There Is A Chance

Galing kay StoryByE

2.6K 1.3K 1.5K

Kehidupan seorang remaja putri yang awalnya bahagia, namun karena satu kesalahan fatal membuat semuanya beran... Higit pa

Summary
Prolog
Chapter 1 : Magenta Safira
Chapter 2 : Satu Kelas
Chapter 3 : Hinaan yang dulu, mulai menghilang
ANNOUNCEMENT!
Chapter 4 : Rasa yang mulai timbul
Chapter 5 : Percaya
Chapter 6 : Arkan atau Bukan?
ANNOUNCEMENT!
Chapter 7 : Warning?
Chapter 9 : Semakin Dekat vol.2
Chapter 10 : Terlambat?

Chapter 8 : Semakin Dekat vol.1

103 24 128
Galing kay StoryByE

"Kalau sudah suka, sulit untuk menolak. Iya 'kan?"

~••~

Magenta's POV

Hari demi hari telah berlalu sejak kami berlima makan bersama di kantin. Aku, Nisa, Tania, Arkan, dan Reno.

Hari di mana Nisa menyarankan aku untuk menjauhi Arkan. Aku tidak menyalahkannya untuk hal itu karena aku mengerti, Nisa hanya tidak ingin aku terkena masalah nantinya jika berurusan dengan Arkan.

Nisa memang sahabat yang baik. Tidak salah aku memilihnya sebagai teman sebangku di hari pertama sekolah. Begitu pun dengan Tania. Dia sahabat yang baik, meski kami tidak seakrab saat dia bersama Nisa. Wajar saja, mereka 'kan sudah bersahabat sejak SMP.

Dan mengenai saran dari Nisa, bukannya aku tidak mau menuruti sarannya, hanya saja aku tidak mempunyai alasan yang jelas dan tepat untuk itu.

Memangnya baik kalau kita menjauhi seseorang hanya karena fans? Hanya karena dia memiliki kelebihan yang dikagumi oleh orang lain lalu kita menjauhinya karena tidak ingin berurusan dengan penggemarnya. Apakah itu adil? Aku rasa tidak. 

Jika memang kita dijauhi karena para fans, bukankah lebih baik kalau tidak memilikinya sama sekali?

Tapi untuk saran Nisa yang menyuruhku untuk berhati-hati, YA. Aku memang selalu berhati-hati, tidak hanya kepada Arkan tapi juga semua orang yang baru kukenal.

—•—

Sudah beberapa hari terakhir ini aku selalu berangkat dan pulang sekolah bersama Arkan. Aku sudah pernah menolaknya tapi Arkan tetap memaksa dan aku pikir dia hanya ingin berbuat baik dengan melakukan itu. Jadi, apa boleh buat?

"Udah sampe, Ta," ucap Arkan saat kami sampai di salah satu mall di kota ini.

Sekarang sudah jam pulang sekolah dan aku harus menepati janjiku mengantar Arkan membeli hadiah untuk temannya yang berulang tahun.

Aku dan Arkan turun dari mobil lalu masuk ke dalam mall. Arkan membawaku ke salah satu gerai yang menjual berbagai macam girls stuff.

"Temen kamu yang ulang tahun itu cewek?" tanyaku yang penasaran, mengapa Arkan membawaku ke gerai ini? Karena memang Arkan tidak memberitahu teman yang dia maksud itu laki-laki atau perempuan.

"Iya cewek. Dia itu temen SMP gue dulu," jawab Arkan, "kira-kira apa ya, yang cocok buat kado?" lanjutnya bertanya.

Aku berpikir sejenak, menimang-nimang kado apa yang sekiranya cocok untuk teman perempuan Arkan, "Baju mungkin cocok," ucapku pada akhirnya.

"Baju ya? Hm... boleh juga tuh," ucap Arkan lalu menuju deretan baju-baju yang digantung pada hangers kemudian mengambil beberapa pilihan yang menurutnya bagus.

"Mana yang lebih bagus?" tanya Arkan seraya menunjukkan dua pakaian yang berbeda.

"Aku lebih suka yang ini," ucapku memilih dress berwarna peach yang berada di tangan kiri Arkan.

"Bukannya cewek lebih suka yang ini?" tanya Arkan menunjuk dress yang berada di tangan kanannya, "cewek 'kan suka pakaian yang modelnya aneh," lanjutnya dengan wajah polos, seperti tidak bersalah sudah mengatakan itu.

Aku tertawa menanggapi ucapannya. Apa selama ini Arkan selalu berpikir kalau semua perempuan memiliki selera yang aneh? Hahaha, memang pakaian wanita itu beragam design-nya, tapi itu tidah aneh, melainkan unik. Berbeda dengan pakaian pria yang modelnya itu-itu saja, membosankan, kalau kata wanita lain.

"Itu modelnya unik bukan aneh," aku menjawab dengan sisa tawaku, "lagian gak semua perempuan seleranya sama. Ada yang suka dengan design mewah, ada juga yang lebih suka design simple tapi terlihat elegant," sambungku.

"Kalau lo, lebih suka yang simple?" tanyanya.

Aku menatapnya sejenak lalu mengangguk sebagai jawaban.

"Yaudah, gue pilih yang ini," ucap Arkan lalu menaruh kembali dress berwarna navy dan putih tadi kemudian membawa dress peach itu ke kasir.

Setelah Arkan membayar belanjaannya, kami tidak langsung pulang. Aku dan Arkan memilih untuk mengelilingi mall terlebih dahulu. Lumayan 'kan, sekalian bisa cuci mata setelah seharian hanya membaca buku pelajaran.

~••~

17.30

Aku baru sampai di rumah pukul 17.30 dan tadi Arkan mengajakku untuk ikut ke pesta ulang tahun temannya yang akan dimulai pukul 19.00.

Flashback on

Author's POV

Magenta dan Arkan berada di dalam mobil yang akan pulang menuju rumah Magenta setelah mereka lelah memgitari seluruh penjuru mall.

Namun, saat mobil yang mereka tumpangi hampir sampai pada tujuan, Arkan menanyakan hal yang tidak pernah Magenta pikirkan sebelumnya.

"Ta," panggil Arkan.

"Hm?" jawab Magenta.

"Lo mau gak, ikut ke pesta ulang tahunnya temen gue?" tanya Arkan yang fokus menyetir namun sesekali melihat ke arah Magenta.

"Ikut ke pesta temen kamu?" tanya Magenta lagi untuk memastikan.

"Iya ke pesta temen gue. Mau ya, Ta, mau ya...," bujuk Arkan.

Magenta terlihat memikirkan ajakan dari Arkan, "Yaudah, aku mau. Tapi—" ucap Magenta terpotong.

"Yeay! Magenta ikut!" pekik Arkan seperti anak kecil dan membuat Magenta tidak bisa berkata-kata lagi.

Flashback off

Magenta's POV

Aku merasa sedikit kesal dengan Arkan. Bagaimana tidak? Dia membawaku pulang pukul 17.30, sedangkan pestanya dimulai  satu setengah jam lagi. Kalau aku tahu dia akan mengajakku ke pesta temannya, aku tidak akan mau pulang selarut ini.

Satu setengah jam. Bagaimana caranya aku bisa menyiapkan diri pergi ke pesta untuk pertama kalinya bersama orang lain selain Ibuku dengan waktu sesingkat itu? Setidaknya, berikan aku waktu lebih untuk memilih pakaian apa yang akan aku gunakan.

Bagaimana ini? Apa yang akan aku pakai?

Tok..Tok..Tok...

Aku terperanjat saat pintu kamarku diketuk seseorang. Itu Ibuku.

"Baru pulang, Ta?" Ibu menghampiriku dan duduk di pinggir kasur, di sampingku.

"Iya, Bu," jawabku.

"Kenapa belum ganti baju? Emang kamu mau, kamarmu jadi bau gara-gara kamu belum mandi?"

"Ck, Ibu mah gitu," ucapku dengan wajah cemberut. Ibuku hanya terkekeh melihat tingkahku, "Bu," lanjutku memanggil Ibu.

"Iya?"

"Aku bingung."

"Bingung kenapa?" tanya Ibuku dengan alis bertaut.

"Arkan ngajakin aku ke pesta temennya," ucapku.

"Ha? Ke pesta?" tanya Ibuku dengan wajah yang tidak percaya.

"He'em," jawabku disertai anggukan kepala.

Mendengar perkataanku yang akan pergi ke pesta bersama Arkan, membuat ibuku tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, Ta... Ta... yakin kamu mau ke sana?"

"Ih... kok Ibu malah ketawa sih?" mendengar tawanya yang meledekku, membuat aku semakin memajukan bibirku, cemberut.

"Ya lagian, kamu beneran yakin mau ke sana? Semur-umur, Ibu baru denger sekarang kalau kamu mau pergi ke pesta. Kalau dulu, mana mau kamu menghadiri acara kayak gitu. Jangankan sama temen, sama Ibu aja kamu harus dibujuk dari pagi sampai malem baru mau," ujar Ibuku.

"Itu dia yang lagi aku pikirin. Aku gak tau mau ngapain di pesta itu," ucapku lalu menunduk memikirkan ajakan dari Arkan.

Apa aku harus berbohong pada Arkan? Mengatakan kalau aku sakit dan tidak bisa ikut. Tidak! Alasan itu sudah basi. Lalu aku harus bagaimana?

"Emang kenapa kamu tiba-tiba mau ikut ke pesta? Kalau ragu, kenapa gak ditolak aja?" tanya Ibuku penasaran.

"Bukannya aku mau ikut, tapi Arkan yang ngajakin," jawabku.

"Oh... jadi kalau Arkan yang ngajakin, kamu mau gitu?" tanya Ibu menggodaku dengan kedua alis yang naik turun.

"Ya... bukan gitu. Tadi tuh, Arkan bilang kalau dia gak ada temen yang bisa diajak," jawabku gugup.

"Oh... gitu," ucap Ibuku, "yakin kamu bukan karena alasan lain?" lanjutnya.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Terus kamu terima aja ajakannya gitu?" tanya Ibuku lagi.

Aku pun hanya mengangguk lagi.

"Emang kamu yakin kalau dia beneran gak ada satu pun temen yang bisa diajak?" tanya Ibuku yang mampu membuatku terdiam.

"Eum...," aku bingung harus menjawab apa. Itu tidak terpikirkan olehku sebelumnya.

Tapi iya juga, sih, masa iya orang seperti Arkan tidak mempunyai teman lain yang bisa diajak pergi. Sementara, di luar sana banyak yang mau berteman dengannya. Dia 'kan tidak sepertiku yang sangat sulit untuk mencari teman.

"Yaudah, kamu mandi dulu sana! Nanti Ibu bantuin kamu dandan!" ucapnya memecah lamunanku.

"Yang bener, Bu?" tanyaku antusias, "Tapi jangan yang terlalu menor ya, Bu," lanjutku.

"Iya-iya, udah sana mandi! Satu kamar udah bau asem, nih!" ujarnya dramatis seraya menutup hidung.

—•—

Pukul 19.30 dan aku masih berada di rumah. Sebenarnya aku sudah siap sejak 30 menit yang lalu untuk menghadiri pesta dengan dress code 'monochrome' itu.

Dengan dandanan sederhana ala Ibuku, aku terlihat cantik. Setidaknya itu yang dikatakan Ibuku.

Make up tipis, low bun hairstyle, dan dress brokat berwarna putih yang sangat elegant menempel dengan anggun di tubuhku. Meski bukan aku pemiliknya, namun dress ini cocok dan pas untukku.

Aku tahu kalau aku sudah terlambat menghadiri acaranya selama 30 menit. Itu karena Arkan yang belum menjemputku. Aku juga sudah menghubunginya daritadi tapi dia hanya berkata akan menjemputku sebentar lagi.

Entahlah, aku tidak tahu apa alasannya karena aku tidak bertanya. Takut kalau pertanyaanku mengganggu kesibukannya.

Tak lama kemudian, Arkan dengan mobilnya datang menjemputku.

Dia sangat gagah dengan t-shirt putih yang dibalut blazer hitam, terlihat sangat pas di tubuhnya.

Aku dan Arkan pergi menuju tempat acara. Namun, seperti biasanya aku meminta izin terlebih dahulu pada Ibuku.

~••~

Di sinilah kami sekarang. Di sebuah backyard yang sudah didekorasi dengan sedemikian rupa sehingga menghasilkan tempat yang indah dan nyaman untuk sebuah birthday party.

Kira-kira berapa banyak uang yang mereka keluarkan hanya untuk mendekorasi tempat ini? Coba bayangkan jika hujan lebat tiba-tiba datang, apa tempat ini masih terpakai? Apa pestanya masih akan berlangsung di tempat ini? Karena meja, kursi, lampu, dan tenda semua pasti akan basah.

Tapi aku tidak berharap agar hujan datang untuk malam ini. Aku tidak berharap pesta yang sudah direncanakan dengan matang, hancur dalam seketika hanya karena butiran air yang jatuh tanpa diminta. Kalau itu sampai terjadi, sangat disayangkan bukan?

Aku dan Arkan masuk lebih dalam untuk menemui sang empunya pesta, untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan memberinya hadiah.

"Hai Angel, happy birthday ya!" ucap Arkan memberi selamat lalu memberikan kado saat dia sudah menemukan keberadaan temannya.

"Thanks ya!" jawab teman perempuan Arkan yang aku tahu namanya adalah Angel, "ini... pacar lo?" lanjutnya bertanya pada Arkan saat dia melihatku.

"Bukan!" jawabku dan Arkan bersamaan.

"Oh... gue kirain." Angel tersenyum manis ke arahku lalu menjulurkan tangannya, "kenalin gue Angel, temen SMP-nya Arkan," lanjutnya memperkenalkan diri padaku.

Aku menerima uluran tangannya disertai senyum yang tak kalah manis darinya, "Magenta, temen SMA-nya Arkan. Selamat ulang tahun, ya!" lanjutku memperkenalkan diri dan juga memberinya selamat.

"Makasih!" ucapnya, "oh iya, kalian nikmatin pestanya, ya! Gue mau ke sana dulu," sambungnya lalu pergi menuju segerombolan orang yang tengah duduk sambil asyik mengobrol di salah satu sofa yang melingkar.

Aku dan Arkan mengambil segelas minuman, -aku mengambil orange juice dan Arkan mengambil minuman bersoda- lalu kami menuju ke bangku yang berada di belakang, sedikit lebih jauh dari kerumunan.

Setelah beberapa menit hanya berdua bersama Arkan, aku melihat seorang pria yang datang mendekat ke arah kami. Aku tidak mengenalnya, mungkin itu salah satu teman Arkan.

"Hai, Arkan!" ucap pria itu.

"Hai, Dit! Udah lama kita gak ketemu!" ucap Arkan antusias. Seperti sepasang sahabat yang telah lama tidak berjumpa, mereka berjabat tangan ala pria.

"Gue kira lo gak bakalan dateng ke sini," ucap pria yang di panggil 'Dit' oleh Arkan.

"Ya datenglah gue, masa engga, sih," ujar Arkan, "sendiri aja lo?" lanjutnya bertanya.

"Enggak. Tuh, yang lain di sana. Ayolah gabung! Menyendiri aja lo!" kata pria itu 'menyendiri' kepada Arkan.

Kenapa dia bilang kalau Arkan menyendiri? Apa dia tidak melihatku? Apa aku hanya butiran debu yang tak kasat mata? Ck, memangnya aku ini makhluk gaib apa? sehingga tak kasat mata.

Aku bisa melihat Arkan memberi kode pada temannya dengan lirikan mata yang mengarah padaku, memberi tahu temannya kalau dia sedang tak sendiri.

"Eh iya, hehe, ternyata Arkan gak sendiri. Ada cewek cantik yang nemenin," ucapnya sembari terkekeh dan menggaruk kepala belakangnya.

Cih, dasar laki-laki.

"Pacar lo, nih?" tanya laki-laki itu lagi pada Arkan.

"Bukan," jawab Arkan singkat.

"Ah, yang bener lo? Tumben banget, biasanya juga lo selalu—" ucapnya terpotong karena Arkan sudah lebih dulu membekap mulutnya.

"Gak usah banyak omong lo! Ya udah ayo!" ucap Arkan mengajak temannya untuk pergi berkumpul dengan yang lain. Tapi sebelum itu, Arkan meminta izinku terlebih dahulu.

—•—

Beberapa menit aku sudah duduk di sini, sendiri. Di tempat yang sama saat 35 menit yang lalu aku masih menikmati minumanku bersama Arkan.

Ini salah satu dari banyaknya alasan kenapa aku tidak suka menghadiri sebuah pesta. Karena aku tidak memiliki teman dan aku tidak mudah bergaul dengan orang baru, itu yang membuatku merasa kesepian meski di sekitarku ramai.

Apa ini yang memang disukai oleh kebanyakan orang? Dentuman musik yang keras ditambah minuman sebagai pelengkap malam mereka yang semakin larut. Kurasa hanya aku yang tidak suka dengan suasana seperti ini dan kuharap Arkan tidak ikut andil dalam meminum minuman haram itu. Kalau Arkan meminumnya barang sedikit saja, akan kupastikan diriku pulang dengan taxi.

Malam semakin larut dan suasana semakin riuh, tak terkendali karena beberapa orang sudah berada di bawah pengaruh alkohol. Mungkin itu sebabnya Arkan datang ke arahku sekarang.

"Ta, ayo pulang!" ucapnya menarik tanganku. Aku tidak menolak dan malah mengikuti langkahnya menuju parkiran.

"Kenapa gak pamit dulu sama Angel kalau mau pulang?" tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil.

"Percuma pamit sama orang yang gak sadar," ucapnya.

Apa Arkan baru saja mengatakan orang yang tidak sadar? Apa itu artinya Angel juga sudah terpengaruh dengan alkohol?

"Angel juga mabuk?" aku memberanikan diri untuk bertanya.

"Hm," jawabnya disertai anggukan lalu menghidupkan mesin mobil.

Kasihan. Pesta yang indah berubah menjadi kacau hanya karena minuman tidak berakhlak itu.

Tapi tunggu! Kalau sang empunya pesta saja terpengaruh dengan minuman haram itu berarti... apa Arkan juga terpengaruh?

ASTAGA!

Aku menegang seketika dengan apa yang aku pikirkan lalu melihat ke arah Arkan yang tengah menyetir. Jika memang dia juga terpengaruh, apa sekarang dia akan berbuat macam-macam kepadaku tanpa dia sadari? Sebelum aku berpikir lebih jauh, Arkan sudah lebih dulu membuka suara.

"Gue gak ikutan minum, lo tenang aja. Gak usah tegang gitu mukanya," ucapnya.

Huft...

Ada dua yang aku rasakan saat ini, lega dan malu. Lega karena ternyata Arkan tidak ikut menyentuh barang haram itu dan malu karena, apa wajahku sebegitu tegangnya sampai-sampai Arkan yang sedang fokus menyetir saja bisa dengan mudah mengetahuinya?

Ah... masa bodo dengan rasa malu, yang penting Arkan tidak akan macam-macam denganku.

—•—

Kami melanjutkan perjalanan pulang dengan hening sampai ada satu suara yang menggema di dalam mobil, memecah keheningan.

Kruuuk... kruuuk...

Matilah aku! Bagaimana bisa suara perutku yang keroncongan sangat tidak tahu situasi, kondisi dan tempat? Kuharap Arkan tidak mendengarnya, tapi sepertinya itu tidak mungkin karena sekarang aku mendengar dia tertawa kecil.

Aku memalingkan wajahku, malu melihat ke arahnya hingga aku merasa Arkan memberhentikan mobilnya. Apa sudah sampai?

"Turun, Ta!" ucap Arkan seraya mematikan mesin mobilnya.

TIDAK! Saat aku melihat ke luar jendela, ini belum sampai di rumahku tapi kenapa Arkan menghentikan mobilnya di pinggir jalan? Apa dia marah karena suara perutku? Apa dia sudah illfeel denganku? Yaampun... kalau memang dia marah atau illfeel, setidaknya antarkan dulu aku pulang sampai rumah! Atau jangan-jangan dia ingin macam-macam denganku?

"Ayo, Ta! Lo gak mau turun?" tanya Arkan seraya membuka pintu mobilnya.

Haruskah aku menuruti permintaannya? Bagaimana kalau hal yang tak diinginkan, terjadi?

"Emangnya kita turun mau ngapain?" tanyaku yang masih berada di dalam mobil sedangkan Arkan sudah berada di luar untuk membukakan pintu untukku.

"Kita mau makan, Magenta... emangnya lo gak laper apa?" jawabnya, "tuh, kita makan di sana," lanjut Arkan lalu menunjuk sebuah tempat makan yang tidak terlalu besar dan agak jauh dari mobilnya karena di sana tidak ada tempat parkir untuk mobil.

Huft...

Kurasa malam ini aku terlalu overthinking pada Arkan, padahal apa yang aku pikirkan tidak ada yang benar sama sekali. Semoga aku tidak berpikiran buruk lagi padanya.

Aku turun dari mobil dan kami menuju ke tempat makan tersebut. Sesampainya kami di sana, aku dan Arkan memesan nasi goreng dan es teh manis, as always karena aku tidak akan pernah bosan dengan makanan yang satu itu.

Aku dan Arkan duduk di meja yang bersebelahan dengan jendela, menunggu pesanan untuk datang. Sembari menunggu aku mengeluarkan ponsel lalu mengirim pesan kepada Ibuku, memberitahu kalau aku mampir untuk makan sebentar.

"Aku kira tadi kamu mau nurunin aku di pinggir jalan," ucapku malu-malu. Malu-maluin lebih tepatnya.

"Ngapain juga gue harus nurunin lo di pinggir jalan? Gak ada kerjaan banget," ucapnya seraya menggeleng, "gak mungkin 'kan, gue bawa pulang anak orang dalam keadaan laper, bisa dimarahin gue sama emaknya," lanjutnya seraya terkekeh.

Aku hanya mencebikkan bibirku, "Ibu aku gak segalak itu juga kali."

Dia mengedikkan bahunya, "Siapa tahu 'kan? Lagian kalo ibu-ibu udah menyangkut anaknya pasti galak. Nanti yang ada gue gak bisa deketin anaknya, lagih."

Aku memutar bola mataku malas, "Apaansih, gombal deh!" ucapku padanya.

"Permisi mas, mbak, ini pesanannya," ucap sang pelayan mengantar pesananku dan Arkan.

"Makasih, mas," ucap Arkan.

Saat pelayan sudah pergi, aku dan Arkan mulai memakan makanan kami dengan hening, tidak banyak yang kami bicarakan saat makan.

—•—

"Gue bayar dulu ya, Ta," ucap Arkan.

"Iya."

Arkan berdiri dari tempat duduknya menuju kasir untuk membayar. Aku mendongak melihat punggungnya yang menjauh lalu aku beralih melihat ke arah piringnya.

Saat dia kembali, aku masih melanjutkan makanku yang tinggal suap terakhir. Dia masih setia menungguku menghabiskan makananku.

"Arkan," panggilku dengan ragu-ragu.

"Apa?" tanyanya.

"Em... aku mau bilang sesuatu," ucapku seraya menunduk.

"Apa?" tanyanya lagi.

"Eum... aku..."

"Apa, Ta? Mau bilang apa, sih?" tanyanya penasaran.

"Gini, aku tuh mau bilang..."













TBC

Hai readers, gimana, nih, sama part ini? Apa part ini membuat kalian pingin lanjut membaca next chapternya? Hehe semoga ya😊

Ada yang bisa nebak gak, Magenta mau bilang apa sama Arkan? Hayoo ditebak!

Maunya, sih, part ini tuh gak ngegantung kayak gini, tapi karena word-nya udah banyak jadi ceritanya juga panjang, yaudah E potong aja. Sekalian bikin kalian penasaran, hehehe🙊

Jangan lupa untuk selalu kasih kritik dan sarannya yaa!

Vomment-nya juga🥰

Best regard,
E

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

5.8M 273K 53
๐€๐ค๐ก๐ข๐ซ ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐ข๐ง๐๐š๐ก. start: 31 Juli 2023 finish: 27 Januari 2024 rank 1 in #motor (Selasa, 14 Mie 2024) 3 in #sahabat (Selasa, 14 Mie 2024...
2.4M 132K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
2.1M 113K 59
"Walaupun ูˆูŽุงูŽุฎู’ุจูŽุฑููˆุง ุจูุงุณู’ู†ูŽูŠู’ู†ู ุงูŽูˆู’ุจูุงูŽูƒู’ุซูŽุฑูŽ ุนูŽู†ู’ ูˆูŽุงุญูุฏู Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
1.7M 121K 81
[Brothership] [Not bl] Setiap orang berhak bahagia, meskipun harus melewati hal yang tidak menyenangkan untuk menuju kebahagiaan. Tak terkecuali Erva...