CANDALA [Lebih Dari Sekadar M...

By Mitsusuki

6.1K 3.3K 4K

Apakah saling mencintai bisa menjamin seseorang untuk bersama? ❝Aku takut kamu malu dengan keadaan aku yang s... More

PERKENALAN
PROLOG
SATU (Harapan!)
DUA (Gantung?)
TIGA (Bingung?)
EMPAT (Malu)
LIMA (Marah!!)
ENAM (Cemburu?)
TUJUH (Kalut)
DELAPAN (Rencana)
SEMBILAN (Spesial 1)
SEPULUH (Spesial 2)
SEBELAS (Bersalah?)
2 BELAS (Berat!)
3 BELAS (Paham)
PEMBERITAHUAN
4 BELAS (Lara?)
5 BELAS (Sesak)
6 BELAS (Kawan)
7 BELAS (Bijak)
8 BELAS (Kebetulan?)
2 PULUH (Gatol)
21 (Fakta)
22 (Yakin)
23 (Sesal)

9 BELAS (Rindu)

78 34 87
By Mitsusuki

Sungguh perpisahan dari putus cinta bukanlah hal yang menyedihkan, jika dibandingkan dengan perpisahan beda dunia.





Di depan gundukan tanah merah yang nisannya bertuliskan Thitania Baskara, dua orang anak sedang duduk memeluk lutunya dan menunduk. Menatap tanah merah di hadapannya dengan tatapan sendu.

Perempuan mungil berkulit putih itu menangis tersedu-sedu merangkul lututnya sejak ia menginjakkan kakinya di depan makam mamanya, sedangkan pria jangkung bersurai legam itu melepas pelukannya di lututnya dan beralih merangkul adiknya, menenagkan, tapi tangisnya tak bisa juga ia tahan.

Sudah dua tahun lebih mereka ditinggal oleh sosok perempuan luar biasa yang mereka sebut sebagai mama. Perempuan kuat yang mampu menahan sakitnya bertahun-tahun sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Siapa yang bisa menahana air matanya jatuh jika dihadapkan dengan sosok yang ia cintai, sayangi dan kagumi, tapi kehadirannya bahkan tidak bisa ia jumpai. Sedih sekali bukan, apalagi mereka ditinggal di usia yang masih muda.

"Kak... aku ka_ngen mama." ucap Wulan sesenggukan.

Pria jangkung itu mempererat rangkulannya, menghapus ait mata yang jatuh di pipinya, meski masih ada yang tertinggal di ujung matanya. Ingin sekali rasanya ia membalas ucapan adiknya, tapi melontarkan suaranyapun ia tidak sanggup, tubuhnya bergetar, sakit dadanya tambah meradang mendengar ucapan itu.

Lagi-lagi air matanya menetes, tangannya cepat-cepat menghapus air mata itu. Rangkulannya ia loggarkan, badannya ia mundurkan sedikit kemudian tangannya menangkup pipi adiknya, menghapus jejak air mata yang mengalir di sana.

Dengan mata yang berair, dada yang sesak karena menahan  tangis, Ia berusaha sebisa mungkin menenangkan adik perempuannya yang cukup mirip dengan mamanya.

"Sudah ya nagisnya." ujar Lintang lirih.

Perempuan mungil itu mengangguk, kemudian menggigit bibir bawahnya berusaha menahan tangisnya yang rasanya begitu sulit. Rangkulan kakaknya terlepas, bertepatan dengan datangnya saudara tertuanya Bagaskara Permadi.

Keduanya menoleh ketika mendengar langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. Tepat di samping kanan mereka, pria bersurai kecoklatan itu sedang menatap kedua adiknya dengan sendu. Tangan kirinya membawa bunga kesukaan mamanya, tulip kuning.

Pria sulung itu merundukkan badannya kemudian berjongkok dan mengulur kedua tangannya, merengkuh kedua adiknya yang sedang memandang dirinya. Tak kuasa Bagas melihat adiknya, air di ujung matanya sudah menggumpal ingin menumpahkan diri dari sana.

"Maaf kakak agak telat."

"Minta maafnya ke mama," titah Wulan.

Bagas melepas rengkuhannya, kemudian berpaling pelan dan menunduk manatap gundukan tanah merah di depannya, tangan kananya meremat tanah itu kuat-kuat, dadanya sesak, matanya rasanya perih. Sakit sekali.

"Maaf ma aku agak telat." ucapnya bergetar, kemudian meletakkan bunga tulip kuning yang sedari tadi ia bawa di atas gundukan tanah itu.

"Sudah dua tahun lebih ya kak, mama ninggalin kita?" lirih Lintang.

Mengangguk pelan, "Iya."

"Artinya... sudah sekitar 3 tahun aku benci sama papa."

"Kak." ucap Wulan sangat pelan.

"Ma, papa nggak berubah." mengehela nafasnya. "Papa masih jahat ke Lintang." menunduk, meremat tanah di hadapannya. "Aku kangen mama ngebela aku di hadapan papa." air matanya jatuh.

"Kak__" ucapan Wulan tertahan, Bagas meraih tangannya kemudian menggeleng.

"Aku kangen ngerawat mama, aku kangen meluk mama, semuanya ma." ujarnya terisak.

Menyentakkan tangan Bagas, "Kak udah kak." meraih lengan Lintang.

"Wulan... aku benar-benar udah kehilangan mama... rembulanku yang cantik." ucapnya tersedu-sedu.

"Lintang," ujar Bagas lirih, meneluk-nepuk pelan punggung adiknya.

Pria bersurai coklat itu sudah menduga, ini yang akan terjadi jika mereka mengunjungi makam mamanya. Lintang benar-benar sensitif dengan hal-hal yang berbau tentang mamanya, dan bukan hal yang baik untuk adik prianya itu jika berlama-lama di pemakaman.

"Hari sudah mulai gelap, kita pulang ya." lanjut Bagas.

Menggeleng, "Aku masih mau di sini." ujarnya datar.

"Lintang, lihat." menatap langit. "Mendung, bentar lagi hujan."

Pria bersurai legam itu mengikuti perintah kakaknya, mentap langit. Ia menghembuskan nafasnya, terpaksa dirinya harus pulang karena langit benar-benar mendung dan hujan-hujan bukanlah keputusan yang baik.

Dengan berat hati ia berdiri menegakkan badannya di samping Wulan dan Bagas. Mungkin butuh waktu beberapa lama lagi untuk bisa berkunjung, bukan hal yang baik bagi dirinya jika mengunjungi makam mamanya setiap hari, karena dirinya mudah hilang kendali. Ia tau itu.

"Lin, kamu pulangnya naik mobil ya sama Wulan, ada Dicky kok di mobil."

"Motor aku gimana?"

"Biar aku yang pakai, aku nggak yakin kamu bisa berkendara dengan keadaan seperti itu." mengendikkan dagunya ke Lintang.

"Bisa kok."

Menggeleng, "Nggak Lin."

"Ayo kak." menarik lengan Lintang, menjauh dari Bagas.

Pria bersurai kecoklatan itu kembali menatap gundukan tanah merah di hadapannya, dengan tatapan sayu setelah kedua adiknya melangkah pergi. Bibirnya tersenyum tipis sekali, membentuk lekukan di pipinya yang nyaris tidak terlihat.

"Ma... kami pulang ya." ujarnya lirih.

Setelah mengutarakan ucapan perpisahan, pria itu memalingkan wajahnya ke arah kedua adiknya yang sedari tadi telah meninggalkannya. Ia menghembuskan nafas beratnya, kemudian melangkah menyusuri jejak kaki yang telah di buat oleh kedua saudaranya.

Lintang dan Laras pulang bersama Dicky, suasana di mobil benar-benar sepi. Tidak ada lagu yang terputar di audio car, tidak ada percakapan, hanya suara halus mesin mobil yang yang terdengar samar.

Dicky sama sekali tidak tau harus memulai percakapannya dari mana, pasalnya ia cukup was-was dengan kedua bocah yang wajahnya ditekuk itu.

Pria bersurai legam yang duduk di samping Dicky memilih untuk bungkam, dan mengalihkan pandangannya ke jendela mobil. Rintik-rintik hujan semakin jelas seiring kepergiannya dari pemakaman. Bagaimana dengan Bagas, ah mungkin saja ia sedang berteduh sendirian, pikirnya.

~~~


"Kak giamana ceritanya bisa akrab lagi sama kak Anton?" ujar perempuan yang sedang duduk di sofa.

"Satu jurusan, beda kelas doang." kedua alisnya terangkat. "Tapi sering ketemu di kampus, ngalir aja gitu jadi akrab lagi."

"Sudah lama dong?!"

"Iya." mengangguk, kemudian meminum kopinya.

"Kok nggak kasi tau." kening mengerut.

"Harus banget gitu ya aku kasi tau."

"Yaiyalah harus, biar nggak ketinggalan."

"Hilih, jangan-jangan kamu masih bucin ya sama Anton?."

"E_Enggak!" menyilangkan kedua tangannya.

"Hedeuh, ngomong-ngomong kamu kontekan lagi sama Anton ya?" menatap adiknya skeptis.

Laras mengangguk pelan

"Sejak kapan?"

"Waktu itu nggak sengaja ketemu di indomaret dekat rumah Lintang." memainkan bantal sofa dengan telunjuknnya. "Terus kak Anton nanyain id line aku."

Mulut Bagas ber oh kecil, kepalanya mengangguk-ngangguk. "Sampai sekarang masih kontekan?"

Menggeleng, "Jarang sih, terakhir kak Anton ngajak aku Jalan terus aku tolak, abis itu nggak kontekan lagi."

Bagas lagi-lagi mengangguk

"Kak, kok bisa kenal sama abang Lintang?"

"Dia punya geng kumpulan cogan di kampus."

Mengernyit, "Kumpulan cogan kampus kakak?"

"Iya, Anton yang ngajak aku gabung."

"Wah cogan semua dong." mata berbinar.

"Biasa aja kali matanya." menyentil dahi adiknya.

"Aww, sakit kak ihh." mengusap dahinya. "Lain kali kalau nongki lagi, ajak aku ya kak."

"Ada suara nggak ada gambar."

"Sejak kapan anda buta."

Terkeke, "Eh kemarin kamu kenapa, ada masalah sama Lintang?"

"Ngak kenapa-kenapa." melirik abangnya yang sedang menyeruput kopi. "Minum kopi malam-malam begini, mau begadang?" uacapnya mengalihkan pembicaraan.

"Kopi susu kok dek, nggak pahit."

"Coba," ujarnya kemudian meminum kopi kakaknya. Mendelik, "Pahit."

"Bocah mana bisa minum kopi."

"Aku bukan bocah ya."

"Kalu bukan bocah berarti bayi dong."

"Apaansih."

Laras berdiri dari duduknya, melempar bantal sofa yang sedari tadi pangkuannya ke kepala sang kakak, kemudian berlari kecil ke kamarnya sembari tertawa melihat Raka.

"Awas nabrak."









⚠️Jangan lupa vote


Awal ngetik ini tuh feelnya dapat gitu, bener-bener sedih. Tapi pas di baca kedua kalinya aku ngerasa kalau ini tuh gaje banget, huhuhu:(







©mitsusuki
To be continued....

Continue Reading

You'll Also Like

5.8M 276K 52
Follow sebelum membaca. Cerita sudah diterbitkan dan tersedia di Shopee. ||Sinopsis|| Menceritakan tentang kisah seorang gadis bernama Revaza Khansa...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.1M 241K 30
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
3.2M 262K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
2.3M 132K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...