Trapped by You

Por Ristan

808K 16.9K 946

"Sayangku, ahh....akhirnya aku mendapatkanmu." Jantungku berdegup kencang saat kalimat itu dibisikkan ke teli... Más

Chapter One
Chapter Two
Chapter Three
Chapter Four
Chapter Five
Chapter Six
Chapter Seven
Chapter Eight
Chapter Nine
Chapter Eleven
For Your Info

Chapter Ten

47.3K 1.3K 82
Por Ristan

Aku sedang merapikan beberapa folder di meja sepeninggal Mbak Sarah yang sudah lebih dulu pulang kantor saat Mas Dimi mendadak muncul di hadapanku. Lumayan kaget juga aku dengan kedatangannya yang tidak terduga.

"Kesambet apa lo sampe mau ke sini?"

Kalau ada karyawan lain mendengarku berkata begitu, mungkin aku sudah disemprot habis-habisan mengingat kalimatku sama sekali tidak sopan kepada atasan.

"Lo pulang bareng gue."

Yeah, sangat tipikal Mas Dimi. Main perintah! Salah makan apa sih mama waktu hamil dia?

"Nggak salah denger nih gue? Lo amnesia?" Tanyaku sinis.

Ia mengerutkan dahi. Dasar lemot!

"Kan lo ngelarang gue nebeng sama lo!"

"Dulu emang iya. Sekarang lo harus pulang sama gue."

Sumpah ini orang minta digaplok. Kalau bukan kakak sendiri, sudah aku lempar printer mulutnya. Ababil banget tiba-tiba berubah pikiran begitu.

"Entar lo nyesel lagi ngajak pulang bareng."

"Nyesel?"

"Kalo ketauan fans lo gue pulang bareng idola mereka, nanti penggemar lo jadi berkurang. Dikiranya lo already taken."

Kerutan di dahinya makin berlipat. "Iya sih gue emang ganteng, tapi nggak sampe setaraf artis lah sampe ada fans segala. Gosip kacangan dari mana tuh?"

Pernah nggak sih aku bilang kalau Mas Dimi itu over pede? Nah, coba di mix sama tampang lempengnya pas lagi ngomong kayak barusan.

Minta di siram air keras, kan?

"Belagak nggak tau apa emang lo nggak peka? Jelas-jelas cewek di sini pada ngeces sama lo gitu." Ujarku nyinyir.

"Ya emang beda sih ya antara karyawan berkompeten sama yang cuma main-main. Kalo pekerja serius kayak gue sih nggak merhatiin yang begituan. Lain sama lo yang keliatannya nggak punya kerjaan makanya ngurusin hal nggak penting kayak gitu." Ujarnya santai tanpa beban.

Silet mana silet?

"Bagus dong kalo gue peka sama sekitar, itu tandanya gue nggak ansos. Dari pada jadi manusia es balok macem lo. Nggak pedulian!"

Ia terbahak. Tawa lepas yang sangat langka kudengar darinya. "Udah pinter balikin gue ya sekarang?" Diacaknya puncak kepalaku. Aku hanya bisa misuh-misuh.

"Ayo cepet kita pulang." Tukasnya tidak sabar.

Bersamaan dengan terucapnya kalimat itu, pintu ruang CEO dibuka dan Mr. Dante berdiri diam di tempat.

Shit!

Dia pasti dengar apa yang Mas Dimi katakan.

Tiba-tiba aku jadi tegang. Perutku bergolak tak nyaman. Deg-degan. Lain halnya dengan kakakku yang terlihat biasa-biasa saja. Aku bingung jadinya.

"Bukan bermaksud ikut campur, tapi Angel pulang denganku, Dim." Katanya kaku. Matanya menatap Mas Dimi tajam, menegaskan keseriusan.

Nafasku tercekat. Sial! Aku benar-benar lupa dengan perjanjian itu! Apa yang harus aku jelaskan pada Mas Dimi perihal aku yang diantar jemput oleh bos?

Mas Dimi menoleh kearahku, kemudian mengangkat sebelah alisnya. Aku menelan ludah. Itu adalah caranya ketika butuh penjelasan secara tersirat.

Dengan sedikit keberanian aku berujar, "Maaf, Sir. Mungkin Anda lupa, tapi pertemuan dengan Mr. Randy sudah dibatalkan sore ini. Sehingga saya tidak berkewajiban menemani Anda menemui beliau dan pulang dengan Anda. Jadi, saya pamit sekarang kalau begitu. Permisi."

Kusambar tasku dari atas meja lalu meninggalkan dua lelaki itu. Aku melesat ke depan lift untuk turun dan menghilang secepatnya dari lantai gedung ini. Beruntung, pintu lift segera membuka sehingga aku bisa langsung masuk dan menekan tombol menuju lantai dasar.

Aku tidak berbohong. Yang kukatakan memang benar, hingga itu bisa menjadi senjataku untuk sedikit menjelaskan kebingungan Mas Dimi tanpa harus memberitahukan yang sebenarnya secara gamblang. Lebih baik itu yang Mas Dimi simpulkan, bukan? Toh aku belum siap menjelaskan padanya kalau bos kami menjemput dan mengantarku pulang terhitung sejak hari ini.

Aku sampai di lobby dengan selamat. Tidak ada tanda-tanda mereka mengejarku. Dengan berat hati, kulangkahkan kaki menuju halte bus yang letaknya hanya beberapa meter dari gedung kantor.

Hilang sudah kesempatan menghemat ongkos.

~~

Dhania sedang berdiri di halte menunggu bus bersama beberapa orang lain ketika sebuah Range Rover hitam berhenti tepat di depannya.

Entah dosa apa yang pernah kuperbuat dulu sampai harus menerima karma berwujud pria usil yang menguntitku terus, bahkan lama setelah aku meninggalkannya di kantor tadi. Batinnya.

Kaca jendela terbuka dan ia dipanggil untuk masuk. Ia bergeming. Sampai akhirnya Dante keluar dari mobil, menampakkan penampilannya dengan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku minus dasi. Dante menghampiri Dhania tanpa mempedulikan seluruh pasang mata di halte ini yang memandang takjub kepadanya. Berbeda 180 derajat dengan Dhania yang menarik nafas gelisah. Bersiap menerima amukannya, karena barusan tidak mau menurut.

"Cepat masuk. Kuantar pulang." Tangan kuat Dante menarik tangannya.

Dhania menghentakkan tangannya. "Terima kasih tapi maaf, saya memilih pulang sendiri."

Meninggikan nada bicara kepada atasan mungkin adalah pelanggaran terberat yang bukan lagi menjadi rahasia umum. Tapi masa bodoh! Ia sudah bosan dipaksa-paksa. Ia tidak peduli Dante akan marah atau mengatainya tidak tahu diri, ia tidak peduli. Dhania sudah menyiapkan mental.

Tapi, kalimat yang datang selanjutnya sungguh mengejutkan.

"For once, please don't argue with me." Suaranya pelan setara bisikan. Tubuhnya hanya sejengkal dari tubuh Dhania. Berada sedekat ini dengan Dante, membuat aroma maskulinnya memenuhi rongga hidung Dhania.

Yang aneh, tatapan mata itu tidak setajam biasanya. Tapi lebih seperti.... kesakitan? Memohon? Jemarinya mengelus pipi kanan Dhania lembut.

Rasanya debar jantung Dhania tidak bisa diselamatkan lagi. Detik berikutnya, ia bagai kerbau yang dicucuk hidungnya. Ikut saja apa mau pria yang menggiringnya masuk ke mobil layaknya gadis kecil penurut setelah diberi gula-gula. Kemudian Dante mengisyaratkan supirnya untuk berjalan kembali.

Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam. Berkutat dengan pikiran masing-masing. Tapi, tangan Dante yang menggenggam tangan Dhania membuatnya merasa deja vu. Ia merasa pernah mengalami kejadian yang persis sama, tetapi tak dapat mengingatnya.

Meski awalnya terasa risih, namun lama kelamaan Dhania hanya bisa pasrah. Toh tidak ada tanda-tanda Dante mau melepaskan tangannya begitu saja.

Mobil sedang berhenti di lampu merah ketika suara bariton Dante terdengar.

"Kenapa tadi kau berbohong?" Tanyanya lugas.

Ah... tatapan mata itu kembali lagi. Tatapan tajam khas dia yang seakan mampu membuat lawan bicaranya tersudut.

"Berbohong? Saya tidak berbohong mengenai apapun." Jawab Dhania tidak mengerti.

"Jangan berkelit. Kau tahu apa maksudku."

Baiklah. Aku memang berkelit, tapi bukan berbohong! Batin Dhania.

"Aku sudah tahu soal Mr. Randy yang membatalkan pertemuan hari ini kemarin lusa. Bahkan Sarah mengingatkanku lagi soal itu tadi pagi. Jadi teknisnya, kau pun tahu kalau aku sudah tahu. Dan aku yakin kau tidak cukup bodoh untuk mengerti bahwa yang kumaksud dengan kalimat kau pulang bersamaku pada Dimitri tadi adalah janji yang kita sepakati. Tidak ada sangkut pautnya dengan yang lain!"

"Lalu apa saya harus mengatakan 'baik Sir ayo kita pulang sama-sama' di depan karyawan lain dengan entengnya, begitu? Anda mungkin lupa bahwa saya hanyalah mahasiswi magang biasa, tapi apa jadinya kalau nanti karyawan lain berpikir yang bukan-bukan terhadap saya karena ketahuan pulang bersama CEO mereka yang terhormat? Mungkin Anda tidak berpikir kesana karena Anda tidak peduli, tapi maaf, sayangnya saya peduli akan hal itu demi mendapatkan ketenangan selama magang di perusahaan Anda!"

Sungguh. Tidak pernah terlintas sama sekali, bahkan dalam mimpi terliarnya pun, kalau suatu saat ia akan meneriaki atasan seberani itu.

Bodoh!

Bagaimana bisa aku membentaknya begitu rupa? Di depan supir pribadinya pula! Serunya dalam hati.

Dante memajukan tubuh sehingga jarak mereka lebih dekat. "Benar begitu atau hanya alasanmu saja? Bukan karena Dimitri yang ada disana?" Tantangnya.

Pertanyaannya tepat sasaran. Dhania tidak menyalahkannya jika dia berpikir begitu, mengingat bagaimana kejadian tadi berlangsung. Tapi, Dhania belum siap menghadapinya. Dante mulai curiga kalau Dhania dan Dimitri mempunyai hubungan.

Bagaimana nasibku kalau status persaudaraan kami terbongkar? Aku tidak bisa membayangkan kalau nanti Mas Dimi ditegur serta dikenakan sanksi yang secara otomatis akan berdampak pada kelangsungan magangku.

Batinnya berkecamuk. Otaknya berpikir keras.

"Kau ingin menerima ajakannya pulang, tapi karena aku mencegahnya dengan mengatakan kau pulang bersamaku makanya kau berkelit supaya ia tidak berpikir macam-macam tentang kita. Bukan begitu?" Rahangnya mengetat. Urat di pelipisnya menyembul seperti menyimpan amarah.

Kenapa sih dia?

Sejak kapan dia punya hak untuk mengatakan itu padaku? Apa urusannya kalau aku mau bagini begitu? Apa semua orang kaya memang seperti ini? Merecoki hidup orang lain seakan mereka memiliki kuasa atas siapapun?

"Apa hak Anda menghakimi saya? Ini hal sepele, jadi untuk apa dibesar-besarkan?" Tanya Dhania kesal setengah mati.

"Jadi ajakan pulang bersama dari seorang manager itu sepele bagimu? Sudah terbiasa dengan kelas kakap rupanya?" Balasnya kasar.

Dhania shock!

Dhania tak percaya seorang CEO sekaliber Dante bisa merendahkan orang lain sehina itu. Mulutnya menganga lalu mengatup. Suaranya tenggelam akibat tuduhan murahan Dante.

"Kalau ya, kenapa? Ego Anda terluka, Tuan CEO?"

Aura kemarahan yang semula menguar, kini lenyap. Sepertinya Dante tidak menyangka Dhania bisa menjawab sesengit itu. Dhania pun kaget dengan kemampuannya membalas dengan sama kurang ajarnya seperti Dante. Demi menyurutkan emosi yang lepas kendali, Dhania menatap keluar jendela. Dan menganggap bahwa pemandangan di luar jauh lebih menarik ketimbang pria tampan tapi brengsek yang ada di sebelahnya.

Dante mengarahkan rahang Dhania supaya kembali menatapnya. "Jangan mengacuhkanku, kita belum selesai bica...."

Kalimatnya menggantung saat dilihatnya Dhania menitikkan air mata. Dante terpana menatap cairan bening itu membasahi pipi gadis yang memporakporandakan akal sehatnya.

Sekarang, ia benar-benar pantas dijuluki the most bastard guy of the month!

Dhania membuang muka dan mengusap air matanya dengan kasar. Ternyata ia tidak cukup kuat menahan luapan emosi ketika harga dirinya diinjak-injak sedemikian rupa. Sehingga air matanya jatuh tanpa direncanakan.

Rasa bersalah yang besar memenuhi hatinya. Dante tahu, itu bukan air mata palsu yang biasa wanita lain gunakan untuk memanipulasinya. Dante merengkuh Dhania dalam dekapannya. Dia merasakan tubuh feminin itu meronta tidak terima. Menolak seluruh bentuk kontak fisik apapun diantara mereka.

"Sshh.... kumohon jangan tolak aku." Dante mengusap punggung wanita itu dengan lembut. Dhania menghentikan penolakannya. Menegang saat bisikan dan usapan ringan Dante berusaha menenangkannya.

"I'm so sorry, I was such a jerk. I truly am, baby." Selepas mengatakan itu, Dante mengecup puncak kepala Dhania. Menghirup aroma yang sama seperti tubuhnya.

Vanilla.

~~

Dharmawangsa Residences Tower 3, hunian mewah yang letaknya cukup unik karena "tersembunyi" di bilangan Jakarta Selatan terlihat gemerlap oleh lampu-lampu yang berada di sekeliling bangunannya.

Oleh sebab letaknya yang private, jauh dari ingar-bingar lalu lintas, tak pelak menjadi pilihan yang paling utama dilirik oleh pria yang hampir memiliki segalanya seperti Dante Aquila Divanno.

Hampir.

Dante menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu yang menghadap ke dinding kaca sehingga bisa melihat penampakan kota yang sepertinya sudah bisa dikatakan setara dengan The Big Apple. Selalu sibuk. Sebelumnya, ia tidak menyadari rasa letih yang mendera sampai ia memejamkan mata dan bersandar di kepala sofa.

Serta-merta bayangan akan seseorang memenuhi pikirannya.

Kejadian beberapa waktu lalu terulang kembali dalam memorinya.

Sepanjang sisa perjalanan sore tadi ia lalui dengan memeluk erat gadis itu. Seolah jika ia melepas dekapannya barang sedetik, Angel akan kembali memalingkan wajah darinya dan menangis lagi. Meskipun dia menunjukkan tanda ingin lepas dari pelukan, namun Dante tidak mengindahkannya. Sampai tubuh itu berhenti menggeliat dan lambat laun hembusan nafas teratur mengindikasikan bahwa ia jatuh tertidur.

Saat akhirnya mobil berhenti tepat dimana Dante menjemput gadis itu tadi pagi, barulah ia membangunkannya dengan cara yang membuat dirinya sendiri tidak percaya dapat lakukan terhadap seorang gadis yang baru beberapa waktu ia kenal!

Mengecup kelopak matanya!

Damn!!

Bagaimana mungkin ia bisa berbuat semanis itu terhadap satu perempuan yang belum lama ia kenal?

Apa yang terjadi padaku? Mungkinkah salah satu saraf di otakku terjadi malfungsi?

Batinnya disesaki berbagai pertanyaan yang saling berdesakan menuntut penjelasan.

Masih teringat pula bagaimana mata itu terbuka dari tidur lelap dan memandang tepat hanya kepada sepasang bola matanya.

Bahkan ia masih bisa merona malu karena jarak wajah mereka yang begitu dekat sebelum tersadar bahwa mereka sudah sampai.

Angel mengucapkan terima kasih secara formal sebelum keluar mobil. Namun karena masih merasa ada yang mengganjal, Dante menahan bahunya saat mau membuka pintu.

"Aku.... benar-benar minta maaf karena sudah bersikap brengsek. Aku tak tahu apa yang merasukiku, tapi itu bukanlah alasan sehingga kau berhak mendapatkannya dariku. Aku menyesal. Dan yakinlah bahwa ini kali pertama dan terakhir aku melakukannya."

Angel tampak ragu. Ia memandang ke dalam mata atasannya dengan penuh selidik. Ketika yang ia temukan hanyalah perasaan bersalah dan penyesalan, ia menghembuskan nafas.

"Dimaafkan."

"Semudah itu?"

"Kalau begitu saya persulit."

"...."

"Saya akan memaafkan Anda dengan satu syarat."

"Spill it."

"Tolong jangan antar jemput saya lagi."

Dante menarik nafas dalam. Ketidak relaan bertumbuh di dalam hatinya. Tapi, ini satu-satunya hal yang sebanding dengan luka yang ia torehkan kepada Angel. Setidaknya, bukan hanya satu orang yang dirugikan disini.

"Baiklah, kalau itu maumu."

Bunyi ringtone ponsel membuyarkan ingatannya. Dengan malas ia menjawab telepon itu tanpa melihat caller ID.

"Halo..."

"Hello, grandson. Bagaimana harimu?"

Suara familier di seberang sana membangkitkan keengganan dalam dirinya. Mengingat apa yang terjadi diantara mereka pasca Dante mengunjunginya selama seminggu. Walau sudah berusia kepala tujuh, sedikitpun tidak terdengar suara renta dalam nada bicaranya. Semangat layaknya anak muda masih melekat dalam diri kakeknya. Malah sepertinya, yang terasa lebih tua dari seharusnya adalah Dante sendiri.

"Ada apa, Pop?" Ketusnya.

"Straight to the point, eh?" Kakeknya tertawa kecil.

"Hanya bersikap efisien."

"Apa tidak boleh aku menelepon hanya untuk menanyakan kabar cucuku?" Terang kakeknya dengan suara terluka yang dibuat-buat.

"Setelah sekarang, Pop baru menganggapku cucu? Haha.... lucu sekali."

"Jangan sinis begitu, Dante. Seperti istri muda saja kau ini."

"Aku lebih dari baik-baik saja. Sudah puas?"

"Galak sekali. Apakah ini karena seorang wanita?"

"...."

"Apa dia cantik?"

"...."

"Seksi?"

"Pop..."

"Sudah tidur dengannya?

"POP!!!"

"Ditolak rupanya."

Geram dengan permainan cenayang ala kakeknya, Dante mencoba mengatur nafas untuk menurunkan tegangan. Cukuplah emosinya meledak satu kali hari ini.

"Jangan menyerah, Dante. Kau masih punya cukup waktu." Suara kakeknya berubah lebih serius kali ini.

"Cukup waktu? Pop sudah gila? Tidak akan pernah ada cukup waktu untukku jika menyangkut tuntutanmu yang bodoh itu. Dan oh, terima kasih banyak karena sekarang waktuku malah terbuang percuma hanya untuk mendengarmu mengingatkanku akan hal ini." Timpalnya sarkastis.

"Permintaan, Dante. Bukan tuntutan." Balas kakeknya dengan menggunakan mode suara layaknya seorang pemilik kerajaan bisnis Aquila Corp.

"Terserah!"

Ia menyudahi pembicaraan mereka dengan berang dan menonaktifkan ponselnya. Perbincangan dengan kakeknya selalu saja membuatnya tertekan.

Secepat ia menutup telepon, secepat itu pula ia bangkit dari sofa lalu berjalan menuju kamar mandi. Berharap dengan berendam air hangat mampu meringankan beban pikirannya.

~~

Dhania sedang memandangi ponselnya dengan harapan yang kian hari kian menipis.

Setelah tiga hari penonaktifan ponsel pasca ulang tahun kelabu beberapa minggu lalu, ia mengeset benda kotak itu sedemikian rupa sejak hari pertama magang. Saat sedang di kantor, ponselnya ia atur pada airplane mode supaya segala bentuk panggilan tidak mengganggu aktifitasnya. Hanya waktu makan siang dan setelah pulang kantor ponselnya ia aktifkan secara normal lagi.

Dan di saat-saat seperti sekarang ini, ia baru bisa menanti pujaan hatinya yang tidak juga kunjung menghubungi. Malam demi malam tetap ia tutup dengan kekecewaan. Sampai akhirnya ia harus mematikan ponsel itu dikala ia lelah membuka mata.

Saat sedang asik melamun, pintu kamar menjeblak terbuka.

Tanpa harus diperiksa pun ia sudah tahu siapa dalangnya.

Dimitri mendekati Dhania yang memang duduk di balkon. Menjejeri tubuhnya di sebelah adik semata wayangnya.

"Heran deh, padahal gue selalu maki-maki tiap kali lo ndobrak pintu kamar gue tapi tetep aja lo bebel. Emang susah banget apa lo ngangkat tangan buat ngetok sebelom masuk? Kalo gue pas lagi ga pake baju karna abis mandi gimana?" Sungut Dhania.

"Kelamaan ah pake ngetok segala. Lagian kalo lo lagi telanjang, gue yang rugi. Nggak ada indah-indahnya ngeliat dua telor ceplok." Elak Dimitri tanpa merasa berdosa.

Dhania menoyor kepala kakaknya yang bermulut pedas dengan sepenuh hati. Keki setengah mati.

"Daripada gue bilang telor dadar coba?"

"Sendirinya kentang tumbuk." Lirik Dhania tajam ke arah pangkal selangkangan kakaknya.

"Sial. Lama gue tinggal ternyata lo jadi pinteran dikit ya buat bales." Dimitri mengacak puncak kepala Dhania dengan gemas.

"Isshh.... Nggak penting banget sih lo kesini kalo cuma buat ngisengin gue. Pulang sono. Udah punya apartemen sendiri juga, tapi tetep aja kangen ketek nyokap!" Ejek Dhania.

"Di sana sepi, nggak ada objek penderita. Kalo disini kan ada lo." Dua jari Dimitri teracung mengisyaratkan simbol damai sembari memamerkan senyum tanpa rasa bersalah.

"Kayaknya sekarang lo udah nggak pelit senyum ya? Kok bisa? Tumben."

"Pengen tau banget lo? Eh tapi, senyum gue mempesona, kan?" Kedua alis Dimitri naik turun. Membuat Dhania bergidik jijik.

"Najong!"

"Eh... lo nggak ada hubungan apa-apa kan sama Mr. Dante?" Serang Dimitri tanpa aba-aba.

Dhania berusaha keras menyembunyikan sikap salah tingkah di depan kakaknya. "Ada lah. Hubungan antara atasan sama bawahan magang."

"Nggak usah pura-pura bego, maksud gue selain hubungan profesional."

"Enggak lah." Dhania tidak berbohong. Memang benar mereka tidak memiliki hubungan semacam itu.

Benar kan?

Tapi kalau diingat-ingat, sikap dan tutur kata Dante yang selalu berubah-ubah, membuatnya bingung.

Kata sayang dan baby sudah beberapa kali terucap dari mulut Dante untuknya.

Kebiasaan Dante mengelus pipinya tiap kali Dhania melawan atau sedang emosi juga menimbulkan getar tersendiri di hatinya.

Atau pelukan hangatnya.

Terlebih amarahnya yang meledak saat membahas tentang ia dan Dimitri tadi menyiratkan..... kecemburuan?

HA! Cemburu?

You wish, Dhania!

Buru-buru ia menggelengkan kepala mengusir pikiran itu keluar dari benaknya. Beruntung, Dimitri sedang menatap lurus ke depan sehingga tidak melihat gelagat yang mencurigakan dari adiknya itu.

"Lo harus hati-hati. Jangan terlalu deket sama Mr. Dante. Buat jarak yang sewajarnya bawahan lakuin terhadap atasannya. Jangan sampe gue liat lo kepincut sama dia." Ujar Dimitri serius.

"Lo abis ngirup lem Aibon apa gimana? Kok bisa-bisanya ngultimatum gue jangan sampe kepincut Mr. CEO? Ya nggak mungkin lah." Elak Dhania sambil tertawa. Merasa lucu dengan peringatan dari kakaknya.

"Everything is possible, Dhan. You just don't know yet."

Setelah Dimitri mengatakan demikian, ia berdiri dan mencium puncak kepala adiknya dengan sayang, lalu keluar kamar.

Meninggalkan adiknya termenung sendirian. Mencerna kata demi kata yang diucapkannya.

~~

Hi, long time no see...

Maaf ya lagi2 lama update. Gue emang lagi susah nulis akhir-akhir ini. Btw, ada perubahan lho di chapter 1. Tahun 2010-nya gue apus. Jd cuma ada tulisan Dhania aja di bagian POV. Trus itu gue ksh foto a sexy man in suit sebagai media kalian pas bayangin Dante. #aakk...pengsan

Utk tmn2 yg natalan kayak gue, Happy Christmas yaaa. May your life full of joy and peace. #GppLahTelatDikit

Semoga update-an terakhir di thn 2014 ini bisa nemenin lo semua menyambut pergantian tahun. Trmksh utk support kalian. Semoga kedepan, vote sama komennya jd lbh byk lg. #Eh?

Selamat menyongsong tahun 2015, guys.

Enjoy. ^_^

Seguir leyendo

También te gustarán

557K 1.8K 13
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
5.8M 306K 58
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
2.6M 124K 55
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
2.7M 288K 49
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...