THE MANNEQUIN [Slow Update]

By tasyaaundaria

3K 1.3K 1.8K

[REVISI SETELAH TAMAT] Orang-orang memanggilnya MANNEQUIN. Layaknya sebuah patung perempuan yang berjalan t... More

Prolog
Keping [1] Stop bullying
Keping [3] Trouble maker
Keping [4] Si pengacau
Keping [5] Tn. Meshach
Keping [6] The man was curious
Keping [7] Ingatan itu tak pernah hilang
Keping [8] Dia lagi ?
Keping [9] Bolos
Keping [10] Of a pineapple
Keping [11] Bukan deja vu
Keping [12] Belum terungkap
Keping [13] I'm gone, Zev!
Keping [14] Almost
Keping [15] Karma
Keping [16] Terbongkar
Keping [17] Broken home, broken heart

Keping [2] Si pendengar yang baik

280 133 216
By tasyaaundaria


Lying close to you, feeling your heart beating
And I'm wondering what you're dreaming
Wondering if it's me you're seeing
Then I kiss your eyes
And thank God we're together
And I just want to stay with you in this moment forever
Forever and ever

Lagu klasik dari penyanyi Aerosmith - I Don't Want to Miss a Thing bergema diruangan tengah lantai dua keluarga Manika.

Quin tahu siapa yang memutar lagu dengan volume besar sepagi ini. Hari ini benar-benar weekend. Quin masih betah berlama-lama dengan kasurnya. Merasa terganggu dengan kebisingan itu Quin bangun dengan membawa bekas botol minuman. Kakinya menuruni anak tangga, tapi Quin hanya sampai berdiri ditengah anak tangga. Lalu melempar botol tadi ke target sasarannya.

Plak...

Raza memegang kepalanya yang terkena botol. "Shit!" Umpat Raza lalu mematikan radionya dan matanya mencari-cari sosok yang melempar botol itu.

"Lo kalo mau bikin rusuh sana keluar rumah biar digebukin sama warga." Raza menangkap sumber suara tersebut.

"Kalo lo rusuh dirumah ini lo abis sama gue." Tambah Quin sambil berteriak.

"Sini lo turun. Gak sopan banget cewe satu ini. Untung lo adik gue." Raza mendekati Quin berbalik badan dan masuk kembali ke kamar mengunci pintu.

Raza mengetuk-ngetuk pintu kamar Quin. "Buka pintu!"

Tak ada jawaban.

"QUEENZA!! Berhenti bersikap kasar dan gak sopan sama semua orang. Gak semua orang bisa nerima sikap lo yang kaya gini." Ucap Raza dengan nada tinggi.

Masih tak ada jawaban.

"Bunda pasti sedih kalo liat lo berubah kaya gini." Nadanya sedikit menurun. Raza kembali turun ke lantai dua.

"Bunda." Gumam Quin.

"Maafin Quin."

Ansel melihat Raza yang sedang duduk di taman sambil mengeluarkan asap beraroma nanas.

"Kenapa lo, kak." Tanya Ansel sembari meluruskan kakinya setelah berolahraga di halaman komplek rumah.

"Gue gak ngerti lagi sama sikap Quin yang kasar. Ditambah lagi gue sebagai kakak berasa gak dihargain." Jelas Raza pada Ansel.

Ansel menghela napas. Melihat mata Raza yang benar-benar dibuat kesal oleh Quin. "Lo harus bisa nyesuaiin sikap lo ke Quin yang sekarang. Masih mending lo sabtu minggu doang di rumah. Lah gue hampir tiap hari ketemu Quin. Lo bayangin deh."

Raza memang sudah tidak tinggal dirumah utama mereka. Ia merantau menimba ilmu di salah satu Universitas Bandung. Bukan seperti anak rantau umumnya, Raza disana membeli rumah untuk ia singgahi. Jika sempat setiap weekend Raza pulang ke Jakarta untuk menemui keluarganya. Dan baru hari ini Raza berkunjung kembali ke rumah Rizaldi setelah 7 bulan menetap di Bandung.

"Papah gimana?" Tanya Raza lalu menghisap rokok elektrik.

"Papah lagi diluar kota 1 bulan."

"Bukan itu maksud gue. Respon Papah ke Quin gimana?"

Ansel bangun dan menghampiri Raza dikursi taman. "Papah ngehargain sikap Quin, Papah gak pernah marahin Quin. Karena Papah ngertiin sikap Quin yang sekarang." Ansel mengambil barang kecil yang dihisap Raza.

"Asem." Ansel menghisap rokok elektrik itu beraroma nanas.

"Ketek lu tuh yang asem." Raza mengambil paksa vapenya ditangan Ansel.

Ansel mengendus-endus keteknya. "Mau nyoba?" Tawar Ansel menempelkan tangannya ke hidung Raza.

"Kampret ini bocah." Umpat Raza. Ansel terbirit-birit masuk ke dalam rumah.

[Kemarin pukul 14.00 WIB]

Sella menghampiri Gallen yang sedang bermain basket di lapangan. Hanya Gallen yang bisa menjadi pendengar baik Sella.

"Eh ada lo, Sel. Ko mata lo sembab sih. Kenapa lo?" Gallen duduk diubin berhadapan dengan Sella yang diduduk di kursi lapangan.

"Nih." Sella menyodorkan botol air mineral dingin.

"Lo masih lama gak latihannya?" Tanya Sella pelan.

Gallen meneguk air minum yang diberikan Sella. "20 menitan lagi. Kenapa lo mau nungguin gue?"

Sella mengangguk. "Gue mau pulang bareng lo."

Mereka berdua pulang bersama. Diperjalanan Sella diam. Sesampainya di rumah Sella, ia masih belum mengatakan apa-apa pada Gallen.

"Lo yakin gak ada masalah apa-apa?" Gallen mencoba memancing Sella agar mau bercerita.

"Dirumah lo gak ada Tante Karin kan?" Tambah Gallen.

"Dia udah pulang cuma 3 hari kok." Tante Karin adalah satu-satunya kerabat yang Sella punya. Karin adik dari ibunya Sella. Ia setiap bulannya berkunjung melihat kondisinya Sella. Sisanya Sella menghabiskan waktu sendiri di rumahnya.

"Gue masuk ya, numpang pipis di rumah lo." Pinta Gallen. Sella mengiyakannya.

Rumah sederhana yang dihuni oleh satu manusia. Barang-barangnya tertata rapih namun berdebu. Banyak barang-barang yang antik. Foto keluarganya masih menempel di dinding ruang tamu.

"Udah pipisnya?" Tanya Sella melihat Galle keluar dari toilet.

"Gue haus, Sel. Bikinin gue es jeruk dong." Pinta Gallen.

Mata Sella melotot. "Udah dikeluarin dimasukin lagi." Gerutunya pelan.

"Apa yang dikeluarin dimasukin?" Reflek Gallen mencandai Sella yang berjalan ke dapur.

Sella datang membawa nampan yang berisi es jeruk. "Udah minum lo pulang ya."

"Gak." Gallen mengambil gelasnya.

"Lo cerita dulu baru gue bisa pulang."

Keduanya terdiam.

"Ini pertanyaan terakhir gue, abis ini gue gak akan nanya lagi. Lo kenapa Marsella?" Tanya Gallen hati-hati. Matanya mengunci mata Sella. Sella akhirnya menceritakan kejadian siang tadi. Gallen mendengarkan dengan seksama. Sesekali Sella meneteskan airmatanya.

"Keterlaluan ya temen-temen lo. Perlu gue laporin ke guru BK nih." Jawab Gallen setelah Sella menceritakan semuanya.

"Gak perlu, gue gamau kena masalah lagi nantinya."

Sebelumnya Gallen itu masuk kepengurusan OSIS. Hal-hal seperti pembullyan bisa Gallen usut dengan bantuanya. Namun, Gallen menghargai keputusan Sella yang tak mau ambil resiko bila ia terkena masalah lagi setelah Monic dan antek-anteknya masuk ruangan BK.

"Yaudah lo gak usah sedih lagi. Gue gak akan bawa masalah ini ke ruang BK. Asal lo gak boleh sedih lagi." Ucap Gallen berusaha menenangkan hati Sella.

Takdir Tuhan memang berbeda-beda. Ada yang ditakdirkan menjadi seorang pengecut dan ada pula takdir untuk seseorang yang pemberani.

"Nanti malem lo free kan?" Tanya Gallen.

Sella mengangguk. "Kenapa? Ngajak mabar mobile legend?"

"Bukan bukan." Tukas Gallen cepat.

"Gue mau ngajak lo makan diluar. Mau gak?" Lanjut perkataan Gallen.

"Tumben banget ni anak. Ada apaan ni." Sella mencurigai sahabatnya itu yang tiba-tiba mengajaknya makan malam bersama.

"Mau ngejagain lo, biar gak kepikiran buat bunuh diri."

Sella menginjak kaki Gallen kasar. "Aw!"

Setelah Sella menceritakan semuanya pada Gallen, akhirnya Gallen pulang dari rumah Sella.

"Jam 5 sore ya. Gue jemput lo." Ucap Gallen sebelum pergi ke rumahnya.

Rumah Gallen hanya beda blok dengan rumah Sella. Anehnya mereka baru tahun ini bersekolah di satu SMA yang sama. Sewaktu SD mereka beda sekolah tapi SD-nya berdekatan. Begitupun SMP beda tapi dengan jalur angkutan yang sama sehingga pernah beberapa waktu mereka bertemu.

Tid...tid...
Suara klakson motor Gallen sudah berada di depan rumah Sella. Tanpa perlu menunggu lama Sella pun keluar.

"Yuk. Jalan." Pinta Sella yang sudah duduk di kursi belakang motor Gallen.

Mereka berdua pergi ke Kafe sekitaran Jl. Pendidikan, Cinangka. Kafe dengan rumah kayu berpadu dengan lampu-lampu kecil yang dijadikan atap.

"Tempatnya bagus." Sella melihat-lihat lampu yang bergelantungan disetiap sudutnya.

"Mau pesen apa?"

"Nasi." Singkat Sella sibuk mengabadikan view dari matanya dengan gawai.

"Terus?"

"Yang aneh apa? Terserah lo deh."

Gallen tahu ucapan ini yang akan diucapkan oleh perempuan ketika makan bersamanya.

Saat mereka berdua sedang menikmati makanannya. Mata Gallen menangkap seseorang yang ia kenali.

"Mannequin." Gumam Gallen pelan. Sella menatap mata Gallen lalu menengok ke belakang.

"Queen." Buru-buru Sella mengalihkan lagi pandangannya.

Tak disengaja Quin dan Ansel berada di Kafe itu.

Sementara itu...

Sudah 2 jam lebih Quin duduk di bangku taman dekat ruang kelas Ansel. Quin hanya duduk-duduk dan sesekali berkeliling melihat isi didalam universitas. Kejadian sebelumnya membuat Ansel khawatir akan kekacauan yang diperbuat adiknya itu.

15.27 WIB
Ansel selesai dengan mata kuliah tambahannya hari ini. "Yuk balik." Ajak Ansel dengan tas ransel yang digendong sebelah.

Satu persatu mahasiswa itu keluar dari ruangan. Dibelakang Ansel terlihat ada perempuan tadi yang jatuh.

"Sel, gue duluan yak?" Panggil teman kampusnya berbadan kekar putih mulus.

Quin melihat ke arah suara.
"Boleh juga temen lu, Bang!" celetuk Quin masih dengan wajah jutek.

Ansel melambaikan tangan pada teman laki-lakinya itu. Namun disitu masih ada Nana yang tadi membuat onar dikampus.

"Quin, lo gak mau minta maaf gitu? Soal-- tadi?" Ucap Ansel pelan tidak ingin sampai terdengar oleh yang dimaksudnya.

Quin mengerutkan alisnya. Jari telunjuk kirinya menunjuk dirinya. "Gue salah dimana? Jelas-jelas temen lu yang ngelindur. Jalan pake nunduk terus."

Jari tangannya Ansel memberikan kode silent. "Shutt...lo gak liat ada orangnya?" pelan sekali suara Ansel. Segera Ansel meraih tangan Quin untuk berdiri.

"Ayo pulang!"

"Makan dulu." pinta Quin menghentikan langkahnya dengan wajah menahan lapar sedari tadi.

Tanpa memperdebatkan lagi adik kakak itu langsung bergegas pergi mencari tempat makan.

Diperjalanan Ansel harus dihadapkan dengan drama ban bocor. Terpaksa mereka berdua harus pergi ke bengkel terlebih dahulu.

"Sekitaran sini ada bengkel temen gue." Ucap Ansel.

Quin hanya diam dengan wajah kesal. Perutnya sudah meronta ronta meminta diisi.

"Ey bro. Ada apa nih." Sapa pegawai bengkel.

"Bocor bro." Ucap Ansel sambil memperlihatkan ban mobilnya yang bocor.

"Ah kecil. Lo tunggu dulu ya cepet ko." Pegawai itu langsung mengerjakan tugasnya sebagai montir.

Satu jam sudah Quin diam dengan menahan perut laparnya. Ban mobilnya sudah selesai diperbaiki.

"Thanks ya bro. Gue cabut dulu ya." Ansel menyalami ala-ala gaya anak muda laki-laki.

"Eh bro, itu adek lo?" Ansel mengangguk. "Kenalin ke gue boleh lah." Goda si pegawai bengkel itu.

"Boleh, tapi kalo gue udah sekarat yah."

Quin dan Ansel pergi ke tempat makan yang tak jauh dari situ. Ansel mengendarai mobil dengan secepat kilat. Ia menemukan kafe yang cukup menarik perhatiannya.

Tidak begitu ramai, tersisa beberapa meja kosong. Ansel dan Quin belum menemukan meja ia masih mengamati kafenya.

"Quin." Samar-samar seseorang memanggil nama Quin. Ia mencari sumber suara tadi dan melihat-lihat barangkali ia kenal dengan orang itu. Berambut pendek dengan baju dress dibawah lutut berwarna mocca berhasil Quin temukan. Marsella.

"Sella? Lo ngapain disini." Sapa Quin lalu melirik laki-laki yang bersama Sella.

"Lo gak liat ini tempat apa?" Jawab Sella dengan sedikit menekan nadanya.

Tak ada jawaban dari Quin. Sapaan yang terlalu singkat. Lalu Quin mengabaikan Sella. Pertemuan mereka yang tak disengaja malah memertemukan keduanya.

÷÷÷

Begitulah mereka. Mengenal namun tak kenal dengan baik.

_________________________________________

Eid Adha everyone✨
Siapa disini yang udah nyate? Hehe. Yang belum nyate sabar ya sembari baca update terbaru dari The Mannequin.

Continue Reading

You'll Also Like

440K 23K 72
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.7M 226K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
392K 48.2K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...
345K 12.1K 26
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...