Dersik

By khanifahda

758K 94.4K 6.6K

Hutan, senjata, spionase, dan kawannya adalah hal mutlak yang akan selalu melingkupi hidupku. Namun tidak se... More

Peta
Khatulistiwa
Proyeksi
Kontur
Skala
Topografi
Distorsi
Spasial
Meridian
Citra
Evaporasi
Kondensasi
Adveksi
Presipitasi
Infiltrasi
Limpasan
Perkolasi
Ablasi
Akuifer
Intersepsi
Dendritik
Rektangular
Radial Sentrifugal
Radial Sentripetal
Annular
Trellis
Pinnate
Konsekuen
Resekuen
Subsekuen
Obsekuen
Superposed
Anteseden
Symmetric Fold
Asymmetric Fold
Isoclinal Fold
Overturned Fold
Overthrust
Drag fold
En enchelon fold
Culmination
Synclinorium
Anticlinorium
Antiklin
Sinklin
Limb
Axial Plane
Axial Surface
Crest
Through
Delta
Meander
Braided Stream
Oxbow Lake
Bar Deposit
Alluvial Fan
Backswamp
Natural Levee
Flood Plain
Horst
"Graben"

Insekuen

10.8K 1.3K 99
By khanifahda

Sungai Insekuen adalah sungai yang mengikuti suatu aliran dimana aliran tidak dikontrol sama sekali oleh faktor kemiringan asli, struktur dan jenis batuannya.
.
.

Gayatri mengernyitkan dahinya ketika gawainya penuh dengan spam chat yang berasal dari Raksa. Gayatri menatap jam yang berada di gawainya dan sekarang sudah menunjukkan pukul 8 malam. Beberapa hari ini ia lembur dan baru sampai di kontrakannya sekitar pukul 10 malam. Gayatri tak mengecek gawainya semenjak sehabis shalat dhuhur tadi sampai pukul 8 malam ini. Lalu dengan dahi mengernyit, ia mencoba menghubungi Raksa kembali via chat whatsapp.

'Ada apa?'

Tak lama kemudian Gayatri justru mendapat panggilan dari Raksa. Sejenak Gayatri keluar dari ruangan rapat dan mencari tempat yang enak untuk berbicara.

"Assalamu'alaikum. Lo dimana?"

Gayatri mengernyitkan dahinya. Ia bingung dengan Raksa yang tiba-tiba memanggil dirinya. Tak biasanya laki-laki itu bertanya tentang keberadaannya. Seringnya Raksa menanyakan tentang kasus kemarin.

"Wa'alaikumussalam. Gue masih di kantor. Ada apa?"

"Kapan lo pulang?" tanya Raksa lagi. Dari nada bicaranya seperti orang yang butuh kepastian. Begitu batin Gayatri.

"Sekitar jam setengah 10 gue otw dari kantor. Memangnya ada apa sih?" Gayatri sudah penasaran mengapa Raksa tiba-tiba seperti ini. Tak biasanya laki-laki itu menanyakan dirinya sedetail itu.

Raksa diseberang nampak menghela nafasnya. "Gue tadi ketemu Mayor Ardhie."
Gayatri yang awalnya duduk sambil menyenderkan punggungnya seketika mengatur posisi duduknya menjadi tegak. "Serius?"

"Terus lo ngomong apa?" tanya Gayatri kembali.

"Dia ngancem. Katanya kita jangan terlibat jauh dengan kasus ini."

Gayatri lantas memijit pelipisnya. Apalagi ini?
"Mental tempe sekali itu Mayor! gue nggak habis pikir. Bisa-bisanya ngancam padahal posisi terancam." Ujar Gayatri kemudian. Ia nampak emosi dengan Mayor Ardhie yang masih saja mengancam padahal sudah terancam dan bersalah.

"Sebisa mungkin nanti dia nggak akan bikin ulah lagi. Gue bakal lebih waspada dan mantau pergerakannya. Tapi kita beda tempat dinas dan itu agak menyulitkan." Ucap Raksa. Ditempatnya entah mengapa ia menjadi gusar.

"Lo baik-baik aja kan? nggak kena teror lagi kan?" tanya Raksa kemudian.

"Nggak kok. Gue juga lebih berhati-hati sekarang."
Raksa menghela nafasnya lega. Entah mengapa ketika ia mendengar keadaan Gayatri yang masih baik-baik saja dan tidak terkena teror lagi,lmembuatnya sedikit lega dan tidak sekhawatir tadi.

"Syukurlah."

"Kalau ada apa-apa, hubungi gue. Walaupun gue nggak janji bakal ada setiap saat, setidaknya lo bilang ke gue kalau ada apa-apa."

Gayatri seketika terdiam mendengar kata-kata Raksa. Disisi lain ia memaknai sebagai wujud peduli tetapi disisi lain? entahlah. Logikanya tiba-tiba menewarang jauh yang justru membuat Gayatri semakin over thingking.

"Ya?" panggil Raksa ketika tak kunjung Gayatri memberi balasan.

"Eh iya. Nanti gue kabari kok."

Lalu mereka sama-sama terdiam dengan sambungan telepon yang masih tersambung.

"Nggak tau kenapa gue khawatir sama lo. Gue khawatir ketika Mayor Ardhie ngancem bakal ganggu lo."

Gayatri lalu menghembuskan nafasnya pelan dan panjang sambil menyenderkan kembali punggungnya. "Gue pernah bilang kalau setiap saat teror adalah bagian dari hidup gue. Mungkin namanya pasrah dan jadi resiko, tapi gue bakal juga jaga diri. Gue juga nggak mau mati konyol hanya gara-gara mereka yang berbuat kejahatan dan mengancam kehidupan gue serta orang-orang."

"Btw makasih udah mau khawatirin gue." Lanjut Gayatri dengan tatapan mata mengarah ke bawah dimana ia memainkan sepatu sneakersnya.

"Sorry mungkin gue yang bikin lo masuk ke lembah ini. Gue ibaratnya nyeret lo untuk terlibat lebih jauh lagi."

Gayatri tertawa kecil. "Ini bukan salah lo. Ini sudah bagian dari tugas gue juga. Kalau semisal nggak berani melangkah, kapan lagi kita semua akan tetap bernafas lega? jangan biarkan negara kita kena komplikasi dengan memilih menutup mata padahal kita tahu."

Ucapan Gayatri membuat Raksa mengeluarkan sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Kadang gue masih mikir masalah hidup atau mati gue. Walaupun gue selama 4 tahun digembleng dengan tekanan kuat, tapi gue tetep aja ngerasa takut sebagai manusia. Tapi lo yang perempuan justru dengan mantap mengatakan semuanya sudah bagian dari waktu dan tinggal kita yang bertindak. Disitu gue ngerasa kecil. Kenapa gue yang dibentuk dengan kuat kadang merasa masih berpikir lama sedangkan lo dengan cepat dan mantap ngasih jawaban yang bikin gue mikir berkali-kali tentang apa arti ikhlas dan ikhtiar."

"Semua orang punya proses masing-masing. Gue ngomong gini juga nggak instan. Megang senjata bikin tangan tremor pun berkali-kali gue alami. Tapi panggilan jiwalah yang buat gue harus menetapkan bahwa semuanya akan baik-baik saja ketika niat mulai di paku dengan kuat di jiwa kita masing-masing." Balas Gayatri.

"Tapi gue marah. Gue marah tadi ketika bertemu dengan Mayor Ardhie. Andai semuanya bisa diselesaikan detik itu juga, mungkin nggak ada sejarahnya gue bakal kabari lo lagi."

"Gue tahu Mayor Ardhie. Dia nggak bakal main-main. Di sosok ambisius yang bakal lakuin apa aja untuk dirinya sendiri." Ucap Raksa kembali. Rasanya sisa marah itu masih ada hingga sekarang.

Entah mengapa Gayatri tersenyum di tempatnya. "Btw makasih banget udah khawatirin gue. Gue jadi ngerasa ada gunanya sekarang." Gayatri tak tahu apa yang harus ia ucapkan. Gadis itu hanya bisa terdiam di tempatnya dengan pandangan yang tak dapat digambarkan.

Raksa sedikit tenang sekarang, dari tadi laki-laki itu gusar menanti kabar Gayatri hingga rasanya ingin menghampiri gadis itu ke tempat kerjanya. Namun, ia juga punya kewajiban lain sehingga Raksa hanya bisa menyimpan khawatirnya itu dengan perasaan was-was.

"Jangan pernah nganggep lo orang yang nggak berguna. Terlepas lo siapa, lo tetap berlian, lo tetap kebanggaan buat siapapun, termasuk negara dan orang terkasih lo."

Lalu Raksa menarik nafasnya dalam, hendak melanjutkan kalimatnya yang terjeda, "sekuat apapun lo. Gue tetap nggak rela kalau terjadi sesuatu ke lo. Lo pantas buat dilindungi, dan gue bakal lakuin itu."

Setelah itu Gayatri hanya bisa terdiam dengan sambungan telepon yang masih aktif. Kata-kata Raksa tadi seakan menjadi penghangat bagi hatinya yang beku dan tak tersentuh. Pantaskah ia berpikir sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya?

*****

Raksa menghembuskan nafasnya pelan. Ia menyenderkan kepalanya ke dinding. Saat ini ia sedang melaksanakan piket malam bersama 2 anggota yang lainnya. Ada sedikit beban yang terangkat saat ini. Tapi hanya sedikit saja, masih terbesit kekhawatiran yang tetap membelenggunya.

"Kopi suh?" tawar Lettu Handoko. Salah satu teman asuhnya yang kini juga kembali dipertemukan dalam satu tempat dinas yang sama.

Raksa menegakkan tubuhnya kembali, "kopi susu aja Han." Lettu Handoko mengangguk, lalu masuk untuk membuatkan kopi untuk dirinya dan prajurit yang berjaga lainnya.

Serda Mirzam meregangkan ototnya setelah tadi sibuk berkutat dengan laptopnya. Lalu matanya menatap Raksa yang nampak duduk terdiam. "Ndan, izin bertanya boleh?" tanya Serda Mirzam yang penasaran mengapa seniornya itu terlihat pendiam dan seperti menahan sesuatu.

Raksa hanya menggumam sebagai jawabannya. Lalu Serda Mirzam menarik kursi plastik untuk duduk lebih dekat dengan Raksa. "Ada masalah ndan? saya lihat anda begitu pendiam dan seperti menahan sesuatu."

"Maaf sebelumnya, ndan."

Raksa menatap Serda Mirzam sekilas. Mereka sering kali mendapatkan jadwal yang sama sehingga tidak begitu canggung ketika berbicara.

"Ada sesuatu yang lumayan menganggu saya. Tapi saya begitu bingung untuk memahaminya."

Lalu laki-laki berusia 22 tahun itu kembali bertanya pada Raksa. "Kalau boleh saya tebak, apakah menyangkut perempuan ndan?"

"Kau jangan tanya masalah perempuan pada bujangan satu ini Zam." Sahut Lettu Handoko yang datang membawa 3 cangkir kopi.

Lalu Lettu Handoko duduk bersama dengan Raksa dan Serda Mirzam. Wajahnya menatap jenaka Raksa yang sudah mulai datar.

"Dia ini paling ogah ditanya masalah perempuan. Padahal tampang oke, tapi kenapa nggak ada satu perempuan yang nyantol ke lo sih Rak? apa lo yang nggak peka sama mereka?"

Malam agak mendung kali ini justru ditemani pembicaraan masalah perempuan. Biasanya ketika mereka piket, untuk mengatasi jenuh dan ngantuk, mereka sering membahas masalah liga Inggris ataupun Spanyol sebagai bahan pembicaraan mereka. Tetapi justru malam ini mereka membahas hal-hal yang menurut Raksa itu tak penting.

"Izin ndan. Mungkin masalah selera." Ucap Serda Mirzam. Walaupun mereka terbentang oleh tingkatan tetapi baik Raksa maupun Handoko tidak pernah mempermasalahkan dalam hal berbicara santai. Mereka bahkan cenderung lebih suka berbicara tanpa embel-embel kemiliteran yang agak ribet tentunya.

"Nah itu di jawab sama Serda Mirzam." Sahut Raksa kemudian. Hal itu itu membuat Lettu Handoko mendengus dan memilih meminum kopi hitamnya itu.

"Begini Abang Raksa yang tampan dan good looking tapi sayang kurang manjur dalam masalah asmara. Di umur kita sekarang nih bahas perempuan sangat wajar. Apalagi yang masih bujangan. Nah ini tuh pas buat cari-cari pendamping hidup." Ucap Lettu Handoko kemudian.

"Lo juga jomblo kan?" sahut Raksa kemudian.

Lettu Handoko seketika mencibir, "eits. Gue ada dong. Doakan semoga kita sampai pelaminan. Lagi proses."

"Siap ndan, aamiin." Jawab Serda Mirzam.

"Ada ya yang mau sama lo?" bukannya mengaamiini, Raksa justru mengejek Lettu Handoko. Hal itu membuat Serda Mirzam menahan tawa ditempatnya.

Lettu Handoko langsung melayangkan tatapan datar dan kesal ke arah Raksa dan Serda Mirzam. "Izin ndan, maaf." Ucap Serda Mirzam cepat. Ia tak mau berurusan dengan Lettu Handoko tentunya akan berbahaya dan yang terpenting ia tak mau berakhir konyol.

"Lo jangan ngejek dulu suh. Lo tahu sendiri kan pesona gue zaman taruna?"

Raksa melengos, malas menghadapi narsisnya Lettu Handoko yang sering keluar. Walaupun tampang sangar, tetapi Lettu Handoko lebih ke arah tentara yang humoris dan santai.

"Eh beneran lo galau gara-gara perempuan?" tanya Lettu Handoko memastikan kembali apa yang menjadikan Raksa galau dan terlihat lebih pendiam daripada biasanya yang masih melontarkan beberapa kalimat.

Raksa menggeleng. "Bukan, gue hanya ada masalah yang sedikit rumit."

"Lo bisa berbagi sama gue dan Serda Mirzam kalau ada apa-apa. Betul nggak Zam?"

"Siap." Jawab Mirzam setelah menyeruput kopinya.

Lalu Raksa menghembuskan nafasnya pelan, "gue belum bisa cerita sekarang. Tapi ada hal yang sangat mengganjal di hati gue. Tiba-tiba gue khawatir sama seseorang yang sebelumnya nggak pernah terbesit di kepala gue. Tapi sekarang justru hampir mengusai seluruh pikiran gue."

"Perempuan?" tebak Lettu Handoko dan Raksa hanya mengangguk lemah.

Lalu Lettu Handoko menatap Serda Mirzam yang serius dengan pembicaraan mereka. Kedipan mata Lettu Handoko membuat Serda Mirzam menatap bingung Lettu Handoko yang malah mirip orang kelilipan baginya.

Lettu Handoko mendengus, "haish! kagak peka lo Zam. Gue tuh kode ke lo."

Serda Mirzam nyengir ditempatnya, "siap salah ndan."

Lettu Handoko lalu berdecak, "gue emang nggak tahu masalah lo apa. Tapi kalau lo ada rasa dan tertarik itu wajar. Apalagi kepikiran sama perempuan, itu sangat wajar, suh. Intinya dari gue, kalau lo suka, perjuangin, kalau lo yakin, lo deketin. Jangan sampai pertimbangan tentang memikirkan banyak kemungkinan buruk buat lo mundur dan jadi pengecut nantinya."

"Kasusnya nggak semudah itu Han. Rumit, sekarang gue harus fokus sama beberapa hal, tapi pikiran gue juga fokus ke dia. Ada hal yang membuat gue harus jadi laki-laki yang mampu melindungi dia. Nggak tau kapan perasaan itu muncul tapi ketika ada hal yang membahayakan dia, gue khawatir dan nggak mau di terluka."

Lettu Handoko tersenyum sedangkan Serda Mirzam menyimak dengan baik. Lumayan pembahasan kali ini membuat piket tidak sunyi dan ngantuk.

"Lakukan apa yang menurut lo benar. Ikuti hati sama pikiran lo yang paling waras. Jangan sampai lo melangkah ke arah yang salah. Cinta itu misteri. Bisa muncul tiba-tiba dan membuat sang pemilik jiwa raga galau setengah mati."

"Anjay bahasa lo." Sahut Raksa cepat. Lalu atensinya beralih ke Serda Mirzam yang sedari tadi menyimak.

"Kenapa lo diam aja Zam?"

Serda Mirzam hanya tersenyum konyol. "Jujur, saya belum pernah pacaran. Jadi saya juga bingung dengan diri saya. Saya orang yang malu mengungkapkan perasaan. Pernah suka sama adik kelas sewaktu SMA tapi nggak yakin buat bilang dan merjuangin. Akhirnya saya kembali diam dan merutuki diri saya yang tak mampu berbuat apa-apa untuk cinta saya."

"Takut di tolak zam?" Serda Mirzam mengangguk. "Siap."

"Bukannya gue mau menggurui ya Zam. Selama lo suka dan yakin, seharusnya lo tetap memperjuangkan. Pasti rasanya galau takut di tolak dan sebagainya. Tapi gue selalu ingat kalau semisalnya gue suka dan si perempuan nolak, artinya ada 2 kemungkinan, pertama emang si cewek nggak suka dan satunya lagi dia butuh perjuangan dari kita. Tapi kita laki-laki juga harus paham, lihat dulu perempuan yang kita perjuangkan."

"Bukan masalah laki-laki harus memperjuangkan atau apa, tetapi selama kita mampu untuk berjuang, maka lakukan. Apalagi kalau saling berjuang satu sama lain." Sambung Lettu Handoko yang seketika membuat Raksa berpikir keras di tempatnya.

.
.
.

Continue Reading

You'll Also Like

137K 8.5K 24
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
218K 7.5K 49
Shafea seorang wanita karir yang gila kerja tapi juga seorang ibu muda yang ingin membesarkan dan mendidik anaknya sendiri secara sempurna. Ikuti kes...
20.1K 2.4K 38
Kesal lantaran sang anak selalu mengacaukan rencana perjodohan yang ia siapkan, Reny nekat membuat undangan atas nama Arane sang anak. Bermula dari s...
22.4K 3.6K 21
"DIJUAL MANTAN! *Harga terjangkau: sepuluh ribuan. *Wajahnya tampan, mapan, tapi suka melakukan pengekangan. *Umur tua, tetapi stamina jangan ditan...