The Secret of Universe

By Chiiya_

400 77 30

Aurora Naureen Kim seorang gadis cantik blasteran Indonesia-Korea yang tidak pernah berpacaran sekali pun seu... More

Prolog
Bab 1 (Bertemu)
Bab 1.2 (Khawatir)
Bab 1.3 (Teman Lama)
Bab 3 (Dia Mengenalnya)
Bab 4 (Bimbang)

Bab 2 (Bahagia)

43 10 4
By Chiiya_

Jika boleh, biarkan aku menarik kembali kalimatku. Ku rasa, aku tak semandiri itu dan tak sebertanggung jawab itu. Ternyata, aku masih mengandalkan orang lain dalam menentukan kebahagiaanku (Aurora)

Jika boleh, biarkan saja dia menarik kalimatnya. Karena di sini, aku bersedia membahagiakannya (Darrell)

KRINGGG!!!...

Jam weker merah muda dengan bentuk lingkaran di atas meja kecil putih berdering kencang nyaris melengking. Jam weker itu bergetar hebat di sebelah kanan tempat tidur Aurora. Aurora mengerang pelan dan menarik bantal untuk menutupi telinga kanannya, kemudian kembali tidur. Namun, yang dilakukan Aurora sia-sia karena suara itu berhasil menembus ke telinga Aurora. Aurora akhirnya mengalah dan memilih bangun untuk mematikan benda kecil yang sejak tadi meraung-raung membangunkan Aurora.

Aurora duduk di atas tempat tidur dengan mata yang masih terpejam. Rambutnya acak-acakan. Perlahan ia membuka matanya sedikit, kemudian ia pejamkan lagi karena sinar matahari ternyata sudah bersinar seterang itu di balik gorden merah muda yang tersingkap sedikit. Samar-samar Aurora mendengar dentingan piring dan gelas di dapur tanda ibunya sudah bangun dan sedang menyiapkan sarapan. Aurora tersenyum mendengar suara itu. Suara itu terdengar hangat seperti penyemangat Aurora di pagi hari bahwa lagi-lagi ia tidak sendiri di dunia ini.

Aurora mulai turun dari tempat tidurnya, mengenakan sandal putih yang ada di bawah kasurnya, kemudian melangkah terseok-seok ke dapur karena masih ngantuk.

"Selamat pagi anak ibu. Kau masih mengantuk? Memangnya kau tidur jam berapa semalam?" tanya ibu Aurora yang mengenakan celemek merah sambil meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja.

Aurora menarik kursi yang ada di hadapan nasi goreng yang ibunya letakkan tadi dan duduk di kursi itu, "Semalam aku pulang jam 10 bu, setelah aku mandi, aku langsung tidur. Ku rasa aku tidur terlalu nyenyak karena semalam aku cukup lelah, namun makanku banyak, sehingga pagi ini membuatku sedikit malas untuk bangun".

"Kau pulang selarut itu Ra? Toko bungamu kan tutup jam 7 malam, kenapa kau malah pulang selarut itu? Apa kau bertemu dengan temanmu?" tanya ibu Rara sambil duduk di kursi di hadapan Rara.

Rara menyendok nasi goreng di hadapannya dan dimasukkan ke dalam mulutnya. Setelah mengunyah nasi goreng itu sebentar dan menelannya, "Iya, aku bertemu teman bu. Teman yang sangat lama", jawab Aurora sambil tersenyum.

"Benarkah? Teman lama? Bukan Raka kan? Terakhir ibu lihat di televisi, dia sibuk sekali mengadakan jumpa penggemar di Jakarta", tanya ibu Aurora sambil menyendok nasi goreng di hadapannya juga.

"Nilai sembilan puluh untuk ibu ku yang cantik. Iya, dia Raka dan tidak, sekarang dia tidak di Jakarta melainkan sedang di Jogja", jawab Aurora sambil menyesap secangkir teh yang disiapkan ibunya.

Ibu Aurora membelalakkan mata, "Benarkah? Raka sudah kembali? Ah, ibu kangen sekali. Terakhir ibu bertemu dengannya saat ia wisuda. Sejak ia menjadi penulis, ibu belum bertemu dengannya", jawab ibu Aurora menggebu-gebu.

"Sepertinya ibu akan lebih merindukan anak orang lain dibandingkan anakmu sendiri bu. Apa karena ibu hanya memiliki seorang anak perempuan dan tidak memiliki anak laki-laki?" jawab Aurora sambil tertawa.

Tiba-tiba ibu Aurora tersedak saat ia menyesap tehnya. Aurora yang melihat itu langsung mengambilkan segelas air putih untuk ibunya dan menepuk-nepuk punggung ibunya. Setelah ibunya terlihat lebih baik, Aurora kembali ke kursinya.

"Ibu tidak perlu tersedak seperti itu saat ketauan menginginkan anak laki-laki", tambah Aurora untuk mencairkan suasana tegang akibat ibunya yang tersedak.

"Kau ini Ra. Bisa-bisanya masih bercanda setelah ibu tersedak. Kapan ibu bisa bertemu dengan Raka?"

"Hari Minggu? Rara ada janji dengan Raka di Hari Minggu. Dia akan menjemput Rara sekaligus menyapa ibu. Hari ini sepertinya ia ingin beristirahat, sehingga dia memutuskan untuk bertemu ibu besok".

"Oh ya? Ajak Raka sarapan di rumah saja Ra. Ibu akan memasakkan makanan lezat untuk kalian berdua. Bagaimana?"

"Sepertinya ibu harus mengundurkan niat ibu karena kami akan bertemu dengan teman kuliah Raka di Jakarta, tetapi sepertinya juga Raka akan mengajaknya bertemu di tempat makan".

Wajah ibu Aurora terlihat sedikit kecewa, "Padahal ibu ingin sekali makan bersamanya".

"Tenang bu, Rara akan mengaturkan jadwal untuk ibu bertemu dengan Raka. Meskipun dia sekarang sudah terkenal, dia menjamin kita tetap VIPnya", jawab Rara menenangkan ibunya sambil tertawa.

Ibunya terlihat bersemangat lagi dan tertawa sumringah, "Baiklah, cepat mandi Ra. Sudah hampir pukul 7, tokomu akan buka jam 8 kan? Apa kau ingin libur hari ini?"

"Tentu saja tidak bu. Tidak mungkin Rara libur di hari Sabtu. Banyak pasangan yang datang untuk membeli bunga meskipun sudah hari Sabtu", jawab Rara sambil beranjak dari tempat duduk.

Setelah Rara mandi, ia duduk di depan kaca rias putih di kamarnya. Ia memoleskan sedikit bedak dan lipstick di bibirnya, kemudian menyisir rambut hitamnya yang ikal. Hari itu Aurora memilih sweater biru dan rok biru selutut. Setelah memastikan dirinya terlihat rapi dan cantik, ia bergegas menarik tas kecil putih yang tergantung di kamarnya, kemudian berpamitan dengan ibunya.

"Ibu, Rara berangkat ya", pamit Rara sambil mencium tangan ibunya.

"Iya. Hati-hati di jalan. Lihat kiri kanan yang Ra. Jangan asal lewat aja kamu".

"Iya bu, iya".

Aurora keluar rumah dan mendapati langit Jogja hari itu cukup cerah. Langit biru ditutup awan putih dan angin sepoi-sepoi menemani perjalanan Aurora menuju Rara's florist. Aurora bersenandung di sepanjang jalan sambil mengayun-ngayunkan tas tangannya. Tak terasa, Aurora telah sampai di depan pintu kaca besar yang menampilkan isi ruangannya yang dipenuhi oleh berbagai bunga warna warni disoroti oleh cahaya matahari.

Aurora membuka pintu Rara's florist, kemudian ia menyalakan lampu-lampu kuning untuk menghiasi toko bunganya. Aurora berdiri di tengah-tengah tokonya sambil tersenyum menatap bunga-bunganya yang indah. Ia menarik napas dalam-dalam dan aroma semerbak bunga memanjakan hidung Aurora yang mancung. Aurora meletakkan tas tangannya di meja, kemudian merapikan beberapa bunga. Tak lama, beberapa anak muda menghampiri toko bunga Aurora. Memang benar, hari Sabtu adalah hari yang tepat untuk menjual bunga.

"Hai permisi!" seru seorang pria dengan kaos biru dan celana berwarna biru dongker selutut. Pria itu mengenakan sepatu putih. Dandanannya cukup rapi, sepertinya ia akan segera berkencan setelah membeli bunga.

"Iya? Ada yang bisa saya bantu?"

"Aku ingin membeli bunga untuk teman wanitaku. Tapi ia pernah berkata bahwa ia tidak suka bunga mawar. Kira-kira apakah ada bunga lain yang bisa ku pilih untuknya, namun ketika ku berikan bunga itu kepadanya, ia bisa langsung mengerti bahwa aku memiliki perasaan kepadanya", tanya pria itu serius.

Aurora tersenyum sambil menjentikkan jarinya, "Itu hal yang memudah. Aku merekomendasikanmu baby's breath", jawab Aurora sambil menunjuk bunga dengan batang ramping, kelopak kecil berwarna putih, bahkan ada yang biru dan juga merah muda.

"Menarik. Kenapa dirimu merekomendasikan bunga itu?"

"Karena bunga ini melambangkan cinta kasih yang abadi. Aku yakin jika wanitamu yang tidak menyukai mawar, ia pasti akan menyukai ini", jawab Aurora percaya diri.

"Benarkah? Kalau begitu, berikan aku satu buket yang besar. Ah, jangan lupa, aku ingin baby's breath yang putih ini".

"Pilihan yang bagus. Akan segera aku buatkan", jawab Rara sambil mengambil seikat besar baby's breath dihadapannya.

Aurora membawa bunga itu ke mejanya. Jari jemarinya begitu terlatih ketika merangkai bunga itu. Dalam sekejap bunga itu terlihat menjadi sebuket baby's breath yang besar dan cantik dibalut kertas merah muda. Si pembeli tampak puas dengan pekerjaan Aurora. Setelah membuat buket itu, Aurora kembali melayani tamu-tamu yang lain. Tak terasa, jam dinding putih di toko itu menunjukkan pukul 12 siang. Saatnya untuk Aurora menutup tokonya.

Saat akhirnya pelanggan terakhir Aurora keluar toko, seperti biasa, Aurora merapikan mejanya dan mematikan seluruh lampu toko. Ketika Aurora baru saja mau mengambil tas tangan putih dari mejanya, lonceng pintu toko itu berdenting.

"Hay! Kau sudah bersiap untuk pulang? Bukankah baru jam 12 siang", tanya seorang pria jangkung dengan wajah tampan. Pria itu mengenakan kaos hitam dilapisi kemeja hitam yang tidak dikancing dan juga celana hitam panjang melapisi kaki panjangnya. Setelan itu terlihat sangat pas dengan postur tubuhnya.

"Kau?" gumam Aurora sambil mengernyitkan dahi dan mengingat-ngingat sesuatu. "Ah, aku ingat! Tuan playboy! Darrell!", jawab Aurora bersemangat karena akhirnya mengenali pria tersebut.

"Kau hampir melupakanku? Mengecewakan", balas Darrel sambil menunjukkan wajah sedih.

"Tidak, tidak. Pelangganku cukup banyak untuk dapat ku ingat. Harusnya kau bersyukur karena pada akhirnya aku mengingatmu", jawab Aurora sambil memukul lengan Darrell.

Darrell mengusap lengannya yang dipukul Aurora karena gadis itu benar-benar memiliki tenaga yang cukup besar, "Baiklah. Aku akan mensyukurinya", jawab Darrell tersenyum lebar.

"Good! Omong-omong, apa yang kau lakukan di sini? Tokoku akan tutup. Aku hanya buka setengah hari di hari Sabtu".

"Oh, benarkah? Kenapa? Kau punya seseorang yang kau kencani di hari Sabtu?"

"Tidak. Apa aku tidak boleh menikmati hari Sabtuku karena aku tidak punya seseorang yang ku kencani?"

"Aku tidak berkata seperti itu", jawab Darrell sambil mengangkat bahunya.

"Kau terdengar seperti itu", balas Aurora sambil menyipitkan mata.

Darrell akhirnya tertawa dan mengalah, "Baiklah, terserahmu saja. Ehmm, tapi bagaimana aku? Aku ingin menemuimu. Apa hari ini akan menjadi sia-sia perjalananku ke tokomu?"

"Kenapa mencariku?"

"Ah, Kau orang pertama yang ku ajak berbicara selain keluargaku di Jogja. Sebelumnya aku tinggal di Jakarta. Ku pikir kita bisa berteman. Aku butuh teman untuk mencari beberapa objek foto dan mengenal makanan enak di sini".

"Hem. Karena kebetulan hari Sabtuku kosong, sepertinya tak salah untuk ku coba menemanimu", jawab Aurora sambil tersenyum.

"Yess!!", teriak Darrell sambil mengepal tangannya.

"Sebelumnya, kau punya kendaraan?"

Darrell menunjuk sepeda motor di belakangnya dengan jempolnya. "Apa ini cukup?" tanya Darrel sambil tersenyum.

"Sangat cukup!", jawab Aurora semangat. "Jika kau menginginkan objek foto yang bagus sekaligus makanan yang enak, aku menyarankanmu soto bathok. Makanannya murah, enak dan pemandangannya sawah. Ku rasa itu akan memuaskan mata fotografermu".

"Let's go peta berjalanku", kata Darrell sambil mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum lebar.

Saat itu jantung Aurora hampir melompat keluar dan wajahnya merah, namun ia segera memalingkan wajahnya dan berjalan menuju sepeda motor Darrell duluan. Darrell hanya tertawa sambil mengikuti langkah Aurora. Setelah keduanya menunggangi sepeda motor tersebut, Darrell mulai menyalakan motornya. Siang itu, matahari Jogja cukup terik, namun anginnya yang berhembus karena sepeda motor Darrell yang melaju kencang menerpa sejuk wajah Aurora. Dijalan mereka bergurau, tertawa dan Aurora terlihat menjadi penuntun jalan yang baik karena akhirnya mereka tiba di tempat tujuan tanpa tersesat.

Darrell dan Aurora memilih tempat duduk lesehan dengan meja kayu yang menghadap ke sawah. Di tempat itu, keduanya memesan dua soto bathok, dua sate telur puyuh, dua sate usus dan dua es jeruk. Angin yang berhembus dari sawah tersebut sepoi-sepoi membuat keduanya merasa nyaman. Sedari tiba, Darrell sudah mulai mengambil beberapa gambar, mulai dari pemandangan sawah, estetika bangunan rumah makan itu dan mangkuk-mangkuk soto yang berasal dari batok kelapa. Setelah puas mengambil beberapa gambar, keduanya menghabiskan makanan yang mereka pesan.

"Terima kasih Ra, kau memilih tempat yang sempurna".

"Sama-sama. Kau benar-benar memilih teman yang tepat hari ini. Apa upahku atas jasaku hari ini", jawab Aurora sambil meminum es jeruknya.

Darrell tertawa. Tawanya begitu cerah menular membuat lawan bicaranya ikut ingin tertawa bersamanya, "Gadis yang perhitungan", kata Darrell sambil masih tersenyum.

Aurora membelalakkan matanya, "Apanya? Katamu, kau berterima kasih", jawab Aurora sambil memanyunkan bibirnya di akhir kalimatnya.

Saat itu Darrell memang berterima kasih. Sangat berterima kasih. Saat itu ia disuguhkan dengan makanan lezat, estetika ruangan yang luar bisa, pemandangan yang luar biasa, dan.... gadis di hadapannya, membuat ia benar-benar ingin bersyukur kepada sang pencipta atas mahakarya yang luar biasa. Saat ini, Darrell merasa ingin memohon kepada alam semesta untuk membiarkannya hidup seperti itu lebih lama lagi, hanya seperti itu, membuatnya bahagia berkali-kali lipat.

Darrell akhirnya tersadar dari pikirannya dan menjawab, "Baiklah, aku akan menjadi teman jalan-jalanmu di hari Sabtu sampai kau bertemu pria yang akan kau kencani".

Aurora tampak menimbang-nimbang perkataan Darrell, kemudian, "baiklah, penawaran yang bagus!"

Keduanya akhirnya tertawa, kemudian terdiam sejenak memandangi pemandangan yang begitu asri di hadapan mereka.

"Oh ya!", seru Aurora.

Darrel pun segera menoleh ke arah Aurora. "Apa?"

"Kau belum menjawab pertanyaanku mengenai nama belakangmu. Kau benar-benar memiliki marga Kim di namamu?" tanya Aurora.

"Hahahah, tidak", jawab Darrell. "Aku hanya bergurau. Bagaimana bisa aku punya nama belakang Kim. Orang tuaku asli Jakarta. Mereka adalah dokter. Jadi, tak mungkin aku memiliki akhiran Kim di namaku. Kau sendiri bagaimana? Kau blasteran?"

Aurora memutar bola matanya, "sudah kuduga. Kau memang seorang playboy yang bisa-bisanya bergurau dan pergi begitu saja".

"Ah, kemarin aku mendapatkan telepon dari pamanku bahwa orangtuaku kemari. Jadi , aku segera kembali ke rumah"

"Oh, orang tuamu tidak ikut kemari? Hanya kau? Kenapa?"

"Iya, mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di Jakarta. Aku kemari untuk mencari ilham sebagai freelance photographer. Kenapa kau begitu penasaran dengan ceritaku hingga tidak menjawab pertanyaanku? Kau mulai tertarik padaku?" tanya Darrell menggoda Aurora.

Aurora mendengus dan memalingkan wajahnya, "yang benar saja. Sudah ku bilang, kau tak akan dapat merayuku. Dan baiklah, aku tidak berpura-pura menambahkan marga Kim di namaku, tapi aku memang blasteran Korea-Indonesia. Ayahku orang Korea dan Ibuku asli Jogja".

"Aku bisa melihat dari wajahmu, kau memang benar-benar berdarah Korea".

"Tapi, aku tidak bisa melihat di wajahmu kalau kau benar-benar tidak berdarah Korea".

Darrell tertawa mendengar ucapan Aurora, "ibuku mengaku bahwa ia sering menonton drama Korea saat hamil diriku. Mungkin itu salah satu faktornya".

Aurora mengangguk, "Ya, bisa jadi".

"Ngomong-ngomong, kenapa kau terus berkata aku tak mampu merayumu? Kau tidak tertarik dengan pria?" tanya Darrell hati-hati.

Aurora terbahak-bahak mendengar pertanyaan Darrell, "yang benar saja, tidak. Aku masih normal Darrell".

"Lalu, kenapa? Boleh aku tau alasannya?"

Rara kemudian berhenti tertawa dan sedikit terlihat murung, "Itu berawal dari ayahku yang meninggalkanku selama-lamanya. Dia meninggal dunia tanpa memikirkan perasaanku. Dia meninggal karena sakit jantung. Aku enggan melihat pria yang keluar dan masuk dalam hidupku, aku tidak siap".

Melihat Aurora yang murung karena pertanyaan Darrell, Darrell pun merasa bersalah. Ia memikirkan cara untuk keluar dari topik ini agar bisa melihat Aurora sedikit lebih tenang dan tersenyum lagi. Menurutnya, saat ini bukan saat yang tepat untuk membahas kembali kematian ayahnya. Ia sangat ingin menjelaskan bahwa pemikiran Aurora adalah salah, tetapi ia butuh untuk mencairkan suasana lagi. Akhirnya Darrell melirik jam tangan silver nya,

"Astaga. Tak terasa sudah jam 5. Aku masih belum ingin pulang Ra. Ayo kita ke tempat lain. Toh hari ini adalah akhir pekan"

Suara Darrell mengagetkan Aurora yang mulai hanyut dalam kesedihan dan kenangan perihnya. Aurora dengan cepat menyadarkan dirinya dan berusaha untuk mengembalikan suasana hatinya dengan tersenyum. Ia berfikir sejenak atas pertanyaan yang diberikan Darrell, kemudian..

"Bagaimana kita ke bukit bintang? Sudah lama aku tidak ke sana dan kebetulan ada kau yang membawa sepeda motor. Bagaimana?" tanya Aurora yang kembali bersemangat.

Darrell lega akhirnya gadis itu kembali tersenyum, "bukit bintang? Apa tempat itu bagus? Apa kau bisa melihat banyak bintang di sana?"

"Sangat bagus. Tapi sayangnya kau hanya bisa melihat banyak bintang jika saja langit dan cuacanya mendukung. Tapi ada hal lain yang menyerupai bintang di sana. Ayolah, kau tak akan menyesal"

Akhirnya Darrelll mengangguk setuju sambil tersenyum, kemudian keduanya bergegas menuju kasir untuk membayar makanannya. Setelah adu mulut yang cukup lama karena rebutan untuk membayar makanan, akhirnya Aurora mengalah dan membiarkan Darrell membayar makanan itu dengan alasan ia merasa berterima kasih di temani Aurora. Setelah selesai melunasi makanan mereka, keduanya kembali melaju dengan sepeda motor. Lagi-lagi Aurora menjadi penuntun jalan yang baik. Perjalanan menuju bukit bintang cukup jauh. Langit semakin gelap dan udara semakin dingin. Aurora menarik lengan-lengan sweaternya untuk menutupi punggung tangannya. Meskipun malam Jogja cukup dingin, keduanya tampak menikmati perjalanan.

Aurora maupun Darrell sepertinya menikmati malam dingin Jogja. Aurora tersenyum melihat kiri dan kanan jalanan. Langit gelap, namun lampu toko-toko di pinggir jalan menerangi perjalanan mereka. Sesekali Darrell melirik ke kaca spion, memperhatikan Aurora yang tersenyum menikmati jalanan, kemudian Darrell mengerjapkan matanya dan ikut tersenyum. Ketika akhirnya perjalanan mulai menanjak karena letak bukit bintang di dataran tinggi, Aurora mulai berpegangan pada pinggang Darrell. Kiri kanan hanya tersisa pepohonan dan jalanan mulai gelap. Namun, karena perjalanan mereka yang mulai memasuki daerah dataran tinggi, Aurora dapat melihat gemerlap kota Jogja di malam hari dari balik pepohonan.

"Kau bisa melihat bintang yang ku maksud Darrell?" teriak Aurora bersaingan dengan suara angin yang bertiup kencang.

Darrell hanya membalas Aurora dengan senyuman yang Aurora lihat dari spion.

Tak lama, mereka tiba di rumah kayu dengan cat warna warni. Rumah kayu itu terlihat memiliki beberapa lantai. Lampu-lampu kuning menghiasi rumah itu. Aurora menggandeng Darrell menuntunnya ke rumah itu. Di dalamnya ternyata banyak pasangan yang sekedar duduk, makan, bercerita, bergurau dan menikmati pemandangan. Lagi-lagi keduanya memilih duduk lesehan di sebuah meja kayu di tepi pagar hijau yang pemandangannya langsung ke jalanan Jogja yang terlihat gemerlap dari atas.

Mereka memesan dua jagung bakar, secangkir susu coklat hangat untuk Aurora dan secangkir kopi susu hangat untuk Darrell.

"Bagaimana? Apa kau akan berterima kasih lagi pada ku Darrell?", tanya Aurora setelah memesan makanan.

"Tentu saja. Ternyata pilihanku untuk datang ke Jogja tidak salah", jawab Darrell sambil memfokuskan kameranya pada gemerlap jalanan Jogja.

Tak lama, seorang pelayan mengantarkan pesanan mereka dan Aurora mengucapkan terima kasih pada pelayan itu. Aurora menyesap susu coklatnya yang menghangatkan tubuhnya setelah perjalanan malam yang dingin.

"Ya, kau tak salah untuk datang ke Jogja dan kau tak salah memilihku sebagai penemanmu".

Darrell memalingkan wajahnya dari kamerannya ke Aurora sambil tersenyum, "dan ingatlah, hari ini aku penemanmu di hari Sabtumu yang kosong".

Aurora hanya tertawa sambil menggerogoti jagung bakarnya. Keduanya kembali hanyut dalam keindahan Kota Jogja dan sejuknya malam. Suara orang yang mengobrol bersahut-sahutan dan suara tawanya terasa menghangatkan jiwa mereka. Samar-samar terdengar lagu Kunto Aji yang diputar oleh warung tersebut.

Tenangkan hati..

Semua ini bukan salahmu..

Jangan berhenti..

Yang kau takutkan takkan terjadi...

(Kunto Aji, Rehat)

Darrell tiba-tiba meletakkan kameranya ke atas meja dan menatap Aurora.

"Ra..", panggil Darrell dengan suaranya yang rendah.

"Mmm?" jawab Aurora sambil menikmati jagung bakar di tangannya.

"Dengarkan aku. Berhentilah berkabung dengan perasaan dan pikiranmu Ra"

Aurora meletakkan jagung bakarnya, "maksudmu?", tanyanya sambil mengernyitkan dahi.

"Aku tau, aku tak merasakan kesedihan yang kau rasakan saat ayahmu meninggal".

Rara mengerjapkan matanya, namun masih tetap diam.

"Aku paham benar yang kau pikirkan. Namun, aku yakin ayahmu jauh lebih mencintaimu dibanding kau mencintainya. Apakah kau pernah bayangkan apa yang ayahmu rasakan ketika akhirnya ia harus menghadapi ajalnya dan meninggalkan putri kesayangannya?"

Mata Aurora mulai berkaca-kaca..

"Dia juga sedih Ra. Meski kau tak melihatnya lagi saat ini, Aku yakin dia masih melihatmu dari dunianya. Coba kau lihat langit itu dan coba kau bayangkan disitu ayahmu mengawasimu sambil terus bersedih karena anak semata wayangnya terus menyalahkannya atas kepergiannya dan hidup menyedihkan begini".

Air mata Aurora mulai mengalir. Ia memalingkan wajahnya mencoba menyembunyikan kesedihannya. Darrell pindah duduk di samping Aurora. Ia menarik kepala Aurora dan menyandarkannya di bahunya.

"Menangislah Ra. Berjanjilah setelah ini kau akan bahagia. Aku memang baru mengenalmu. Tapi aku yakin benar dengan kalimatku tadi adalah yang ayahmu rasakan. Aku yakin kau akan baik-baik saja setelah ini. Aku akan ada untukmu Ra. Hidup di dunia yang sementara ini, kau harus selalu siap dengan yang datang dan pergi. Aku akan mendampingimu menghadapi itu. Aku akan menjadi teman sedih, bahagia dan marahmu. Berjanjilah kau hanya akan menangis seperti ini hari ini."

Aurora hanyut dalam perkataan Darrell. Perkataannya memang benar, dirinya yang terlarut larut dalam kesedihan malah menyalahkan orang lain. Sudah saatnya Aurora merubah dirinya yang kaku dan salah itu. Malam dingin itu terasa panjang, namun Aurora merasa nyaman bersandar di bahu tegap Darrell. Ia memang bersedih setiap kematian ayahnya dibahas dan diugkit-ungkit kembali. Namun, malam itu rasanya berbeda. Setelah kalimat itu dilontarkan oleh Darrell, ia merasa beban yang ia pikul dan beban yang mengganjal dadanya terasa terangkat lepas, bebas bersama angin malam Jogja. Kesedihan itu akhirnya larut bersama tawa dan sautan pengunjung yang ada di situ dan larut juga bersama melodi yang diputar oleh warung itu. Bisa diakui bahwa malam itu yang bersyukur tidak hanya Darrell, melainkan Aurora juga.

---

Hyy.. penulis masih belajar untuk memperbaiki tata kalimat dan bahasanya, jadi kalau ada yang kurang mohon dimaafkan dan bisa dikoreksi juga oleh teman-teman.

cerita ini murni karangan penulis dan jika ada kesamaan judul, latar, alur cerita, tokoh dan setting, itu murni hanya ketidak sengajaan.

Semua gambar yang ditambahkan hanya bermaksud untuk meningkatkan imajinasi pembaca dan sumber gambar sudah tertera dibawah gambar. Hasil akhir gambar diedit langsung oleh saya. Untuk part ini memang tidak banyak gambar yang ditambahkan karena takut membatasi imajinasi pembaca.

Cast: Lee Jong Suk-Darrell Davendra & IU (Lee Ji Eun)-Aurora Naureen Kim

Sekali lagi terima kasih bagi yang berminat membaca!! Always Stay Healthy and Happy Reading!!

Continue Reading

You'll Also Like

410K 16.7K 34
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1.1M 51.1K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
280K 17.8K 44
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...
244K 753 9
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...