House of Cards✓

Por dydtedi

8.5K 1.3K 788

Even if you say you see the end Even if you say it will collapse again Even if you say its a useless dream Ju... Más

Prolog
1st Card
2nd Card
3rd Card
4th Card
5th Card
6th Card
7th Card
8th Card
9th Card
10th Card
11th Card
12th Card
13th Card
14th Card
15th Card
16th Card
17th Card
18th Card
Secret Card
20th Card
21st Card
22nd Card
23rd Card
24th card
25th Card
26th Card
27th Card
Epilog
Author's Card

19th Card

279 37 52
Por dydtedi

Ada yang baca Secret Card yang di Spotifict, tidak?

________

Hoseok adalah menantu yang durhaka.

Hoseok akui itu.

Jika dihitung-hitung, selama menikah dengan Jihye, Hoseok jarang sekali mengunjungi mertuanya. Dia hanya pernah beberapa kali menelepon Nyonya Han saat ada perlu dan lebih sering ia lakukan belakangan ini setelah mengetahui kehamilan istrinya.

Dia juga ingat hanya pernah tiga kali datang ke rumah Jihye secara langsung. Kali pertama datang saat ia melamar Jihye;yang jika diingat-ingat terasa sangat kaku, kali kedua adalah beberapa hari sebelum pernikahan mereka yang diselenggarakan di sebuah gedung mewah dan yang ketiga adalah sekarang ini.

Hoseok memang sosok menantu yang cukup payah.

Setahu Hoseok, Jihye masih cukup sering mengunjungi ibunya yang memang tinggal di kota lain. Dia akan izin menginap satu malam dan mengatakan pada sang Ibu bahwa Hoseok tengah sibuk dengan pekerjaannya.

Memangnya alasan apalagi yang bisa dikatakan Jihye? Tidak mungkin kan dia berkata bahwa dirinya dan Hoseok jarang sekali berkomunikasi? Jihye tidak mungkin membiarkan ibunya merasa khawatir.

Sebagai menantu satu-satunya bagi Nyonya Han, Hoseok sadar sudah seharusnya ia lebih memperhatikan mertuanya. Membalas kebaikan hati Nyonya Han yang sudah menyayanginya seperti anaknya sendiri. Bahkan ketika datang ke rumah Jihye setalah sekian lama, Hoseok tetap merasakan kehangatan yang sama.

“Kalian ini! Kenapa tidak memberi kabar terlebih dahulu jika akan kemari?” sapa Nyonya Han setelah membuka pintu dan menyambut mereka untuk masuk. Pada akhirnya dibanding sendirian di rumah, Jihye lebih memilih meminta Hoseok mengantarkannya ke rumah ibunya. Meski harus melewati sedikit perdebatan, karena untuk sampai ke rumah Ibu Jihye mereka harus menempuh perjalanan selama dua jam sementara Hoseok tetap harus pergi ke restoran.

Namun tentu saja, Jihye yang menang. Bagaimana bisa Hoseok tidak menuruti permintaan istrinya yang sedang hamil? Iya kan?

“Hari ini Jihye mendadak libur, Bu,” ucap Hoseok sebelum Jihye sempat membuka mulut. Laki-laki itu melempar senyum manis ketika melihat Jihye yang meliriknya jengah.

“Tapi setidaknya kan kalian bisa telepon dulu, supaya ibu bisa membuatkan makan siang. Ibu tidak masak banyak hari ini.” Nyonya Han tampak tidak enak membiarkan menantu dan anaknya begitu saja. “Kalian menginap kan?”

“Hoseok harus segera kembali ke restoran, Bu, jadi dia juga tidak akan ikut makan siang.” Kali ini Jihye yang menjawab. Sesuai dengan apa yang sudah mereka sepakati.

“Kau kan pemilik restorannya, Hoseok-ah. Tidak datang satu hari juga tidak akan membuatmu bangkrut. Tidak akan ada yang memarahimu.” Nyonya Han masih mencoba membujuk. Jarang sekali menantunya datang berkunjung, momen seperti ini harusnya tidak boleh berakhir begitu cepat.

Hoseok juga tahu seharusnya dia tinggal lebih lama di sini, tapi benar-benar ada yang harus dia urus di restoran. “Nanti saya kembali untuk makan malam, Bu. Jangan khawatir. Untuk sekarang ini sungguh, saya minta maaf. Benar-benar ada yang harus saya selesaikan di restoran.”

“Biarkan saja, Bu. Lagipula aku ingin berdua saja dengan ibu,” ujar Jihye tanpa ragu. Mendengar itu, Nyonya Han memukul gemas lengannya, tidak setuju dengan Jihye.

“Kau ini bagaimana sih! Masa suaminya tidak boleh tinggal di rumah ibu!” protes perempuan tersebut membuat raut muka Jihye berubah kecut.

Melihatnya membuat Hoseok tersenyum kecil, merasa lucu. “Tidak apa-apa, Bu. Nanti malam saya jemput Jihye.”

“Nanti malam? Jihye juga tidak menginap?”

“Besok aku harus tetap bekerja, Bu. Maka dari itu, biarkan saja Hoseok pulang, aku mau berduaan dengan Ibu. Ya?”

"Aish! Kau ini!"

Setelah berpikir beberapa saat, meski masih tidak terima, Nyonya Han terpaksa mengizinkan. Apalagi Hoseok memang tampak sedikit diburu waktu. Dengan berat hati Nyonya Han kembali mengantar menantunya ke halaman depan. Menemaninya hingga ke mobil, tentu saja Jihye juga turut diseret.

“Hati-hati, ya. Jangan tergesa-gesa. Jika lelah segera menepi,” pesan Nyonya Han, layaknya ibu-ibu pada umumnya. Hoseok mengangguk paham. Menunggu sesuatu, laki-laki itu tidak kunjung menyalakan mesin.

“Jihye, aku berangkat ya?”

“Iya, hati-hati.”

“Nanti tunggu aku jemput ya?”

Perempuan itu mengangguk singkat. “Iya.”

“Han Jihye!"

“Apa Bu?”

“Bukan seperti itu caranya memperlakukan suami! Astaga anak ini!” Memangnya harus bagaimana? “Sudahlah. Menantuku, kau boleh segera berangkat. Selesaikan urusanmu dan segera kembali. Aku akan mengajari ibu hamil ini beberapa hal tentang pernikahan!”

Hoseok tersenyum geli mendengar itu. Jika dipikir-pikir sebenarnya ibunya dan ibu Jihye tidak jauh berbeda. Tipikal ibu-ibu ceremet pada umumnya karena terlalu perhatian pada anak-anaknya.

“Saya pamit ya, Bu,” ujarnya kemudian, menyalakan mesin dan melambaikan tangan. Lalu menatap Jihye dengan hangat. “Eomma, jaga diri baik-baik.”

Samar Jihye mengangguk, melihatnya Hoseok tersenyum makin lebar. Setelah puas dia pun menaikan kaca jendela dan melajukan mobilnya kembali menuju restoran.

Setelah kepergian menantunya, Nyonya Han bergumam, “Aneh. Kadang dia memanggilku Ibu, kadang memanggilku Eomma."

*

*

Ketika Hoseok sampai di restorannya, hari sudah mulai beranjak sore. Melelahkan sekali perjalanan hari ini. Bayangkan saja, dia harus menempuh perjalanan sekitar empat jam mengendarai mobil. Punggungnya terasa sedikit pegal. Namun belum waktunya dia untuk beristirahat.

Dia masih harus memeriksa laporan-laporan keuangan dan menandatangani beberapa kontrak kerja sama dengan penyedia bahan makanan. Sebenarnya dia sudah memiliki karyawan khusus pengelelola keuangan restoran, tapi tetap saja dia harus turut andil memantau. Demi restorannya bisa berkembang lebih baik.

Ketika tengah asik berkutat dalam ruangannya, seseorang mengetuk pintu. Biasanya, satu-satunya orang yang berani merusuh di ruangannya adalah Kim Seokjin, tapi kali ini tidak. Justru Taehyung yang menampakkan kepalanya usai Hoseok mempersilakan masuk.

“Bos, ada yang ingin menemuimu,” katanya memberi informasi.

“Siapa?”

“Dia hanya bilang jika dia dulu temanmu di komunitas dance.” Taehyung menggaruk belakang kepalanya bingung. Lupa tidak menanyakan nama dari tamu bosnya tersebut. Menimbulkan pertanyaan di kepala Hoseok tentang nama-nama yang mungkin mencarinya kembali setelah lama ia tidak lagi berkutat di dunia dance.

“Dia bilang temanku dance?”

“Iya bos.”

Siapa? Tidak mungkin kan …

“Laki-laki atau perempuan?”

Hoseok tidak berharap. Tidak. Hoseok tidak berharap. Sungguh. Kalian percaya kan?

“Laki-laki.” Jawaban Taehyung ditanggapi dengan helaan napas Hoseok.

“Aku akan menemuinya.”

Tidak apa-apa. Syukurlah. Itu lebih baik. Meski nyatanya laki-laki yang harus ditemui Hoseok adalah …

Park Jimin.

Sebenarnya jika boleh jujur, Hoseok sudah tidak ingin lagi bertemu dengan Jimin. Bagaimana ya menyebutnya? Semacam Muak? Mengingat kenyataan terakhir yang ia ketahui dari Jackson bahwa Jimin menjalin hubungan dengan Hana membuat Hoseok merasa kesal. Teramat kesal.

Jimin bahkan adalah junior yang paling dekat dengannya. Junior yang paling sering berkolaborasi satu tim dengannya. Hoseok tidak menyangka, ternyata selama ini dia dikhianati.

“Jimin-ah! Apa yang membawamu kemari?” sapanya, ketika mendapati Jimin duduk di sofa ruang tamu samping ruangannya. To the point saja. Hoseok sedang tidak ingin berbasa-basi. Dia sudah berbaik hati menyambut Jimin dengan ramah. Kekesalannya tengah dia tekan dalam-dalam.

“Hyung, bagaimana kabarmu?” balas Jimin, tampak mencoba mengakrabkan keadaan.

Hoseok mengambil tempat duduk pada sofa di samping sofa Jimin. Berhadapan dengan pemuda sipit tersebut. “Aku baik. Kurasa kau pun begitu. Jadi, ada perlu apa?”

Jimin tampak menimbang-nimbang perkataannya membuat Hoseok gemas sendiri, tidak sabar.

“Baiklah, karena kau terlihat tidak punya cukup banyak waktu. Ini tentang Taeseok Group, Hyung. Kau tahu bukan anak perempuan mereka sangat mengidolakan komunitas dance kita?” Jimin menarik napas sebentar sebelum melanjutkan, “Tahun ini kita juga ditunjuk sebagai pengisi acara pada perayaan ulang tahun mereka, seperti tahun kemarin.”

Hoseok ingat panggung terakhirnya. Perayaan ulang tahun Taeseok Grup. “Lalu?”

“Anak perempuan Tuan Tae sangat menyukai penampilanmu dengan Hana waktu itu. Jadi mereka ingin tahun ini tarian itu ditampilkan lagi.” Jimin bisa melihat ekspresi wajah Hoseok berubah kaku, tapi dia tidak gentar. Dia tahu, tarian yang mereka bicarakan adalah sesuatu yang sensitif, karena tarian itu adalah hasil karya bersama Hoseok dan Hana. Lagu favorit Hana yang dipadu dengan gerakan ciptaan Hoseok, ditampilkan bersama sebagai tarian berpasangan. Ditampilkan khusus pada acara tersebut.

“Kau tahu kan aku sudah tidak menari, Jim? Itu tidak bisa lagi ditampilkan,” ucap Hoseok tegas. Meski di kepalanya masih terputar potongan-potongan adegan saat dia dan Hana menari bersama. Latihan, menyamakan ketukan, memadukan tempo dan saat berhadapan dengan ratusan pasang mata yang menyaksikan penampilan mereka. Sekarang tidak bisa. Semuanya sudah tidak lagi sama.

“Bisa, Hyung. Kita harus tetap menampilkannya karena Taeseok Group adalah salah satu penyumbang dana terbesar bagi kegiatan komunitas kita. Kita tidak boleh mengecewakan mereka.”

“Kau terus menyebut kata ‘kita’, sementara aku bukan bagian dari komunitas itu lagi! Aku tidak bisa dipaksa. Aku tidak akan menari.”

Jawaban yang sudah Jimin perkirakan. “Tapi setidaknya Hana harus menari, Hyung. Tarian itu kalian berdua yang ciptakan. Hanya kalian berdua yang tahu detail gerakannya. Kami mungkin bisa menirunya, tapi tentu tidak sebagus ketika kalian menampilkannya.”

“Kalau begitu biarkan dia tampil, kau bisa jadi pasangannya.” Ada hening  beberapa saat ketika Hoseok menatap tajam pada pemuda di hadapannya. Menekankan kata terakhirnya, menunjukkan ketidaksukaan.

Jimin menyadari hal itu. Pemuda itu membalasnya dengan senyum kecut. “Aku mau saja menjadi pasangannya, Hyung, tapi Hana yang tidak bisa. Dia terus saja mengingatmu.”

Jimin begitu tenang. Meski begitu tetap saja Hoseok kesulitan mencerna kalimatnya.

xxxxxx
Ayo Tim Hoseok-Jihye atau Hoseok-Hana? 😂
Saya mau sembunyi dulu jaga-jaga kalau ada yang menghujat wkwk

Tenang, Teman. Saran, kritik, masukan selalu saya terima kok.
Terima kasih sudah membaca sampai sini 💜
Jangan kurang tidur 😘

Dydte, 26 Juli 2020

Seguir leyendo

También te gustarán

77.5K 1.1K 35
Berisi kutipan-kutipan buku Talijiwo yang ditulis oleh Sujiwo Tedjo seorang seniman kelahiran Jember. Talijiwo adalah buku kesekian dr Sujiwo Tejo Ta...
234 90 29
Banyak yang bilang Amaya sudah gila, dia sering raib entah kemana, atau meskipun ada di rumahnya pikirannya sibuk melanglang buana, satu orang yang d...
113K 18.3K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
274 99 29
REAKSI IV (Republik Anak Sosial IV), itulah nama yang diusulkan ketua kelas kami. Meski sang wakil ketua kelas-hingga sekarang-masih lebih suka nama...