Dersik

By khanifahda

758K 94.4K 6.6K

Hutan, senjata, spionase, dan kawannya adalah hal mutlak yang akan selalu melingkupi hidupku. Namun tidak se... More

Peta
Khatulistiwa
Proyeksi
Kontur
Skala
Topografi
Distorsi
Spasial
Meridian
Citra
Evaporasi
Kondensasi
Adveksi
Presipitasi
Infiltrasi
Limpasan
Perkolasi
Ablasi
Akuifer
Intersepsi
Dendritik
Rektangular
Radial Sentrifugal
Radial Sentripetal
Annular
Trellis
Pinnate
Konsekuen
Resekuen
Obsekuen
Insekuen
Superposed
Anteseden
Symmetric Fold
Asymmetric Fold
Isoclinal Fold
Overturned Fold
Overthrust
Drag fold
En enchelon fold
Culmination
Synclinorium
Anticlinorium
Antiklin
Sinklin
Limb
Axial Plane
Axial Surface
Crest
Through
Delta
Meander
Braided Stream
Oxbow Lake
Bar Deposit
Alluvial Fan
Backswamp
Natural Levee
Flood Plain
Horst
"Graben"

Subsekuen

10.5K 1.4K 100
By khanifahda

Sungai Subsekuen, adalah sungai yang berkembang pada suatu zona batuan yang resisten (tahan erosi). Sungai ini sering kali berpola trellis.
.
.

"Lo diteror?" Gayatri mengangguk setelah meminum kopi yang ia buat di pantry kantor tadi. Saat ini ia sedang berdiskusi dengan Esa dan lainnya. Ia juga melaporkan ke komandannya jika ia mendapatkan teror tadi malam. Hal ini langsung di proses secara cepat karena sudah membahayakan tim dan harus segera melakukan tindakan cepat dan akurat.

"M (13 2 1987)?" ulang IPTU Noval. Laki-laki itu kemudian menatap Gayatri.

"Izin komandan, sebelum Rusdi di dibawa ke rumah sakit, saya sempat mencari petunjuk dan mendapatkan sebuah kode beraksara Jawa yang sudah saya sampaikan kemarin. Setelah kami telusuri, ternyata kode itu bertuliskan aksara Jawa yang mengarah pada tanggal lahir seseorang. Sedangan M adalah huruf yang saya dengar dari mulut Rusdi sesaat sebelum tewas di tempat. Mungkin mereka tahu jika kita sudah mengantongi beberapa informasi sehingga langsung menunjukkan jati diri mereka dengan menyebutkan M."

"Jadi benar data yang sudah dirilis kemarin mengenai nama AD yang terlibat?" mereka lantas mengangguk. "Siap, benar ndan."

"Tadi kamu bilang 'kami', maksudnya?" tanya IPTU Noval lagi yang agaknya tertarik dengan ucapan Gayatri yang menyebutkan kami tadi.

Gayatri tahu cepat atau lambat dirinya akan terlibat bersama Raksa lagi. Hal ini buntut kasus operasi di Kalimantan yang terjadi hampir setengah tahun yang lalu. Ternyata setelah operasi, muncul berbagai kasus yang diluar dugaan gadis tersebut. Ia juga sadar jika pembahasan mengenai perdagangan senjata ini pun pasti akan di dengar oleh sang komandan.

"Mohon izin lagi ndan, ketika saya dikirim ke Kalimantan untuk operasi mafia internasional dan penyelundupan narkoba, saya bertemu dengan kelompok TNI yang sedang melakukan operasi terhadap pemberontak. Kami tak sengaja bertemu dan meringkus bersama. Dalam operasi tersebut kami menemukan senjata elit yang digunakan oleh pemberontak dan mafia. Kita tahu jika senjata itu tak bisa diperjualbelikan secara bebas, negara lain yang mau membeli saja harus melewati prosedur panjang, sedangkan ini hanya seorang mafia dan pemberontak saja punya. Kita ada kemungkinan, antara senjata tersebut hasil rampasan atau penyeludupan illegal yang kembali lagi melibatkan para abdi negara yang punya wewenang terhadap senjata itu. Jika rampasan, itu terasa tidak mungkin karena selama ini operasi kita jarang membawa senjata elit tersebut sehingga kami menyimpulkan jika senjata illegal tersebut adalah hasil selundupan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab."

IPTU Noval ditempatnya terdiam. Penjelasan Gayatri kembali membuka pikirannya tentang kasus ini. Artinya ada oknum atas yang terlibat sehingga sangat berani untuk mengancam jika mereka mengorek kasus ini. Perdagangan senjata memang menjadi permasalahan yang tiada henti. Entah itu melibatkan mafia bahkan oknum itu sendiri.

"Saya ingin mendengar siapa anggota TNI yang sering mengajak kamu diskusi itu." Perintah IPTU Noval yang langsung di jelaskan oleh Gayatri dengan jelas.

IPTU Noval mengangguk setelah mendengar semua penjelasan Gayatri. Memang benar, senjata ini tidak sembarang orang memegang, hanya mereka yang diberi hak untuk memegang. Tetapi ternyata malah disalahgunakan dengan di jual kepada mafia besar. Sungguh ini kejahatan luar biasa di badan penegak hukum dan pertahanan di Indonesia.

"Saya akan membicarakan lebih lanjut dengan BIN. Tim dari kita tidak cukup untuk menangani ini. Mereka juga sudah mulai mengancam kita. Jika kita tak cepat bergerak, bukannya kita yang menang, justru kita yang kalah telak dan mereka tambah kuat untuk menutupi dan menjalankan bisnisnya."

"Kalian tetap bekerja sesuai jobdeks masing-masing. Langsung komunikasikan bila terjadi sesuatu. Tim A bisa lakukan pengintaian mulai besok malam. Jalankan tugas kalian dengan hati-hati dan senyap. Jangan sampai kalian diketahui pergerakannya oleh mereka. Jika Bripda Gayatri sudah mendapatkan teror, artinya mereka sudah mulai waspada dan lebih ketat lagi. Penjagaan dan pergerakan mereka pasti tambah hati-hati dan penuh perhitungan." Jelas IPTU Noval yang langsung di jalankan oleh anggotanya. Setelah itu IPTU Noval pamit keluar dari ruangan tersebut dan kini tinggalah anggota yang lain.

"Gila Ya, lo kena teror?" tanya Briptu Aidan. Gayatri mengangguk, "siap."

Lalu Briptu Aidan menepuk bahu Gayatri, "santai aja, di sini nggak ada komandan." Briptu Aidan lebih suka santai tanpa embel-embel senior jika mereka menangani kasus. Semua ini hanya formalitas semata. Mereka terlalu ribet menggunakan formalitas jika bekerja dalam ritme cepat dan tepat.

"Siap Bang." Ucap Gayatri. Bagaimanapun juga Briptu Aidan adalah seniornya.

"Baru pertama kali lo kena teror?" Gayatri mengangguk, "iya Bang."

"Sh*t! keparat emang!" ucap Briptu Aidan dengan menahan amarahnya.

"Bang, kayaknya kita juga harus lebih cerdik lagi. Beberapa intelegen dari kita sudah memulai melacak dan mencari informasi mengenai pergerakan mereka. Gue sama Aya bakal pergi ke Banten besok malam. Ada salah satu markas yang di curigai sebagai salah satu tempat transaksi dan menyimpan senjata mereka." Ucap Esa.

"Kalian berapa orang?" tanya Briptu Aidan.

"Dua Bang, gue sama Aya doang. Kami hanya mengintai dari jauh, memastikan jika tempat tersebut sesuai data yang masuk."

Briptu Aidan mengangguk, "yang lainnya?"

"Bripda Ika, Briptu Ibnu sama IPDA Adam sedang melakukan tugas di daerah Jawa Barat, tapi malam ini. Jadi tinggal kita bertiga kali ini Bang."

"Baik, gue ikut besok malam." Ucap Briptu Aidan kemudian.

"Besok sehabis isya kita gerak ke tempat. Gue masih ada urusan bentar. Kalian tetep cari informasi sebanyak-banyaknya. Gunakan koneksi kalian masing-masing."

"Siap Bang." Ucap Gayatri dan Esa serempak. Lalu Briptu Aidan keluar dari ruangan tersebut. Kini tinggalah mereka berdua saja.

"Terus lo gimana setelah kena teror?" tanya Esa.

"Gue ganti nomor Sa. Gue takutnya mereka neror lagi dengan cara lebih sadis. Sekarang juga gue ngerasa kurang nyaman tinggal di kontrakan. Beberapa waktu yang lalu gue sempet diikuti sama orang misterius sampai sekitaran kontrakan gue." Walaupun Gayatri terlihat begitu tenang, tetapi dirinya tetap saja was-was dengan keselamatannya. Mereka tak akan main-main jika sudah mulai mengambil langkah teror.

Esa lalu berpikir sejenak, "gimana ya? gue juga bingung kalau lo udah mulai terusik. Apa lo tinggal di kantor aja ya? tapi belum ada persetujuan dari komandan juga. Mungkin nanti lo bisa minta keringanan semisal lo nggak nyaman. Gue takutnya lo malah kena teror yang lebih dari tadi malam. Semisal lo tinggal di kantor, otomatis lo aman di sini."

Gayatri mengangguk, "thanks Sa atas sarannya. Nanti gue bakal ngomong ke komandan."

"Hati-hati Ya. Kalau ada apa-apa lo bisa hubungi gue atau nggak kita yang disini." Tambah Esa lagi. Gayatri mengangguk. Mungkin setelah ini Gayatri akan lebih hati-hati dalam melangkah.

*****

Suasana malam yang begitu hangat dengan pinggir jalannya yang membuat orang merasa rindu. Bercakap di bawah remang-remang lampu angkringan begitu terasa meneduhkan walau klakson kendaraan bermotor tetap saja menjadi lagu pengantarnya.

"Selanjutnya lo gimana?" Gayatri yang sedang menyeruput wedang alang-alang itu kemudian menatap Raksa. Mereka duduk bersila bagai tembang klasik Yogyakarta.

"Mungkin sementara gue di kontrakan dulu, terus kalau tambah 'parah' gue paling ke kantor."

"Lo udah bilang ke komandan dan yang lain?" Gayatri mengangguk, "udah kok."

Setelah tadi Gayatri memberitahukan nomor baru ke Raksa, gadis itu di ajak ke angkringan yang berada di kawasan Palmerah. Mereka menikmati angkringan dengan memilih duduk di pinggir warung dengan beralaskan tikar sederhana sambil membahas kasus tersebut.

"Sorry,"

"Buat?"

"Gue udah buat lo terlibat jauh dalam kasus ini."

Gayatri terkekeh pelan dengan ucapan Raksa, "sebenarnya cepat atau lambat pun kasus semacam ini bakal terdeteksi. Mungkin aja ini terlalu cepat dan kebetulan bebarengan terungkap ketika operasi kemarin. Nggak ada yang perlu di sesalkan ataupun meminta maaf, semua sudah ada jalan masing-masingnya kok."

"Tapi lo kan kena teror." Lanjutnya.

"Memang ini baru pertama kali gue kena teror. Dan dari sekarang gue harus siap segalanya. Sedari awal gue masuk bagian 'itu' pun sudah gue persiapkan mental dan kemungkinan apapun."

Beruntung mereka hanya berempat disana. Dua orang lagi duduk agak jauh dari mereka sehingga Raksa dan Gayatri agak bisa leluasa berbicara panjang lebar. Apalagi ditambah suara kendaraan yang meredam suara mereka berdua sehingga tak begitu terdengar orang lain.

"Termasuk lo siap mati?" Gayatri mengangguk, lalu memakan gorengan yang ia ambil beberapa jenis di angkringan tadi.

"Gue bahkan menetapkan hati gue buat kemungkinan terluka dan mati ketika masuk satuan ini. Bukannya gue sombong dan menantang takdir, tapi gue hanya berusaha legowo misalnya nanti terjadi sesuatu nantinya. Hidup mati milik Tuhan, tapi sebisa mungkin gue bakal hati-hati dan tidak melalaikan."

"Enak juga wedangan sini." Sambung Gayatri setelah meminum wedang tersebut hingga tersisa sedikit.

"Gue sebenarnya mau ngasih tahu lo sesuatu disini. Gue ada beberapa nama yang dicurigai sebagai tersangka. Tapi gue nggak bisa asal nuduh juga."

"Kita juga mengantongi banyak nama tapi masih dalam pencarian secara pasti. Namun gue ada satu nama yang gue curigai. Tadi gue sempet mengunduh beberapa data dan menemukan salah satu perwira dengan tanggal lahir sama dengan kode. Tapi bukan awalan M namanya."

"Siapa?" Gayatri menunjukkan data yang sempat ia screenshot tadi.

"Bajing*n!" reflek Raksa mengumpat setelah Gayatri perlihatkan screenshot tadi.

"Lo boleh nggak percaya, tapi itu kenyataannya." Sambung Gayatri lagi.

"Sial! sial*n! awalnya gue juga nggak percaya tapi data yang gue peroleh juga mengarah ke satu nama. What the fu*k! gue kira ini lelucon. Kemarin gue sempet nggak percaya pas kita ngarah satu nama itu. Tapi," Raksa tak habis pikir. Ia datang ke Gayatri untuk meminta pertimbangan tentang kecurigaannya, tetapi Gayatri ternyata membawa berita yang sama dan membuatnya harus menelan mentah-mentah segala sumpah serapahnya itu.

Raksa menghembuskan nafasnya kasar. "Hah gila!"

Gayatri mengangkat gelasnya yang kosong, "mau pesen lagi nggak? gue mau nambah satu gelas lagi."

Raksa mengangguk, lalu memberikan gelasnya yang sudah kosong isinya. Kemudian Gayatri berjalan menuju angkringan dan memesan kembali wedangan yang terasa begitu nikmat malam ini.

"Oh iya gue lupa, lo nggak ada piket malam gitu? soalnya gue lihat, kalau malam lo sering free gitu." tanya Gayatri setelah kembali membawa dua gelas wedang alang-alang.

"Ada kok. Tapi nggak setiap hari juga. Lagian gue lebih banyak di Batalyon ketimbang di rumah. Kalau gue keluar juga paling bahas kasus ini."

"Ini kasus kan sudah masuk Kepolisian, tapi kenapa lo masih aja pengen cari pelakunya? bukankah ini ranah Kepolisian ya?" berbagai macam pertanyaan sudah muncul di benak Gayatri sehingga gadis itu langsung mempertanyakan kepada Raksa.

"Benar, ini bukan rananh kita, tapi sudah melanggar kode etik. Tapi gue selalu ingat kata-kata dari mama yang mengatakan bahwa 'apapun itu jika kamu melihat kejahatan tetapi kamu mampu, lawan kejahatan itu tanpa memandang siapa kamu. Yang menghukum penjahat dan melawan kejahatan bukan hanya polisi saja. Setiap orang punya wewenang untuk melakukannya, terlebih kalau dia mampu dan yakin bahwa melawan kejahatan itu lebih baik ketimbang duduk manis menonton semua kejahatan itu sendiri.' Gue nggak tau hanya kata-kata itu yang menggerakkan gue buat melangkah jauh. Gue tahu ini bukan ranah gue, tapi ini menyangkut semuanya, bukan masalah reputasi saja tetapi masalah bahwa kejahatan tak memandang siapa dia. Ketika sistem itu lemah, pengendalian diri nggak ada dan kesempatan itu ada maka mereka dengan mudah memanfaatkannya. Tetapi bila mana sistem itu kuat dan ganjaran atas kejahatan itu bisa membuat jera, maka buat melakukan kejahatan itu pasti mikir dua kali. Tapi you know lah." Raksa mengangguk membenarkan ucapan Gayatri.

"Terus pertanyaannya, bila mana kita lemah dan nggak berdaya? apa kita tetap menjadi penonton?" tanya Gayatri yang membuat Raksa terdiam dan berpikir.

"Itu yang berat. Banyak dari kita yang nggak lemah sebenarnya, tetapi kita nggak ada daya dan keberanian untuk melawan. Jadinya kita hanya bisa melihat tanpa bisa membantu. Bayang-bayang teror ketakutan yang membuat persepsi yang tidak sesuai di masyarakat justru melekat hingga sekarang."

"Solusi dari lo gimana?" tanya Gayatri kembali. Ia seakan belum puas dengan jawaban Raksa.

Raksa terkekeh pelan di tempatnya. "Gue juga nggak ada jawaban. Merubah pemikiran sebagian besar masyarakat itu sulit. Edukasi itu juga harus bertahap, perbaikan sistem dan pengendalian tentang perilaku menyimpang masyarakat juga butuh waktu."

"Sulit." Ucap Gayatri sambil menatap jalanan yang semakin ramai dengan kendaraan bermotor, padahal jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.

"Sesulit gue memahami berbagai motif kejahatan yang beragam. Kadang terlihat sepele seperti karena ekonomi misalnya, tapi dibalik itu semua ada alasan pokok yang bahkan dari kita nggak tahu kebenarannya." Lanjutnya.

"Walau negara sudah membuat berbagai aturan hingga hukuman yang mengancamnya, tetapi masih tetap saja ada yang melanggarnya. Selamanya akan begitu. Jadi jangan begitu kaget semisal berbagai kemungkinan yang nggak pernah terbesit di benak kita bakal terjadi. Semua bakal terjadi kalau ada yang menghendakinya."
Perlahan senyuman Raksa terbit di antara remang pinggir jalanan. Laki-laki itu tanpa sadar tersenyum yang kemudian di sadari oleh Gayatri.

"Kenapa senyum? ada yang lucu?" seketika Raksa gelagapan dan kembali ke posisi semula.

"Eh, nggak ada kok. Lupakan saja." Ucap Raksa seraya tersenyum singkat dan kembali ke mode normal sambil merutuki dirinya yang begitu terlihat bodoh dan konyol.

Lantas, ada satu pertanyaan yang mengiang di pikiran dan hatinya. Sesuatu yang berada di luar kendali dan kehendaknya tentunya. Sesuatu yang berasal dari kebiasaan yang tak sadari akan membentuk sebuah rasa baru dalam hidupnya.

Mengapa Gayatri terlihat begitu menarik bagi dirinya?

.
.
.


Mohon maaf bila cerita ini tak sesuai dengan realita yang ada. Ini hanya hasil imajinasi semata penulis amatir ini, terima kasih🙏

Continue Reading

You'll Also Like

218K 7.5K 49
Shafea seorang wanita karir yang gila kerja tapi juga seorang ibu muda yang ingin membesarkan dan mendidik anaknya sendiri secara sempurna. Ikuti kes...
83K 9.9K 32
-completed- Jeno, pangeran dari negeri Neviar tidak sengaja masuk ke alam yang berbeda dari manusia, dunia di mana para makhluk yang di anggap mitos...
405K 65.2K 69
[ Spin off Move On] "Rasa rindu yang paling menyakitkan adalah ketika kita merindukan seseorang yang berbeda dunia dengan kita. Hanya tercurahkan le...
541 111 6
"Oh ayolah! Aku ingin membuat cerita tentang Haruka malah masuk isekai!!" Aleandra Hika, seorang penulis Fanfic dan pelajar kelas 2 SMK, dia penasara...