Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Tiba-tiba Ajeng menarik tangan Aqilla.
"Kak temenin aku yuk, di sana kayaknya view nya bagus deh," sambil menuntun Aqilla manjauh dari Tama.
Aqilla seperti tertarik ombak, ia mengikuti Ajeng sambil wajahnya terus menghadap ke arah Tama yang berada di belakangnya.
"Huft..." Tama menghela nafas.
Ia mulai memotret pemandangan, untuk menutupi jejak foto yang sebelumnya. Tanpa sadar, Aqilla dan Ajeng berada jauh dari Tama.
"Yuk kita balik ke villa buat istirahat shalat sama makan," ucap Qilla pada Ajeng.
Mereka berdua kembali menuju villa makrab meninggalkan Tama yang masih sibuk memotret. Sesampainya di villa mereka baru sadar jika Tama tak ikut bersama mereka, namun mereka berpikir Tama sudah sampai lebih dahulu, toh kalau pun belum sampai, lokasinya dekat dan mereka berpikir mana mungkin dia bisa nyasar. Mereka semua melanjutkan kegiatan berikutnya tanpa Tama, hanya Aqilla dan Ajeng yang sadar jika Tama tidak berada ditengah-tengah mereka.
"Tama mana kak?" tanya Ajeng.
"Jangan-jangan nyasar?" jawab Aqilla.
Mereka melakukan kegiatan hingga jam 4 sore dan kemudian dipersilahkan untuk istirahat shalat ashar. Aqilla dan Ajeng memutuskan mencari Tama sebelum semua orang sadar. Mereka berpencar untuk mempersingkat waktu.
Sudah 1 jam mereka mencari, Ajeng menelpon Aqilla, ia ingin pulang ke basecamp untuk melihat apakah Tama sudah pulang atau belum. Aqilla berusaha menelpon Tama namun nomornya tak dapat di hubungi entah karena sinyal atau memang kehabisan batre. Aqilla terus berjalan mencari Tama, hingga tanpa sadar sepasang mata mengawasinya dari jauh.
"Grrrrr..."
Aqilla menoleh ke belakang, ia di ikuti oleh seekor anjing liar.
"Duh mama, gimana ini?" Aqilla melihat sekelilingnya dan tidak ada siapapun, entah harus berteriak, diam atau lari. Ia tak tahu harus berbuat apa.
Anjing itu terlihat buas, ia menghampiri Aqilla yang sedang diam ketakutan. Aqilla reflek berlari karena takut dan anjing liar itu ikut berlari mengejar Aqilla. Gadis berjaket cokelat itu terjatuh karena tersandung batu, karena jatuh dalam posisi kecepatan yang lumayan cepat, kakinya terkilir. Ia berusaha bangun namun ia tak mampu, Anjing itu semakin dekat dengan Aqilla, gadis itu berteriak dengan sekuat-kuatnya, "Tolooooong!"
"Braaaak!"
Sebuah kamera melayang mengenai kepala Anjing itu dengan sangat keras.
Tama yang kebetulan nyasar di wilayah itu tidak sengaja menemukan Aqilla yang hendak diserang Anjing liar. Anjing itu kini melihat ke arah Tama dan mengubah targetnya, ia berlari dengan sangat cepat ke arah Tama, pria itu tak takut, ia mengambil kayu di pinggir jalan untuk memukul anjing itu, namun anjing itu lebih lincah dan berhasil menggigit lengan kirinya, darah mulai keluar akibat taring menembus kulitnya.
Tama memukul anjing itu dengan tangan yang satunya, namun tenaganya kurang kuat karena gigitan anjing itu terasa sangat nyeri hingga ke seluruh tubuhnya bagaikan pisau yang menembus daging. Ia membuang kayu yang ia pegang, dengan sarung tangan yang licin ia tak mungkin bisa melepaskan gigitan anjing itu, Tama membuka sarung tangan hitamnya dengan mulutnya dan menjambak bulu-bulu anjing itu untuk melepaskan gigitannya.
Namun ia lupa, kalau dia adalah seorang psikometri, kemampuannya akan aktif apabila menyentuh objek dengan tangannya secara langsung. Bukannya melepas, ia justru melihat masa lalu seekor anjing yang sangat tidak penting dalam kondisi dan situasi yang sangat genting.
Aqilla menahan rasa nyeri di kakinya, ia segera berlari mengambil kayu yang yang tergeletak di samping Tama dan memukul kepala anjing itu dengan seluruh kekuatan yang ia punya, membuat anjing itu kesakitan dan lari meninggalkan mereka berdua.
Tama mengeluarkan darah dari mata, kuping dan hidungnya. Bukan karena gigitan anjing itu, melainkan karena menggunakan kemampuannya terlalu lama. Aqilla panik dan menangis melihat kondisi Tama yang penuh dengan darah.
Ajeng datang membawa bala bantuan, mereka langsung melarikan Tama kerumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Menurut warga setempat memang belakangan ini gerombolan anjing liar kerap meresahkan warga, bahkan anjing-anjing itu juga membunuh rusa yang berada di kawasan wisata. Aqilla, Ajeng dan seorang senior bernama kak Pandu menunggu di rumah sakit, sedangkan yang lain melanjutkan makrab.
Aqilla menceritakan kejadian tadi siang, di mana ia dan Ajeng tak sengaja meninggalkan Tama. Mereka berdua sangat menyesal.
Tak butuh waktu lama, Tama keluar dari ruangan dengan tangan kirinya yang dibalut dengan perban karena robek akibat gigitan anjing, ia juga sudah disuntik rabies. Tama berkata bahwa ia bisa melanjutkan makrab hingga esok hari dan mereka berempat kembali ke vila, kak Pandu berboncengan dengan Ajeng dan Aqilla membonceng Tama.
"Maaf," hanya itu yang keluar dari mulut Qilla, entah sudah berapa kali ia selalu memberikan dampak negatif kepada Tama karena kehadirannya.
Tama hanya diam tak membalas ucapan maaf Qilla.
Rasa bersalah datang meluluh-lantahkan perasaan gadis itu, ia mencoba menahan tangis, Aqilla memang anak yang cengeng.
"Jangan nangis," ucap Tama sambil menyenderkan kepalanya ke punggung Aqilla, sepertinya ia sangat kelelahan hari ini.
Mereka tetap pada posisi yang sama tanpa sepatah kata yang keluar dari mulut mereka sampai tiba di tujuan.
Tama turun dan langsung menuju kamarnya. Aqilla teringat sesuatu, bagaimana kabar kamera Tama yang digunakan untuk menimpuk Anjing?
Rupanya kamera tersebut sudah diamankan, tetapi kamera itu rusak, memang bisa di perbaiki namun dengan biaya yang tak sedikit.
Aqilla berjalan menuju kamar Tama, ia mengetuk pintu.
"Tok.. tok.. tok"
Seseorang membuka pintu.
"Eh kak Aqilla, kenapa kak?"
"Tama nya ada?" Tanya Qilla.
"Tama udah tidur," jawab teman sekamar Tama.
"Kenapa kak?" Tanyanya lagi.
"Enggak kok, besok aja deh" ucap Qilla.
Aqilla kembali ke kamarnya, ia menceritakan tentang kejadian hari ini kepada Angie.
***
Ke esokan harinya Angie tak sengaja bertemu dengan Tama, ia meminta waktu Tama sebentar untuk berbicara 4 mata, Tama tak punya alasan untuk menolak. Angie membawa pria yang sobek tangan kirinya itu ke pinggir kolam berenang.
Ia menceritakan bahwa Aqilla sebenarnya menyukai Tama, namun ia tak tahu harus berbuat apa, karena pada dasarnya gadis itu sudah memiliki pacar.
Tama juga mengaku bahwa dia diam selama ini bukan karena patah hati, ya memang salah satu alasannya karena ia kecewa, namun alasan terbesarnya karena ia tak mau mengganggu hubungan Aqilla dan Jordan.
Setelah sedikit obrolan itu mereka kembali ke aula dan merahasiakan tentang pertemuan mereka. Di aula Tama bertemu dengan Aqilla.
"Tama soal kamera kamu--"
"Gak usah dipikirin," potong pria itu.
"Sehabis acara ini, aku selesai," ucapnya.
"Selesai?" Tanya Aqilla bingung.
"Aku keluar dari komunitas," ucapnya sambil berjalan meninggalkan Aqilla.
"Aku yang nanggung biaya ke rusakkan nya," ucap Qilla.
"Rusak ga rusak aku tetep keluar," ucap pria itu.
"Ada yang lebih rusak dari kamera itu, dan gak tau lagi gimana cara memperbaikinya," sambungnya sambil menghilang dari pengelihatan Qilla.
Tama sadar bahwa jika ia tak menjauh, dia hanya akan menjadi benalu di antara hubungan Aqilla dan Jordan. Ia hanya belajar merelakan punggung gadis itu, untuk membuat semua kembali seperti sedia kala.