Untitled:Give Titles As Your...

Par idcwiththeworld

11.5K 4.5K 7K

Menceritakan tentang mahasiswi dan anak SMA yang saling jatuh cinta karena suatu kejadian yang tak pernah mer... Plus

1. CAST.
2. PROLOG
3. Satu
4. Dua
5. Tiga
6. Empat
7. Lima
8. Enam
9. Tujuh
10. Delapan
11. Sembilan dan Cast.
12. Sepuluh
13. Sebelas
15. Tiga Belas
16. Hi, We Are Back!

14. Dua Belas

393 190 399
Par idcwiththeworld

UNTITLED

(Give titles as your wish)

*Hallo, welcome back.Jangan lupa untuk tinggalkan jejak berupa vote, comment, dan share ke temen-temen kalian supaya temen kalian juga bisa baca cerita ini. Jika berkenan bisa ditambahkan ke Reading List*

*Selamat membaca bagian ke dua belas dari Untitled*

***

DUA BELAS

"Gue nggak pernah main-main, lo minta gue percaya seratus persen, gue kasih seribu persen." -Anselia Semesta.

***

"Ini tiket buat teater udah beres?" Ansel mencepol asal rambutnya, beberapa anak rambut menjuntai tidak beraturan, menampilkan messy hairnya. Kegiatan kampusnya semakin padat seiring dengan dekatnya acara besar teater yang ia ketuai.

"Udah, tinggal diambil." Putri memberi tab miliknya pada Ansel. "Lo liat deh, ini biaya pengeluaran di bagian kostum kenapa jadi melebar gini, ya?"

"Bukannya kemarin udah beres soal kostum? Coba lo tanya sama penanggung jawabnya, deh." Ansel menarikan jarinya di atas tab, matanya menelisik beberapa dokumen yang Putri perlihatkan.

"Ratu sama Dewangga mana? Gue kontak dia belum ada balesan. Itu soal venue, gue mau lightingnya sesuai kayak apa yang udah kita sepakatin, jangan kayak acara lalu." Putri menambahkan list venue pada tabnya.

"Iya, soal venue nanti gue bilangin mereka lagi, kayaknya mereka masih ada kelas belum kelar."

"Ya Tuhan, gue juga ada kelas, dua menit lagi, Put." Ansel menepuk dahinya sendiri, melirik jam di pergelangan tangan kirinya.

"Gue ke kelas dulu, ya, Put. Nanti kita bicarain lagi," tambahnya buru-buru, Putri meng-iyakan.

Ansel memasuki kelas yang sudah terlihat ramai namun belum ada dosen yang mengajar, ia sedikit meregangkan otot-ototnya, sudah beberapa minggu ini jam tidurnya berantakan gara-gara jurnal garapan yang ia anggap sepele itu terkena revisi sampai tiga kali. Belum lagi mengenai acara terdekatnya yang semakin dekat menuju hari-H. Gawainya bergetar, bukan sebuah pesan ataupun panggilan masuk, melainkan alarm pengingat yang sengaja ia pasang jauh-jauh hari, dengan agenda ujian nasional terakhir Dika.

"Selamat siang." Terdengar suara dosen di depan sana, Ansel mengalihkan fokus dari ponselnya, ia mengambil buku dari tote bag, bersiap mendengarkan materi yang menurutnya sama sekali tidak menarik.

Tiga sks berlalu terasa begitu lama bagi Ansel, rasanya pantatnya panas seperti duduk lebih dari sepuluh jam. Akhirnya ia bisa bernapas lega, setelah ini, ia sudah tidak memiliki jadwal kelas.

Ia berjalan menuju loker. "Kenapa nggak dibuang?" Suara Dika saat itu tiba-tiba saja melintas di gendang telinganya, ia meraih sekumpulan surat di dalamnya, dibuangnya ke dalam tempat sampah terdekat.

Ia menimang, kiranya jika ia menghubungi pacarnya saat ini, apakah ia menganggu? Ansel menggigit bibirnya, sudah beberapa minggu juga ia sadar bahwa hubungannya dengan Dika sedang tidak baik-baik saja, namun demi menghilangkan pikiran negatif itu ia memilih untuk menganggap semuanya baik-baik meski terasa kegiatan bodoh itu hanya pengalihan semata.

Awalnya Ansel mengira komunikasi dengan Dika yang semakin singkat itu karena ia paham bahwa Dika akan fokus dengan ujian nasionalnya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa Dika juga selalu mereject panggilannya.

"Ellen," panggil Ansel saat melihat gadis itu hendak memasuki lift menuju lantai atas.

"Ya?" balas Ellen dibarengi dengan senyum ciri khasnya.

"Lo besok dateng ke acara anak teater, 'kan?" tanya Ansel hendak memastikan, Ellen menimang. "Dateng, ya?"

"Dapet tiket gratis 'kan gue?"

"Gue diskon lima puluh persen buat lo." Ellen tertawa mendengar jawaban Ansel. "Ye, kirain gratis atuh."

"Tenang, Sel, besok kalau gue senggang pasti dateng."

"Gue duluan, ya." Pintu lift sudah terbuka, Ansel melambaikan tangannya pada Ellen.

"Dah," balas Ellen.

"Ansel, gue cariin lo ternyata di sini." Lelaki jangkung ini sedikit ngos-ngosan sembari membenarkan tas gitar yang ia sampirkan di bahu kirinya.

"Kenapa?" tanya Ansel.

"Jangan lupa rapat."

"Gue 'kan udah bilang Air, lo nggak bisa baca di grup apa, gue beneran izin hari ini." Kesal Ansel.

"Lagian ada lo," sambung Ansel berlalu, Airlangga menyusul. "Lo ngapain ngikutin gue? Mau ngelarang gue nggak boleh izin?"

"Sel, tapi acara kita udah mepet, lo nggak bisa izin gitu aja," ucap Airlangga menahan kegeramannya, kalau saja sosok di depannya ini bukan perempuan yang ia puja, mungkin ia sudah melayangkan kegeramannya.

"Airlangga yang terhormat, gue izin pakai surat. Bukan sembarang bolos, jadi mohon pengertiannya, ya." Ansel mengakhiri ucapannya dengan helaan napas.

"Lagian lo mau ke mana, sih?" cecar Airlangga.

"Mau tau aja lo, gue titip rapat ke lo kali ini, oke?" Airlangga mematung sejenak, matanya tertuju pada kedua tangan Ansel yang mengenggam tangannya.

"Ya?" Purnama milik Ansel menyipit, tak tertinggal ia memamerkan senyum manisnya.

"Ok, Airlangga emang wakil ketua yang sangat baik. Terima kasih Air." Ceplosnya, Airlangga megerjapkan mata, terlihat Ansel melengos begitu saja tanpa memedulikan Airlangga yang masih dibuat shock dengannya.

Ini pertama kalinya Ansel berbicara lembut kepadanya, ditambah Ansel menggenggam kedua tangannya, bodoh memang jika Airlangga senang, namun jika bohong pun semesta tahu bahwa isi perutnya saat ini dihiasi dengan kupu-kupu yang beterbangan.

Airlangga menyukai Ansel sejak pertama kali gadis itu menjadi mahasiswa baru di kampusnya. Ansel, satu-satunya adik tingkat yang bisa membuat dirinya bertahan di organisasi teater, di mana harusnya ia sudah selesai dengan segala kegiatan organisasinya dan harus fokus dengan tugas akhir. Pantang menyerah bagi Airlangga, ya, sampai dengan hari ini ia masih berjuang. Tanpa seorangpun tahu.

"Cailah, Bapak Airlangga bengong." Tiba-tiba saja suara Ellen menyahut, tak lupa kekehan menyebalkannya, Airlangga mengacak rambutnya sendiri, sebal karena Ellen mengacaukan pikiran indah yang sedang terlintas di kepalanya.

"Hah? Gue bengong? Salah liat kali lo," sangkalnya.

"Lo pikir mata gue bermasalah?!" ketus Ellen

"Belekan mata lo." Airlangga menujuk mata Ellen dengan tidak selera.

"Heh, dakjal, mau gue sambit lu?" Picing Ellen tidak terima.

"Jangan galak-galak sama senior."

"Masih jaman apa senior dan junior." Ellen berlalu namun Airlangga mengejar.

"Cie wakil BEM udah putus dari si dedek gemes." Goda Airlangga mencolek dagu Ellen.

"Airlangga!" Napasnya memburu, matanya menajam, suara Ellen menggelegar di sepanjang koridor yang sepi ini. Sementara lelaki yang ia panggil sudah jauh berlari di depan, di ujung persimpangan koridor, Airlangga sempat memeletkan lidahnya.

Anak wakil rektor brengsek emang! batin Ellen memanas.

***

Hari ini Ansel menelepon Pak Kakas, supir Ayla untuk menjemputnya, lagian Ayla sang mama sedang berada di Batam, jadi Pak Kakas libur tidak ada jadwal mengantar sang mama ke tempat kerja.

Ansel duduk di halte kampus, tempat pertama kali ia bertemu dengan Dika. Tidak, kali ini tidak bersama hujan yang mengguyur. Sembari menunggu Pak Kakas, tangannya beralih mencari kontak Dika, hari ini ia yakin pasti beban di pundak kekasihnya sudah terasa lebih ringan karena ujin nasional akhirnya berakhir.

"Telepon sekarang nggak, ya?" ucap Ansel pada dirinya sendiri.

Bertepatan dengan dirinya memencet tombol call di layar gawainya, tepat tak jauh dari penglihatannya, motor besar hitam yang ia amat paham siapa pemiliknya siap melintasinya dalam beberapa hitungan detik. Motor itu berada di garda terdepan, disusul Rafly, Gravito, Nakula dan mobil Gana di barisan paling belakang. Ponselnya hampir saja merosot saat komplotan Dika melewati dirinya. Sampai akhirnya panggilan yang tidak diindahkan itu berhenti dengan sendirinya.

Mobil Pak Kakas berhenti tepat di depan Ansel, gadis itu segera memasuki mobil. "Pak ikutin mobil yang itu, ya?"

Pak Kakas menurut, ia mengemudikan mobilnya dengan jarak yang sedikit jauh. Tidak lama Dika dan komplotannya berhenti disebuah caffe. Gana, Rafly, Gravito dan Nakula terlihat memasuki area dalam caffe terlebih dahulu, sementara Dika justru bersender di motornya. Dari seberang, Ansel kembali mencoba menghubungi Dika namun terlihat dengan jelas lelaki itu merejject panggilanya, dari bahasa tubuhnya ia sedang menunggu seseorang.

"Hallo." Panggilan kesekian kalinya akhirnya terjawab.

"Akhirnya udah bebas, ya?" Suara Ansel dibuat seceria mungkin, pandangnya fokus pada lelaki di seberang yang tidak mengetahui keberadaanya.

"Haha, iya, nih." Terdengar suara Dika menyahut.

"Lo nggak lupa kalau nanti malem mau ngajak gue jalan, 'kan? Lo sendiri yang bilang kalau setelah ujian mau ngajak gue keliling Bandung."

Terlihat Dika menarik napas panjangnya. "Sorry banget Ansel, kayaknya kalau nanti malem nggak bisa, diundur aja, ya?"

"Kenapa emang?"

Terlihat Dika mengacak rambutnya. "Ansel udah dulu, ya, rame banget nih di sini berisik, nanti gue hubungin lo lagi, deh." Dika memutuskan sambungan teleponnya. Tak lama dari itu, sebuah mobil terparkir apik di samping mobil Gana, terlihat gadis berambut ombre hijau dengan seragam yang sama dengan Dika keluar dari mobil, gadis itu mengulurkan tangannya, dan tentu saja itu yang Ansel lihat, Dika menerima uluran tangan gadis itu.

***

Apakah yang ia lihat tadi adalah jawaban dari segala komunikasi dengan Dika yang semakin singkat? Lagi-lagi Ansel berusaha menjawab bahwa bukan itu jawabannya.

"Ansel jangan curigaan gitu deh, mungkin mereka lagi ngerayain karena hari ini mereka selesai UN, lo nya aja sih yang ganggu." Air mata dan senyum yang menetes secara bersamaan itu, sudah lebih cukup menjadi jawaban dari apa yang sebenarnya menetap di dalam isi kepalanya.

Pukul tujuh malam Ansel mencoba menghubungi Gana, tanpa menunggu lama suara diseberang sana sudah menjawab. "Hallo, Ansel."

"Hallo, Gana."

"Ada apa nih, tumben?"

"Akhirnya jadi pengangguran sekarang," ledek Ansel disertai kekehan kecilnya di akhir.

"Wah, inget aja lo, akhirnya kelar juga UN gue." Suara Gana terdengar sedikit putus-putus.

"Sinyal gue jelek sorry, Sel."

"Lo lagi di mana?" tanya Ansel.

"Di rumah, kenapa?" Gana kembali menyahut.

"Lo nggak ada acara kumpul-kumpul bareng temen lo?" Ansel kembali bertanya.

"Acara kumpul-kumpulnya besok setelah pengumuman kelulusan, kenapa? Eh, tumbenan banget lo nanya gue, lo lagi nggak kenapa-napa sama si Daki, 'kan?"

Ansel tertawa menanggapi. "Ya, enggak lah, baik-baik aja gue. Yaudah, once again selamat, ya, atas UN yang udah kelar."

"Nuhun, Ansel." (Terima kasih, Ansel)

Ansel melempar ponselnya hingga jatuh ke lantai. "Buset, sayang atuh Ansel." Entah baru masuk atau lagi-lagi Gema sudah menguping sejak lama, tiba-tiba saja lelaki itu langsung mengambil ponsel yang sudah tergeletak di lantai.

"Nggak sengaja merosot, Bang," jawab Ansel berbohong.

"Nggak sengaja gimana? Orang gue liat lo nglempar," elak Gema, ia memberikan kembali ponsel pada genggaman tangan Ansel.

"Lo lagi kenapa? Kalau si Dika udah bikin lo kayak gini, mau gue samperin rumahnya sekarang? Tangan gue bisa bantu Sel jangan lupa." Gema bersungut, duduk di pinggiran ranjang.

"Beneran deh, hari sedih yang selalu lo elak dateng juga?" tanyanya kemudian.

"Bang nggak usah ganggu gue bentaran aja deh, bisa?" Ansel menendang Gema menggunakan kakinya, ia memilih untuk menarik selimut tebalnya hinga sebatas dadanya.

"Gue paham bener nih, kalau lo udah kayak gini, pasti kalian lagi berantem 'kan, kenapa? Lo beneran nggak mau cerita sama gue?" Gema mengetuk-ketuk kaki Ansel, adiknya itu segera menatapnya. "Bang gue mau ke rumah Dika, lo mau temenin nggak?"

Gema terdiam sesaat, namun setelahnya semburat sabit ia tampilkan. "Makasih Bang Gema, yaudah bentar gue ganti baju dulu, lo keluar gih."

"Jangan lama-lama," teriak Gema dari luar kamar, Ansel memilih tidak menjawab.

Udara Bandung terasa lebih dingin malam ini. Ansel ingat, ia pernah diajak Dika berkeliling Bandung dan melewati komplek perumahan tempat tinggal miliknya.

"Ansel ini udah kelima kali kita keliling komplek dan lo masih nggak inget bloknya?"

Ansel menoyor pelan kepala Gema. "Bentaran deh Bang gue beneran lupa, mana design rumahnya mirip-mirip, 'kan."

"Yaudah, kita ulangin dari gerbang masuk, ya, terus lo inget-inget tuh lo masuknya lewat jalan mana aja." Gema memutar stir kemudinya, ia mengulang perjalannya dari gerbang masuk perumahan elite itu.

"Ke mana ini?" tanya Gema lagi.

"Ini kita lurus, Bang." Yakin Ansel.

Gema melajukan mobilnya sesuai petunjuk Ansel. "Nah itu Bang, gerbang yang paling tinggi, warna item." Ansel menurunkan setengah kaca jendelanya.

"Lo yakin rumah dia yang ini?"

Ansel mengangguk. "Iya."

Gema mematikkan mesin mobilnya. "Yaudah, sana samperin, kalau ada apa-apa bilang gue."

"Gue masuk dulu." Gema mengelus puncak kepala Ansel, gadis itu segera turun dari mobil.

Beberapa kali Ansel mengosok-gosokan tangannya, antara yakin dan sangat tidak yakin dengan tindakannya kali ini. Ah, sial sekali, dulu perasaan saat ia menjalin hubungan dengan mantannya, ia tidak pernah merasa setakut ini untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, bahkan saat itu Ansel pernah memutuskan sang mantan di kantin sekolah tanpa rasa khawatir berlebih.

Dika sudah menjadi inti dunianya, menarikknya begitu dalam sampai membuatnya lupa apa itu arti saling dalam beberapa minggu ini. Ia takut kapalnya berat sebelah, kemudian karam. Mungkin terdengar egois saat ini jika ia meminta semuanya persis seperti apa yang ada di kepalanya, namun tidak dipungkiri, ia tidak mau hal buruk itu terjadi.

Tanganya memencet bel berwarna putih di sisi pintu, merapikkan bajunya sejenak. Suara pintu terbuka, memperlihatkan wanita setengah baya menyambutnya dengan senyuman.

"Malam, Tante," sapa Ansel sopan.

"Malam, cari siapa, ya?" jawabnya dengan suara lembut.

"Dika ada?" Perempuan setengah baya tersebut mengusap bahu Ansel. "Ada, silakan duduk dulu."

Ansel menurut, duduk di sofa ruang tamu, terlihat perempuan setengah baya yang ia terka adalah Mama Dika berlalu menuju lantai dua.

"Dika ada temennya ke sini, kamu teh minjem bukunya pasti, ya, belum dikembaliin?" Nala-Mama Dika memasuki kamar anaknya, terlihat Dika sedang mengeringkan rambut menggunakan handuk.

"Dika nggak pernah minjem buku ketemen ih, Ma," jawab Dika cepat.

"Udah temuin dulu, ih."

"Mama kenapa senyum-senyum." Dika ikut tersenyum kala Nala tersenyum lebih dahulu.

"Temen kamu cantik."

Kakinya langsung kaku saat itu juga, aliran darahnya seperti berhenti detik itu. Ia menyisir cepat rambut setengah keringnya menggunakan tangan. "Pegangin dulu Ma handuk Dika."

Baru beberapa langkah kakinya menuruni anak tangga seseorang yang tadi muncul di dalam kepalanya saat ini terlihat duduk di ruang tamunya dengan anggun, ada perasaan kaku saat itu juga.

"Ansel," lirih Dika, gadis itu menyambutnya dengan senyum yang terlihat damai.

Dika memalingkan wajahnya sejenak, lalu memgulum bibirnya. "Boleh 'kan gue main?"

Lelaki itu menarik Ansel dan berhenti di bangku taman samping rumah. "Kenapa masih berdiri? Sini duduk." Ansel menepuk sisi kosong bangkunya, terlihat Dika tetap berdiri di sampingnya.

"Udah ih sini duduk, aneh banget atuh lo." Gadis itu menarik pergelangan lengan Dika.

"Bandung malem ini dinginnya beda, ya," lirih Ansel sembari menyorot lampu taman, Dika menautkan jari-jari tangannya sendiri.

"Eh, iya, tadi 'kan lo katanya mau hubungin gue, tapi mana? Gue tunggu nggak ada panggilan dari lo." Ansel memiringkan wajahnya, Dika sempat terhenyak. "Lo lupa kalau mau ngajak gue jalan-jalan malem ini? Terus kenapa lo tadi pake bilang nggak bisa malem ini?"

"Oh, iya, gue mau ngucapin lo selamat langsung, deh. Selamat, ya, ujiannya udah kelar, semoga lulus dengan nilai sesuai dengan apa yang lo pengen." Ansel menyalami Dika, mata mereka beradu tatap sejenak. Jelas saja Ansel tahu kalau ini bukan Dika yang baik-baik saja, namun kenyatannya nyalinya tidak sebesar itu untuk membuat semua yang sebenarnya tidak baik-baik ini menghasilkan jawaban, Ansel tidak siap dengan semua kemungkinan buruk yang terpatri di dalam kepalanya.

"Lo ngomong kek. Diem aja, sariawan lo." Ansel menjeda kalimat yang akan ia lontarkan selanjutnya. "Dika?"

"Ya?" balas Dika spontan, ia menyenderkan punggunya di bangku taman.

"Ansel ada yang mau gue omongin." Mata elang Dika berbaur dengan manik mata cokelat Ansel. Jantung Ansel seperti dipaksa memompa lebih cepat, beberapa kali pikirannya mencoba untuk kembali tenang.

"Ya, sok atuh, ngomong tinggal ngomong." Ansel mengeratkan cardigan yang ia gunakan.

"Gue mau kita udahan," ucap Dika sekali tarikan napas, jeda satu menit Ansel tertawa, memegang kedua pipi kekasihnya. "April mop masih lama, ya, Dang, please, deh."

"Gue serius mau kita udahan." Yakin Dika, Ansel masih berusaha menahan air matanya yang saat itu hendak keluar. Ia memiringkan tubuhnya lagi agar bisa melihat apakah Dika ini serius dengan apa yang ia ucapkan, tapi nyatanya, ia tidak melihat celah bahwa Dika sedang bercanda.

"Lo ... lo bosen sama gue?" lirih Ansel patah-patah.

"Kenapa lo mau kita udahan, ha?" Bohong jika Ansel berhasil tidak meloloskan air matanya.

"Nggak usah nangis," lirih Dika tanpa menatap Ansel.

"Tebakan lo bener, soal gue nggak ada bedanya sama laki-laki di usia SMA yang lain."

"Dika kalau lo bosen, gue bisa maklumi. Lo minta waktu buat gue nggak ngehubungin dulu, gue lakuin. Atau ada ucapan gue yang bikin lo sakit hati? Gue bikin salah yang gue nggak sadar, ya?"

"Ansel, udah." Lelaki itu menatap Ansel sedikit frustrasi.

"Kenapa lo mutusin gue? Gue butuh penjelasan, Dika!"

Tangan Dika terulur mengusap air mata yang lolos dari kedua pipi Ansel. 'Lo liat mata gue." Tunjuk Ansel pada matanya sendiri, tangannya gemetar bukan main.

"Gue nggak pernah main-main sama lo. Lo minta gue percaya seratus persen, gue kasih seribu persen."

"Lo salah kasih bocah kayak gue kepercayaan seribu persen." Enteng Dika, namun suaranya hampir tidak terdengar. Ansel menggeleng tidak percaya. "Lo udah niat dari awal buat ngelakuin ini?"

Dika terdiam, semilir angin menyambut, menusuk kulit mereka.

"Kalau gue nggak mau putus, gimana?"

"Gue putusin sepihak." Ansel berdecak, kembali menelisik Dika di sampingnya.

"Lo tuh kenapa, sih? Lo pasti males, ya, masangin gue helm tiap saat? Lo pasti sebel karena gue sering minta jemput padahal mah lo cape balik sekolah, iya, 'kan? Itu?"

"Bukan Ansel, bukan itu. Gue seneng ngelakuin itu semu ...."

"Ya, terus apa?!" potong Ansel cepat, nada suaranya meninggi.

"Udah nggak ada yang perlu dibicarain lagi Ansel, lo boleh balik." Ansel menganga, tidak menyangka apa yang Dika ucapkan.

"Putusin gue, tapi tatap mata gue." Dika terdengar menghela napas, berjongkok di hadapan Ansel.

"Gue mau kita udahan," ucapnya dengan mata yang menyayu dengan nada penekanan, Ansel menarik paksa senyumnya, menepuk bahu Dika. "Gue kira lo bercanda, ternyata beneran."

Ansel bangkit dari duduknya. "Gue balik."

Dika membiarkan Ansel yang saat ini sudah berubah statusnya menjadi 'mantan' meninggalkan rumahnya. Dika berlari dan bertubrukan dengan sang Mama tepat di ambang pintu, "Dika?" telisik Nala ketika tak sengaja melihat putra sulungnya meneteskan air mata.

"Dika," panggil Nala. Dika mengelap kasar air matanya, dua gelas air putih berhasil diteguknya secara kasar. "Ada apa?"

Dika menggeleng. "Dika mau ke kamar, Ma."

"Kalau kamu teh butuh bahu buat sandaran sebentar, Mama ada," teriak Nala berbarengan dengan pintu yang ditutup keras oleh anak sulungnya.

***

Gema terlihat tersulut emosi. "Ansel kita balik aja deh, tangan gue nggak tahan buat patahin tulang rusuknya."

Ansel kembali mengelap air matanya. "Udahlah, Bang Gema. Jangan di patahin, kasian nanti jodohnya ilang."

Gema mengelus bahu Ansel, heran sekali adiknya ini masih bisa tersenyum padahal ia tahu hatinya sedang hancur lebur gara-gara bocah SMA itu. Tapi inilah Gema, ia selalu membiarkan Ansel untuk melalui proses hidup yang sebenarnya, bahwa proses menemukan rumah yang sesungguhnya memang tidak mudah, bahwa seringkali hidup tidak sesuai apa yang kita mau, bahwa kita harus siap dengan konsekuensi apapun yang akan terjadi di depan.

"Kalau lo ngijinin gue buat patahin tuh tangannya, gue patahin. Tapi tanpa ijin lo mah gue percuma aja."

"Nggak usah, Bang." Ansel menenangkan Gema.

"Patah hati yang gue ciptain sendiri kata lo ini, udah kejadian, Bang." Mobil Gema berhenti kala lampu merah menyala, Gema mengelus punggung tangan adiknya.

"Walaupun emang gue nggak terlalu suka sama hubungan lo, tapi gua selalu minta ke Tuhan buat jangan pernah buka pintu patah hati lo."

"Diem-diem gue sering minta ke Tuhan, supaya hubungan lo awet sama dia. Gue nggak suka karena gue khawatir. Sesama cowok kayak Dika nih, gue ngerasain banget gimana rasanya berada di fase-fase umuran dia, gue selalu berharap bahwa dia nggak kayak cowok-cowok kebanyakan."

"Dan dia nggak jauh beda sama cowok kebanyakan," lanjut Gema menyinis.

"Dan lo juga ternyata cowok kebanyakan itu, ya?" selidik Ansel, Gema segera menginjak pedal gas.

"Nggak atuh," protes Gema.

Ansel bersandar di punggung mobil Gema, lelaki itu sedang membeli sesutu di sebuah minimarket, ia menatap jalanan yang ramai dengan mata sembap dan hidung merah. Kendaraan masih ilalang ke sana ke mari, di depan minimarket masih banyak orang yang saling bertukar canda. Di sana Ansel terdiam, hatinya ngilu sembari membatin bahwa kehidupan ternyata akan tetap beralanjut walau dunianya sekarang sedang runtuh.

***

Terima kasih sudah menyempatkan membaca.
Ada yang mau temenan di Instagram juga nggak?

Xoxo,

-@idcwiththeworld LynAndromeda

To be continue...

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

ALZELVIN Par Diazepam

Roman pour Adolescents

4.7M 274K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
MARSELANA Par kiaa

Roman pour Adolescents

967K 52.4K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2.3M 126K 61
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
805K 58.3K 34
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...