri, bahkan dia bingung kenapa seperti itu.

Pria itu tersenyum, lalu mengangguk "Tentu, tidak masalah." Dan sekali lagi pria itu melambaikan tangannya kearah Lucy, lalu menghilang dibalik dinding bangunan.

"Lucy!! Kita akan buka perpustakaannya sebentar lagi!" sahut Helen tiba-tiba.

Lucy tersentak, dan baru sadar kalau dia masih memandang ke arah pria yang menghilang dibalik dinding bangunan saat Helen memanggilnya. Dengan sigap Lucy mengelap beberapa kaca yang belum dilapnya dan langsung berjalan ke arah meja resepsionis.

Helen membalikkan papan yang bertuliskan tutup menjadi buka, dan kembali duduk di meja resepsionis. Lucy ikut duduk di balik meja resepsionis setelah diminta duduk oleh Helen, dan Helen langsung tersenyum jahil padanya. "Kau bertemu dengannya?" tanya Helen pada Lucy dengan suara yang sangat pelan.

Lucy menatap balik Helen. "Dengan.. siapa?" tanya Lucy bingung.

"Pria pemain biola yang di sebelah itu," kata Helen dengan alis yang dinaik turunkan. "Dia sudah lama tinggal disana, dan sering kesini untuk meminjam . . . yah, beberapa buku klasik. Bukankah dia terlihat . . . keren? Tampan?" lanjut Helen semangat.

"Oh, yaa.. tadi aku bicara dengannya.. sedikit," jawab Lucy sambil menengok pada seseorang yang masuk ke dalam perpustakaan. "Dan yah, sepertinya dia memang . . . menawan."

Helen berdiri untuk mengecek kartu anggota perpustakaan yang diberikan pengunjung pertama, sambil mengetik sesuatu di komputer perpustakaan dan mempersilahkan orang itu masuk. Helen kembali duduk dan menatap Lucy dengan mata yang memincing, "kau bicara dengannya?" tanya Helen dengan alis yang dikerutkan, "dulu saja, dia berbicara denganku setelah . . . kurang lebih 3 bulan bertemu. Maksudku di luar perpustakaan . . . dan akhir-akhir dia sulit dilihat."

Lucy berdeham pelan mendengar kata-kata Helen, lalu melihat pengunjung lain yang memasuki perpustakaan. Helen menyuruh Lucy untuk mengecek kartu anggota perpustakaan orang itu dan menjelaskan beberapa hal pada Lucy. Setelah selesai, Helen terus berbicara tentang pria pemain biola itu. Ternyata Helen mudah diajak bicara, jika mengenai pria tentunya.

Lucy menikmati pekerjaannya sambil membaca buku fiksi yang ada di perpustakaan, sampai akhirnya ia diperbolehkan pulang oleh Helen saat waktu perpustakaan hampir tutup.

Lucy melihat jam yang ternyata menunjukan pukul 16.00 sore. Sambil mengembalikan buku fiksi yang ia baca pada rak-rak tempatnya mengambil buku itu, Lucy menengok kearah jendela yang ia bersihkan tadi pagi. Mungkin saja melihat pria itu memainkan biolanya saat sore. Tetapi Lucy tidak melihatnya, bahkan jendelanya tertutup sekarang.

Setelah berganti pakaian, Lucy kembali ke meja resepsionis. Ia pamit pada Helen lalu keluar dari perpustakaan. Lucy merasa ponselnya bergetar di tas kecilnya, dan berusaha mengambilnya. Tetapi ia tertabrak oleh seseorang, Lucy terjatuh kearah belakang. Dan Oh! Lucy berpikir hari ini sudah dua orang yang menabraknya. Sambil mengaduh-aduh ia melihat orang yang menabraknya itu.

Lucy terkejut saat melihat pria yang menabraknya, pria yang memainkan biola di sebelah perpustakaan, dan bahkan pria itu juga terlihat terkejut.

"Ah.. maafkan aku, aku tidak sengaja," kata pria itu sambil menjulurkan tangannya, membantu Lucy untuk berdiri.

Lucy menerima uluran tangan pria itu dan berdiri, sambil menepuk punggungnya ia berusaha tersenyum sopan. "Ah.. aku yang seharusnya minta maaf.. karena tidak melihat jalan," katanya.

Pria itu tersenyum. "Kau yang baru bekerja di perpustakaan itu bukan? Kau sedikit berbeda saat memakai seragam perpustakaan."

Lucy senang pria itu masih mengingatnya, dan terlebih lagi dia membenarkan perkataan Helen kalau dia terlihat tampan setelah melihatnya lebih dekat. "Yaa.. itu aku," jawab Lucy sambil mengangkat bahunya.

Seakan baru sadar, pria itu melepas tangan Lucy dengan gerakan canggung, dan Lucypun baru tersadar kalau tangannya tidak terlepas selama ini. "Oh.. namaku George Louise, senang berkenalan denganmu, kau boleh memanggilku George," katanya sambil kembali menjulurkan tangannya lagi.

Lucy tersenyum, menjabat tangan pria yang bernama George ini. "Aku Luciana Nicole, panggil saja Lucy."

Sekarang pria yang bernama George langsung melepas tangan Lucy. "Oh.. dan yah, sampai bertemu besok. Kau bekerja besok juga kan?"

Lucy mengangguk. "Sampai bertemu besok," kata Lucy. Dan langsung teringat sesuatu, "Oh! besok kau.. memainkan biolamu lagi?"

George kembali tersenyum. "Tentu saja," katanya. Tapi sedetik kemudian ekspresi nya berubah. "Ah mungkin tidak bisa, aku lupa ada perkumpulan mulai besok, mungkin.. jika sempat aku akan memainkannya."

Lucy berusaha tak kecewa, namun mungkin ekspresinya berkata lain. "Baiklah.." kata Lucy sambil mengangkat bahu, "aku.. sebaiknya duluan, dan semoga perkumpulanmu besok sukses!" kata Lucy sambil tersenyum, dan berjalan pergi ke tempat pemberhentian bus.

Dia berhasil mengambil ponselnya, dan melihat pesan dari Jake. Dia sudah ada di tempat pemberhentian bus. Lucy langsung mempercepat langkahnya.

Jake duduk di sebuah bangku yang ada di sana, sambil menggosok-gosokkan tangannya. "Jake!" Sahut Lucy.

Jake menengokkan wajahnya, lalu kembali tersenyum. "Hei!" Jake berjalan kearah Lucy, dan langsung menggenggam tangan Lucy erat. Tangannya terasa hangat, "Whoa, tanganmu dingin. Kukira tanganmu hangat." Jake menggosok-gosokkan tangannya pada tangan Lucy, membuat tangan Lucy hangat, dan wajahnya juga. "Kita langsung pulang?"

Lucy mengangguk, "Ayo, aku sudah lapar."

"Selamat datang Lucy! Jake!" Sahut suara Bibi Em dari belakangnya saat Lucy dan Jake baru terlihat di pintu pagar. Sempat ada adu mulut antara Lucy dengan Jake, siapa yang akan membayar busnya. Akhirnya Jake yang membayar bus tersebut.

"Bibi Em!!" Lucy menengok ke arah Bibi Em sambil menerima pelukan hangat dari Bibi Em. "Di luar masih dingin.. kau harus masuk," kata Lucy sambil berjalan dengan Bibi Em menuju apartemen miliknya. Jake mengikuti di belakang.

Paman Damien keluar dari apartemen. "Lucy!! Oh, bagaimana hari pertamamu berkerja?" tanya Paman Damien dengan nada riang.

Bibi Em dan Paman Damien memang baik, mereka menganggap siapa saja yang tinggal di apartemen kecil milik mereka berdua sebagai keluarga mereka sendiri. Dan Lucy menganggapnya demikian. Bibi Em menyuruh Lucy masuk ke apartemennya, dan Lucy melihat Emily yang sedang mengaduk-aduk panci di dapur.

 "Ayo masuk!! Kami masak soup daging kesukaanmu!" Sahut Emily sambil memindahkan sepanci soup yang masih mengebulkan asap dari dapur.

Lucy melepas sepatunya, dan menyimpan barang-barangnya di meja ruang tengah. Aroma soup daging tercium menggoda, membuat perutnya sedikit meronta. Lucy berjalan menuju ruang makan, tempat di mana tetangga-tetangganya duduk menyuruh Lucy datang. Jake duduk dengan santai di sampingnya.

Lucy menghabiskan malamnya dengan makan bersama dan mendengar cerita Bibi Em dan Paman Damien saat mereka bertemu pertama kali untuk ke 3 kalinya dalam bulan ini. Walaupun sering mendengar cerita itu, Lucy dan si kembar Rosechild tidak pernah mengeluh, dan selalu mendengar cerita mereka berdua. Entah benar atau tidak, Lucy merasa setiap cerita pertama kali Bibi Em dan Paman Damien bertemu terasa berbeda satu sama lain.

"Jadi.. apakah ada kejadian yang menyenangkan?" tanya Paman Damien yang baru selesai menceritakan tentangnya dan Bibi Em saat masih kuliah, Paman Damien menggenggam tangan Bibi Em. Bibi Em juga ikut bersemangat melihat kearah Lucy, berharap Lucy bercerita.

Lucy tersenyum lalu bercerita dari awal saat ia masuk perpustakaan, tentang Helen, membicarakan tentang seragam perpustakaan yang serba hijau, tentang pekerjaannya yang pertama adalah mengelap jendela perpustakaan, dan permainan biola.. George.

"Oh.. jadi karena kau berkenalan dengannya.. kau tidak mengangkat telfonku?" tanya Jake tiba-tiba.

Lucy tersenyum malu. "Maafkan aku Jake.. aku tidak bermaksud untuk tidak mengangkat telfonmu," kata Lucy sambil menggenggam tangan Jake. "Lain kali, aku akan mengangkat telfonmu terlebih dahulu."

Jake mendesah, lalu mengelus kepala Lucy. "Aku hanya takut ada sesuatu yang terjadi padamu, Lucy."

Makan malam itupun selesai saat Bibi Em dan Paman Damien menyanyikan lagu yang Paman Damien nyanyikan saat dia menyatakan perasaannya pada Bibi Em.

Lucy kembali ke kamarnya. Langsung membasuh muka dan berganti pakaian. Dia tersenyum mengingat permainan biola George.

Permainan biola George terus terngiang di kepalanya. Pipinya terasa panas, perasaan ini berbeda dari pipinya yang panas saat bersama Jake. Ada perasaan yang ingin meledak di dada Lucy. Dia tidak sabar pagi hari besok, entah kenapa dia ingin terus mengelap kaca sampai bening mengkilat, jika George memainkan biolanya.

Dia seperti teman lama, padahal kami baru bertemu hari ini.

Continue Reading

You'll Also Like

30.4M 1.7M 65
SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA - (Penerbitan oleh Grasindo)- DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 3 SUDAH TAYANG di VIDIO! https:...
17M 752K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...
1.9M 90.7K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...