more than you know | gilga...

By gialaxy

22.1K 3K 500

Gilga Alastair Regardi. Setiap murid laki-laki yang mendengar nama itu akan terbayang sosok ketua geng sekola... More

BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31

BAB 19

578 88 7
By gialaxy

"AVANA!" teriak Gavin yang sedang bermain dengan Naka, anak Bang Salim di halaman warung.

"Gue nggak budek, woi!" balas Avana sambil memarkir motor Gilga dengan hati-hati. Ia lalu menyapa Naka, "Hai, ganteng!"

"Hai, kakak!" balas Naka dengan senyum menggemaskan.

"HAHAHA!" Gavin tertawa lebar. "Lo bisa naik motor? Sejak kapan?"

"Umm, seminggu yang lalu kayaknya – nggak tahu, lupa gue!"

"Gilga ekskul?"

"Yup. Gue males jalan makanya gue minta kunci motornya." Avana menengok ke dalam warung dan ruang tamu Bang Salim yang ada di sampingnya dan hanya ada beberapa anak. "Kok sepi? Pada kemana?"

Konsep warung Bang Salim adalah berbatasan langsung dengan rumahnya. Ada sebuah pintu cukup lebar yang menghubungkan warung dengan ruang tamu. Warung Bang Salim seperti markas terbuka Flamma. Siapapun boleh masuk, tanpa perlu ijin. Sayangnya, tidak semua orang berani masuk.

Sebelumnya adanya Flamma, Bang Salim selalu menutup pintu penghubung ke ruang tamu. Namun sejak semakin banyak yang berkumpul di sana, Bang Salim lalu mempersilakan mereka nongkrong di halaman dan juga ruang tamunya. Bang Salim tinggal bersama istri dan seorang putra yang duduk di bangku TK. Seiring berjalannya waktu, mereka semakin akrab dan menjadi hal biasa untuk anak-anak khususnya anggota Flamma tidur di ruang tamu di rumah Bang Salim. Seolah telah menjadi markas umum.

"Sebagian ke markas rahasia."

"Nah, lo ngapain disini?"

Sejak beberapa waktu yang lalu, perlahan tapi pasti semua orang tahu kedekatan Avana dan Gilga. Tidak hanya murid, namun guru-guru, pegawai sekolah dan bahkan penjual di kantin menganggap mereka berpacaran. Karena itu, teman-teman Gilga dan juga semua anggota Flamma mulai membuat hubungan baik dengan pacar dari bos besar mereka.

Sifat Avana yang santai membuat mereka akrab dengan waktu yang lumayan cepat. Mereka sering menggoda dan Avana menanggapinya dengan candaan. Tak jarang mereka juga membuat lelucon yang membuat Gilga cemburu. Gilga tidak pernah menyuruh, namun seringkali ketika para anggota Flamma membantu, menolong dan melindungi Avana.

"Males. Palingan di sana juga gabut rebahan. Mending disini, makan-makan sambil lihat mobil lewat, main sama Naka, ya?" ujar Gavin sambil menjewer pipi gembul Naka.

"Hadeh." Avana menggelengkan kepala lalu masuk ke warung. "Main game, bang? Masih lama, nggak? Avana laper, nih. Pengen mie goreng yang pedes."

"Masih," jawab Bang Salim.

Ravi pun menyahut, "Bikin aja sendiri. Masa nggak bisa?"

"Bisa, kak. Tapi, Avana mager." Avana merengek manja. Ia lalu menanyakan keberadaan istri Bang Salim. "Mbak Santi kemana, sih?"

"Nyuci," Bang Salim lagi-lagi menjawab singkat, padat dan jelas.

"Alasan aja, deh!" timpal Ravi yang sedang rebahan dengan nyaman di kursi kayu yang berada di depan warung. "Sini, gue bikinin."

"Lo, dong, yang kesini. Emangnya mau masak di situ, huh?"

"Lho, kok?" Gavin berkata dengan keras. Ia tengah terkejut.

"Sebentar, Tuan Putri." Ravi akan bangun, namun tiba-tiba seseorang menahannya.

"Nggak usah repot-repot. Biar gue aja." Gilga datang.

"Mantap." Ravi kembali rebahan sambil memuji, "Bener-bener, bucin yang bisa diandalkan."

"Eh?" Mendengar suara khas itu, Avana segera keluar. "Kok, udah pulang?"

"Ajaib bener ekskul musik nggak ada lima belas menit." Gavin menyambar.

Gilga masuk ke dalam warung dan langsung bersiap memasak mie. "Babi emang! Gue udah nunggu ternyata libur."

"Lah?" jeda Avana. "Kok bisa? Lo nggak lihat pengumuman?"

"Boro-boro. Orang kasih tahunya lama barusan juga."

Semua orang pun tertawa terbahak-bahak dan mengolok-olok Gilga. Sementara itu, Gilga memasak mie sambil menggerutu dan membalas olokan yang ditujukan kepadanya. Karena tidak banyak yang tinggal, suasana pun tak seramai biasanya. Kali ini cukup tenang – kebanyakan tidur di kursi dan lantai, sebagian bermain game dengan meneriakkan umpatan sesekali, sisanya bermain sosial media dengan hening.

"Nggak usah sambel, ya? Biar bisa sepiring berdua?" goda Gilga kepada Avana.

"Lo aja bikin lagi. Sambelnya buat gue, biar makin mantul pedesnya mie gue."

"Kalau bucin jangan setengah-setengah – tanggung, goblok!" sambar Miko.

"Nggak jadi, deh. Terima kasih, thank you!" balas Gilga sambil membawa piring berisi mie goreng pedas untuk Avana. "Mau kerupuk, nggak? Minumnya apa?"

Avana menjawab tanpa ragu, "Pop ice chocolate, dong! Esnya yang banyak."

"Siap, honey, bunny, sweety, sugar-sugar!" Gilga malah bernyanyi.

"Hmmm, enak banget!" Avana memberikan komentar setelah megambil suapan pertama.

"Siapa dulu, dong, yang bikin!" Gilga membanggakan diri. Tak lama ia kembali dan duduk di samping Avana. Gilga menyelipkan rambut Avana ke belakang telinga. Melihat gadis itu makan dengan lahap. "Laper apa doyan, bos?"

"Both," jawab Avana singkat.

"Kalau mau dibikin lagi, bilang aja."

"Mau coba nggak?" Avana mengarahkan sesendok mie kepada Gilga.

"No way!" Gilga segera menjauh dengan sigap.

"Cemen banget, sih!"

"Biarin. Bodo amat."

"Kapan-kapan aja gue ke markas, dong! Kepo banget gue kenapa kalian suka banget nongkrong di sana."

"Nggak. Nanti lo betah di sana lagi." Gilga menolak mentah-mentah.

"Kenapa emangnya? Nggak boleh?"

"Nggaklah. Itu tempat rahasia. Gue harus profesional sebagai bos besar."

"Sok banget lo!" cibir Avana lalu mendengus.

"Suka-suka gue, dong!" Gilga lalu meletakkan kepalanya di meja dan memejamkan mata.

"Kunci motor lo di tas. Ambil aja."

"Yaudah, sih, bawa aja."

"Gue yang nyetir, ya, nanti pas jalan ke rumah gue."

"Iya, pas di jalan komplek aja. Jangan ngadi-ngadi lo minta nyetir di jalan raya." Tadi saat menuju warung Bang Salim, Gilga lebih dulu menyeberangkan motor untuk Avana.

"Yah, kapan gue boleh nyetir di jalan raya?"

"Kapan-kapan," jawab Gila acuh tak acuh. "Seneng lu bisa bawa motor, huh?"

"Iyalah. Gue bisa kemana-mana sendiri." Senyum Avana menjelaskan kebahagiaannya.

"Jangan coba-coba lu bangunin singa tidur." Nada bicara Gilga lemah namun penuh peringatan.

Avana tertawa kecil. "Ampun, bos!"

Hening, cukup lama. Anak-anak yang sedang bermain game diam karena tegang. Yang sedang bermain sosial media memang tidak bersuara sejak tadi, Gavin dan Naka sedang fokus merangkai lego di teras. Sementara Avana sibuk makan dan Gilga tidur. Semuanya asyik dengan dunianya masing-masing.

Ting... Di tengah keheningan itu, secara tiba-tiba ponsel para anggota Flamma berbunyi secara bersamaan. Sebuah notifiksai pesan grup. Serentak mereka membukanya. Termasuk Gilga yang langsung duduk tegak dan memeriksa ponselnya dengan santai dan eskpresi yang misterius. Avana belum pernah melihat ini sebelumnya, jadi ia menatap mereka semua dengan bingung. "Ada apa? Kenapa notifnya barengan? Hmm."

"Mangtap! Tahu aja otot gue butuh latihan!" Gilga berdiri sambil melemaskan otot leher, tangan dan kakinya.

"Hah? Apaan, sih? Nggak paham gue?" Avana masih dengan kepolosan dan keleletannnya.

Gavin tiba-tiba membawa Naka masuk dan menyuruhnya duduk di dekat Avana. "Skip dulu, ya, bos! Besok kita lanjutin."

"Lah?" Avana semakin bingung karena mereka semua tiba-tiba bersiap seolah akan pergi.

"Apa?" Gilga mengangkat dagu menatap Avana yang bingung. Seolah sedang mengejek.

"Ada apa?" Avana bangun dan melakukan hal yang sama. "Mau kemana?"

"Olahraga," jawab Gilga lalu mencium kening Avana sambil mengusap rambutnya. "Habisin makan sama minumnya. Jangan kemana-mana. Nanti gue balik lagi."

"Kasih tahu gue dulu!" teriak Avana kepada Gilga yang sedang naik jok belakang motor Gavin.

"Berantem, Van. Astaga. Bener-bener lemot lu, ya!" cibir Ravi saat melewati gadis itu.

"Oh." Avana lag selama dua detik lalu saat mereka semua hampir pergi. Setelah Gilga memastikan semua anak buahnya pergi, ia lalu menepuk bahu Gavin agar segera menyusul. Pada saat itu Avana berlari ke depan dan sekali lagi berteriak, "Hati-hati, ganteng. Semoga menang, ya!"

Continue Reading

You'll Also Like

236K 9.5K 28
Menjadi seorang istri di usia muda yang masih di 18 tahun?itu tidak mudah. Seorang gadis harus menerima perjodohan dengan terpaksa karena desakan dar...
8.8M 947K 65
[SUDAH TERBIT] Tersedia di Gramedia dan TBO + part lengkap Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki-laki yang rela membakar jari-jari tanga...
303K 10.2K 24
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
677K 78.8K 10
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...